cover
Contact Name
Ihdi Karim Makinara
Contact Email
Ihdi Karim Makinara
Phone
+6282304008070
Journal Mail Official
mediasyariah@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
Media Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial
ISSN : 14112353     EISSN : 25795090     DOI : http://dx.doi.org/10.22373/jms
This journal focused on Islamic Law Studies and present developments through the publication of articles, research reports, and book reviews. SCOPE Ahkam specializes on Islamic law, and is intended to communicate original research and current issues on the subject. This journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 24, No 1 (2022)" : 11 Documents clear
Characteristics of Distinguishing Elements in the Case of Default and Fraud in Contracts Eko Rial Nugroho
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.11050

Abstract

The concept of agreement is a civil relationship regulated in the Burgerlijk Wetboek (B.W.), or the Civil Code (KUHPerdata). If the person who promises does not fulfill it, based on Article 1365 of the Civil Code, the person is said to have committed a default or breach of the promise. People who do not meet the agreed agreements are reported to the police because the reporting party feels the action is fraudulent. The reporter has handed over the goods and/or money to the person reported. This condition identifies a legal issue when someone breaches an agreement and is deemed to have committed a default, which requires a civil settlement, or when someone is deemed to have committed fraud, which requires a criminal settlement. This article discusses the characteristics of the distinguishing element in cases of default and fraud in positive law and Islamic law in Indonesia. The qualitative approach chosen in this study aims to make the processing and analysis of data deeply understandable for the problems studied. The results showed that the characteristics of the distinguishing element in the case of default and fraud on a contract were in the existence of good faith or not in the agreement/contract. The distinguishing character of default in civil law and Islamic law is related to the element of subpoena statement (reprimand), while the distinguishing character of fraud in criminal law and Islamic law is in the matter of the purpose of sanctions, namely the benefit of the people.Konsep perjanjian merupakan hubungan keperdataan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.), atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan dalam kontrak/perjanjian, maka berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji. Namun, di dalam praktek sehari hari di kehidupan masyarakat, ada orang-orang yang dilaporkan ke Polisi karena tidak memenuhi janji yang telah yang telah disepakati di dalam perjanjian tersebut. Secara umumnya, pihak pelapor merasa bahwa orang yang tidak memenuhi janji yang sudah disepakati tersebut telah melakukan tindakan penipuan terhadap pelapor karena janji yang sudah disepakati dan harus dilaksanakan ternyata tidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang dan/atau uang kepada orang tersebut. Kondisi ini menimbulkan permasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi suatu perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya harus dilakukan secara perdata, dan kapan orang tersebut dapat dikatakan telah melakukan penipuan yang penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah karakteristik unsur pembeda perkara wanprestasi dengan penipuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang dalam pengolahan dan analisa data dengan pemahaman mendalam dengan mengkaji masalah yang diteliti. Peneliti menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan menggunakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau metode pendekatan hukum doktrinal yaitu teori-teori hukum dan pendapat para ahli khususnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Hasil Penelitian bahwa Penilaian suatu wanprestasi termasuk sebagai penipuan atau masalah keperdetaan harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas itikad buruk/tidak baik atau tidak.
Distribution of Zakat fi Sabilillah for the Tahfiz Program at the Baitul Mal Board in Aceh in the Perception of Ulama Dayah Burhanuddin Abd. Gani; Zaiyad Zubaidi
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.10500

Abstract

Fi sabilillah in the Fiqh conception, its meaning is interpreted as people fighting in defense of religion. For this meaning, Ulama (Islamic scholars) clung to distributing zakat fi sabilillah to the mustahiq as guided by the meaning of the text contained in the fiqh books. But in practice, Baitul Mal in Aceh distributes zakat fi sabilillah for the tahfiz Qur'an program. Therefore, based on the issue’s description, it is necessary to conduct a more comprehensive study to determine the legal basis of Baitul Mal in Aceh for channeling zakat fi sabilillah for the Tahfiz Qur'an Program, how the program is realized, and how Ulama Dayah perceive the practice. This research employed qualitative methods in the form of field studies using a conceptual approach. Based on the results of the study, it was found that Baitul Mal in Aceh in giving zakat fi sabilillah for the Tahfiz Qur'an Program already refers to the provisions in the Qur'an and also other rules stipulated in the provisions of the Qanun Baitul Mal, which was then the program realized through the distribution of scholarships to students in the form of a tahfiz program. In addressing this issue, Ulama Dayah do not deny the distribution of zakat fi sabilillah for the tahfiz Qur’an program, although conceptually the interpretation of the meaning of zakat fi sabilillah can only be given to those who fight in defense of religion. Their view is based on the existence of the values of benefit contained in Baitul Mal’s practice.Fi sabilillah dalam konsepsi fikih, ditafsirkan maknanya dengan orang berperang membela agama. Atas makna inilah kemudian para ulama berpegang dalam menyalurkan zakat fi sabilillah kepada para mustahiq sebagaimana petunjuk dari makna teks yang tertera dalam kitab-kitab fikih. Namun praktiknya, Baitul Mal di Aceh menyalurkan zakat fi sabilillah untuk program tahfiz al-Qur`an. Maka atas dasar deskripsi permasalah tersebut perlu adanya kajian lebih komprehensif sehingga diketahui apa dasar hukum Baitul Mal di Aceh menyalurkan zakat fi sabilillah untuk Program Tahfiz al-Qur`an, bagaimana realisasi programnya dan bagaimana persepsi ulama dayah terhadap praktik tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam bentuk kajian lapangan dengan menggunakan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa Baitul Mal di Aceh dalammenyalurkan zakat fi sabilillah untuk Program Tahfiz al-Qur`an sudah mengacu pada ketentuan yang ada baik dalam al-Qur`an dan juga aturan lain yang diatur dalam ketentuan Qanun Baitul Mal yang kemudian programnya direalisasikan melalui penyaluran beasiswa kepada santri dalam bentuk program tahfiz. Para ulama dayah, dalam menyikapi persoalan ini tidak menolak penyaluran zakat fi sabilillah untuk program tahfiz al-Qur`an, meskipun secara konsep penafsiran makna fi sabilillah hanya dapat diberikan kepada orang yang berperang membela agama. Pandangan mereka ini didasarkan pada adanya nilai-nilai kemaslahatan yang terkandung dalam praktek Baitul Mal tersebut.
Rokat Tase’ in Review of Maqashid Syariah Perspective of Muhammad Thahir Ibnu Asyur: Case Study of Madura Island Moh. Hamzah
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.12729

Abstract

Local wisdom embedded in a community group, of course, will become an inseparable part of life, one of which is the rokat tase’ tradition which is routinely carried out by several coastal communities. Therefore, this article will examine and analyze in depth the rokat tase' tradition with maqashid sharia from Imam Muhammad Thahir Ibn Ashur. This article, which is essentially an empirical legal research, will comprehensively use the maqashid sharia approach and qualitative descriptive methods. The result of this research is that in the first concept in his thought, Ibn Ashur distinguishes maqāṣid ash-syarīʻah into maqāṣid ash-syarah al-ʻāmah and maqāṣid ash-syarīʻah al-khāṣṣah bianwāʻ al-muʻāmalāt. Furthermore, he describes the rationale in determining maqasid, namely with fitrah, maslahah, and ta'lil. Finally, he explains the operationalization of maqasid theory in three ways, namely through al Maqam, Istiqra' and distinguishing between wasail and maqasid. In addition, after being studied in depth and competently through maqashid sharia with Ibn Asyur's thoughts on the implementation of the rokat tase' tradition in Madura in particular, presumably in this tradition it contains values that are quite large. Among other things are the achievement of the problems of the people through the establishment of Islam in the tradition, the realization of good social benefits among others, the maintenance of the welfare of the community in avoiding future dangers and the realization of the economic development of the people through the implementation of the existing rokat tase' tradition. Thus, for the considerable benefit in it, this tradition deserves to be maintained and preserved properly and correctly. Kearifan lokal yang tertanam di dalam suatu kelompok masyarakat, tentunya akan menjadi bagian hidup yang tidak dapat terpisahkan. Salah satunya seperti tradisi rokat tase’ yang rutin dilaksanakan oleh beberapa masyarakat di pesisir pantai. Oleh karena itu, artikel ini akan mengkaji dan menganalisis secara mendalam tradisi rokat tase’ dengan maqashid syariah dari Imam Muhammad Thahir Ibnu Ashur. Artikel yang pada esensinya merupakan penelitian hukum empiris ini, secara komprehensif akan menggunakan pendekatan maqashid syariah dan metode deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah pada konsep pertama dalam pemikirannya, Ibnu Ashur membedakan maqāṣid asy-syarīʻah menjadi maqāṣid asysyarīʻah al-ʻāmah dan maqāṣid asy-syarīʻah al-khāṣṣah bianwāʻ al-muʻāmalāt. Selanjutnya ia menguraikan dasar pemikiran dalam menetapkan maqasid yaitu dengan fitrah, maslahah, dan ta’lil. Terakhir ia menjelaskan operasionalisasi teori maqasid dengan tiga cara yaitu melalui al Maqam, Istiqra’ serta membedakan antara wasail dan maqasid. Selain itu, setelah dikaji secara mendalam dan kompeten melaui maqashid syariah dengan pemikirannya Ibnu Asyur terhadap pelaksanaan tradisi rokat tase’ di Madura khususnya, kiranya dalam tradisi tersebut mengandung nilai-nilai kemaslahatan yang cukup besar. Antara lain adalah tercapainya kemaslahatan umat melalui tegaknya agama Islam dalam tradisi tersebut, terwujudnya kemaslahatan sosial yang baik antar sesama, terjaganya kesejahteraan masyarakat dalam menghindari bahaya yang akan datang dan terealisasikannya pembangunan ekonomi umat melalui pelaksanaan tradisi rokat tase’ yang ada. Dengan demikian, atas kemaslahatan yang cukup besar di dalamnya, tradisi ini patut untuk dipertahankan dan dilestarikan dengan baik dan benar.
Limitation of the Punishment of Caning in Open Places in Aceh Muhammad Syarif
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.10505

Abstract

The provisions for the implementation of caning in an open place that can be witnessed by many people are contained in the Qur'an letter an – Nur verse 2. In practice in Aceh, the application of the punishment of caning is still getting serious focus on the interpretation of the open place and the number of people who witness. In the Governor's regulation Number 5 of 2018 it is stated that what is meant by open spaces in Correctional Institutions. This study will review the reasons for changing the caning sentence to prisons, the provisions of Islamic law related to the location of the caning, and the relevance of the implementation of the caning punishment to the legal awareness of the community. This research is a normative legal research with primary, secondary, and tertiary legal materials with descriptive data analysis. The data collection technique uses the study of normative documents of Islamic law and is associated with regulations. The results showed that changes in the implementation of the caning sentence to prisons were made to be more orderly, not watched by minors, did not record the execution process, let alone send it to social media. In addition, to protect the human rights of the convict. The execution of the caning according to the provisions of Islamic law must be witnessed by a group or at least several believers and must be in an open place. The implementation of caning in Aceh certainly reaps many pros and cons both academically, practical and ordinary people, both at the local, national and even international levels. On the other hand, the implementation of caning is still considered not optimal and not effective. The issue of politicization, lack of legal awareness, imbalance in the application of punishment. Especially in a closed place Correctional Institutions, of course there is another purpose of witnessing the caning, both psychological punishment for the convict and educational value for those who witness it.Ketentuan pelaksanaan hukuman cambuk di tempat terbuka yang dapat disaksikan oleh banyak orang terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 2. Dalam praktekknya di Aceh, pelaksanaan hukuman cambuk masih mendapatkan perdebatan serius mengenai tafsiran tempat terbuka dan jumlah orang yang menyaksikan. Dalam peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 meyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tempat terbuka di Lembaga Pemasyarakatan. Kajian ini akan mengulas terkait alasan perubahan pelaksanaan hukuman cambuk ke Lapas, ketentuan hukum Islam terkait lokasi pelaksanaan hukuman cambuk, dan relevansi pelaksanaan hukuman cambuk dengan kesadaran hukum masyarakat. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan analisis data deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumen normatif hukum Islam dan mengaitkan dengan regulasi aturan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan pelaksanaan hukuman cambuk ke Lapas agar lebih tertib, tidak ditonton oleh anak di bawah umur, tidak merekam proses eksekusi, apalagi sampai membagikan ke media sosial. Selain itu, untuk melindungi HAM terpidana. Pelaksanaan eksekusi cambuk menurut ketentuan hukum Islam wajib disaksikan oleh sekelompok atau minimal beberapa orang beriman dan harus tempat terbuka. Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh tentunya banyak menuai pro dan kontra baik akademisi, praktisi maupun masyarakat biasa, baik tingkat lokal, nasional bahkan internasional. Disisi yang lain, pelaksanaan hukuman cambuk masih dinilai belum optimal dan belum efektif. Isu politisasi, kurang kesadaran hukum, ketidakseimbangan penerapan hukuman menjadi alasan yang dapat dijelaskan. Apalagi di tempat tertutup (Lembaga Pemasyarakatan), tentu tidak ada lagi tujuan dari mempersaksikan hukuman cambuk, baik hukuman psikologis bagi terhukum maupun nilai edukasi bagi yang menyaksikannya.
Challenging The Principle of Equality Before the Law in Qanun Jinayat Aceh Khairil Akbar; Nyak Fadhlullah; Zahlul Pasha Karim
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.9236

Abstract

This article aims to explain how the principle of equality before the law in Aceh Qanun Number 6 of 2014 concerning the Jinayat Law is applied. As part of the Indonesian state, the application of Islamic law (especially in the jinayat) in Aceh should be in line with the characteristics of the rule of law, among which is the principle of equality before the law. Through the statute approach, it turns out that there is a disparity between the Qanun Jinayat Aceh and the regulations above, including the principle of equality before the law. Even though they have equaled men and women, the Qanun Jinayat Aceh clearly distinguishes people based on their religion. A person who is Muslim is obliged to submit to Qanun a quo while those who are not Muslim are in two choices: first, subject to Qanun because of the vacuum of national law; or second, choosing to submit to the Qanun because it is considered lighter than national law. This situation is discriminatory for Muslims on one hand, and unfair to non-Muslims on the other.Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana prinsip equality before the law dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat diterapkan. Sebagai bagian dari negara Indonesia, penerapan syariat Islam (khususnya di bidang jinayat) di Aceh sudah seharusnya tetap sejalan dengan ciri negara hukum yang di antaranya adalah adanya prinsip equality before the law. Melalui pendekatan perundang-undangan (statute approaceh), ternyata didapati adanya disparitas antara Qanun Jinayat Aceh dengan peraturan di atasnya, termasuk terhadap prinsip equality before the law. Meski telah menyejajarkan laki-laki dan perempuan, namun Qanun Jinayat Aceh ini secara tegas membedakan seseorang berdasarkan agama yang dianutnya. Seorang yang beragama Islam wajib tunduk pada Qanun a quo sedangkan mereka yang beragama bukan Islam berada pada dua pilihan: pertama, tunduk terhadap Qanun karena kekosongan hukum nasional; atau kedua, memilih tunduk terhadap Qanun karena dirasa lebih ringan dibanding hukum nasional. Keadaan ini diskriminatif bagi orang Islam di satu pihak, dan tidak adil bagi nonmuslim di pihak lain.
The Heirs of Patah Titi in Gayo Community Jamhir Hasan; Irwansyah Muhammad Jamal; Riza Afrian Mustaqim
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.10668

Abstract

Inheritance in the Gayo community assumes that grandchildren whose parents have died still have the authority to get inheritance. The solution to this problem has attracted the attention of many people, so it has significant urgency to be investigated. This study aims to explore and analyze; first, how is the inheritance of grandchildren whose parents died first by the heir according to Gayo customary law?, second, how is the settlement of grandchildren whose parents died first from those who bequeath their assets to the Gayo community? This research is an empirical legal research, with a non-doctrinal approach. The data was extracted by observation, interview and documentation methods, then analyzed qualitatively. The results of the study show that first, in general, the Gayo community divides their inheritance based on Islamic inheritance law which is sourced from the teachings of the Qur'an Al-Sunnah. Second, the Gayo community stated that the grandchildren who wore the hijab were given an inheritance divided into three forms; 1) said that he was given a modest inheritance. 2), stated that he was given an inheritance of half of the share received by his parents. 3), stating that the grandson is given an inheritance equal to the share received by his parents. The Gayo community does not know a substitute heir, because there is no stipulation on how much inheritance must be given to the grandson, when receiving an inheritance from his grandparents as a substitute for parents who have died first. Seeing the implementation of giving compensation to grandchildren whose parents died earlier than those who bequeath property to the Gayo community, giving inheritance to grandchildren whose parents died from the heirs does not conflict with Gayo customary law.Waris pada masyarakat Gayo beranggapan bahwa cucu yang telah meninggal orang tuanya masih mempunyai wewenang untuk mendapatkan harta warisan. Penyelesaian persoalan tersebut cukup menyita perhatian banyak kalangan, sehingga memiliki urgensi yang cukup signifikan untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menganalisa; pertama, bagaimana kewarisan cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal oleh pewaris menurut Hukum adat Gayo?, kedua, bagaimana penyelesaian cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dari orang yang mewariskan harta pada masyarakat Gayo?. Penelitian ini  merupakan penelitian hukum empiris,  dengan pendekatan non doktrinal. Data digali dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, secara umum masyarakat Gayo membagi warisannya berdasarkan hukum kewarisan Islam yang bersumber dari ajaran Al-Qur'an Al-Sunnah. Kedua, masyarakat Gayo menyatakan bahwa cucu yang terhijab patah titi diberikan harta pusaka dengan pembagian dalam tiga bentuk; 1) mengatakan diberi harta warisan sekedarnya saja. 2), menyatakan diberi warisan setengah dari bahagian yang diterima orang tuanya. 3), menyatakan cucu tersebut diberi harta warisan sebesar bahagian yang diterima orang tuanya. Masyarakat Gayo tidak mengenal ahli waris pengganti, sebab tidak ada ketentuan berapa besar harta warisan yang harus diberikan kepada cucu tersebut, ketika menerina warisan dari kakek/neneknya sebagai pengganti orang tua yang telah meninggal lebih dulu. Melihat pelaksanaan pemberian imbal kasih kepada cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dari orang yang mewariskan harta pada masyarakat Gayo maka pemberian harta warisan kepada cucu yang orang tuanya terlebih dahulu meninggal dari pewaris tidak bertentangan dengan Hukum adat Gayo.
Confession of Zina Offense in Aceh: Legal Awareness or Compulsion? Ali Abubakar
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.15371

Abstract

AbstractThe purpose of this paper is to analyze the terminology of confession of guilt in the Qanun Jinayat Aceh, both material and formal law. This topic needs to be studied considering that Qanun Jinayat is seen as a new legal norm in Indonesia, which was adopted from a different legal system, namely Islamic jurisprudence. The difference in the source of this system gives rise to many problems with legal norms and their enforcement in cases. Research on the decisions of the Syar'iyah Court in Aceh in the adultery case; carried out using a normative juridical approach, by reviewing the Qanun viewed from legal norms, confession of guilt. The results of the study show that (1) juridically, confession gets an official place as special evidence for adultery; referring to the Koran; (2) the confession of guilt by the alleged perpetrators of adultery is influenced by the initial process of their arrest as the perpetrators of the crime; in part it may be an encouragement of the belief in obtaining forgiveness stemming from the Islamic religious doctrine that punishment in this world is a pardon and will abolish punishment in the hereafter; (3) the strategy of law enforcement officials does not play much role here because some of their duties have been "implemented" by the community which is understood as part of their legal awareness. AbstrakTujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis terminologi pengakuan bersalah dalam Qanun Jinayat Aceh (QAHJ) baik hukum materil maupun formil. Topik ini perlu dikaji mengingat Qanun Jinayat dipandang sebagai sebuah norma perundang-undangan baru di Indonesia, yang diadopsi dari sistem hukum yang berbeda yaitu hukum Islam. Perbedaan sumber sistem ini melahirkan banyak problematika norma hukum dan penegakannya pada kasus-kasus. Penelitian atas putusan Mahkamah Syar`iyah di Aceh dalam perkara perzinaan; dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan mengkaji Qanun yang dilihat dari norma hukum, pengakuan bersalah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) secara yuridis pengakuan mendapatkan tempat resmi sebagai alat bukti khusus zina; mengacu kepada al-Quran; (2) pengakuan bersalah oleh tersangka pelaku perzinaan dipengaruhi oleh proses awal penangkapan mereka sebagai pelaku kejahatan; sebagiannya mungkin merupakan dorongan keyakinan mendapatkan pengampunan yang berasal dari doktrin agama Islam bahwa hukuman di dunia merupakan sebuah pengampunan dan akan menghapuskan hukuman di akhirat; (3) strategi aparatur penegakan hukum  tidak banyak berperan di sini karena sebagian tugas mereka sudah “dilaksanakan” oleh masyarakat yang dipahami sebagai bagian dari kesadaran hukum mereka.
Legal Consequences And Responsibility of Wa’ad Bonding Power to Sharia Compliance in Akad Al-Ijarah al-Muntahiyah Bi al-Tamlik Mustofa Abdul Basir; Dian Prihanto; Idhofi Fahrizal; Neni Sri Imaniyati
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.10758

Abstract

The existence of sharia bukan-bank financial institutions (NBFI) today is very important and one form of financing is al-Ijarah al-Muntahiyah Bi al-Tamlik (IMBT), which is a lease agreement (ijarah) with the transfer of ownership of the object that is used as a lease in when the IMBT contract ends which is based on the existence of wa’ad (promise). This research is a normative juridical research on the IMBT contract in the Fatwa of the National Sharia Council through analysis based on Islamic and Civil law. The nature of wa’ad in IMBT is that the law is not binding, this is contradictory to several arguments in the Qur'an and al-Hadith that command to fulfill and keep promises, which means the promise is binding. If wa’ad is carried out, the legal consequence is that rights and obligations arise between the lessee and the lessor to hand over and receive the object of the lease and violate the prohibition against making transactions in one contract. However, if the wa’ad is not implemented, the IMBT contract does not exist, there is only the Ijarah contract and the legal consequence is that the IMBT contract is null and void or considered to have never existed.Keberadaan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) syariah dewasa ini sangat penting dan salah satu bentuk pembiayaannya adalah al-Ijarah al-Muntahiyah Bi al-Tamlik (IMBT) yang merupakan akad sewa menyewa (ijarah) dengan peralihan kepemilikan atas objek yang dijadikan sewa menyewa pada saat akad IMBT berakhir yang didasari atas adanya wa’ad (janji). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif atas akad IMBT dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional melalui analisis berdasarkan hukum Islam dan Perdata. Sifat wa’ad dalam IMBT adalah hukumnya tidak mengikat, hal ini kontradiktif dengan beberapa dalil dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang menyuruh untuk memenuhi dan menepati janji yang artinya janji itu mengikat. Jika wa’ad dilaksanakan maka akibat hukumnya adalah timbul hak dan kewajiban antara penyewa dan yang menyewakan untuk menyerahkan dan menerima objek sewa menyewa dan melanggar larangan melakukan transaksi dalam satu akad. Tetapi, jika wa’ad tidak dilaksanakan maka akad IMBT menjadi tidak ada, yang ada adalah akad Ijarah saja serta akibat hukumnya adalah akad IMBT batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada.
Classification of Awrah: Madhhab Scholars Perspective and Its Comparison With Muhammad Syahrur Zulhamdi Adnan
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.10303

Abstract

Discussion of the categorization of awrah is an important thing to discuss, because it makes it easier for women/men to interact socially with mahrams or not. The purpose of the study was to examine the concept of categorization of genitalia according to school of law scholars, with a literature review using qualitative research methods with a normative approach. The findings in this study are differences in the categorization of genitalia according to Imam Malik and Muhammad Syahrur, the female genital mukhalazah according to Malikiyah includes the genitalia of mughallazah, while according to Muhammad Shahror the breast does not include genitalia of mughallazah, then the female genital mukhafafah according to Malik is the head, neck, ends of the hands and feet, while Muhammad Shahrur part of the female mukhaffafah genitalia is the hands, feet and chest. Regarding the permissibility of seeing a woman's awrah is for her husband only, other Muslim women are allowed to see it other than the navel to the knee, as is the case with the Malikiyah and Hanabilah perceptions which fence off a woman's genitals with other women from the knee to the navel, both blood mahrams and not. According to Syafi'iah, it is permitted. For a woman see all of a woman's nakedness except between the navel to her knees, it is a woman who has blood, while a woman who is not bloodless means that her entire body cannot be shown except for parts such as the hair and neck.Pembahasan kategorisasi aurat merupakan hal yang penting untuk dibahas, karena memudahkan kepada wanita/pria dalam berinteraksi sosial dengan mahram maupun bukan. Tujuan penelitian dilakukan untuk mengkaji konsep tentang kategorisasi aurat menurut ulama mazhab, dengan kajian kepustakaan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif. Temuan dalam penelitian ini yaitu perbedaan kategorisasi aurat menurut Imam Malik dengan Muhammad Syahrur, bagian aurat mughallazah (berat) perempuan menurut Malikiyah dada termasuk aurat mughallazah sedangkan menurut muhammad Syahrur dada tidak termasuk aurat mughallazah, kemudian aurat mukhafafah (ringan) perempuan menurut malik adalah kepala, leher, ujung tangan dan kaki, sedangkan Muhammad Syahrur bagian aurat mukhaffafah perempuan adalah kedua tangan, kaki dan bagian dada. Mengenai kebolehan melihat aurat mughallazah dari perempuan adalah hanya suaminya saja, perempuan muslim lainnya dibolehkan melihatnya selain dari pusar hingga lutut, seperti halnya persepsi Malikiyah dan Hanabilah yang memagari aurat wanita dengan wanita lain pada bahagian lutut hingga pusar saja, baik yang sedarah maupun bukah, Sedangkan menurut Syafi’iah yang boleh melihat seluruh aurat wanita selain antara pusar sampai lutut adalah wanita yang sedarah, sedangkan aurat wanita yang bukan sedarah ialah seluruh anggota badannya tidak boleh diperlihatkan kecuali bagian seperti rambut dan leher.
Breast Milk Bank Laws In The Perspective of The Kaidah Fikih Dar’ Al-Mafᾱsid Muqadam A’Lᾱ Jalb Al-Mashᾱlih Abd Rouf
Media Syari'ah : Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 24, No 1 (2022)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v24i1.11326

Abstract

This research was conducted in order to know breast milk Bank Laws in the perspective of the kaidah fikih dar’ al-mafᾱsid muqadam a’lᾱ jalb al-mashᾱlih, This research is a literature study, the data of which is sourced through journals, books, encyclopedias, magazines, and documents. The approach used is the tarjih approach, which is to collect two contradictory arguments and then look for the point. If no common ground is found, then one of the two arguments is favored. With this method, it is hoped that research on breast milk bank law will produce laws that are more appropriate and relevant in Indonesia. The results of the study show that 1) that the collection of breast milk by the breast milk Bank can cause a mix of lineages between babies who consume breast milk from all women who donate it. So the existence of an breast milk bank is contrary to maqāṣid al-Sharī‘ah which is in the form of maintaining nasab/ḥifẓ al-Nasb. After reviewing the establishment of breast milk banks in Indonesia by looking at the diverse social conditions and the low level of public understanding of the impact of breastfeeding (raḍāʽ), the legality of breastfeeding banks is something that must be prevented, (2) There is a high possibility that marriages are forbidden, as a result of mixing breast milk from the donors, (3) a statement from the team of doctors stating that the need for a breast milk bank is not too urgent. So the law for establishing an breast milk bank in Indonesia is from the perspective of the fiqh rules of dar' al-Mafᾱsid muqaddam alā jalb al-Maṣhāliḥ, so from the above review it can be concluded that it is unlawful to establish an breast milk bank. Considering that the disadvantages of a breast milk bank outweigh the benefits. The argument that breast milk banks are urgent due to many natural disasters, premature babies, and so on can actually be overcome by breastfeeding their children to their nursing mothers.Penelitian ini dilakukan agar dapat diketahui hukum bank ASI perpektif  kaidah fikih dar’ al-mafᾱsid muqadam a’lᾱ jalb al-mashᾱlih, Penelitian ini merupakan studi kepustakaan, yang datanya bersumberkan melalui jurnal, buku, ensikolopedi, majalah, dan dokumen. Pendekatan yang digunakan yakni pendekatan tarjih yaitu mengumpulkan dua argumentasi yang bertentangan kemudian dicari titiknya. Bila tidak ditemukan titik temu, maka diunggulkan salah satu dari kedua argumen tersebut. Metode ini diharapkan penelitian mengenai hukum bank ASI menghasilkan hukum yang lebih sesuai dan relevan di Indonesia. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa 1) Bahwa pengumpulan ASI yang dilakukan Bank ASI dapat menyebabkan percampuran nasab antara bayi yang mengkonsumsi ASI dari semua perempuan yang mendonorkannya. Maka adanya bank ASI berlawanan dengan maqāṣid al-Sharī‘ah yang berupa menjaga nasab/ḥifẓ al-Nasb. Setelah mengkaji tentang pendirian bank ASI di Indonesia dengan melihat keadaan sosial yang beranekaragam serta rendahnya pemahaman masyarakat terhadap dampak persusuan (raḍāʽ) maka kelegalan bank ASI adalah sesuatu yang harus dicegah, (2) Kemungkinan besar terjadi pernikahan yang diharamkan, sebagai akibat dari percampuran ASI dari para pendonor, (3) Keterangan tim dokter yang menyatakan kebutuhan bank ASI tidak terlalu mendesak. Maka hukum pendirian bank ASI di Indonesia perspektif kaidah fikih dar’ al-Mafᾱsid muqaddam ʽalā jalb al-Maṣhāliḥ, maka dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa haram hukum mendirikan bank ASI. Meninjau bahwa mudarat bank ASI lebih banyak daripada manfaatnya. Argumen yang menyatakan bahwa bank ASI urgen disebabkan banyaknya bencana alam, bayi prematur, dan lain sebagainya sesungguhnya telah dapat diatasi dengan menyusukan anaknya pada ibu susunya.

Page 1 of 2 | Total Record : 11