Claim Missing Document
Check
Articles

Found 37 Documents
Search

PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN (ILLEGAL FISHING) (KAJIAN PUTUSAN NO. Oude putra silalahi; Liza erwina; Rafiqoh lubis
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (87.724 KB)

Abstract

ABSTRAK Indonesia merupakan negara dengan konsep kepulauan dan menjadi salah satu negara yang memiliki kepulauan terbesar dan terbanyak di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas perairan 5,8 juta km2. Kekayaan alam Indonesia ini mengandung potensi yang sangat besar sehingga menjadi ajang tindak pidana illegal fishing oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan praktek IUU Fishing (illegal, unreported, unregulated fishing) di wilayah laut Indonesia ini menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi perekonomian negara. Kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal-kapal penangkap ikan nelayan asing dikhawatirkan akan semakin meningkat dilihat dari se
TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA Adelberd simamora; Abul Khair; Rafiqoh Lubis
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (315.955 KB)

Abstract

ABSTRAK Dalam proses peradilan khususnya persidangan sebagaimana mestinya, hal-hal yang paling krusial dan mendesak adalah dalam proses pembuktian. Asas praduga tidak bersalah harus diutamakan dalam proses peradilan demi menjaga martabat peradilan. Sebab jawaban yang akan ditemukan dalam proses pembuktian peradilan adalah merupakan salah satu hal yang paling pokok dan terutama untuk Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak pidana. Dalam hal ini, posisi hukum pembuktian khususnya mengenai penyadapan, seperti biasanya akan berada dalam posisi yang dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan kompromitis. Di satu pihak, agar hukum selalu dapat mengakui perkembangan zaman dan teknologi, Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis mengangkat jurnal berjudul TINDAKAN PENYADAPAN PADA PROSES PENYIDIKAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Dalam jurnal ini penulis mengemukakan permasalahan bagaimana pengaturan mengenai penyadapan pada proses penyidikan dalam hukum acara pidana di Indonesia dan bagaimana kedudukan dan kekuatan hasil Penyadapan pada proses penyidikan dalam pembuktian perkara pidana. Metode penelitian dalam jurnal ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan penyadapan pada proses penyidikan dalam hukum acara pidana di Indonesia, tidak lepas dari pemanfaatan teknologi informatika dan dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Penyadapan untuk proses penegakan hukum harus memiliki aturan yang jelas. Kedudukan dan kekuatan hasil Penyadapan di dalam proses penyidikan dalam pembuktian perkara pidana di dalam peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan hukum. KUHAP telah memberikan pengecualian terhadap ketentuan hukum acara dalam UU pidana tertentu. Untuk itu sangat diperlukan dasar hukum yang jelas untuk mengatur hal-hal mengenai penyadapan  
PERBEDAAN PERTIMBANGAN HAKIM MENGENAI BENTUK SURAT DAKWAAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Kajian Terhadap Putusan PN No.07/PID.B/TPK/ 2011/PN.JKT.PST, PT No.38/PID/TPK/2011/PT.DKI dan MA No.472 K/Pid.Sus/2012 A.N TERDAKWA SY Sophie Khanda Aulia; Abul Khair; Rafiqoh lubis
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (117.629 KB)

Abstract

Skripsi ini mengkaji perbedaan pertimbangan hakim antara putusan  Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung terhadap tindak pidana korupsi  mengenai bentuk surat dakwaan pada kasus mantan Bupati Langkat, Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin. Permasalahan dari penulisan skripsi ini adalah tentang bagaimana eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi dalam penegakan hukum pidana dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana implikasi dari perbedaan pertimbangan hakim mengenai bentuk surat dakwaan terhadap pemeriksaan tindak pidana korupsi (Kajian terhadap putusan PN No.07/PID.B/TPK/2011/ PN.JKT.PST, PT No.38/PID/TPK/2011/PT.DKI dan MA No.472K/Pid.Sus/2012 A.N Terdakwa Syamsul Arifin). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif.  Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan serta mengkaji putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung A.N terdakwa Syamsul Arifin. Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun kemudian akhirnya dikeluarkan Undang-Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian permasalahan utama yang dibahas adalah mengenai pertimbangan hakim dalam memeriksa bentuk surat dakwaan pada kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan Syamsul Arifin yang telah diperiksa pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri memeriksa surat dakwaan secara alternatif sedangkan Pengadilan Tinggi memeriksa surat dakwaan secara subsidair, Sedangkan putusan Mahkamah Agung menguatkan Putusan Pengadilan Tinggi bahwa bentuk surat dakwaan adalah berbentuk subsidair. Perbedaan pertimbangan hakim mengenai bentuk surat dakwaan tersebut menimbulkan implikasi pada pemeriksaan tindak pidana korupsi, dimana salah satu  implikasinya adalah munculnya yurisprudensi mengenai bentuk surat dakwaan.
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA KAITANNYA DENGAN VISUM ET REPERTUM (Analisis Putusan No.722/Pid.B/2011/PN.Simalungun dan Putusan No.2454/Pid.B/2008/PN.Medan) meilisa bangun; Abul Khair; Rafiqoh lubis
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.6 KB)

Abstract

Skripsi ini berjudul “Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kaitannya dengan Visum Et Repertum”, merupakan tugas akhir Penulis untuk memenuhi syarat-syarat dan tugas dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Metode penelitian  yang digunakan dalam membuat skripsi ini adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu dengan mengkaji atau menganalisis norma hukum berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier agar dapat menjawab setiap permasalahan. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Ruang lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini tidak hanya mencakup pada perempuan saja tapi terhadap anak, orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pihak suami ataupun istri serta orang-orang atau pihak-pihak yang bekerja dalam lingkup rumah tangga. Pembuktian terhadap kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dilakukan dengan hanya mendengarkan keterangan saksi korban, atau dapat juga ditambah dengan alat bukti yang lain. Salah satu cara untuk membuktikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini adalah dengan menggunakan visum et repertum. Visum Et Repertum merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, meskipun mengenai visum et repertum ini tidak diatur secara khusus dalam KUHAP namun visum et repertum ini termasuk dalam kategori alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. Visum et repertum merupakan dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga ini berfungsi sebagai corpus delicti. Permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi adalah mengenai kedudukan visum et repertum dalam pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga selain itu penulis juga menganalisa Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.722/PID.B/2011/PN.Sim dan Putusan Pengadilan Negeri Medan No.2454/Pid.B/2008/PN.Mdn. tentang Putusan hakim masing-masing pengadilan dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga.  
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Maya Novira; Marlina Marlina; Rafiqoh lubis
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.776 KB)

Abstract

Sistem Peradilan Pidanan Anak di Indonesia selama ini dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang mana dalam pelaksanannya tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang masih menempatkan Anak sebagai objek demi tercapainya tujuan Pidana. Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak selama ini hampir tidak memperhatikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana sehingga lebih merugikan Anak Pelaku. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yang tidak mengedepankan perlindungan terhadap Anak dan juga sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan di dalam masyarakat sehingga melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Adapun rumusan permasalahanyang akan dibahas didalam tulisan ini adalah apakah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak pelaku tindak pidana dan bagaimanakah kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di Indonesia dari perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan Library research (penelitian Kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku dan internet yang di nilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah sesuai dengan prinsip perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana baik menurut instrumen hukum nasional maupun internasional, hal ini dapat diketahui dengan dianutnya beberapa asas yang harus dikedepankan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana anak. Kebijakan penanggulangan kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dilakukan dengan sarana penal dan non penal. Sarana penal dilakukan dengan penerapan sistem peradilan pidana yang dimulai dengan proses penyidikan, penuntutan, persidangan, pembinaan lembaga. Sarana non penal dilakukan dengan penerapan upaya Diversi dan Restorative Justice, namun dalam penerapannya sarana non penal juga dilakukan dalam sarana penal.
EKSISTENSI KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No.2762/Pid.B/2009/PN.Mdn, No.152/Pid.B/2011/PN.Kbj, dan No.10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda) Seviola Islaini; Syarifuddin Kalo; Rafiqoh lubis
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.793 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Seviola Islaini* H. Syafrudin Kalo* * Rafiqoh Lubis* * *   Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan upaya ekstra untuk menanganinya. Salah satunya melalui pembuktian, karena pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan pembuktian inilah ditentukan nasib pelaku tindak pidana. Permasalahan yang akan dibahas yaitu mengenai kedudukan dan kekuatan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana serta eksistensi keterangan ahli sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Metode yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu dengan mengkaji atau menganalisis norma hukum berupa bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier agar dapat menjawab setiap permasalahan. Kedudukan keterangan ahli dalam pembuktian perkara pidana merupakan salah satu dari lima alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP. Keterangan ahli dapat diminta pada tahap penyidikan maupun keterangan secara lisan dan langsung di muka sidang pengadilan. Pada pembuktian perkara pidana, keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan nilai pembuktiannya tergantung kepada penilaian hakim. Keberadaan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi tidak bisa diabaikan begitu saja. Keterangan ahli dibutuhkan karena jaksa penuntut umum, penasihat hukum maupun hakim memiliki pengetahuan yang terbatas. Ada kalanya pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi terkait dengan bidang ilmu lain yang tidak dikuasai oleh penegak hukum. Sesuai hasil analisis putusan Pengadilan Negeri No.2762/Pid.B/2009/PN.Mdn, No.152/Pid.B/2011/PN.Kbj, dan No.10/Pid.Tipikor/2012/PN.Smda didapat beberapa jenis keahlian yang diperlukan sebagai keterangan ahli dalam perkara tindak pidana korupsi, antara lain keahlian di bidang auditing terkait dengan salah satu unsur tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan yaitu kerugian negara, keahlian di bidang pemeriksaan fisik pekerjaan bangunan terkait perkara tindak pidana korupsi menyangkut proyek yang diadakan pemerintah yang berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan, serta keahlian di bidang hukum untuk memberikan masukan dan menjadi pegangan bagi hakim dalam memutus perkara.   * Mahasiswi Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara * * Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara * * * Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT IZIN MENGEMUDI (STUDY PUTUSAN NOMOR 600/Pid.B/2009/PN.MDN) Putra Jaya H Manalu; Madiasa Ablisar; Rafiqoh lubis
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.005 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Putra Jaya H. Manalu* Madiasa Ablisar** Rafiqoh Lubis*** Skripsi ini berbicara tentang bagaimana pengaturan tindak pidana pemalsuan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang melihatnya dalam hukum positif di Indonesia, dimana kita tahu bahwa kendaraan bermotor seperti sepeda motor telah menjelma menjadi suatu kebutuhan yang harus dimiliki oleh setiap orang demi menunjang kegiatannya sehari-hari dalam beraktifitas, yang apabila terjadi pemalsuan SIM khususnya pada SIM C yakni SIM untuk jenis kendaraan sepeda motor, kita dapat mengetahuinya pengaturan hukumnya. Dari uraian di atas maka ditarik permasalahan yang mengangkat tentang: -   Bagaimanakah pengaturan tindak pidana pemalsuan SIM? -   Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap pemalsuan SIM di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 600/Pid.B/2009/PN.MDN? Metode penelitian yang di gunakan adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari bagaimana norma-norma hukum. Penelitian ini menggunakan data skunder yang di peroleh dari berbagai literatur dan peraturan yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Di samping itu skripsi ini menganalsis putusan pengadilan negeri Medan yang memutus terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Menyuruh Membuat Surat Palsu dan Mempergunakannya dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Bahwa berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam terjadinya pemalsuan SIM, pengaturan hukum atas tindak pidana pemalsuan tersebut masih memakai KUHP sebagai pengaturan umum dalam Bab XII tentang memalsukan surat-surat, dengan tidak adanya pengaturan secara khusus mengenai tindak pidana pemalsuan SIM. Dan di dalam analisis putusan pengadilan negeri Medan tersebut dinilai terlalu kecil mengingat dengan terbukti dilakukannya tindak pidana pemalsuan surat maka telah menciderai kebenaran akan kepercayaan seseorang tentang keabsahan suatu surat yang nantinya akan memiliki dampak luas seperti ketidakpastian hukum dalam proses tata cara pengeluaran SIM oleh pihak yang berwenang sebagaimana mestinya yang dimana seseorang akan dengan mudah memesan tanpa harus mengikuti uji kesehatan, uji teori maupun uji praktek, lalu menggunakan SIM C palsu di dalam berkendara kendaraan bermotor guna kegiatan sehari-hari.
TINDAK PIDANA PERKOSAAN DARI PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA (Kajian Mengenai Aspek Perlindungan Korban) Susanti Nababan; Abul Khair; Rafiqoh Lubis
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.634 KB)

Abstract

ABSTRAKSI   Susanti Nababan* Abul Khair** Rafiqoh Lubis***   Korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang sangat menderita. Mereka menderita baik secara fisik maupun psikis. Mereka seringkali terabaikan, kalaupun ada perhatian terhadap mereka terkadang itu hanya terbatas pada kepentingan menghadirkan mereka sebagai “saksi” dari tindak pidana perkosaan yang terjadi. Pemenuhan hak-hak pemulihan dan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan masih jauh dari yang diharapkan. Korban tindak pidana perkosaan perlu mendapat perlindungan yang konkret dan tegas. Berdasarkan kenyataan ini, terdapat batasan masalah yang akan dibahas, yaitu apakah hukum positif di Indonesia yang mengatur tindak pidana perkosaan telah memberikan perlindungan kepada korban dan hal-hal apakah yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana menyangkut tindak pidana perkosaan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap korban. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif  , yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan. Hukum Positif yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan belum memberikan perlindungan yang tegas dan konkret terhadap korban tindak pidana perkosaan. KUHP, KUHAP, UU No 13 Tahun 2006 serta UU No 23 Tahun 2004 belum dapat mengakomodir perlindungan korban tindak pidana perkosaan baik dalam rumusannya juga pelaksanaannya. Beberapa hal yang perlu dalam pembaharuan hukum pidana yang menyangkut tentang tindak pidana perkosaan  kaitannya dengan perlindungan korban diantaranya adalah dengan memberikan perlindungan bagi korban dalam proses pemeriksaan dan perumusan tindak pidana perkosaan dengan menghadirkan psikologi pendamping, mengatur secara khusus mengenai pembuktiannya, memperbaiki rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP, dan melakukan pemulihan bagi korban tindak pidana perkosaan.       * Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan ** Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan *** Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PEJABAT YANG MELAKUKAN KESALAHAN PROSEDUR Sahat Lumban Gaol; Syafruddin Kalo; Rafiqoh Lubis
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.959 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Sahat Berkat Lumbangaol[1]* Syafruddin Kalo** Rafiqoh Lubis***   Kesalahan prosedur yang merupakan domein administrasi ternyata dalam praktiknya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini terlihat dari berbagai modus kesalahan prosedur dalam pengadaan barang dan jasa. Sementara itu kesalahan prosedur dianggap sebagai bentuk kebijakan yang dilakukan pejabat negara dalam ruang lingkup hukum administrasi negara, hal ini sebagai konsekuensi dari penggunaan asas diskresi. Akan tetapi karena seringnya pejabat negara yang melakukan kesalahan prosedur dipertanggungjawabkan secara pidana, maka berakibat dari ketidakefektifan dari kinerja pejabat tersebut. Penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 juga untuk menindak pejabat yang melakukan kesalahan prosedur juga memiliki kelemahan. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kesalahan prosedur dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dan bagaimanakah kebiijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana korupsi terhadap  pejabat yang melakukan kesalahan prosedur. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan (library research). Putusan MK No.003/PUU-IV/2006 tidak membatasi pemberlakukan perbuatan melawan hukum secara materil sepanjang dimaknai sebagai penyalahgunaan wewenang. Adapun kebijakan hukum pidananya berupa penggunaan konsep administrative penal law melalui penggunaan asas systematische specialiteit, dan dengan penggunaan unsur pejabat negara yang dengan sengaja, kesalhan prosedur dengan menyalahgunakan wewenang, tidak dalam keadaan darurat dan menyimpang dari tujuan serta membuat undang-undang pengadaan barang dan jasa.   *      Penulis **     Dosen Pembimbing I ***   Dosen Pembimbing II  
PENERAPAN SANKSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (STUDI KASUS PUTUSAN NO 2.235./Pid.B/2012/PN.Mdn.) Ivo Randy; Muhammad Hamdan; Rafiqoh Lubis
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 01 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (255.012 KB)

Abstract

ABSTRAK *) Ivo Randy Sembiring **) M. Hamdan ***) Rafiqoh Lubis Skripsi yang berjudul “Penerapan Sanksi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Kasus Putusan NO 2.235/Pid.B/2012/PN.Mdn.) ini dilatarbelakangi karena Anak sebagai pelaku tindak pidana harus diperlakukan secara manusiawi untuk kepentingan terbaik bagi anak untuk mewujudkan pertumbuhan dan memberikan perkembangan fisik, mental dan sosial.Negara dan Undang-Undang wajib memberikan perlindungan hukum yang berlandaskan hak-hak anak, sehingga diperlukan pemidanaan edukatif terhadap anak.Penjatuhan sanksi merupakan salah satu hal tersulit yang harus dihadapi oleh seorang Hakim dalam mengadili suatu perkara anak yang berhadapan dengan hukum khususnya sanksi yang adil dan layak dijatuhkan kepada seorang anak yang telah melakukan tindak pidana, Apakah berupa hukuman atau tindakan pembinaan. Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimana kebijakan hukum pidana yang mengatur tentang sistem pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana. Faktor-faktor apakah yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana. Bagaimana penerapan sanksi terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dibawah umur (Studi Putusan No. 2.235/Pid.B/2012/PN.Mdn) Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normative, yaitu pendekatan metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dengan adanya hasil wawancara langsung dengan Hakim Anak di Pengadilan Negeri Medan. Setelah selesainya penulisan skripsi ini, penulisa mendapatkan kesimpulan bahwasanya kebijakan hukum pidana yang mengatur tentang sistem pemidanaan terhadap anak pelaku Tindak Pidana Pencurian yaitu kebijakan itu dapat dilihat dari UU No 3 Tahun 1997 Tentang pengadilan anak dan UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Faktor yang menjadi pertimbangan hakim yaitu faktor yuridis dan non yuridis. Dan perenapan di dalam memutuskan tindak pidana penucurian yang dilakukan oleh anak dibawah umur (Studi Putusan No. 2.235/Pid.B/2012/PN.Mdn) tidak hanya melihat dari undang-undang saja akan tetapi hakim melihat dari berbagai aspek-aspek sehingga putusannya tersebut adil dan tidak mementingkan salah satu pihak saja .     Kata Kunci : Anak dibawah umur , Tindak Pidana Pencurian *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU **) Dosen Pembimbing I, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU ***) Dosen Pembimbing II, selaku Staf Pengajar Fakultas Hukum USU