cover
Contact Name
Laelatul Qodaryani
Contact Email
jsdlbbsdlp@gmail.com
Phone
+6285641147373
Journal Mail Official
jsdlbbsdlp@gmail.com
Editorial Address
Balai Besar penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Jln. Tentara Pelajar no 12, kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Ciwaringin, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat 16114
Location
Kota bogor,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Sumberdaya Lahan
Core Subject : Agriculture,
Jurnal ini memuat artikel tinjauan (review) mengenai hasil-hasil penelitian yang telah diterbitkan, dikaitkan dengan teori, evaluasi hasil penelitian lain, dengan atau mengenai kebijakan. Ruang lingkup artikel tinjauan ini meliputi bidang: tanah, air, iklim, lingkungan pertanian, perpupukan dan sosial ekonomi sumberdaya lahan.
Articles 173 Documents
Asuransi Pertanian Berbasis Indeks Iklim: Opsi Pemberdayaan dan Perlindungan Petani Terhadap Risiko Iklim Woro Estiningtyas
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 9, No 1 (2015)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (422.95 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v9n1.2015.%p

Abstract

Abstrak. Kejadian iklim ekstrim terus terjadi dan semakin meningkat frekuensi dan intensitasnya. Banjir, kekeringan dan serangan OPT merupakan dampak kejadian iklim ekstrim yang menjadi bagian yang harus dihadapi petani khususnya petani padi hampir di setiap musim tanam. Beberapa upaya telah dilakukan oleh petani dalam rangka menekan risiko iklim, namun cara tersebut belum cukup. Perlu ada dukungan proteksi formal untuk melindungi petani dari risiko iklim. Salah satunya adalah dengan asuransi pertanian berbasis indeks iklim. Asuransi ini merupakan bentuk asuransi pertanian dimana yang diasuransikan adalah indeks iklimnya dan bukan tanamannya. Sistem ini memberikan pembayaran pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan (indeks iklim) tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim dalam membuat keputusan. Dalam sistem asuransi iklim pembayaran dilakukan berdasarkan pencapaian indeks iklim yang ditetapkan pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan. Tujuan penulisan ini adalah memberikan informasi dan gambaran tentang perkembangan Asuransi Indeks Iklim dalam penanganan risiko iklim di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Asuransi Indeks Iklim berpeluang untuk dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia. Kesediaan petani membayar premi serta respon yang cukup baik menjadi potensi pengembangan Asuransi Indeks Iklim. Keberhasilan pelaksanaan program ini perlu didukung dengan peningkatan sumberdaya manusia dan kelembagaan baik di tingkat pusat maupun daerah. Dukungan Pemerintah melalui UU no 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menjadi sangat penting sebagai payung hukum yang melindungi aktifitas dan keberlangsungan program ini.Abstract. Extreme climate events continue to occur and the increasing frequency and intensity. Floods, drought and pest attacks are the impacts of extreme climate events that are part of that must be faced by rice farmers in almost every season. Several attempts have been made by farmers in order to reduce climate risks, but how is not enough. There needs to be a formal protection support for farmers to protect from climate risks. One is the Insurance Climate Index. Climate index insurance is a form of agricultural insurance in which the insured is the climate index and not the plants. This system provides payments to policyholders when weather conditions are met/climate are not expected (Climate Index) without any evidence of crop failure. This insurance can accelerate the acceptance of farmers to adaptation or integration of information technology forecasts season / climate in making decisions. In a climate insurance system payment is made based on whether the specified climate index reached the insured crop growth period. The purpose of this paper is to provide information and an overview of developments Climate Index Insurance in climate risk management in Indoensia. The results of the study showed that the Insurance Climate Index likely to be developed and applied in Indonesia. Farmers' willingness to pay a premium as well as a good response into potential development for Climate Index Insurance. The successful implementation of this program should be supported by an increase in human resources, institutions at central and local levels. Government support through Law No. 19 of 2013 on the Protection and Empowerment of Farmers become very important as an legal law that protects the activity and the sustainability of this program.
COVER JSDL VOL. 12 NO. 1 JULI 2018 Sundari, Ika Mustika
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 12, No 1 (2018)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (989.37 KB)

Abstract

cover
AGROMETEOROLOGICAL DATA AND RAINFALL FORECASTING FOR CROP SIMULATION AMIEN, LE ISTIQLAL; RUNTUNUWU, ELEONORA
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 3, No 2 (2009)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (343.404 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v3n02.2009.%p

Abstract

Agricultural production is one of the most weather sensitive human activities that depend on daily atmospheric conditions. This review attempts to describe the meteorological data for crop requirements, some techniques of climate prediction and its use for crop simulations. Despite the rapid progress achieved in forecasting technology lately, further works are necessary for the real application. The amount and distribution of the rainfall in the coming season is necessary for planning crop cultivation particularly when climate anomaly arises. In agriculture the efforts to bridge the gap, climate forecasting results are the main input in crop simulation, especially for water and agro-climate management and cropping calendar.
TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN RAWA BERKELANJUTAN: STUDI KASUS KAWASAN EX PLG KALIMANTAN TENGAH Suriadikarta, Didi Ardi
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 6, No 1 (2012)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (578.052 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v6n1.2012.%p

Abstract

ABSTRAK. Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated water), atau tergenang (waterlogged). Luas lahan rawa Indonesia ± 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. Lahan pasang surut yang telah direklamasi 3,84 juta ha yang terdiri atas 0,94 juta ha oleh pemerintah dan sisanya oleh swadaya masyarakat lokal.Pada lahan rawa umumnya dijumpai tanah mineral dan tanah gambut. Teknologi pengelolaan lahan rawa antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah dan air (tata air mikro, dan penataan lahan), teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, teknologi pengendalian hama dan penyakit, pengembangan Alsintan, serta pemberdayaan kelembagaan petani. Kawasan Lahan Gambut satu juta ha eks PLG di kalimantan Tengah, mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya pertanian, dan kawasan konservasi. Kawasan budi daya pertanian dilaksanakan pada kawasan gambut < 3 m, yang dapat dikembangkan untuk lahan sawah, perkebunan, perikanan, dan hutan tanaman industri (HTI), berdasarkan kepada kriteria kesesuaian lahan. Kawasan konservasi berada pada wilayah gambut dengan ketebalan > 3 m dan juga daerah-daerah tertentu yang mempunyai keanekaragaman hayati (flora dan fauna), dan di bawah gambut lapisan sulfidik dan atau pasir kuarsa. Pembukaan lahan gambut harus dilakukan melalui perencanaan yang matang, dan hati-hati, dan perlu ditunjang dengan analisa dampak lingkungan yang handal serta pemahaman terhadap kondisi sosial budaya masyarakat lokal.ABSTRACT. Swampy areas is a land which is prolong or periodically saturated with water or waterlogged each year. The tidal swamp areas in Indonesia occupied approximately 33.4 millions ha consisting of 20 millions ha brackish water tidal land and 13,4 millions ha fresh water tidal land. In swampy areas peat and mineral soils normally found. The reclaimed tidal swampy area amounted to 3.84 million ha consisting of 0.94 million ha reclaimed by government and the remainder by local communities. Technologies for managing swampy areas included soil and water management, soil ameliorant, fertilization, adaptive crop varieties, pest and diseases management control, and mechanic development and empowerment of farmer?s organization. The former peatland soil project of one million ha in Central Kalimantan has potential areas to be developed as agricultural cultivation and conservation area. The area for agricultural practices should be directed to peatland with < 3 m depth and used for paddy field, estate crops, fishery, and agroforestry. Conservation areas were directed to peatland with thickness of more than 3 m, areas having biodiversity, and areas underlain by pyrite or quartz. Land clearing on peatland should follow thorough planning and supported by reliable analysis of environmental impact and social conditions of local community.
LAHAN SAWAH SEBAGAI PENDUKUNG KETAHANAN PANGAN SERTA STRATEGI PENCAPAIAN KEMANDIRIAN PANGAN Wahyunto, Wahyunto; Widiastuti, Fitri
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 8, No 3 (2014): Edisi Khusus
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (910.688 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v8n3.2014.%p

Abstract

Abstrak. Lahan sawah di Indonesia terdiri atas: sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah pasang surut, dan sawah lebak, dengan total luas 8,1 juta ha, namun produksi padi nasional sebagian besar berasal dari lahan sawah irigasi (67,5%), dan sawah tadah hujan (27,5%). Kedua sawah tersebut 43% di antaranya terdapat di Pulau Jawa. Ketergantungan produksi padi dari lahan sawah irigasi di Pulau Jawa cukup beresiko tinggi, mengingat lahan sawah di Pulau Jawa semakin sempit akibat konversi lahan ke non pertanian. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, usaha ketahanan dan kemandirian pangan, pemanfaatan teknologi baru dalam peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah harus disertai dengan perbaikan teknis budidaya dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Upaya mendukung kemandirian pangan harus dibarengi dengan usaha pengurangan laju konversi lahan sawah, peningkatan kapasitas produksi, luas tanam dan Indek Pertanaman (IP) padi, perbaikan sistem/jaringan irigasi, serta penambahan luas lahan baku sawah.Abstract. Wetland rice in Indonesia consists of: irrigated rice, rainfed, lowland tidal and swampy/deep water rice fields, with a total area of 8.1 million ha. However, most of the national rice production comes from irrigated land (67.5%), and rainfed (27.5%), Both type of rice fields are 43% of which are located in Java islands. Rice production mostly concentrated at irrigated land is quite high risk, when paddy field area in Java island accelerated and coverted to non agriculture uses, and levelling off it productivity. To meet the needs of food resilience and food self-sufficiency, application of new technologies in increasing production and rice productivity, cultivation techniques should be improved with regard to environmental sustainability. To achieve foodcrop farming on sustainable basis, the farming system could be integrated with livestock, fisheries and forestry sectors. Efforts to support food self-sufficiency should be in line with efforts to reduce the rate of wetland conversion, increasing of rice productivity and rice planting intensity, rehabilitation of irrigation systems and networks as well as rice field expansion.
MODIFIKASI METODE EVALUASI KESESUAIAN LAHAN BERORIENTASI PERUBAHAN IKLIM Sukarman, Sukarman; Mulyani, Anny; Purwanto, Setiyo
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 12, No 1 (2018)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (723.454 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v12n1.2018.1-11

Abstract

Abstract. Evaluasi lahan adalah salah satu instrumen yang biasa digunakan dalam menilai   kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas pertanian di suatu wilayah.  Lahan dapat diklasfikasikan sesuai untuk pengembangan komoditas tertentu jika secara biofisik maupun secara sosial ekonomi tergolong sesuai. Parameter yang digunakan dalam menilai suatu lahan adalah karakteristik lahan,  diantaranya adalah unsur iklim, yaitu curah hujan rata-rata tahunan, temperatur udara rata-rata tahunan dan kelembaban udara.  Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan saran dan rekomendasi untuk menambahkan parameter pada karakteristik tanah yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan berbagai komoditas pertanian sebagai akibat dari perubahan iklim. Saat ini di dunia telah terjadi perubahan iklim yang berdampak pada karakteristik lahan di suatu wilayah.  Umumnya, perubahan iklim dianggap sebagai salah satu ancaman yang sangat serius terhadap sektor pertanian dan berpotensi mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pangan dan sistem produksi pertanian. Secara umum, perubahan iklim akan menyebabkan terjadinya ancaman kekeringan, banjir dan kenaikan muka air laut. Hal tersebut berdampak terhadap penyusutan dan degradasi (penurunan fungsi dan kualitas) sumberdaya lahan, air dan infrastruktur irigasi. Kejadian tersebut menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan serta produksi tanaman.  Oleh karena itu faktor kerentanan kekeringan, kerentanan banjir dan kenaikan permukaan air laut diusulkan untuk dijadikan parameter penilaian kesesuaian lahan agar hasil penilaian kesesuaian lahan sesuai dengan kondisi sebenarnya.  Abstract. Land evaluation is one of the instruments commonly used in land suitability assessment for various agricultural commodities in a region. Land can be classified suitable for the development of certain commodities if it is biophysically and socio-economically appropriate. The parameters used in assessing land suitability are the characteristics of the land, including the elements of climate, namely annual average rainfall, annual average air temperature and air humidity. The objective of this paper is to provide advices and recommendations for adding parameters on land characteristics used in the assessment of land suitability of various agricultural commodities as caused of climate change. At present, the world climate change has occurred which has an impact on the characteristics of land in a region. Generally, climate change is considered to be one of the most serious threats to the agricultural sector and has the potential to bring new problems to the sustainability of food production and agricultural production systems. In general, climate change may cause threats in the droughts, floods and sea level rise. This could have an impact on reduction and degradation (decreased function and quality) of land resources, water and irrigation infrastructure. This situation caused a decrease in plant growth and production. Therefore, factors of drought susceptibility, flood vulnerability and sea level rise are proposed to be used as parameters for land suitability evaluation in order to determine land suitability which represent actual conditions. 
PENGENDALIAN KERACUNAN BESI UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN RAWA PASANG SURUT BUKAAN BARU Masganti, Masganti; Susilawati, Ani; Khairullah, Izhar; Anwar, Khairil
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 13, No 2 (2019)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (600.135 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v13n2.2019.103-113

Abstract

Abstrak. Kebutuhan beras nasional meningkat dari tahun ke tahun akibat pertambahan penduduk, peningkatan kebutuhan energi harian individu, dan masih rendahnya diversifikasi konsumsi sumber karbohidrat serta keinginan untuk menjadi lumbung pangan dunia (LPD) pada tahun 2045. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi nasional adalah melalui perluasan areal tanam dengan memanfaatkan lahan rawa pasang surut yang luasnya mencapai 8,92 juta hektare. Peningkatan luas tanam padi di lahan rawa pasang surut diantaranya dapat dilakukan melalui pembukaan lahan baru, baik dengan memanfaatkan lahan sawah terlantar maupun yang belum dimanfaatkan. Akan tetapi pembukaan lahan baru sering dihadapkan pada keracunan besi, sehingga tanaman padi tidak tumbuh dan berproduksi secara optimal. Keracunan besi dapat menurunkan produksi padi 30-100%, tergantung ketahanan varietas, intensitas keracunan, fase pertumbuhan, dan status kesuburan tanah.  Keracunan besi merupakan penyakit fisiologis tanaman dengan penyebab utama adalah konsentrasi Fe2+ yang tinggi dalam larutan tanah karena kondisi reduktif. Hal itu terkait dengan drainase yang jelek, nilai Eh yang rendah, defisiensi  K, Ca, Mg, P, Zn, dan Mn, dan oksigen tanah yang rendah. Pengendalian keracunan besi untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan rawa pasang surut bukaan baru dapat dilakukan melalui teknologi pengelolaan air, ameliorasi, pemupukan, pengaturan waktu tanam, dan penggunaan varietas yang toleran. Abtract. National rice demand is increasing from year to year due to population growth, increasing individual daily energy needs, and the  low diversification of consumption of carbohydrate sources and the desire to become a world food barn (LPD) in 2045. One effort to increase national rice production is through expansion planting area utilizing tidal swamp land which covers an area of 8.92 million hectares. Increasing the area of rice planting in tidal swamps can be done through the opening of new land, either by using abandoned or untapped rice fields. However, new land clearing is often faced with iron poisoning, so that rice plants do not grow and produce optimally. Iron poisoning can reduce rice production by 30-100%, depending on the variety resistance, poisoning intensity, growth phase, and soil fertility status. Iron poisoning is a physiological disease of plants with the main cause being high concentrations of Fe 2+ in soil solutions due to reductive conditions. This is related to poor drainage, low Eh values, deficiency of K, Ca, Mg, P, Zn, and Mn, and low soil oxygen. Control of iron poisoning to increase rice productivity in the new openings tidal swamps can be done through water management technology, amelioration, fertilization, planting time management, and the use of tolerant varieties.
COVER JSL VOL.10(1) 2016 Lahan, Jurnal Sumberdaya
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 10, No 1 (2016)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (292.993 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v10n1.2016.%p

Abstract

Jurnal Sumberdaya Lahan Vol.10 No. 1, Juli 2016
SISTEM SURJAN: KEARIFAN LOKAL PETANI LAHAN PASANG SURUT DALAM MENGANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM Susilawati, Ani; Nursyamsi, Dedi
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 8, No 1 (2014)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1077.021 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v8n1.2014.%p

Abstract

Abstrak. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim yang berpotensi memberikan dampakbesar terhadap ketahanan pangan nasional. Selain perubahan iklim, pembangunan pertanian menghadapi berbagai kendala, antaralain alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian sehingga usaha pengembangan pertanian diarahkan ke lahan marginalseperti lahan rawa pasang surut. Penataan lahan ini perlu dilakukan agar kondisi lahan sesuai untuk kebutuhan tanaman sehinggaproduktivitasnya menjadi optimal. Sistem surjan adalah salah satu bentuk penataan lahan yang biasa dilakukan oleh petani lahanpasang surut dan terbukti mampu mengantisipasi perubahan iklim. Sistem ini memiliki perspektif budaya, ekologi, dan ekonomi,yang memadukan antara kearifan lokal dengan inovasi teknologi terkini. Paket teknologi dalam sistem surjan meliputi:pengelolaan air sistem satu arah yang dilengkapi pintu otomatis (flapgates) dan tabat (stoplog), penggunaan tanaman adaftif lahanpasang surut, pengolahan tanah minimum, kalender tanam rawa terpadu, aplikasi DSS lahan rawa pasang surut, dan penggunaanpupuk biotara.Abstract. Agricultural sector is the most vulnerable sector to climate change that could potentially contribute a great impact onnational food security. Beside climate change, agricultural development faces many obstacles, including a conversion ofagricultural land into non-agriculture so that agriculture extensification are directed to marginal land areas such as tidalswamplands. Lands arrangement is needed to make favorable soil condition to plants growth so that its productivity increases.Surjan system is a land arrangement which is usually applicated by tidal swampland farmers and has high ability to anticipateclimate change. This system has cultural, ecological, and economical perspectives which combines local knowledge with the latesttechnological innovations. The technologies in surjan system include: one way system of water management with automatic door(flapgates) and tabat (stoplog), use of adaptive plant on tidal swampland, soil minimum tillage, applicatiopn of integrated croppingcalender and DSS of tidal swamplands as well as use of biotara fertilizer.
MEMAHAMI KOMUNIKASI TUMBUHAN-TANAH DALAM AREAL RHIZOSFIR UNTUK OPTIMASI PENGELOLAAN LAHAN Widyati, Enny
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 11, No 1 (2017)
Publisher : Indonesian Center for Agriculture Land Resource Development

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.536 KB) | DOI: 10.21082/jsdl.v11n1.2017.33-42

Abstract

Abstrak. Seperti halnya dunia manusia, tumbuhan juga mengembangkan sistem komunikasi untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Bahasa yang digunakan adalah senyawa kimia yang diproduksi oleh eksudat akar. Tumbuhan merupakan inisiator karena mereka yang memiliki tujuan untuk apa komunikasi dibangun. Tumbuhan mengeluarkan eksudat akar untuk memanggil atau untuk mengusir mikroba yang diinginkan. Tumbuhan mengirim surat undangan pada beberapa mikroba dengan mensekresikan eksudat akar. Untuk membangun asosiasi mikoriza tumbuhan mengeluarkan gula, asam amino dan strigolakton. Hal tersebut akan dibalas oleh fungi dengan mengeluarkan senyawa flavonoid yang menunjukkan spesifikasi jenis inang-mikoriza. Hadirnya senyawa flavonoid merupakan undangan bagi rhizobium pada tanaman legum untuk membangun asosiasi. Tumbuhan akan menyeleksi rhizobium yang akan diajak berasosiasi dengan mensekresikan senyawa kanavanin yang bersifat toksik. Kesalahan dalam mengeluarkan eksudat akar merupakan surat undangan yang keliru bagi tumbuhan. Dosis senyawa stigolakton yang terlalu rendah tidak akan dapat membentuk asosiasi mikoriza tetapi yang berkembang adalah patogen. Walaupun tumbuhan menghasilkan senyawa fitoantisipin untuk mencegah serangan patogen dan fitoaleksin ketika patogen sudah menginfeksi. Komunikasi akar dengan akar tumbuhan lain dilakukan dengan menghasilkan senyawa alelopati untuk membatasi pertumbuhan akar di sekelilingnya yang dianggap sebagai pesaing. Tanaman invasif atau gulma umumnya selain menghasilkan alelopati juga memproduksi katekin yang dapat membunuh mikroba menguntungkan pada tumbuhan setempat. Akibatnya tumbuhan lokal akan rentan terhadap serangan penyakit dan berujung pada kematian. Selain alelopati, untuk merespon kehadiran tetangganya tumbuhan juga menghasilkan senyawa glukosinolat yang jumlahnya makin meningkat sejalan dengan tingginya biodiversitas vegetasi. Senyawa ini merupakan senyawa beracun bagi patogen, sehingga tumbuhan yang dibudidayakan dengan pola monokultur menjadi rentan terhadap penyakit. Oleh karena itu agar tanah tetap memiliki kandungan senyawa glukosinolat yang memadai serta tetap memelihara kondisi rhizosfir yang dinamis perlu dilakukan pergiliran tanaman varietas lokal setelah beberapa rotasi tanaman.Abstract. Similar to human, plants also develop a communication system to achieve their prosperity. Plants utilize chemical compounds of their root exudates as the ?languange?. Plants are the initiator of communications, since they define the purposes of building communication. Root exudates are released either to attract or to demenish the soil microbes target as an ?invitation letter? to some microbes. To build a mycorrhizal association, for examples, plants issue sugars, amino acids and strygolactones to the rhizosphere. Fungi will reply the invitation by secreting flavonoid compounds that determine host-mycorrhizal specifications. The presence of flavonoids is another invitation to rhizobia to establish association in legume rhizosphere. Plants will select attracted bacteria to build the most host-specific rhizobium association by secreting canavanine compounds that are toxic to non-target rhizobia. Occasionally, an error happened in issuing invitation. When plant release strygolactone in a very low dosages, it will be failure to build mycorrhizal associations otherwise pathogen colonizations, although plants produce either phytoantisipine to prevent pathogens infection or phytoalexin to counter infected pathogens. Communication among roots of neighboring plants is conducted by producing allellopathy compound to limit root growth of the competitors. Invasive plants or weeds generally also produce catechine compounds over the allellophaty that will eliminate soil beneficial microbes of the indigenous plants. As a result, the native plants will be vulnerable to disease and lead to distinct. Responding to the presence of neighboring roots, plants also produce glucosinolate compounds. Glucocynolate consentration will be increased in line with the richness of vegetation biodiversity. These compounds are toxic to the pathogen, which is why plants cultivated in monoculture become more susceptible to disease. Furthermore, to improve soil glucocynolate and to manage the dynamics in the rhizosphere, need to a shift cultivation after several rotations of a commodity with the local varieties.

Page 3 of 18 | Total Record : 173