Permasalahan perbatasan maritim Indonesia, khususnya di Natuna dan Tanjung Datu, tidak hanya menyangkut delimitasi wilayah dan eksploitasi sumber daya, tetapi juga pertahanan dan keamanan yang terkait Hukum Humaniter Internasional. Operasi pengamanan laut harus memperhatikan asas proportionality, necessity, dan protection of civilians. Koordinasi antar-institusi, modernisasi armada, sistem pemantauan maritim, dan diplomasi hukum menjadi penting untuk mencegah eskalasi konflik, melindungi warga sipil, dan menjaga stabilitas kawasan secara hukum internasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif untuk menelaah penerapan prinsip Hukum Humaniter Internasional dalam kebijakan pertahanan maritim Indonesia di Natuna dan Tanjung Datu. Fokus pada batasan penggunaan kekuatan militer dan perlindungan warga sipil. Analisis dilakukan melalui studi perundang-undangan, literatur, dan publikasi resmi internasional, serta dianalisis secara deskriptif-analitis dan interpretatif-normatif untuk menilai kesesuaian kebijakan pertahanan dengan Hukum Humaniter Internasional. Hasil penelitian ini, Penerapan prinsip Hukum Humaniter Internasional di Natuna dan Tanjung Datu menekankan diskriminasi, proporsionalitas, dan perlindungan warga sipil, sehingga operasi militer hanya menarget sasaran sah. Aparat menggunakan patroli gabungan, teknologi pengawasan, dan koordinasi dengan masyarakat serta negara tetangga. HHI membatasi penggunaan kekuatan militer dengan menekankan tindakan preventif, proporsional, dan koordinatif, didukung modernisasi sarana, pelatihan gabungan, dan sistem komando terpadu. Penerapan asas HHI memperkuat kebijakan pertahanan melalui pengawasan teknologi, kerja sama lintas lembaga, keterlibatan masyarakat, dan kolaborasi bilateral, menjaga stabilitas wilayah, perlindungan warga sipil, dan efektivitas pertahanan secara berkelanjutan