Borneo Law Review Journal			
            
            
            
            
            
            
            
            Jurnal Borneo Law Review is the Journal of Legal Studies that focuses on law science. The scopes of this journal are: Constitutional Law, Criminal Law, Civil Law, Islamic Law, Environmental Law, Human Rights and International Law. All of focus and scope are in accordance with the principle of Borneo Law Review.
            
            
         
        
            Articles 
                10 Documents
            
            
                            
                
                    Search results for 
                     
                     
                     
                    , issue 
"Volume 1, No 2 Desember 2017" 
                    
                    : 
10 Documents 
                    
clear       
                 
                        
            
                                                        
                        
                            PENYELESAIAN PERKARA DELIK ADUAN DENGAN PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE 
                        
                        Arafat, Yasser                        
                         Borneo Law Review Journal Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                            |
                                
                                
                                    Full PDF (882.733 KB)
                                
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.714                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Hukum pidana tidak hanya memiliki dimensi publik, tetapi juga dimensi privat. Keberadaan delik aduan menjadi salah satu buktinya. Delik aduan pada dasarnya merupakan tindak pidana yang bersifat privat dan penuntutan terhadap delik aduan harus berdasarkan pada pertimbangan dari pihak korban. Berbeda dengan delik biasa sebagai tindak pidana yang dianggap mengganggu kepentingan masyarakat umum sehingga negara menjadi pihak yang menentukan penuntutan terhadap pelaku. Perbedaan inilah yang membuat proses penyelesaian perkara delik biasa dan aduan seharusnya bisa berbeda. Delik biasa yang mengganggu kepentingan masyarakat umum diselesaikan dengan proses peradilan dan berakhir dengan sanksi pidana. Namun delik aduan, seharusnya bisa menggunakan pendekatan alternatif dalam penyelesaiannya yaitu dengan pendekatan restorative justice. Restorative Justice merupakan penyelesaian perkara pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan berfokus pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Pendekatan restorative justice juga sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan praktek yang selama ini berlaku di dalam hukum adat dimana menyelesaikan segala permasalahan antar anggota masyarakat dengan musyawarah. Dengan pendekatan restorative justice, penyelesaian perkara delik aduan yang selama ini selalu menggunakan pendekatan retributive (pembalasan) bisa bergeser menjadi pendekatan restorative (pemulihan). Pendekatan restorative justice diharapkan bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama di pihak korban.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            KEPASTIAN HUKUM PERKAWINAN ANTAR AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA 
                        
                        Erwinsyahbana, Tengku; 
Ramlan, Ramlan                        
                         Borneo Law Review Journal Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                            |
                                
                                
                                    Full PDF (736.483 KB)
                                
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.715                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
The dominance of religious influence in the field of marriage law is inevitable, for marriage is also a worship that the Lord commands the human race. The religious rules governing marriage can not be ruled out by anyone who wants to carry out their marriage, but there is a tendency that religious values or precepts are neglected, on the grounds of human rights, whereas based on the 1945 Constitution and Law no. 39 of 1999, that in certain cases the exercise of human rights can be limited by religious values. Given that interfaith marriages are forbidden by religion (Islam), then interfaith marriage on the grounds of human rights, can not be justified. An important paradigm that also needs to be straightened out that marriage is not included as a human right, because it is the right to form a family that includes human rights, the way it is done through legitimate marriages, that is legitimate according to religion and state law
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI BERDASARKAN UU KETENAGAKERJAAN 
                        
                        Shahnaz, Liza; 
Nurzamzam, Nurzamzam                        
                         Borneo Law Review Journal Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                            |
                                
                                
                                    Full PDF (671.826 KB)
                                
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.716                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Konstitusi Indonesia menjamin hak warga negara Indonesia (WNI) untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945. WNI juga berhak mencari pekerjaan dimana saja sesuai keinginannya. Hak ini menimbulkan migrasi WNI ke luar negeri, khususnya ke Negara tetangga, Malaysia. Sayangnya, banyak masalah timbul ketika mereka sampai di Malaysia yang kemudian mengakibatkan banyak WNI yang harus dideportasi ke daerah perbatasan Nunukan Kalimantan Utara. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak warga Negara Indonesia yang dideportasi di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara. Secara spesifik, tujuannya adalah: (1) Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum warga negara Indonesia yang dideportasi berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Penelitian ini adalah penelitian hukum maka pendekatan masalah yang digunakan adalah metode pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (cases approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan cara menelaah undang-undang dan regulasi yang masih berlaku khususnya di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara yang terlibat dengan isu hukum. Pendekatan ini digunakan untuk menginventarisir dan menganalisis instrumen hukum nasional Indonesia mengenai hak-hak warga negara Indonesia, terutama hak-hak warga negara Indonesia yang dideportasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan kelak mampu memberikan masukan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan strategi perlindungan bagi deportan di wilayah perbatasan Indonesia.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN GADAI TANAH MENURUT KETENTUAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG NO.56 Prp TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN 
                        
                        Nurzamzam, Nurzamzam                        
                         Borneo Law Review Journal Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                            |
                                
                                
                                    Full PDF (731.234 KB)
                                
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.717                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Sulitnya Memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga menjadi salahsatu penyebab gadai lahan pertanian di masyarakat terjadi. Masyarakat menggadaikan tanah yang mereka miliki seperti tanah garapan atau pertanian kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang sebagai gantinya, ini adalah bentuk suatu kesederhanaan, kepraktisan, ekonomis dan bentuk kekeluargaan tanpa adanya aturan-aturan formal yang mempersulit mereka yang belum mengenal arti akan hukum positif kita. Gadai ini akan terus berlanjut tanpa batas waktu tertentu sampai kemudian pihak penggadai membayar utangnya kepada penerima gadai. Namun disisi lain Pengaturan perihal gadai tanah secara khusus telah diatur dalam Undang-Undang Perpu Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Pertanian, Dalam Pasal 7 dinyatakan ?barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sesudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran. Aturan ini secara umum tidak diketahui oleh masyarakat bahkan pemerintah itu setempat.mereka menganggap bahwa gadai tanah pertanian yang terjadi dimasyarakat benar dan telah menjadi hukum norma kebiasaan dalam masyarakat
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            HAK KONSTITUSIONAL PARTAI POLITIK DALAM PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PADA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019 
                        
                        Asdhie Kodiyat MS, Benito                        
                         Borneo Law Review Journal Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                            |
                                
                                
                                    Full PDF (848.335 KB)
                                
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.713                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
After the decision of Constitutional Court Number: 14/PUU-XI/2013 the judicial riview of the law number 42 of 2008 on presidential and vice presidential elections has no binding legal force and the implementation of legislative and presidential election and vice president are held simultaneously, which then led to a long debate in the Legislative Assembly. The debate concerns the threshold of nomination of President and Vice President in 2019. In the meetings of the people?s representative council, the proposed 20 percent presidential and vice presidential nomination threshold has been ratified aince the enactment of the new electoral law, namely law number 7 of 2017 about general election. The problem is, how to calculate the threshold of presidential and vice presidential nominations for new political parties of 2019 election participants who do not yet have a valid national vote, whereas the political parties participating in 2019 general election have the same constitutional rights in proposing the presidential and vice presidential nominees, the constitutional right of the new political party is inevitavly unenforceable and the right to nominate a presidential and vice presidential candidate must be ignored, whereas granting constitutional rights to new political parties of election participants will strengthen the presidential system adopted in Indonesia and will offer many political options for the Indonesian people who reflecting a healthy election process.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            HAK KONSTITUSIONAL PARTAI POLITIK DALAM PENGUSULAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PADA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2019 
                        
                        Benito Asdhie Kodiyat MS                        
                         Borneo Law Review Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.713                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
After the decision of Constitutional Court Number: 14/PUU-XI/2013 the judicial riview of the law number 42 of 2008 on presidential and vice presidential elections has no binding legal force and the implementation of legislative and presidential election and vice president are held simultaneously, which then led to a long debate in the Legislative Assembly. The debate concerns the threshold of nomination of President and Vice President in 2019. In the meetings of the people’s representative council, the proposed 20 percent presidential and vice presidential nomination threshold has been ratified aince the enactment of the new electoral law, namely law number 7 of 2017 about general election. The problem is, how to calculate the threshold of presidential and vice presidential nominations for new political parties of 2019 election participants who do not yet have a valid national vote, whereas the political parties participating in 2019 general election have the same constitutional rights in proposing the presidential and vice presidential nominees, the constitutional right of the new political party is inevitavly unenforceable and the right to nominate a presidential and vice presidential candidate must be ignored, whereas granting constitutional rights to new political parties of election participants will strengthen the presidential system adopted in Indonesia and will offer many political options for the Indonesian people who reflecting a healthy election process.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            PENYELESAIAN PERKARA DELIK ADUAN DENGAN PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE 
                        
                        Yasser Arafat                        
                         Borneo Law Review Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.714                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Hukum pidana tidak hanya memiliki dimensi publik, tetapi juga dimensi privat. Keberadaan delik aduan menjadi salah satu buktinya. Delik aduan pada dasarnya merupakan tindak pidana yang bersifat privat dan penuntutan terhadap delik aduan harus berdasarkan pada pertimbangan dari pihak korban. Berbeda dengan delik biasa sebagai tindak pidana yang dianggap mengganggu kepentingan masyarakat umum sehingga negara menjadi pihak yang menentukan penuntutan terhadap pelaku. Perbedaan inilah yang membuat proses penyelesaian perkara delik biasa dan aduan seharusnya bisa berbeda. Delik biasa yang mengganggu kepentingan masyarakat umum diselesaikan dengan proses peradilan dan berakhir dengan sanksi pidana. Namun delik aduan, seharusnya bisa menggunakan pendekatan alternatif dalam penyelesaiannya yaitu dengan pendekatan restorative justice. Restorative Justice merupakan penyelesaian perkara pidana yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan berfokus pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Pendekatan restorative justice juga sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan praktek yang selama ini berlaku di dalam hukum adat dimana menyelesaikan segala permasalahan antar anggota masyarakat dengan musyawarah. Dengan pendekatan restorative justice, penyelesaian perkara delik aduan yang selama ini selalu menggunakan pendekatan retributive (pembalasan) bisa bergeser menjadi pendekatan restorative (pemulihan). Pendekatan restorative justice diharapkan bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama di pihak korban.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            KEPASTIAN HUKUM PERKAWINAN ANTAR AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA 
                        
                        Tengku Erwinsyahbana; 
Ramlan Ramlan                        
                         Borneo Law Review Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.715                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
The dominance of religious influence in the field of marriage law is inevitable, for marriage is also a worship that the Lord commands the human race. The religious rules governing marriage can not be ruled out by anyone who wants to carry out their marriage, but there is a tendency that religious values or precepts are neglected, on the grounds of human rights, whereas based on the 1945 Constitution and Law no. 39 of 1999, that in certain cases the exercise of human rights can be limited by religious values. Given that interfaith marriages are forbidden by religion (Islam), then interfaith marriage on the grounds of human rights, can not be justified. An important paradigm that also needs to be straightened out that marriage is not included as a human right, because it is the right to form a family that includes human rights, the way it is done through legitimate marriages, that is legitimate according to religion and state law
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIDEPORTASI BERDASARKAN UU KETENAGAKERJAAN 
                        
                        Liza Shahnaz; 
Nurzamzam Nurzamzam                        
                         Borneo Law Review Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.716                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Konstitusi Indonesia menjamin hak warga negara Indonesia (WNI) untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945. WNI juga berhak mencari pekerjaan dimana saja sesuai keinginannya. Hak ini menimbulkan migrasi WNI ke luar negeri, khususnya ke Negara tetangga, Malaysia. Sayangnya, banyak masalah timbul ketika mereka sampai di Malaysia yang kemudian mengakibatkan banyak WNI yang harus dideportasi ke daerah perbatasan Nunukan Kalimantan Utara. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak warga Negara Indonesia yang dideportasi di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara. Secara spesifik, tujuannya adalah: (1) Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum warga negara Indonesia yang dideportasi berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Penelitian ini adalah penelitian hukum maka pendekatan masalah yang digunakan adalah metode pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (cases approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan cara menelaah undang-undang dan regulasi yang masih berlaku khususnya di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara yang terlibat dengan isu hukum. Pendekatan ini digunakan untuk menginventarisir dan menganalisis instrumen hukum nasional Indonesia mengenai hak-hak warga negara Indonesia, terutama hak-hak warga negara Indonesia yang dideportasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan kelak mampu memberikan masukan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan strategi perlindungan bagi deportan di wilayah perbatasan Indonesia.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN GADAI TANAH MENURUT KETENTUAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG NO.56 Prp TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN 
                        
                        Nurzamzam Nurzamzam                        
                         Borneo Law Review Volume 1, No 2 Desember 2017 
                        
                        Publisher : Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.35334/bolrev.v1i2.717                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Sulitnya Memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga menjadi salahsatu penyebab gadai lahan pertanian di masyarakat terjadi. Masyarakat menggadaikan tanah yang mereka miliki seperti tanah garapan atau pertanian kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang sebagai gantinya, ini adalah bentuk suatu kesederhanaan, kepraktisan, ekonomis dan bentuk kekeluargaan tanpa adanya aturan-aturan formal yang mempersulit mereka yang belum mengenal arti akan hukum positif kita. Gadai ini akan terus berlanjut tanpa batas waktu tertentu sampai kemudian pihak penggadai membayar utangnya kepada penerima gadai. Namun disisi lain Pengaturan perihal gadai tanah secara khusus telah diatur dalam Undang-Undang Perpu Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Pertanian, Dalam Pasal 7 dinyatakan “barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sesudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran. Aturan ini secara umum tidak diketahui oleh masyarakat bahkan pemerintah itu setempat.mereka menganggap bahwa gadai tanah pertanian yang terjadi dimasyarakat benar dan telah menjadi hukum norma kebiasaan dalam masyarakat