Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Analisis Semiotika Sijagaron Adat Saur Matua Dalam Budaya Batak Toba. Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun. Sebagai tempat penelitian karena di daerah tersebut masih melakukan tradisi sijagaron dalam adat saur matua.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan tentang kajian semiotika sijagaron adat saur matua dalam budaya Batak Toba, maka peneliti menyimpulkan sebagai berikut:Melalui pendekatan analisis semiotika terhadap sijagaron dalam upacara adat saur matua pada masyarakat Batak Toba, dapat disimpulkan bahwa sijagaron memiliki makna simbolik yang sangat kuat dalam struktur sosial dan spiritual masyarakat Batak Toba. Setiap unsur dalam sijagaron baik itu bentuk, susunan, warna, maupun cara penyajiannya mengandung pesan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Perspektif semiotika, sijagaron tidak hanya berfungsi sebagai sajian makanan, tetapi juga sebagai tanda yang merepresentasikan status sosial orang yang meninggal, hubungan kekerabatan, serta penghormatan kepada leluhur dan Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi sijagaron memperlihatkan bagaimana masyarakat Batak Toba menjaga identitas budaya mereka melalui simbol-simbol dalam ritual adat, meskipun mengalami tantangan modernisasi dan globalisasi. Penggunaan teori semiotika menurut Charles Sanders Peirce pada upacara sijagaron saur matua dalam budaya Batak Toba mengandung makna mendalam yang dapat dianalisis melalui ikon tampak pada pakaian adat dan posisi duduk yang mencerminkan struktur sosial, indeks terlihat dari tangisan dan pemberian ulos sebagai tanda kasih, sementara simbol dalam istilah ialah ucapan, dan ritual adat yang dimaknai secara budaya. Upacara ini bukan sekadar seremoni, melainkan cerminan nilai dan identitas Batak
Copyrights © 2024