Perkembangan pesat e-commerce di Indonesia sejak 2020 telah memicu peningkatan signifikan praktik pelanggaran hak merek dagang, termasuk pemalsuan, passing off, dan pemboncengan reputasi di platform Tokopedia, Shopee, dan Lazada. Penelitian ini mengkaji skema perlindungan hukum terhadap pelanggaran merek di ranah digital dengan pendekatan yuridis empiris dan desain kualitatif deskriptif. Data diperoleh melalui studi dokumen Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indifikasi Geografis serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Informasi dan Transaksi Elektronik; wawancara semi-terstruktur dengan pelaku UMKM dan pakar kekayaan intelektual; kuesioner persepsi pelaku usaha; serta observasi praktik penegakan hak merek di berbagai platform e-commerce. Hasil penelitian menunjukkan ketidaksesuaian antara kerangka normatif dan implementasi praktis, antara lain: kesenjangan dalam pemeriksaan substantif merek, minimnya kewajiban proaktif platform, serta rendahnya literasi HKI di kalangan UMKM. Mekanisme internal platform, meski telah menyediakan sistem pelaporan dan takedown, masih terkendala volume listing yang masif dan prosedur penanganan yang bervariasi. Analisis tort law theory mengungkap tantangan adaptasi konsep passing off ke sistem hukum Indonesia, khususnya dalam penentuan kriteria merek terkenal dan standar pembuktian. Studi kasus Mobile Intellectual Property Clinic dan pembentukan IP Crime Forum menyoroti efektivitas kolaborasi multi-stakeholder dalam meningkatkan kesadaran dan respons penegakan. Berdasarkan temuan tersebut, direkomendasikan penguatan pengawasan digital berbasis AI, penyederhanaan prosedur pendaftaran HKI melalui single window system, peningkatan literasi hukum digital UMKM, serta revisi regulasi UU Merek dan UU ITE untuk mempertegas tanggung jawab platform. Implementasi koordinasi lintas sektor dan mekanisme alternatif penyelesaian sengketa diharapkan dapat menciptakan ekosistem e-commerce yang adil, terpercaya, dan kondusif bagi pertumbuhan UMKM.