LEX CRIMEN
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana.
Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Articles
13 Documents
Search results for
, issue
"Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen"
:
13 Documents
clear
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN MENURUT PASAL 351 AYAT (3) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
Rimporok, Rivero Christian
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam tindak pidana penganiayaan dan bagaimana tinjauan yuridis tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian menurut Pasal 351 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,di mana denganmetode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Bentuk-bentuk perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana penganiayaan, antara lain sebagai berikut: a. Penganiayaan biasa (Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), b. Penganiayaan ringan (Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), c. Penganiayaan berencana (Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), d. Penganiayaan berat (Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), e. Penganiayaan berat berencana (Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), f. Penganiayaan terhadap orang-orang tertentu dengan menggunakan benda (Pasal 356 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), g. Penyerangan atau perkelahian (Pasal 358 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). 2. Kajian yuridis mengenai tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian menurut Pasal 351 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan, dimana akibat kematian yang ditimbulkan bukanlah merupakan tujuan dari si pelaku. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 351 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal tersebut memuat hal-hal mengenai penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian. Unsur-unsur dalam pasal tersebut apabila diperhatikan, memiliki kesamaan bentuk pokok sebagaimana Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perbedaan substansial antara Pasal 351 Ayat (3) dengan Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terletak pada akibat yang terjadi. Akibat yang timbul pada penganiayaan biasa menurut Pasal 351 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah rasa sakit atau luka pada tubuh, sedangkan akibat yang timbul pada penganiayaan menurut Pasal 351 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah kematian. Akibat berupa kematian tersebut meskipun demikian, bukanlah yang dituju oleh pelaku. Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, oleh karenanya harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak untuk menimbulkan kematian. Pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 351 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka sanksinya adalah pidana penjara paling lama tujuh tahun.Kata kunci: penganiayaan;
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH KEPALA DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD (STUDI KASUS PUTUSAN No. 92/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst)
Palandeng, Jenifer Pingkan
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kasus posisi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah kabupaten kepulauan talaud dalam putusan nomor 92/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst dn bagaimana putusan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah kabupaten kepulauan talaud dalam putusan nomor 92/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Terdakwa yang merupakan Kepala Daerah Kabupaten terbukti menerima suap dari pihak lain yang notabene merupakan pihak yang menginginkan adanya suatu timbal balik. Berkenaan dengan itu, sebagaimana penerimaan suap yang telah dilakukan oleh Kepala Daerah Kabupaten Talaud, maka perbuatan tersebut merupakan tindak pidana yang masuk dalam ranah korupsi yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut menghantarkan kepala daerah dari Kabupaten Talaud pada akhirnya ditangkap dan diproses hukum. 2. 2. Hakim dalam perkara ini memutuskan untuk mengadili Kepala Daerah Kabupaten Talaud dan menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dan dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sejumlah Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan dan menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa berupa pencabutan hak dipilih dalam pemilihan jabatan publik selama 5 (lima) tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya.Kata kunci: korupsi;
TINDAK PIDANA DI BIDANG PENGELOLAAN SAMPAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH
Bawowo, Juniro
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana di bidang pengeloaan sampah dan bagaimanakah tindak pidana pengelolaan sampah yang dapat dilakukan penyidikan di manadengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Kewenangan penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana di bidang pengeloaan sampah dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan persampahan diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Kewenangan penyidik diantaranya melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan, pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dan meminta keterangan dan bahan bukti dari orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang pengelolaan sampah. 2. Tindak pidana pengelolaan sampah yang dapat dilakukan penyidikan diantaranya perbuatan yang secara melawan hukum memasukkan dan/atau mengimpor sampah rumah tangga dan/atau sampah sejenis sampah rumah tangga atau mengimpor sampah spesifik ke wilayah Negara ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengelola sampah yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan kegiatan pengelolaan sampah dengan tidak memperhatikan norma, standar, prosedur, atau kriteria yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan.Kata kunci: pengelolaan sampah;
KEDUDUKAN PENGAMBILAN SUMPAH DAN KETERANGAN PALSU DALAM PERADILAN PIDANA
Ratu, Josua Hizkia
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan pengambilan sumpah terhadap kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam perkara pidana di Pengadilan dan bagaimana kekuatan hukum sumpah dan keterangan palsu dalam proses pemeriksaan perkara di dalam persidangan pidana di mana dengan merode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1.  Penting pengambilan sumpah terhadap kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam proses peradilan pidana dapat diketahui dari beberapa hal. Seperti dari tujuan dilakukannya sumpah yang diharapkan untuk mendorong saksi agar memberikan keterangan yang sebenarnya (jujur) karena telah dikuatkan dengan sumpah. Kemudian dari sisi keabsahan alat bukti keterangan saksi, karena ketika seorang saksi menolak untuk disumpah maka nilai dari alat bukti keterangan saksi tersebut menjadi tidak sah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, hanya dapat menguatkan keyakinan hakim. 2. Kekuatan hukum sumpah dalam perkara pidana terhadap tindak pidana sumpah palsu dan keterangan palsu, telah dirumuskan pada Pasal 242 KUHP. Salah satu unsurnya menghendaki agar dapat dikatakan suatu tindak pidana keterangan yang disampaikan harus di bawah sumpah. Selain itu supaya dapat dihukum saksi pemberi keterangan harus mengetahu bahwa ia memberi keterangan dengan sadar yang bertentangan dengan kenyataan, serta telah memberikan keterangan palsu dibawah sumpah. Suatu keterangan palsu dapat dikatakan sebagai tindak pidana sumpah palsu apabila pemeriksaan terhadap saksi yang bersangkutan telah selesai dalam memberikan keterangannya.Kata kunci: sumpah; keterangan palsu;
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PIDANA CAMBUK DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Tumbol, Ananda A.
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum terhadap pidana cambuk di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan bagaimana penerapan pidana cambuk di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam perspektif hak asasi manusia, yag mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Berdasarkan muatan pada peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat maka pada Pasal yang mengatur mengenai pelaksanaan uqubat cambuk telah mengalami perombakan sebagaimana terdapat pada Pasal 30. Berdasarkan materi yang tertuang pada Pasal 30 peraturan Gubernur Tahun 2018, tampak jelas bahwa peraturan ini mengalami perubahan dan memindahkan pelaksanaan yang sebelumnya di tempat terbuka tanpa menyebutkan atau membatasi tempat terbuka itu sendiri. kemudian menjadi adanya muatan aturan yang menjelaskan tempat terbuka yang dimaksud, sebagaimana pada ayat 1 yang di jabarkan lebih lanjut pada ayat 3 mengenai tempat terbuka yang dimaksud ialah Lembaga Pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan. Maka dengan ini menegasakan bahwa Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 telah merevisi aturan-aturan sebelumnya mulai dari Qanun Nomor 11 hingga 14 serta juga pada Peraturan Gubernur Nomor 10 tahun 2005 Pasal 4 ayat 1 mengenai uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka yang dapat disaksikan oleh orang banyak dan juga pada Pasal 262 ayat 1 Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat mengenai uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir. 2. Hukuman cambuk di Aceh yang dituduhkan melanggar Hak Asasi Manusia dan tidak manusiawi sebenarnya tidaklah benar sama sekali. Karena pada proses pelaksanaannya sudah sangat memperhatikan keselamatan dan hak-hak terpidana. Rasa sakit yang diderita oleh terpidana dalam hukuman cambuk tidak sampai membuat cedera permanen akan tetapi hanya bersifat sementara. Karena dalam penerapan hukuman cambuk lebih mengedepankan pada efek kejiwaan atau psikis terpidana dari pada efek sakit atau fisik. Adapun pihak-pihak yang mempermasalahkan hukuman cambuk yang dianggap melanggar Hak Asasi Manusia itu tidak paham tentang konsep dan aplikasi syariat Islam di Aceh. Hukuman cambuk yang berlaku di Aceh sudah merujuk pada sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. kemudian dikonkritkan melalui Qanun dengan tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat Aceh dan tetap memperhatikan hal-hal yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu hukuman cambuk merupakan sesuatu yang dibolehkan dalam agama Islam dan juga disetujui oleh Mahkamah Agung Indonesia, jadi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hukuman cambuk melanggar Hak Asasi Manusia.Kata kunci: pidana cambuk;
ANALISIS PENGHENTIAN PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KUHAP
Makarewa, Irene Trinita
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bpakah dasar atau alasan penyidik melakukan penghentian penyidikan dan penentuan dalam perkara pidana dan apa saja Akibat Hukum dari penghentian penyidikan dan penuntutan suatu perkara pidana, di mana metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Dasar atau alasan penyidik untuk menghentikan penyidikan suatu perkara pidana adalah tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana, dan penyidikan dihentikan demi hukum. Sedangkan dasar atau alasan penuntut umum untuk menghentikan penuntutan suatu perkara pidana adalah tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana, perkara ditutup demi hukum. 2. Akibat hukum atas penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yaitu dapat dipraperadilan atau dimohonkan pemeriksaan pra peradilan, apabila ternyata terbukti bahwa penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan itu dalam putusan hakim menetapkannya tidak sah, maka penyidikan dan atau penuntutan harus dilanjutkan. Sebaliknya dalam hal putusan hakim menetapkan bahwa penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka dalam putusannya pun akan dicantumkan rehabilitasi terhadap nama baik tersangka.Kata kunci: penghentian penyidikan; penuntutan;
TINDAK PIDANA OLEH PELAKU USAHA PERKEBUNAN YANG MEMBUKA DAN/ATAUMENGOLAH LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR
Kezia, Walean Lerry
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah terjadinya tindak pidana oleh pelaku usaha perkebunan yang membuka atau mengolah lahan dengan cara membakar dan bagaimanakah pemberlakuan sanksi pidana terhadap pelaku usaha perkebunan yang membuka atau mengolah lahan dengan cara membakar yang mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Tindak pidana oleh pelaku usaha perkebunan yang membuka atau mengolah lahan dengan cara membakar merupakan perbuatan yang melanggar larangan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan. Pasal 56 ayat (1) Setiap Pelaku Usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar. Apabila terjadi perbuatan membuka atau mengolah lahan dengan cara membakar maka akan merugikan negara dan masyarakat padahal perkebunan berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. 2. Pemberlakuan sanksi pidana terhadap pelaku usaha perkebunan yang membuka atau mengolah lahan dengan cara membakar dapat dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak banyak Rp10.000.000.000. 00 (sepuluh miliar rupiah). Dalam hal perbuatan dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal Pasal 113 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, bagi korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing pasal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 113.Kata kunci: membakar; perkebunan;
EKSISTENSI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN ANAK MENJALANI PIDANA
Rambing, Rosita Meici
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaksanaan pendidikan bagi narapidana anak dan bagaimana hambatan-hambatan dalam pembinaan terhadap narapidana anak di lembaga pemasyarakatan anak di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. 1. Sebagai pejabat fungsional penegak hukum, Petugas Pemasyarakatan terikat untuk menegakkan integritas profesi dalam pelaksanaan misi Pemasyarakatan. Program Pembinaan Kepribadian Yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara, kemampuan intelektual, kesadaran hukum, mengintegrasikan diri dengan masyarakat. Pembinaan kepribadian di lembaga pemasyarakatan anak terbagi atas 3 bagian yakni :1.Pendidikan Keagamaan (diisi oleh rohaniawan baik Islam, Kristen, Hindu dan Budha) 2. Pendidikan Umum 3. Pembinaan kepramukaan yang bertujuan membentuk watak dan jiwa yang sportif serta bertanggung jawab dalam diri anak pidana sehingga nantinya setelah mereka keluar dari lembaga pemasyarakatan anak dapat diterima kembali di masyarakat. 2. Hambatan atau kendala yang dihadapi lembaga pemasyarakatan dalam melaksanakan pembinaan narapidana adalah sebagai berikut: a. bahwa strategi pemasyarakatan berlandaskan proses pemasyarakatan sebagai metoda kerjanya belum sepenuhnya dapat menunjang ke arah tercapainya tujuan resosialisasi narapidana; b. bahwa strategi pemasyarakatan pada dewasa ini masih belum memasyarakat dan belum melembaga di kalangan aparat penegak hukum ; hal mana sering menimbulkan kesimpangsiuran dan penafsiran yang keliru atas strategi pemasyarakatan di dalam usaha menanggulangi kejahatan; c. strategi pemasyarakatan pada dewasa ini dinilai terlalu menitikberatkan pada usaha-usaha reformatif tanpa mempertimbangkan usaha-usaha penjeraannya sehingga dengan demikian dianggap mengandung kelemahan-kelemahan berarti didalam rangka penegakan hukum di Indonesia.Kata kunci: lembaga pemasyarakatan; anak;
SANKSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNAAN SURAT PALSU MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
Lombogia, Milenia
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana Pembuktian Dalam Tindak Pidana Pemalsuan Surat dan bagaimanakah Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggunaan Surat Palsu Menurut KUHP di mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Pembuktian dalam tindak pidana pemalsuan surat merupakan hal yang sangat penting, mengingat bahwa hakim dalam memutus perkara harus didukung dengan alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP minimal 2 alat bukti dari 5 alat bukti yaitu Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Dalam hal pembuktian penanganan kasus pemalsuan dan penggunaan surat palsu diperlukan surat pembanding yang dipalsukan haruslah dibuktikan terlebih dahulu di Laboratorium Kriminalistik seperti tanda tangan yang dipalsu untuk memenuhi unsur-unsur dasar untuk disimpulan yang tidak sesuai dengan yang asli. 2. 2. Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana pemalsuan dan penggunaan surat palsu secara substansi telah diatur dalam Pasal 263 KUHP. Dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP telah tercantum unsur-unsurnya. Dengan telah terpenuhinya dan terbukti secara sah dan meyakinkan semua unsur pokok pidana, maka Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana Pemalsuan Surat dan Menggunakan Surat Palsu, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2), kepada pelaku dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun. Dalam pemberian sanksi, yang dihukum menurut pasal ini tidak saja “memalsukan†surat (ayat (1)), tetapi juga, “sengaja mempergunakan†surat palsu (ayat (2). Kata “sengaja†maksudnya, bahwa orang yang mempergunakan itu harus mengetahui benarbenar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu.Kata kunci: surat palsu;
IMPLEMENTASI PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM PENUNTUTAN BERDASARKAN PERATURAN KEJAKSAAN NOMOR 15 TAHUN 2020
Wakkary, Reynaldi Sinyo
LEX CRIMEN Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan Restorative Justice dalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 dan bagaimana implementasi Restorative Justice dalam penuntutan dari Kejaksaan Republik Indonesia yang mana dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Dengan berlakunya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, maka harus adanya pemulihan kembali dalam hal ini kedua belah pihak sudah mencapai kesepakatan untuk berdamai. 2. Restorative justice dapat diterapkan dalam sistem penuntutan karena tujuan pemidanaan bukan saja untuk menghukum seseorang tapi dapat tercapainya keadilan bagi seluruh pihak, sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan dan dapat terwjudnya pemulihan kembali.Kata kunci: penuntutan; kejaksaan; restorative justice;