Gadai atau ar-rahn adalah akad utang piutang antara ar-rahin dengan al-murtahin, di mana ar-rahin selaku pihak yang berutang menyerahkan suatu barang sebagai jaminan pelunasan utang yang telah diterimanya (al-marhun bih) kepada al-murtahin. Al-marhun yang berada dalam penguasaan al-murtahin menjadi amanah baginya. Sehingga ia berkewajiban menjaga dan memeliharanya sebagaimana ia menjaga harta bendanya sendiri. Jika barang yang menjadi al-marhun hilang atau rusak dalam penjagaan dan pemeliharaannya, maka ia tidak berkewajiban menggantinya. Dalam Islam, harta benda, tak terkecuali al-marhun yang berada di bawah penguasaan al-murtahin tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan. Kenyataan ini memunculkan masalah hukum. Siapakah yang mesti memanfaatkan al-marhun tersebut.? Ar-rahin selaku pemilik barang ataukah al-murtahin selaku pihak yang menguasai al-marhun? Untuk menjawab masalah hukum tersebut, artikel ini disusun secara sistematis. Metode penulisan yang digunakan adalah studi kepustakaan atau biasa disebut library research, dengan jalan mengumpulkan, menelaah, dan mengkaji berbagai literatur terkait, kemudian disusun dalam sebuah artikel ilmiah. Dari hasil telaah terhadap berbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa ulama’ tidak mencapai kata sepakat tentang pemanfaatan al-marhun, baik oleh ar-rahin sendiri maupun oleh al-murtahin. Menurut jumhur ulama’, ar-rahin selaku pemilik barang tidak dibenarkan memanfaatkan al-marhun. Adapun ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa ar-rahin dibolehkan memanfaatkan al-marhun sepanjang dapat dijamin dalam pemanfaatan tersebut tidak merugikan dan menimbulkan kemudharatan bagi pihak al-murtahin. Sementara pemanfaatan al-marhun oleh al-murtahin menurut pendapat jumhur ulama’ adalah tidak boleh. Berbeda dengan pendapat jumhur, ulama’ Hanabilah menyatakan bahwa jika yang dijadikan sebagai al-marhun adalah binatang, maka al-murtahin dibolehkan memanfaatkan al-marhun tersebut sesuai dengan kadar biaya yang dikeluarkan untuk menafkahi al-marhun.
Copyrights © 2020