Penelitian ini membahas pergeseran makna mahar dalam tradisi perkawinan adat Mandailing dari perspektif hukum Islam dan nilai sosial. Mahar dalam adat Mandailing awalnya berfungsi sebagai simbol penghormatan dan tanggung jawab calon suami terhadap istri serta keluarganya. Namun, seiring perkembangan zaman, nilai mahar semakin bergeser menjadi alat ukur status sosial yang sering kali membebani pihak laki-laki. Pergeseran ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menekankan kesederhanaan, keikhlasan, dan kemudahan dalam pernikahan. Penelitian ini merupakan metode kualitatif bersifat deskriptif-analitis dengan pendekatan normatif-sosiologis, mengkaji data dari hasil wawancara dengan tokoh adat, tokoh agama, serta literatur terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya mahar sering kali menjadi faktor penghambat pernikahan dan memicu konflik sosial dalam masyarakat. Dalam falsafah Mandailing, hombardo adat dohot ibadat (berdampingan antara adat dan ibadat) menegaskan bahwa adat dan Islam harus berjalan selaras. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara tradisi dan prinsip Islam dalam menentukan mahar. Edukasi masyarakat mengenai esensi mahar dalam Islam menjadi solusi utama untuk mengembalikan makna mahar kepada hakikatnya sebagai bentuk penghormatan, bukan sebagai alat ukur status sosial.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025