Peran ulama dalam politik kontemporer mengalami tantangan serius di tengah era disrupsi yang ditandai oleh krisis etika publik, maraknya disinformasi, dan melemahnya otoritas moral. Di sisi lain, sebagian ulama justru mengambil sikap apolitis atau pragmatis, menjauh dari peran historisnya sebagai penjaga nilai dan penyeimbang kekuasaan. Dalam konteks ini, pemikiran Buya Hamka melalui Tafsir al-Azhar menawarkan paradigma alternatif yang menempatkan ulama sebagai agen etis-politik yang berperan aktif dalam membangun tatanan sosial yang adil dan bermartabat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif dengan metode tafsir tematik (tafs?r al-maw??‘?) untuk menganalisis penafsiran Hamka terhadap QS. Ali ‘Imran: 104, QS. an-Nis?’: 58–59, dan QS. asy-Sy?r?: 38. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Hamka memandang ulama sebagai pemegang amanah kebenaran yang harus hadir dalam ruang publik untuk menegakkan keadilan, mengawasi kekuasaan, dan memfasilitasi musyawarah sebagai prinsip dasar kehidupan politik Islam. Pemikirannya membentuk model keulamaan yang integratif menggabungkan spiritualitas, intelektualitas, dan keterlibatan social yang sangat relevan untuk menjawab krisis kepemimpinan moral di era digital.
Copyrights © 2025