Tingginya angka perceraian di Indonesia, khususnya cerai gugat yang diajukan istri, menjadi tantangan utama bagi Pengadilan Agama dalam mewujudkan keadilan cepat, sederhana, dan rendah biaya. Penelitian ini menganalisis strategi mediasi dalam penyelesaian perkara cerai gugat Nomor 969/Pdt.G/2024/PA di Pengadilan Agama Lubuklinggau, yang menerapkan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 sebagai dasar hukum mediasi wajib sebelum sidang pokok perkara. Pendekatan kualitatif deskriptif dengan studi kasus tunggal digunakan, mengumpulkan data primer melalui observasi proses mediasi, wawancara mediator seperti Mawardi Kusuma Wardani, hakim, serta pihak penggugat dan tergugat, ditambah data sekunder dari dokumen perkara dan laporan pengadilan.Hasil penelitian menunjukkan mediasi di PA Lubuklinggau mencapai tingkat keberhasilan 75-81% pada triwulan I-II 2025 dari 165 perkara, didukung optimalisasi fasilitas ruang mediasi khusus, pelatihan mediator, dan slogan "Bangkit, Yes, Yes, Yes!" yang mencerminkan sinergi institusi. Strategi utama mencakup teknik active listening, caucus (pertemuan terpisah), reframing perspektif konflik, serta reality testing untuk menguji kelayakan kesepakatan nafkah anak, hak asuh, dan harta gono-gini, meskipun rujuk gagal dicapai pada kasus ini. Kendala seperti resistensi emosional diatasi melalui edukasi hak Islam tentang talak dan iddah, menghasilkan kesepakatan parsial yang mengurangi beban sidang utama.Secara normatif, PERMA nomor 1 tahun 2016 mengatur prosedur komprehensif mulai pra-mediasi hingga pasca-mediasi dalam 30 hari kerja, dengan prinsip kerahasiaan, kesukarelaan, dan win-win solution, selaras nilai rekonsiliasi Islam. Namun, implementasi masih terkendala minim dukungan kelembagaan dan beban perkara tinggi, meski PA Lubuklinggau unggul dibanding pengadilan lain di Sumatera Selatan. Kesimpulan menegaskan mediasi efektif sebagai keadilan restoratif, dengan saran pelatihan berkelanjutan mediator, sosialisasi digital, dan monitoring IKU Badilag untuk replikasi model sukses.