Penelitian ini menganalisis pengakuan Tiongkok atas wilayah Laut China Selatan dalam konteks hukum internasional dan hukum nasional, khususnya mengacu pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982). Metodologi yang digunakan meliputi analisis hukum, studi kasus, dan studi literatur, dengan fokus pada dokumen hukum utama seperti UNCLOS 1982 dan putusan Mahkamah Arbitrase dalam sengketa Filipina vs. Tiongkok. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Sengketa Laut Natuna antara Indonesia dan China, yang didorong oleh klaim sepihak China atas wilayah tersebut dalam "Nine Dash Line," Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Dalam beberapa kasus, Filipina memilih untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration), yang menghasilkan putusan yang mendukung Filipina dan menolak klaim China berdasarkan "nine-dash line" sebagai tidak sah menurut UNCLOS. Sebaliknya, Indonesia tidak membawa sengketanya ke pengadilan internasional, melainkan lebih memilih penyelesaian damai melalui mediasi sambil tetap menolak klaim China secara sepihak. Negara-negara yang terlibat dalam sengketa maritim harus memperkuat kerangka hukum nasional mereka agar sejalan dengan kewajiban internasional, terutama dalam mematuhi ketentuan UNCLOS.