Astuti, Ratna Dewi Indi
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Bandung

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Sebaran Vektor Penyakit Demam Berdarah (Aedes aegypti) di Kampus Universitas Islam Bandung Ratna Dewi Indi Astuti; Ismawati Ismawati; Listya Hanum Siswanti; Alimmatin Suhartini
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 4, No 2 (2016)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (159.666 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v4i2.1602

Abstract

Demam berdarah dengue ialah penyakit disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Untuk mengendalikan vektor dilakukan upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) sehingga dapat dicapai angka bebas jentik lebih dari 95%. Penelitian ini bertujuan mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti serta kepadatan nyamuk betina dewasa di kampus Unisba. Penelitian ini bersifat observasional dan survei jentik dilakukan di Universitas Islam Bandung (Unisba) pada bulan Juni 2015. Kepadatan jentik diukur dengan parameter indeks kontainer. Kepadatan nyamuk betina dewasa diukur dengan menghitung indeks ovitrap. Hasil penelitian menunjukkan lingkungan Kampus Unisba belum bebas jentik (indeks kontainer=17%) dengan kepadatan terbesar di Gedung Pascasarjana (24%). Ovitrap indeks di Kampus Unisba 41% dengan proporsi positif terbesar di Gedung Fakultas Kedokteran Unisba Jalan Tamansari 22 dan Gedung Rektorat (masing-masing 57%). Simpulan, Kampus Unisba bukan merupakan daerah bebas jentik nyamuk Aedes aegypti dan tersebar vektor penyebar penyakit demam berdarah, yaitu nyamuk betina dewasa Aedes aegypti. DENGUE'S VECTOR DISTRIBUTION (AEDES AEGYPTI) AT BANDUNG ISLAMIC UNIVERSITY CAMPUSDengue hemorrhagic fever is a disease caused by dengue virus that is transmitted by Aedes aegypti. Mosquito nest eradication (Pemberantasan Sarang Nyamuk) in order to achieve free larva numbers more than 95% is important to control vectors. This study determined the density of larva and the adult female of Aedes aegypti in Universitas Islam Bandung (Unisba’s campus) environment. The larvae survey was conducted on Unisba’s campus in June 2015. The density of larva was counted by container index. The density of adult female assesed by ovitrap index. The results showed that Unisba’s campus environment was not free from larva (container index=17%) with the greatest density was in the pascasarjana building (24%).The ovitrap index on Unisba’s campus was 41% with the largest proportion was in Medical Faculty Unisba Tamansari 22 and rectorate building (each 57%). In conclusion, Unisba’s campus is not an free area of Aedes aegypti larvae and adults female of Aedes aegypti spreaded there.
Askariasis di Daerah Endemis Rendah Askariasis Tidak Meningkatkan Kejadian Tuberkulosis Aktif Ratna Dewi Indi Astuti; Herry S. Sastramihardja; Sadeli Masria
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.568 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v4i1.1601

Abstract

Askariasis di daerah endemis seperti Indonesia menyebabkan polarisasi respons Th2 yang dapat menekan respons Th1 yang penting dalam perlawanan terhadap tuberkulosis melalui penekanan ekspresi IL-12Rẞ2 oleh IL-4. Tujuan penelitian ini adalah mencari hubungan antara kejadian askariasis dan tuberkulosis aktif di daerah endemis rendah askariasis. Penelitian observasional analitik dilakukan pada 30 penderita dewasa tuberkulosis paru aktif baru dan 29 penderita tuberkulosis laten. Penelitian dilaksanakan di Kota Bandung selama periode April–Juni 2014. Pemeriksaan telur Ascaris lumbricoides dilakukan dengan teknik Kato-Katz smear dan pengukuran kadar reseptor terlarut IL-12Rẞ2 dalam plasma mengunakan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Hasil penelitian menunjukkan proporsi askariasis pada penderita tuberkulosis aktif secara signifikan lebih rendah (5 dari 30 subjek) dari proporsi askariasis pada penderita tuberkulosis laten (13 dari 29 subjek) dengan p=0,019. Penghitungan jumlah telur menunjukkan semua subjek askariasis menderita askariasis intensitas ringan. Kadar reseptor terlarut IL-12Rẞ2 pada penderita tuberkulosis aktif dan laten dengan askariasis maupun tanpa askariasis tidak berbeda signifikan. Simpulan penelitian ini adalah askariasis intensitas ringan tidak menekan respons Th1 dan tidak meningkatkan kejadian tuberkulosis aktif di daerah endemis rendah askariasis. ASCARIASIS IN LOW ENDEMIC AREA DOES NOT ASSOCIATE WITH THE INCREASE INCIDENCE OF ACTIVE TUBERCULOSISPolarization toward Th2 response in ascaris investation suppresses Th1 responses which is important in defence against tuberculosis. Such suppression is hipothesized to supress the expression of IL-12Rẞ2 by IL-4. The purpose of this study was to find out the relationship between ascaris investation and TB in low endemic area of ascariasis that is endemic for TB. We gathered samples from 30 adult active pulmonary TB patients and 29 adult latent TB patients as control. The study was performed in Bandung during April to June 2014. Ascaris investation was established with Kato-Katz smear technique and the detection of plasma level of the soluble receptor of IL-12Rẞ2 was conducted with enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). We showed that the proportion of ascaris investation significantly higher in latent TB patients (13 from 29 subjects) compared to in active Tb patients (5 from 30 subjects) with p value 0.019. All subjects positive for ascaris investation had low intensity of investation in accordance with low endemicity. Also, the median level of IL-12Rẞ2 did not differ between active and latent TB patients with ascaris or without ascaris investation. We concluded that low intensity of ascaris investation does not associate with suppression of Th1 response, as assessed by IL-12Rẞ2 receptor level, hence does not associate with the increase incidence of active tuberculosis.
Soil-Transmitted Helminths Contamination on the Yard's Soil of the Public Elementary Schools in Bandung City Ratna Dewi Indi Astuti; Ismawati Ismawati; Hilmi Sulaiman Rathomi
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 8, No 3 (2020)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (131.81 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v8i3.6596

Abstract

Soil contamination by soil-transmitted helminths (STH) on the schoolyard can act as reservoir STH infection for students. The STH contamination on soil due to contamination of human and animal waste which was disposed of inappropriately. This study aimed to determine the presence of STH eggs in the yard's soil of public elementary schools in Bandung city. This research was an analytic observational study with a cross-sectional approach during September 2019. This study's samples were 97 surface soil of the public elementary schoolyard in Bandung city, selected randomly. Microscopic identification is made for identifying the STH contamination on soil samples. STH contaminates about 66% yard's soil of public elementary schools in Bandung city. We identified larva nematode, Ascaris eggs, Trichuris eggs, Toxocara eggs, and Capillaria eggs. The most common STH we had found was larvae nematode (53%). There is a correlation between flood and human STH contamination on soil (p=0.015). We concluded that STH contaminates the yard's soil of the public elementary schools in Bandung city. The source of STH contamination is from human and animal waste. Flood has a role in spreading human waste on the soil. KONTAMINASI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH PADA TANAH PEKARANGAN SEKOLAH DASAR NEGERI KOTA BANDUNGPencemaran tanah oleh soil-transmitted helminth (STH) di halaman sekolah dapat menjadi reservoir penularan STH bagi siswa. Pencemaran ini dapat terjadi akibat pengelolaan kotoran manusia dan hewan yang tidak tepat. Penelitian ini bertujuan mengetahui keberadaan telur STH di tanah pekarangan sekolah dasar negeri di Kota Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional yang dilaksanakan pada bulan September 2019. Sampel penelitian berjumlah 97 tanah permukaan halaman sekolah dasar negeri di Kota Bandung yang dipilih secara acak. Identifikasi mikroskopis dilakukan untuk mengidentifikasi kontaminasi STH pada sampel tanah. Data banjir didapatkan dari wawancara dengan penduduk sekitar. Pencemaran STH terjadi pada 66% sampel. Kami mengidentifikasi larva nematoda, telur Ascaris, telur Trichuris, telur Toxocara, dan telur Capillaria. Jenis STH yang paling banyak ditemukan adalah larva nematoda (53%). Terdapat korelasi antara banjir dan pencemaran STH manusia di tanah (p=0,015). Kami menyimpulkan bahwa tanah pekarangan sekolah dasar negeri di Kota Bandung tercemar STH. Sumber pencemaran STH berasal dari kotoran manusia dan hewan. Banjir berperan dalam menyebarkan kotoran manusia di tanah.
The Resistance of Aedes aegypti to Permethrin 0.25% Insecticide, Malathion 0.8%, and Transfluthrin 25% in the Universitas Islam Bandung Tamansari Campus Ratna Dewi Indi Astuti; Ismawati Ismawati; Listya Hanum Siswanti
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (770.565 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v7i3.3662

Abstract

Massive and long term insecticide use causes resistance of mosquitos to insecticides. This research has a goal for assessing the resistance of Aedes aegypti to the insecticides of permethrin 0.25%, malathion 0.8%, and transfluthrin 25% in the Universitas Islam Bandung Tamansari campus. The Aedes aegypti resistance in the Universitas Islam Bandung Tamansari campus Bandung city to insecticides measured with the susceptibility test in September 2015. The susceptibility test to the permethrin 0.25% and malathion 0.8% insecticides implemented by using WHO standard instruments and methods. The susceptibility test to transfluthrin 25% implemented by using commercial insecticide according to the usage suggestion. The total mosquitos that died after the exposure of permethrin 0.25%, transfluthrin 25%, and malathion 0.8% for 60 minutes were 20%, 23%, and 80%. The WHO criteria state that mosquitos were still susceptible to insecticides if the death rate is 98–100%, tolerant if the death rate is 80–97%, and mosquitos are resistant if the death rate is less than 80%. In conclusion, the Aedes aegypti mosquitos in the Universitas Islam Bandung Tamansari campus are already resistant to the insecticides permethrin 0.25% and transfluthrin 25% and tolerant to malathion 0.8%. RESISTENSI AEDES AEGYPTI TERHADAP INSEKTISIDA PERMETHRIN 0,25%, MALATHION 0,8%, DAN TRANSFLUTHRIN 25% DI KAMPUS UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG TAMANSARIPenggunaan insektisida secara masif dan jangka panjang menimbulkan resistensi nyamuk terhadap insektisida. Penelitian ini bertujuan menilai resistensi resistensi Aedes aegypti terhadap insektisida permethrin 0,25%, malathion 0,8%, dan transfluthrin 25% di kampus Unversitas Islam Bandung Tamansari. Resistensi Aedes aegypti di kampus Unversitas Islam Bandung Tamansari Kota Bandung terhadap insektisida diukur dengan uji kerentanan pada bulan September 2015. Uji kerentanan terhadap insektisida permethrin 0,25% dan malathion 0,8% dilakukan menggunakan alat dan metode uji standar WHO. Uji kerentanan terhadap transfluthrin 25% dilakukan menggunakan insektisida komersial sesuai dengan anjuran penggunaan. Jumlah nyamuk yang mati dalam jangka waktu 60 menit setelah paparan permethrin 0,25%, transfluthrin 25%, dan malathion 0,8% berturut-turut adalah 20%, 23%, dan 80%. Kriteria WHO menyatakan nyamuk dikategorikan masih rentan terhadap insektisida jika tingkat kematiannya 98–100%, toleran jika kematiannya 80–97%, dan resisten apabila jumlah kematian nyamuk kurang dari 80%. Simpulan, nyamuk Aedes aegypti yang terdapat di kampus Universitas Islam Bandung Tamansari telah resisten terhadap insektisida permethrin 0,25% dan transfluthrin 25%, serta toleran terhadap malathion 0,8%.
Karakteristik Tanda Kardinal Penyakit Skabies pada Santri di Pesantren Yara Yuani Putri; Ratna Dewi Indi Astuti; Tryando Bhatara
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 2, No 2 (2020): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v2i2.5716

Abstract

Skabies merupakan suatu penyakit infeksi kulit yang menular. Penyakit ini dapat ditegakkan dengan menemukan dua dari empat tanda kardinal, yaitu gatal pada tempat predileksi terutama di malam hari, mengenai sekelompok orang, terdapat lesi terowongan pada kulit dan ditemukan tungau pada kerokan kulit. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik tanda kardinal penyakit skabies. Penelitian dilakukan di salah satu pesantren di Bandung dari bulan Maret sampai Oktober 2019. Subjek penelitian ini adalah penderita skabies sebanyak 43 orang. Penelitian ini bersifat deskriptif dan data dianalisis dengan analisis univariat. Pemeriksaan terowongan dilakukan dengan burrow ink test dan kerokan lesi dilakukan dengan teknik adhesive tape. Hasil penelitian menggambarkan bahwa papul merupakan morfologi lesi yang paling banyak ditemukan (86%), lokasi lesi terbanyak ditemukan di sela-sela jari (65%), hasil pemeriksaan positif pada burrow ink test sebanyak 14% dan keseluruhan adhesive tape test menunjukkan hasil negatif. Terowongan dan tungau sulit ditemukan pada penderita skabies disebabkan oleh kerusakan kulit karena garukan dan jumlah tungau yang sedikit.CHARACTERISTICS OF CARDINAL SIGNS OF SCABIES IN SANTRI AT ISLAMIC BOARDING SCHOOLSScabies is a contagious skin infection. This disease can be diagnosed by finding two of the four kardinal signs, namely itching at the site of predilection, especially at night, concerning a group of people, the presence of tunnel lesions in the skin and the discovery of mites in skin scrapings. This study aims to determine the characteristics of kardinal signs in scabies. The study was conducted at one pesantren in Bandung from March to October 2019. Subjects in this study were 43 person with scabies. Tunnel checks are performed with a burrow ink test and lesion scrapings are carried out using an adhesive tape technique. The data of this descriptive research are analyzed by univariate analysis. The results showed that papules were the most common lesion morphology (86%), most lesion locations were found between fingers (65.1%), positive examination results on the burrow ink test were 14% and all adhesive tape test showed results negative. Tunnels and mites are difficult to find in people with scabies due to skin damage due to scratching and a small amount of mites.
Systematic Review: Perbandingan Efektivitas Pemberian Terapi Ivermektin dengan Permetrin pada Pengobatan Skabies Rifa Meidina; Ratna Dewi Indi Astuti; Wedi Iskandar
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 3, No 2 (2021): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v3i2.7307

Abstract

Skabies merupakan penyakit kulit oleh tungau Sarcoptes scabiei, penyakit ketiga paling sering di Indonesia. Pengobatan lini pertama yang direkomendasikan adalah krim permetrin 5% dan pengobatan lain menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah ivermektin oral dengan dosis 200 mcg/kgBB, dua dosis 14 hari terpisah. Penelitian ini bertujuan meneliti efektivitas pengobatan ivermektin oral dengan krim permetrin untuk pengobatan skabies. Metode yang digunakan adalah systematic review dengan mengevaluasi artikel publikasi ilmiah dengan desain randomized controlled trial sesuai kriteria inklusi dengan intervensi pemberian permetrin dan pembanding ivermektin serta dilakukan skrining menggunakan kriteria kelayakan. Hasil yang didapat, tiga artikel jurnal mengenai efektivitas ivermektin dan permetrin, yaitu dosis tunggal ivermektin memberikan tingkat kesembuhan pada interval dua minggu. Terapi dua aplikasi permetrin dengan interval satu minggu memiliki nilai efektif yang tinggi pada pasien. Empat jurnal menyatakan bahwa permetrin lebih unggul dalam penatalaksanaan skabies. Permetrin 5% topikal menunjukkan perbaikan lebih cepat pada minggu pertama follow-up. Satu artikel jurnal menyatakan bahwa aplikasi ivermektin sama efektifnya dengan dua aplikasi krim permetrin 2,5% follow-up 2 minggu. Setelah mengulangi pengobatan, ivermektin sama efektifnya dengan krim permetrin 2,5%. Simpulan, pemberian keduanya dapat mengobati skabies. Aplikasi permetrin dua kali dengan interval satu minggu dinilai lebih efektif daripada ivermektin dosis tunggal dan pasien sembuh lebih awal. Dua dosis ivermektin sama efektifnya dengan aplikasi tunggal permetrin. SYSTEMATIC REVIEW: THE EFFECTIVENESS OF THERAPY COMPARISON BETWEEN IVERMECTIN AND PERMETHRIN THERAPY IN SCABIES TREATMENTScabies is a skin disease caused by the mite Sarcoptes scabiei and is the third most common disease in Indonesia. The recommended first-line treatment is 5% permethrin cream, and another treatment according to the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) is oral ivermectin at a dose of 200 mcg/kg body weight, two doses 14 days apart. This study aimed to investigate the effectiveness of oral ivermectin treatment with permethrin cream for scabies treatment. The method used is a systematic review with a randomized control trial research design by the inclusion criteria and screening using the eligibility criteria. The results obtained: three journal articles regarding the effectiveness of ivermectin and permethrin, namely a single dose of ivermectin provided a cure rate at two-week intervals, two applications of permethrin at one-week intervals have a high effectiveness value in patients; four journal articles stated that topical 5% permethrin showed faster improvement in the first week of follow-up; and one journal article state that ivermectin application was as effective as of two applications of 2.5% permethrin cream at two-weeks follow-up. After repeating the treatment, ivermectin is as effective as 2.5% permethrin cream. The conclusion is that giving both can cure scabies. Twice application of permethrin at one-week intervals was considered more effective than single-dose ivermectin, and the patient recovered earlier. Two doses of ivermectin are as effective as a single application of permethrin.
Efek Antibakteri Ekstrak Akuades Buah Kurma (Phoenix dactylifera L.) Varietas Ajwa terhadap Staphylococcus aureus Secara In Vitro Lu'lu Ulul Albab; Usep Abdullah Husin; Buti Azfiani Azhali; Titik Respati; Ratna Dewi Indi Astuti
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 2, No 2 (2020): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v2i2.5769

Abstract

Penemuan antimikrob menjadi hal yang sangat penting dalam pengobatan dan kemajuan medis. Tantangan dalam pengobatan menggunakan antibiotik adalah resistensi bakteri terhadap antibiotik yang digunakan. Salah satu bakteri yang mengalami resistensi adalah Staphylococcus aureus. Oleh karena itu, diteliti alternatif pengobatan dengan menggunakan tumbuhan yang berpotensi memiliki kemampuan antibakteri. Buah kurma varietas Ajwa telah diteliti memiliki beberapa senyawa aktif yang berpotensi sebagai antibakteri dan antioksidan. Kurma Ajwa juga telah disebutkan di dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek antibakteri ekstrak akuades buah kurma Ajwa dengan melihat luas zona hambat serta konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM) pada Staphylococcus aureus. Penelitian ini menggunakan metode ekperimental secara in vitro dan bersifat deskriptif observasional dengan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan adalah metode difusi dengan menggunakan sumuran dan metode dilusi padat. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu Mikrobiologi Poltekkes Bandung. Didapatkan rerata hasil zona hambat adalah 5,87 mm yang termasuk kategori sedang, KHM pada konsentrasi 50%, dan KBM belum dapat ditemukan. Berdasar atas uji statistik, hasil penelitian uji difusi menunjukkan bahwa ekstrak akuades buah kurma (Phoenix dactylifera L.) varietas Ajwa berpengaruh menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. ANTIBACTERIAL EFFECT OF EXTRACT AQUADES AJWA DATE (PHOENIX DACTYLIFERA L.) AGAINST STAPHYLOCOCCUS AUREUS IN VITROThe discovery of antimicrobials has been significantly important for current treatments and the future developments in the medical field. One of the challenges faced in the usage of antibiotics is the resistance imposed by the bacteria towards the antibiotics itself. An example of such bacteria that experiences thisresistance is Staphylococcus aureus. As a result, studies regarding alternatives of treatments, specifically those utilizing various plants that may potentially have antibacterial properties are conducted. Previous studies have already shown that date palms of the Ajwa variety, known as Phoenix dactylifera, contains several active compounds that are potential antioxidants and exhibit antibacterial properties. The Ajwa date palm has also been mentioned in several scriptures of the Al-Quran and Al-Hadits. The objective of this study was to understand the antibacterial properties of aquadest-extracted Phoenix dactylifera through the measurement of the area of the zone of inhibition, the minimum inhibitory concentration (MIC), and the minimum bactericidal concentration (MBC) of Staphylococcus aureus. This study involves the use of an experimental method, known as in vitro, and is also a descriptive observational study with a quantitative approach. The methodology used consists of the well diffusion method and the solid dilution method. This study was conducted at Laboratorium Terpadu Mikrobiologi Poltekkes Bandung. The results of this study show an average zone of inhibition of 5.87 mm which is categorized as medium, a minimum inhibitory concentration of 50%, and a minimum bactericidal concentration that is yet to be found. Based on statistical tests, the result of the diffusion method shows that the aquadest-extracted Phoenix dactylifera is influential in inhibiting the growth of the Staphylococcus aureus bacteria.
Hubungan Lama Pengobatan dan Jenis Obat Antiepilepsi dengan Derajat Depresi pada Pasien Epilepsi Meita Nurfitriani Saefulloh; Ratna Dewi Indi Astuti; Waya Nurruhyuliawati; Yuke Andriane; Miranti Kania Dewi
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 1, No 2 (2019): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v1i2.4344

Abstract

Epilepsi merupakan kelainan otak kronik yang ditandai dengan kecenderungan terjadi bangkitan epileptik. Terapi epilepsi dilakukan dalam jangka waktu yang lama untuk mengurangi kejadian bangkitan sehingga dapat meningkatkan kemungkinan terjadi efek samping di antaranya depresi. Depresi pada pengobatan epilepsi berhubungan dengan jenis obat antiepilepsi dan lama pengobatan. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan lama pengobatan dan jenis obat epilepsi dengan derajat depresi pada pasien epilepsi. Metode penelitian ini merupakan observasi analitik dengan rancangan potong lintang. Subjek penelitian adalah 74 pasien epilepsi di Poli Saraf RSUD Al-Ihsan periode Maret–Mei 2018 yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu pasien yang sudah meminum obat antiepilepsi generasi pertama monoterapi minimal satu bulan. Sampel dipilih secara purposive sampling dan telah mengisi kuesioner Beck Depression Inventory II. Data penelitian dianalisis dengan uji statistik menggunakan Uji Fischer Exact. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah pasien epilepsi yang mengalami depresi derajat minimal paling banyak ditemukan dan tidak terdapat hubungan lama pengobatan dan jenis obat antiepilepsi dengan derajat depresi pada pasien epilepsi. Kejadian depresi pada pasien epilepsi selain dipengaruhi jenis obat dan lama pengobatan juga dipengaruhi oleh keadaan epilepsi (frekuensi kejang dan jenis epilepsi), faktor iatrogenik (obat antiepilepsi), dan faktor psikososial. ASSOCIATION OF DURATION MEDICATION AND TYPES OF ANTI EPILEPTIC DRUGS WITH DEGREE OF DEPRESSION IN PATIENT WITH EPILEPSYEpilepsy is a chronic disorder of brain which characterized episode of epileptic seizures. Duration treatment of epilepsy is in quite long period to reduce the incidence of seizure, this condition can increase the risk of side effects such as depression. Depression in patients with epilepsy is associated with the type of anti-epilepsy drugs and the duration of treatment. This study was to determine the relationship between the duration of treatment and the type of epilepsy drug with the degree of depression in patients with epilepsy. This research was an analytic observation with cross sectional design. Subjects were 74 epileptic patients in the Nerve Outpatient of Al-Ihsan General Hospital in the period March—May 2018 which met the inclusion criteria who had taken anti epileptic drugs first generation monotherapy for at least 1 month. The sample was chosen by purposive sampling and has filled out the Beck Depression Inventory II questionnaire. Research data were analyzed by statistical test using Fischer Exact test. The results in this study patients with epilepsy who has minimal degree of depression is most common and there was no relationship between treatment duration and type of anti-epileptic drugs with degrees of depression in epilepsy patients. The incidence of depression in patients with epilepsy not only caused by the type of drug and duration of treatment but can also caused by epilepsy condition itself (seizure frequency and type of epilepsy), iatrogenic factors (anti-epileptic drugs) and psychosocial factors.
Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Skabies pada Santri di Pesantren Kabupaten Bandung Ryan Majid; Ratna Dewi Indi Astuti; Susan Fitriyana
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 2, No 2 (2020): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v2i2.5590

Abstract

Skabies adalah salah satu penyakit yang masih tinggi di negara berkembang. Di Indonesia, prevalensi penyakit skabies mencapai 6,8%. Faktor risiko penyakit skabies adalah kepadatan hunian, kontak langsung maupun tidak langsung, dan personal hygiene. Personal hygiene menjadi faktor yang memengaruhi kejadian skabies khususnya pada kalangan santri. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara personal hygiene dan kejadian skabies pada santri di salah satu Pondok Pesantren Kabupaten Bandung tahun 2019. Penelitian menggunakan metode analitik observasional pendekatan cross-sectional dengan prosedur dimulai dengan pemeriksaan oleh tim dokter untuk mengecek sampel apakah terkena skabies atau tidak dan memberikan kuesioner tentang personal hygiene yang telah divalidasi. Pada penelitian ini sampel berjumlah 60 responden yang didapatkan dengan metode simple random sampling. Data dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil analisis data menunjukkan personal hygiene belum baik (55%), kejadian skabies yang tinggi (53%), dan terdapat hubungan antara personal hygiene dan kejadian skabies pada santri di salah satu Pondok Pesantren Kabupaten Bandung (p=0,042). Simpulan, personal hygiene adalah salah satu faktor risiko yang dapat berpengaruh terhadap kejadian skabies. THE CORRERATION OF PERSONAL HYGIENE AND SCABIES INCIDENCE ON SANTRI IN PESANTREN BANDUNG DISTRICTScabies is one of the disease which have high prevalence in developing countries. In Indonesia, the prevalence of scabies is up to 6.8%. Risk factors of scabies are dense habitat, direct and indirect contact, and personal hygiene. Personal hygiene is the factor that influence the incidence of scabies in santri. Aim of this study is to determine the correlation between personal hygiene and scabies incidence on santri in one of the Pesantren in Kabupaten Bandung 2019. The study was conducted using descriptive analytic method with cross-sectional approach with the procedure starts from examination to diagnose samples whether the samples are scabies or not and followed by samples filling a validated questionnaire about personal hygiene. Samples were taken with subjects as many as 60 subjects with simple random sampling method. The data were analysed with using chi-square test. The results of data analysis showed that personal hygiene on samples was bad (55%), scabies incidence was high (53%), and there was a correlation between personal hygiene and scabies incidence on santri in one of the Pesantren in Bandung district (p=0.042). In conclusion, personal hygiene is one of the risk factor that can influence the incidence of scabies.
Perilaku Orangtua Siswa Sekolah Dasar Sigaranten Sukabumi dalam Penanganan Infestasi Kutu Kepala Ratna Dewi Indi Astuti; Intan Aulia
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains Vol 1, No 2 (2019): Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29313/jiks.v1i2.4692

Abstract

Anak usia sekolah dasar masih banyak yang terinfestasi kutu kepala (Pediculosis capitis) saat ini. Infestasi kutu kepala ini menimbulkan rasa gatal yang dapat berkembang menjadi infeksi sekunder dan gangguan tidur, belajar, maupun sosial. Beragam upaya pengobatan dilakukan di masyarakat dan hingga saat ini belum ada pedoman tetap dalam menangani infestasi kutu kepala. Penelitian ini bertujuan menganalisis perilaku masyarakat dalam menangani infestasi kutu kepala dan hasil perilaku tersebut yang dilihat dari angka kejadian infestasi kutu kepala. Penyebaran kuesioner mengenai perilaku pengobatan infestasi kutu kepala pada masyarakat dilakukan pada 69 orangtua siswa kelas 5 Sekolah Dasar Negeri Sigaranten Sukabumi pada bulan Juni 2018. Kejadian infestasi kutu kepala pada siswa didapatkan dengan pemeriksaan rambut dan kulit kepala selama 5 menit setelah mendapat persetujuan orangtua siswa. Pada penelitian ini didapatkan 38 siswa yang terinfestasi kutu kepala (55%). Sebagian besar orangtua melakukan pengobatan infestasi kutu kepala pada anaknya dengan cara menyerit (64%). Tidak ada perbedaan bermakna perilaku penanganan infestasi dengan menyerit, menggunakan obat kutu, dan pengambilan kutu manual berupa kejadian infestasi kutu kepala pada siswa (p=0,054). Simpulan, perilaku pengobatan kutu kepala oleh orangtua pada anaknya sebagian besar belum efektif karena 55% siswa masih terinfestasi kutu kepala. BEHAVIOR OF PARENTS OF SUKABUMI SAGARANTEN PRIMARY SCHOOL STUDENTS IN HANDLING HEAD LICE INFESTATIONThere are still many primary school-age children who are infested with head lice (Pediculosis capitis). Head lice infestations cause itching which can develop into secondary infections and sleep, learning and social disorders. There are various efforts for treating head lice infestation in the community and until now there is no guideline treatment for head lice infestations. This study aims to analyze the behavior of people in treating the head lice infestations and the result as seen from the incidence of head lice infestations. The questionnaire regarding the behavior of head lice infestation treatment in the community was carried out on 69 parents of 5th grade students of Sigaranten Sukabumi Elementary School in June 2018. The incidence of head lice infestation in students was obtained by examining hair and scalp for 5 minutes after parents’ approval. In this study 38 students were infected with head lice (55%). The most parents treated head lice infestations by combing (64%). There were no significant differences in behavior of treating head lice by comb, pediculocid, and manual removal to the incidence of head lice infestation in students (p = 0.054). In conclusion, the behavior of head lice treatment by parents to their children is ineffective because 55% of students are still infested with head lice.