Jurnal Mahupiki
Vol 3, No 1 (2014)

KAJIAN YURIDIS PEMBUKTIAN KEJAHATAN MAYANTARA (CYBERCRIME) DALAM LINGKUP TRANSNASIONAL (Studi Putusan)

Evi Lestari (Unknown)
Edi Warman (Unknown)
Rafiqoh Lubis (Unknown)



Article Info

Publish Date
02 Oct 2014

Abstract

ABSTRAK Evi Lestari Situmorang* Kejahatan mayantara (cybercrime) merupakan kejahatan yang terjadi di dunia maya (cyberspace) yang tidak mengenal batas yurisdiksi serta penggunaan internet oleh siapa saja dan kapan saja saja di seluruh dunia. Sehingga dapat digolongkan bahwa kejahatan mayantara (cybercrime) termasuk kejahatan transnasional. Oleh karena sifatnya yang transnasional, pembuktian kejahatan mayantara (cybercrime) juga menjadi hal yang membutuhkan perhatian bagi negara Indonesia dalam rangka penegakan hukum serta menentukan yurisdiksi kejahatan transanasional ini sesuai Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas diangkatlah beberapa permasalahan yaitu: bagaimanakah  eksistensi kejahatan mayantara (cybercrime), bagaimanakah  kejahatan mayantara (cybercrime) dalam hukum pidana positif  di Indonesia, serta bagaimanakah pembuktian kejahatan mayantara (cybercrime) dalam lingkup transnasional. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif  atau penelitian yuridis normatif yaitu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini menitikberatkan pemakaian bahan pustaka dan data sekunder. Data sekunder tersebut terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Pembuktian kejahatan mayantara (cybercrime) dalam lingkup transnasional yang terjadi di Indonesia menggunakan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara Indonesia telah diatur pula di beberapa undang-undang. Munculnya kejahatan mayantara (cybercrime) ini disebabkan oleh faktor kesadaran hukum masyarakat yang kurang, faktor keamanan pelaku dalam melakukan kejahatan, faktor budaya hukum, dan masih kurangnya aparat penegak hukum yang memiliki kemampuan dalam hal cybercrime, serta peraturan perundang-undangan yang belum berlaku secara efektif dalam menanggulangi kejahatan tersebut. Kebijakan penanggulangan kejahatan ini dapat ditempuh dengan pendekatan penal dan non penal. [1] * Penulis, Mahasiswi Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara.

Copyrights © 2014