Kalimantan dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Di bawah permukaannya, tersimpan berbagai mineral dan hasil tambang bernilai tinggi seperti batubara dan emas. Selain itu, hutan Kalimantan yang lebat menjadi habitat bagi beragam jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kehidupan masyarakat, khususnya suku-suku asli yang tinggal di pedalaman, seperti suku Dayak. Namun, kekayaan ini menarik perhatian berbagai pihak, termasuk para konglomerat yang, atas nama perusahaan dengan izin pemerintah seperti HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri), melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam tersebut. Aktivitas ini telah membawa dampak negatif yang signifikan, baik terhadap ekosistem maupun terhadap kehidupan masyarakat adat di pedalaman Kalimantan. Fenomena ini menjadi fokus dalam karya fiksi Korrie Layun Rampan, khususnya novel Api Awan Asap dan kumpulan cerpen Tarian Gantar, yang menggambarkan kehancuran lingkungan serta penderitaan masyarakat adat akibat keserakahan dalam eksploitasi sumber daya alam. Untuk memahami dan mengkaji karya-karya ini, penelitian ini menggunakan pendekatan teori ekokritik dengan perspektif ekoposkolonialisme, yang berfokus pada konsep ekoimperialisme (ecological imperialism). Kajian ini mengidentifikasi tiga dimensi utama dari ekoimperialisme dalam karya tersebut, yaitu: pandangan dualistik (dualistic thinking) antara masyarakat adat dan konglomerat terhadap lingkungan, biokolonisasi (biocolonization), serta rasisme lingkungan (environmental racism).
Copyrights © 2024