cover
Contact Name
Salman Abdul Muthalib
Contact Email
tafse@ar-raniry.ac.id
Phone
+6282165108654
Journal Mail Official
tafse@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin Lantai I, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Jln. Lingkar Kampus, Kopelma Darussalam Banda Aceh, Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
ISSN : 26204185     EISSN : 27755339     DOI : 10.22373
TAFSE: Journal of Qur’anic Studies is an open access, peer-reviewed journal that is committed to the publications of any original research article in the fields of Alquran and Tafsir sciences, including the understanding of text, literature studies, living Qur’an and interdisciplinary studies in Alquran and Tafsir. Papers published in this journal were obtained from original research papers,which have not been submitted for other publications. The journal aims to disseminate an academic rigor to Qur’anic studies through new and original scholarly contributions and perspectives to the field. Tafse: Journal of Qur’anic Studies DOES NOT CHARGE fees for any submission, article processing (APCs), and publication of the selected reviewed manuscripts. Journal subscription is also open to any individual without any subscription charges.All published manuscripts will be available for viewing and download from the journal portal for free.
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 5, No 1 (2020)" : 10 Documents clear
Konteks Teguran Allah terhadap Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an Rima Annisa; Zulihafnani Zulihafnani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12549

Abstract

Prophet Muhammad is a messenger of God who carries the trust to deliver the message and be an example for all mankind. On the other hand, in certain contexts the Prophet Muhammad also received a rebuke from Allah for the mistake of his attitude. This paper aims to explain the opinion of the commentator on the rebuke and in what context the Prophet Muhammad received a rebuke from God. This research is qualitative by examining various sources of tafsir books. The results of this study show that God's rebuke to the Prophet is intended as a teaching and refinement of the Prophet's personality. The author finds several contexts about Allah's rebuke to the Prophet Muhammad in the Qur'an, namely about the Prophet's sour-faced attitude towards Ummi Maktum, giving permission to the hypocrites not to take part in the war, performing pray for the hypocrites who died in disbelief, asking for forgiveness for the polytheists, moving the tongue during the revelation of verses, cursing the polytheists, desiring the spoils of war, making treaties with the polytheists of Mecca without accompanying them with the word ‘Insyā Allāh’ and forbidding things that are lawful by Allah. The various rebukes are recorded in the Qur'an in various contexts, and this proves that the Qur'an is not the work of the Prophet, but he is the recipient of revelation from God and shows that the Prophet Muhammad was a weak creature before God. Nabi Muhammad merupakan salah seorang utusan Allah yang mengemban amanah untuk menyampaikan risalah serta menjadi contoh teladan bagi seluruh umat manusia. Di sisi lain, pada konteks tertentu Nabi Muhammad juga mendapat teguran dari Allah atas kekeliruan sikap yang dilakukan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pendapat mufasir terhadap teguran tersebut dan dalam konteks apa saja Nabi Muhammad mendapat teguran dari Allah. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan mengkaji berbagai sumber dari kitab tafsir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teguran Allah terhadap Nabi dimaksudkan sebagai pengajaran dan penyempurnaan kepribadiannya. Beberapa konteks teguran Allah terhadap Nabi Muhammad dalam al-Qur’an adalah sikap Nabi yang bermuka masam terhadap Ummi Maktum, memberi izin kepada orang-orang munafik untuk tidak ikut berperang, melakukan salat terhadap munafik yang mati dalam keadaan kafir, meminta ampunan bagi orang-orang musyrik, menggerakkan lisan ketika turun wahyu, melaknat orang-orang musyrik, menghendaki harta rampasan perang, membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik Mekah tanpa mengiringi dengan kata ‘Insyā Allāh’ dan mengharamkan hal yang dihalalkan oleh Allah. Berbagai teguran tersebut terekam dalam al-Qur’an dalam berbagai konteks, dan ini membuktikan bahwa al-Qur’an bukanlah hasil karya Nabi Saw., tetapi ia adalah penerima wahyu dari Allah serta menunjukkan bahwa Nabi Muhammad merupakan makhluk yang lemah di hadapan Tuhan-Nya. 
Penyimpangan dalam Penafsiran Al-Qur’an: Analisis Penafsiran Kelompok Millah Ibrahim Mohd Farhan bin Md Amin; Maizuddin Maizuddin; Hisyami bin Yazid
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12887

Abstract

Millah Ibrahim is a group that emerged in Johor and believes that prayer is not an obligation in Islam, they believe in the Day of Judgment, and are trying to unite the teachings of Islam, Christianity, and Judaism so that it has a great impact on the common people. Their opinions are based on the verses of the Qur'an with a distorted understanding. This article tries to examine how the deviations in the interpretation of the Qur'an were carried out by the Millah Ibrahim group and how the impact of these deviations on the people of Johor. The results show that the deviations in interpretation carried out by Millah Ibrahim's group are seen in Surah al-Maidah verse 68, Surah al-Baqarah verse 22, al-Ankabut verse 45, and al-Hijir verse 87. These deviations generally occur because of the lack of fulfillment of the requirements to become a commentator. The impact of these deviations, where the general public in Johor was consumed by the explanations presented by this group. This group explains that what is meant by the Day of Judgment mentioned in the Qur'an is not the day when this world is destroyed and then the jinn and humans are resurrected, but what they mean is the day of religious awakening. Millah Ibrahim merupakan satu kelompok yang muncul di Johor, dan berpandangan bahwa salat bukan kewajiban dalam Islam, mereka percaya pada hari kiamat, dan berusaha menyatukan ajaran Islam, Kristen dan Yahudi, sehingga memberi dampak yang besar kepada masyarakat awam. Pendapat-pendapat mereka didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an dengan pemahamanan yang meyimpang. Artikel ini mencoba menelaah bagaimana penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh kelompok Millah Ibrahim dan bagaimana dampak penyimpangan tersebut terhadap masyarakat Johor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpangan penafsiran yang dilakukan oleh kelompok Millah Ibrahim terlihat dalam surat al-Maidah ayat 68, surat al-Baqarah ayat 22, al-Ankabut ayat 45, dan al-Hijir ayat 87. Penyimpangan tersebut pada umumnya terjadi karena kurang terpenuhinya syarat-syarat untuk menjadi seorang mufasir. Dampak dari penyimpangan tersebut, dimana masyarakat awam di Johor termakan oleh penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh kelompok ini. Kelompok ini menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan hari kiamat yang disebut dalam al-Qur’an bukanlah hari dimana dunia ini hancur dan kemudian jin dan manusia dibangkitkan kembali, tetapi yang mereka maksud adalah hari kebangkitan agama.
Tahfiz Al-Qur’an dalam Perspektif Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Ar-Raniry Periode 2013-2015 Furqan Amri; Suarni Suarni; Nurul Fadhilah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12553

Abstract

This study aims to find out how the views of students of the study program of al-Qur'an and Tafsir of the year among 2013-2015 on the subject of tahfiz al-Qur'an . This research is field research using a qualitative approach that is guided by qualitative data, namely data from questionnaires, interviews, observations, and documentation. Collecting the data using a research instrument in the form of a list of questions summarized in a questionnaire and distributed to 50 samples of al-Qur'an and Tafsir students in the year among 2013-2015. Meanwhile, interviews were conducted with the caregivers for the tahfiz al-Qur'an subject. The documentation method is used to collect data about things in the form of transcripts, notes, photos, and so on and complete the data obtained from interviews or observations. The collected data is then analyzed and it shows that: All students of the Al-Qur'an and Tafsir Study Programs agree that Hifz al-Qur'an is a very important subject for this major. Among the reasons they explained was that with the existence of this Constitutional Court, it was very easy to understand the Qur'an and also study its Tafsir. Based on the results of the interviews, it can be concluded that the lecturers always provide direction regarding the methods that can be applied in memorizing the Qur'an, and the obstacles faced by students can be resolved by always approaching the Qur'an. Abstrak: Tahfiz al-Qur’an merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa Program Studi Ilmu al-Quran dan Tafsir mulai dari semester pertama hingga semester lima. Dalam proses belajar mengajar, banyak mahasiswa yang menyetor hafalan kepada dosen ketika mendekati batas waktu setoran. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir periode 2013-2015 terhadap mata kuliah tahfiz al-Qur’an. Penelitian ini bersifat kajian lapangan dengan pendekatan kualitatif yang berpedoman pada data hasil angket, wawancara, obeservasi dan dokumentasi. Pengumpulan data melalui angket didistribusikan kepada 50 orang sampel mahasiswa Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir periode 2013-2015, sedangkan wawancara dilakukan terhadap dosen pengasuh mata kuliah tahfiz al-Qur’an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir setuju bahwa Hifz al-Qur’an adalah mata kuliah yang sangat penting bagi Program Studi ini, alasan yang mereka jelaskan adalah karena mata kuliah ini membantu mahasiswa dalam memahami al-Qur’an dan juga mempelajari Tafsirnya. Para dosen senantiasa memberikan pengarahan terkait metode-metode yang dapat diterapkan dalam menghafal al-Qur’an, dan kendala-kendala yang dihadapi mahasiswa dapat diselesaikan dengan senantiasa mendekatkan diri kepada al-Qur’an.
Penafsiran Ayat-Ayat Takdir dalam Al-Qur’an Nuraini Nuraini; Khairunnisa Khairunnisa
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12579

Abstract

Muslims throughout history have been divided into three groups in the understanding of fate: groups that are excessive, groups that deny, and groups that are moderate. In strengthening the argument in the debate, each group uses the verses of the Qur'an incompletely. Resulting in contradiction of verses. This is the problem that the author raises in this study, by reviewing three books of Tafsir. The methods used are mauḍhūʻi and muqarān methods, with the type of qualitative research of literary objects. The research aims to determine the interpretation of the verses of fate in the Qur’an according to Tafsīr al-Ṭabarī, fī Ẓilāl al-Qur’an, and al-Miṣbāḥ. According to Tafsīr al-Ṭabarī, fate is an absolute provision that has been written in Lauḥ Mahfūz, whether in the form of good or bad. But with the perseverance of worship, the provisions or fate in Lauh Mahfuz can be changed. According to the fī Ẓilāl of the Qur’an, human fate is supernatural therefore man must strive in all his deeds even if the end result is determined by Allah. According to Tafsīr al-Miṣbāḥ, human beings are in the fate of Allah which have certain dimensions. So that God commands human beings to choose based on the potential of the intellect that has been bestowed by Him. The author understands that fate is everything that has been written in Lauḥ Mahfūz. But this does not mean that human beings should ignore the ability of the intellect that has been bestowed by God. Umat Islam dalam sepanjang sejarah terbagi menjadi tiga kelompok dalam memahami takdir: kelompok yang berlebihan, kelompok yang mengingkari, dan kelompok yang bersikap pertengahan terhadap takdir. Untuk menguatkan argumen dalam berdebat, masing-masing menggunakan dalil al-Qur’an secara tidak utuh. Sehingga ayat-ayat tersebut terlihat seakan-akan bertentangan. Permasalahan inilah yang penulis angkat di dalam penelitian ini, dengan mengkaji dari tiga kitab Tafsir. Metode digunakan adalah metode mauḍhūʻi dan muqarān, dengan jenis penelitian kualitatif objek kepustakaan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat takdir di dalam al-Qur’an menurut Tafsīr al-Ṭabarī, fī Ẓilāl Al-Qur’an, dan al-Miṣbāḥ. Menurut Tafsīr al-Ṭabarī, takdir adalah ketentuan mutlak yang telah tertulis di Lauḥ Mahfūz, baik berupa kebaikan atau keburukan. Namun dengan ketekunan beribadah ketentuan atau takdir di Lauh Mahfuz dapat saja berubah. Menurut fī Ẓilāl Al-Qur’an, takdir manusia bersifat ghaib karena itu manusia harus berusaha dalam segala perbuatannya meskipun hasil akhir ditentukan oleh Allah. Menurut Tafsīr al-Miṣbāḥ, manusia berada dalam takdir-takdir Allah yang memiliki ukuran-ukuran tertentu. Sehingga Allah menyuruh kepada manusia untuk memilih berdasarkan potensi akal yang telah di anugerahkan-Nya. Penulis memahami bahwa, takdir adalah segala sesuatu yang telah tertulis di Lauḥ Mahfūz. Namun bukan berarti manusia harus mengabaikan kemampuan akal yang telah dianugerahkan oleh Allah.
Interpretasi Khimar dan Jilbab dalam Al-Qur’an Salman Abdul Muthalib; Sri Kiki Novianda
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12555

Abstract

This paper aims to explain the meaning, function and position of the words khimar and jilbab in the Qur’an. In Surat al-Nur verse 31 Allah explains the limitations of the aurat of a Muslim woman and details the meaning of khimar as a cloth (veil) used to cover her hair (head), neck and chest. Meanwhile, in Surat al-Ahzab verse 59, Allah explains about the clothes that serve to cover the entire body of women. Both words have the same meaning and purpose, namely as a cover for women's aurat. Generally, people understand that the hijab is a khimar (veil), such an understanding will affect its users and obscure its true meaning. This study is a literature study, data used from various scientific works that lead to the problems studied. The main data sources used are tafsir books, to find the meaning and position of the two terms. The results show that khimar and jilbab are two words with different meanings. Khimar is a garment that reaches half of the jilbab, while the jilbab is a garment that covers the entire body. It can be concluded that the word jilbab which is understood by the public as the veil, is basically the meaning of khimar, while the jilbab is a garment or wide shirt that is able to cover the entire body of women. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan makna, fungsi dan kedudukan kata khimar dan jilbab dalam al-Qur’an. Dalam Surat al-Nur ayat 31 Allah menjelaskan tentang batasan aurat perempuan muslim dan merinci makna khimar sebagai kain (kerudung) yang digunakan untuk menutup rambut (kepala), leher dan dadanya. Sedangkan dalam Surat al-Ahzab ayat 59, Allah menjelaskan tentang pakaian yang berfungsi untuk menutup seluruh tubuh perempuan. Kedua kata tersebut memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu sebagai penutup aurat perempuan. Umumnya, masyarakat memahami bahwa jilbab adalah khimar (kerudung), pemahaman demikian akan mempengaruhi penggunanya dan mengaburkan makna sebenranya. Kajian ini bersifat kepustakaan, data yang digunakan dari berbagai karya ilmiah yang mengarah pada permasalahan yang diteliti. Sumber data utama yang digunakan ialah kitab-kitab tafsir, untuk menemukan makna dan kedudukan dua istilah tersebut. Hasil kajian menunjukkan bahwa khimar dan jilbab merupakan dua kata dengan makna yang berbeda. Khimar adalah pakaian yang mencapai setengah dari jilbab, sementara jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh. Dapat disimpulkan bahwa kata jilbab yang dipahami oleh masyarakat secara umum dengan maksud kerudung, pada dasarnya adalah pengertian dari khimar, sedangkan jilbab merupakan pakaian atau baju lebar yang mampu menutupi seluruh tubuh perempuan. 
Ungkapan Ūlū Al-Albāb menurut Mufasir Syukran Abu Bakar; Putri Balqis
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12559

Abstract

The Qur'an is a holy book that contains a discussion of many things, one of which is related to reason, namely ulū al-albāb. The word ulū al-albāb is mentioned 16 times in the Qur'an. Ulū al-albāb means people who have a reason or use reason. In the Indonesian translation, the term ulū al-albāb is defined as intelligent people or people who have common sense, while interpreters (mufasir) give a general and different meaning to the word ulū al-albāb. On this basis, it is necessary to conduct an in-depth study of the meaning of ulū al-albāb, so that it can be known in detail the meaning of ulū al-albāb according to the views of interpreters. This study is bibliographic in nature and the data collection is carried out thematically (mauḍū'i). The results showed that the interpreters gave different meanings regarding the term ulū al-albāb. SayyidQutb explained that ulū al-albāb are the people who first received direction to taqwa, while according to M. QuraishShihab it means people who have pure reason (a mind that is clean from lust), while al-Maraghi defines ulū al-albāb with people who understand and maintain the meaning of life, the secrets and wisdom of enforcing the law, and the benefits contained in the law. The duties and responsibilities of ulū al-albāb are to disseminate knowledge to lead society and foster the morals of Muslims. Alquran merupakan kitab suci yang memuat pembicaraan banyak hal, salah satu pembicaraannya berkenaan dengan akal, yaitu ūlū al-albāb. Kata ūlū al-albāb disebutkan sebanyak 16 kali dalam Alquran.Secaralahirūlū al-albābberarti orang yang mempunyai akal atau menggunakan akal.Dalam terjemahan Indonesia, istilah ūlū al-albāb diartikan dengan orang-orang yang berakal atau orang-orang yang mempunyai akal sehat, sedangkan mufasirmemberi pemaknaan terhadap kata ūlū al-albāb  secara umum dan berbeda. Atas dasar tersebut, perlu dilakukan kajian mendalam tentang makna ūlū al-albāb, sehingga dapat diketahui dengan detail maknaūlū al-albābmenurut pandangan ulama tafsir. Kajian ini bersifat kepustakaan dan dalam pengumpulan data dilakukan secara mauḍū’i (tematik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa para mufasirmemberikan pengertian yang berbeda-beda terkait istilah ūlū al-albāb. Sayyid Quthb menjelaskan bahwa ūlū al-albābyaitu orang-orang yang pertama kali mendapat pengarahan kepada taqwa, sedangkan menurut M. Quraish Shihab mengartikannya dengan orang yang mempunyai akal murni (akal yang bersih dari hawa nafsu), sementara al-Maraghi ūlū al-albābmendefinisikannya dengan orang yang mengerti dan memelihara arti kehidupan, mampu memahami rahasia dan hikmah ditegakkannya hukum, mereka mampu memahami maslahat yang terdapat didalam hukum. Tugas dan tanggung jawab ūlū al-albābadalahmenyebarluaskan ilmu pengetahuan dalam rangka memimpin masyarakat dan membina akhlak umat Islam.
Problematika Penulisan Al-Qur’an dengan Rasm Usmani pada Al-Qur’an Cetakan Indonesia dan Malaysia Muhammad Zaini; Nor Hafizah binti Mat Jusoh
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12508

Abstract

The Qur'an is a direct miracle of the Prophet Muhammad and the main source in Islam. Therefore, the Qur'an needs to be kept seriously, not only in understanding and interpreting it, but also in knowing the history of its descent, the form of the letters, and how the letters are formed. Rasm Usmani is Rasm al-Qur'an which has been agreed upon by the companions of the Prophet and is used as a guide and reference standard for writing the Qur'an by Muslims until now. However, there are still many prints of the Qur’an that violate Rasm Usmani. from the background of problem above, this study aims to find out how the history of the writing of the Qur'an, the background of the emergence of Rasm Usmani and the rules for writing verses of the Qur'an in Rasm Usmani. This research is a literature study with a historical approach. The results showed that the writing of the Qur'an was the sunnah of the Prophet which was followed by ijmak (agreement) by all scholars, because the writing was in the form of tauqifiyyah which was carried out under the supervision of the Prophet. Rasm Usmani is the writing of the verses of the Qur'an which was used and approved by Caliph Usman when the process of writing the Qur'an was carried out. The Uthmani Rasm has been agreed upon by the scholars, so that the Rasm must be followed in its entirety by not adding or subtracting a single letter. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw. secara langsung dan  sumber utama dalam Islam. Karena itu al-Qur’an perlu dijaga secara sungguh-sungguh,  tidak hanya pada memahami dan menafsirkannya, tapi juga mengetahui sejarah turunnya, bentuk huruf-hurufnya, dan  bagaimana bentuk hurufnya. Rasm Usmani merupakan Rasm al-Qur’an yang telah disepakati sahabat Rasulullah serta dijadikan pedoman dan standar rujukan penulisan  al-Qur’an oleh kaum muslim sampai sekarang. Namun, masih terdapat banyak cetakan al-Qur’an yang menyalahi Rasm Usmani. Berangkat dari latar belakang masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sejarah penulisan al-Qur’an, latar belakang munculnya Rasm Usmani serta kaidah-kaidah penulisan ayat-ayat al-Qur’an dalam Rasm Usmani. Penelitian ini bersifat kepustakaan dengan pendekatan historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulisan al-Qur’an adalah sunnah Rasulullah yang diikuti secara ijmak (sepakat) oleh seluruh ulama, karena penulisannya berbentuk  tauqifiyyah yang dilakukan di bawah pengawasan Nabi. Rasm Usmani merupakan penulisan ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan dan disetujui oleh Khalifah Usman ketika proses penulisan al-Qur’an dilakukan. Rasm Usmani telah disepakati para ulama, sehingga rasm itu harus diikuti secara utuh dengan tidak menambah atau mengurangi satu hurufpun. 
Konsep Keluarga Ideal dalam Al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik Muslim Djuned; Asmaul Husna
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12507

Abstract

Marriage is a noble act and the dream of every normal human being, with the aim of becoming a sakinah, mawaddah, and rahmah family. The Qur’an commands Muslims to create harmony in the family, and the Qur’an has also explained that the ideal family in Islam is a family that upholds the rights and obligations of family members. It's just that in reality, not everyone succeeds in achieving this goal, some even end in failure and divorce. Based on the problems above, this paper will examine the interpretation of the scholars regarding the verses related to the family and observe the criteria for the ideal family in Islam. This research includes library research using the mawdhu'i data analysis method, namely by collecting Qur'anic verses that have relevance to the ideal family. The data sources in this study are the Book of Tafsir al-Mishbāh, Tafsir al-Nūr, and the Book of Tafsir fī ilālil al-Qur'ān. The results of the study show that, first: the Qur’an instructs Muslims to settle down and look after their families. Second: The harmony of a family is largely determined by the moral values of each family member. Third: Fostering an ideal family requires awareness among each family member about the rights, obligations, and responsibilities of each family member. Fostering an ideal family is part of maintaining the tranquility and integrity of society and the realization of the Qur'anic generation. Berumah tangga termasuk perbuatan mulia dan dambaan setiap insan yang normal, dengan tujuan menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Alquran memerintah kepada umat Islam untuk menciptakan keharmonisan dalam keluarga, dan Alquran juga telah menjelaskan bahwa keluarga yang ideal dalam Islam adalah keluarga yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban anggota keluarganya. Hanya saja dalam realitasnya tidak semua orang berhasil mencapai tujuan tersebut, bahkan ada yang berakhir dengan kegagalan dan perceraian. Berdasarkan permasalahan di atas, maka tulisan ini akan menelaah tentang penafsiran para ulama tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan keluarga serta melihat kriteria-kriteria keluarga ideal dalam Islam. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan dengan metode analisis data secara mawdhu’i, yaitu dengan menghimpun ayat-ayat Alquran yang memiliki relevansi dengan keluarga ideal. Sumber data dalam kajian ini adalah Kitab Tafsir al-Mishbāh, Tafsir al-Nūr, dan Kitab Tafsir fī Ẓilālil al-Qur’ān. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama: Alquran memerintahkan umat Islam untuk berumah tangga dan memelihara keluarganya. Kedua: Keharmonisan suatu keluarga sangat ditentukan oleh nilai-nilai akhlak yang dimiliki setiap anggota keluarga. Ketiga: Membina keluarga ideal perlu adanya kesadaran antara setiap anggota keluarga tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga. Membina keluarga yang ideal merupakan bagian dari menjaga ketenangan dan keutuhan masyarakat serta terwujudnya generasi qurani.
Penggunaan Lafaz Bahjah, Jamal dan Zukhruf dalam Al-Qur’an Rizky Mubarak; Nurullah Nurullah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12521

Abstract

The choice of vocabulary in the Qur'an is not a coincidence, but each word has its own value of balaghah. The beauty of the language and style of the Qur'an can be seen from its balaghah and fasahah, both concretely and abstractly. The Qur'an sometimes uses several words that have the same or close meanings, so there seems to be an inconsistency in the words it uses. This study will examine the use of the words bahjah, jamᾱl and zukhruf which means beautiful in the Qur'an. This research is library research using the maudhu'i method. The main sources of data are the verses of the Qur'an that contain the words bahjah, jamᾱl and zukhruf as well as secondary sources in the form of books of tafsir, mu'jam and other related scientific sources. In the Qur'an, the words bahjah, jamᾱl and zukhruf have meanings that are almost related to each other but with different contexts and purposes. Bahjah is defined by the beautiful colors used to express the beauty in the trees, flowers, mountains, oceans, etc. that make the earth look beautiful. Jamᾱl in the Qur'an is generally used to describe the beauty that radiates from a nature that will not be mentioned unless there is dispute or friction. As for zukhruf, it is used in the Qur'an to mention concrete decoration, but if it is paired with other words, then the decoration in question is abstract decoration. Pemilihan kosa kata dalam Alquran, bukanlah suatu kebetulan tetapi setiap kata mempunyai nilai balaghah tersendiri. Keindahan bahasa dan uslub Alquran yang menakjubkan terlihat dari balaghah dan fasahahnya, baik yang konkrit maupun abstrak. Alquran kadangkala menggunakan beberapa kata yang memiliki arti sama atau dekat, sehingga tampak adanya inkonsistensi dalam kata-kata yang digunakannya. Kajian ini akan mengkaji penggunaan lafaz bahjah, jamᾱl dan zukhruf  yang bermakna indah dalam Alquran. Penelitian ini berupa riset kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode maudhu’i. Sumber data utama yaitu ayat-ayat Alquran yang mengandung lafaz bahjah, jamᾱl dan zukhruf serta sumber sekunder berupa kitab-kitab tafsir, mu’jam dan sumber ilmiah terkait lainnya. Dalam Alquran lafaz bahjah, jamᾱl dan zukhruf  mempunyai makna yang hampir berkaitan antara satu dengan lainnya namun dengan konteks dan tujuan yang berbeda. Bahjah diartikan dengan warna yang indah yang  digunakan untuk menyebutkan keindahan pada pepohonan, bunga-bungaan, pegunungan, lautan, dan lain-lain yang menjadikan bumi terlihat indah. Jamᾱl dalam Alquran pada umumnya digunakan untuk menyebutkan keindahan yang terpancar dari sesuatu sifat yang tidak akan disebutkan kecuali terjadi perselisihan atau gesekan. Adapun zukhruf digunakan dalam Alquran untuk menyebutkan hiasan yang konkrit akan tetapi jika disandingkan dengan kata lain maka hiasan yang dimaksud adalah hiasan yang abstrak.
Pemaknaan Kata Tasbih pada Awal Surat Al-Qur’an Muhajirul Fadhli; Syarifah Salsabila
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12550

Abstract

In the al-Qur’an, there are seven surahs that start with the root word of sabbaha in various forms. The word tasbih is a maṣdar of the word sabbaha which means to keep God away from bad qualities. This study aims to seek clarification of the expression of tasbih and seek the opinion of mufasir on the differences in the expression of tasbih at the beginning of the surahs of the al-Qur’an. The research method used in this study is the mauḍū'i method. This type of research is library research. Primary data sources come from Tafsr mafātih al-Ghayb, Tafsr al-Misbah, Tafsr Sayyid Quṭb, Tafsr Wahbah al-Zuhayli, and Tafsr al-Qurṭubi. The results showed that the word tasbih using maṣdar (Subhāna) states as an affirmation. The word tasbih using fi'l māḍi (Sabbaha) means that from the past until now all creatures on the earth and sky are glorifying. The word tasbih using fi'l muḍāri' (Yusabbihu) does not only states in the present and the future but also states as a past and the act of glorifying is done repeatedly. The word tasbih uses fi'l al-amr (Sabbih) works as a reminder to always glorify during prayer times and off prayer times.  Di dalam al-Quran, ada tujuh surah yang dimulai dari akar kata sabbaha dan dalam berbagai bentuk. Kata Tasbih merupakan maṣdar dari kata sabbaha yang bermakna menjauhkan Allah dari sifat-sifat buruk. Penelitian ini bertujuan mencari klarifikasi ungkapan tasbih dan mencari pendapat mufassir terhadap perbedaan ungkapan tasbih di awal surah-surah al-Quran. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode mauḍū‘i. Jenis penelitian bersifat studi kepustakaan (library research). Sumber data primer berasal dari Tafsīr mafātih al-Ghayb, Tafsīr al-Misbah, Tafsīr Sayyid Quṭb, Tafsīr Wahbah al-Zuhayli, dan Tafsīr al-Qurṭubi. Hasil penelitian menunjukkan kata tasbih dengan menggunakan maṣdar (Subhāna) berfungsi sebagai penegasan. Kata tasbih dengan menggunakan fi‘l māḍi (Sabbaha) bermakna dari dulu hingga sekarang seluruh makhluk di muka bumi dan langit bertasbih. Kata tasbih dengan menggunakan fi‘l muḍāri‘ (Yusabbihu) tidak hanya berfungsi zaman kini dan akan datang, tetapi juga berfungsi sebagai masa lampau dan perbuatan bertasbih dilakukan secara berulang-ulang. Kata tasbih dengan menggunakan fi‘l al-amr (Sabbih) sebagai peringatan untuk senantiasa bertasbih baik di luar waktu ṣalat maupun di dalam waktu salat. 

Page 1 of 1 | Total Record : 10