Among Sunni Muslims—particularly between traditionalist and reformist circles—the practice of tabarruk at the Prophet’s tomb has remained a persistent source of controversy. The differing views, as seen between Nahdlatul Ulama and Wahhabi groups, reflect deeper tensions in understanding the legitimacy of such a practice. This issue is worth examining, as it highlights how variations in the interpretation of hadith shape religious perspectives within the Muslim community.This article aims to identify the differences in the use of hadith concerning tabarruk at the Prophet’s tomb by two prominent scholars: Sayyid Muḥammad ibn ʿAlawī al-Mālikī, representing the Sunni traditionalist perspective, and ʿAlī ibn Nāfiʿ al-ʿIlyānī, representing the Sunni reformist view. The study analyzes the hadiths each scholar employs as evidence, taking into account their authenticity, authority, interpretation, and the contextual factors underlying their differing positions.Using the methods of hadith criticism and ijmālī (holistic) understanding, this article reveals fundamental differences in their reasoning regarding tabarruk. The divergence lies not only in their choice of hadiths but also in how each relates the practice to societal behavior—whether deemed excessive or overly restrictive. Sayyid Muḥammad ibn ʿAlawī al-Mālikī argues that people are too quick to prohibit tabarruk, whereas ʿAlī ibn Nāfiʿ al-ʿIlyānī contends that the public tends to overindulge in it. In terms of validity, both hadiths used are authentic: the one cited by Sayyid Muḥammad is mauqūf al-sanad but marfūʿ al-ḥukm, while that cited by Shaykh ʿAlī ibn Nāfiʿ is marfūʿ. Both therefore carry equal argumentative strength.{Di kalangan Muslim Sunnī, khususnya antara kalangan tradisionalis dan reformis, praktik tabarruk dengan makam Nabi telah menjadi sumber kontroversi yang terus berlanjut. Perbedaan pandangan ini, seperti yang terlihat antara kelompok Nahdlatul Ulama dan Wahhabi, mencerminkan ketegangan dalam pemahaman terhadap praktik tersebut. Isu ini menjadi relevan untuk diteliti mengingat pentingnya memahami bagaimana perbedaan interpretasi hadis memengaruhi pandangan keagamaan di kalangan umat Islam. Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan penggunaan hadis tentang tabarruk dengan makam Nabi oleh dua tokoh besar, yaitu Sayyid Muḥammad ibn ’Alawī al-Mālikī yang mewakili perspektif Sunnī tradisionalis, dan ‘Ali ibn Nafi’ al-‘Ilyani yang mewakili Sunnī reformis. Penelitian ini menganalisis hadis-hadis yang mereka gunakan sebagai dalil, dengan mempertimbangkan aspek kesahihan, kehujahan, pemahaman mereka, serta faktor yang melatarbelakangi perbedaan ini. Dengan pendekatan kritik hadis dan pemahaman ijmālī, artikel ini mengungkapkan perbedaan mendasar dalam pendalilan kedua tokoh ini terhadap tabarruk dengan makam Nabi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan ini tidak hanya terletak pada pemilihan hadis, tetapi juga pada cara keduanya menghubungkan praktik ini dengan respons terhadap perilaku masyarakat, yang dianggap berlebihan atau sebaliknya. Di satu sisi, Sayyid Muḥammad ibn ’Alawī al-Mālikī memandang masyarakat terlalu mudah mengharamkan tabarruk makam Nabi, sementara di sisi lain, ‘Ali ibn Nafi’ al-‘Ilyani menganggap masyarakat berlebihan dalam mempraktikkannya. Dari sisi validitas, kedua hadis yang digunakan adalah sahih, Hadis yang digunakan oleh Sayyid Muḥammad berstatus mauqūf al-sanad namun marfū‘ al-ḥukm, sedangkan hadis yang digunakan Syaikh ‘Alī ibn Nāfi’ berstatus marfū‘. Keduanya memiliki kekuatan argumentatif yang seimbang.}