cover
Contact Name
Salman Abdul Muthalib
Contact Email
tafse@ar-raniry.ac.id
Phone
+6282165108654
Journal Mail Official
tafse@ar-raniry.ac.id
Editorial Address
Gedung Fakultas Ushuluddin Lantai I, Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Jln. Lingkar Kampus, Kopelma Darussalam Banda Aceh, Aceh 23111
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies
ISSN : 26204185     EISSN : 27755339     DOI : 10.22373
TAFSE: Journal of Qur’anic Studies is an open access, peer-reviewed journal that is committed to the publications of any original research article in the fields of Alquran and Tafsir sciences, including the understanding of text, literature studies, living Qur’an and interdisciplinary studies in Alquran and Tafsir. Papers published in this journal were obtained from original research papers,which have not been submitted for other publications. The journal aims to disseminate an academic rigor to Qur’anic studies through new and original scholarly contributions and perspectives to the field. Tafse: Journal of Qur’anic Studies DOES NOT CHARGE fees for any submission, article processing (APCs), and publication of the selected reviewed manuscripts. Journal subscription is also open to any individual without any subscription charges.All published manuscripts will be available for viewing and download from the journal portal for free.
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 2 (2021)" : 10 Documents clear
Variasi Makna Lafaz Al-Umm dalam Al-Qur’an Syukran Abu Bakar; Husna Khairudita
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11394

Abstract

This paper discusses the pronunciation of al-Umm contained in the Qur'an. In general, the word al-Ummmeans a mother who gives birth. The pronunciation of al-Umm in the Qur'an does not only mean mother, and it can vary in meaning when based on other sentences. Departing from the variations in pronunciation base, the author needs to investigate the use of pronunciation of al-Umm in the Qur'an deeply. This is library research. The data were collected using the Mawḍu'i method (thematic method) and the al-Wujuh wa al-Nazhair approach. The author's sources of data are al-Mu'jam (language dictionary), books of Ulum al-Qur'an, and books of interpretation (Tafsir). The results of the study presented that the pronunciation of al-Ummis mentioned in the Qur'an in the form of singular, plural and word sequences. The 28 words indicate a mother's figure's meaning from 35 words, while the other 7 have their meanings when juxtaposed with other words. The pronunciation of al-Umm is not related to the time or place where the Qur'an was revealed, both in Mecca and Medina. The pronunciation of al-Umm besides means a mother who is pregnant, gives birth, breastfeeds, and the wives of the Prophet, it also means Umm al-Qura (Mecca), Umm al-Kitab (Lauhul-Mahfuzh), and the place of return. Tulisan ini membahas tentang lafaz al-umm yang terdapat di dalam Alquran, umumnya lafaz al-umm bermakna ibu yang melahirkan, ternyata di dalam Alquran, lafal al-umm tidak hanya bermakna ibu, lafaz  al-umm bisa bervariasi maknanya jika disandarkan kepada kalimat lain, berangkat dari adanya variasi penyandaran lafaz tersebut, penulis perlu meneliti lebih dalam terkait penggunaan lafaz al-umm  di dalam Alquran. Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research), data ditelusuri melalui metode mawḍu’i (metode tematik), dengan menggunakan pendekatan ilmu al-Wujuh wa al-Nazhair. Sumber data yang penulis rujuk adalah kitab al-mu’jam(kamus bahasa), kitab-kitab ulum Alquran, kitab-kitab tafsir,. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lafaz al-Umm disebutkan dalam Alquran berupa lafaz tunggal, jamak dan rangkaian kata, 28 kata menunjukkan makna sosok seorang ibu dari 35 lafaz, sedangkan 7 lainnya memiliki makna tersendiri ketika disandingkan dengan kata lain, lafaz al-Umm ini tidak ada sangkut pautnya dengan waktu atau tempat diturunkannya Alquran, baik Makkiyyah maupun Madaniyyah. Adapun makna dari lafaz al-Umm selain berupa makna ibu yang mengandung, melahirkan dan menyusui, istri-istri Nabi, juga bermakna Umm al-Qura (Mekkah), Umm al-Kitab (Lauh al-Mahfuz), dan tempat kembali.
Konsepsi Demokrasi Menurut Al-Qur'an Samsul Bahri; Nurkhalis Nurkhalis; Muhammad Rizki
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10301

Abstract

Democracy is one of the power management systems considered the most suitable to be applied in modern countries today. As a source of guidance for humans, the Qur'an has explained the concept of the system of administering power. The conception of democracy is thus believed to be accommodated in the Qur'an. On that basis, the main problem that needs to be answered is, what is the conception of democracy in the Qur'an? The data for this paper was collected by following the steps in the mawḍu'i interpretation, after that, it was analyzed by following the thematic interpretation stage. The results of the analysis show that the term of the Qur'an, which represents the meaning of democracy, is syurā. In suyrā, norms are found that regulate the necessity of conducting deliberation in worldly affairs, both family affairs, muamalah, and political affairs. The concept of democracy in the form of syrā is mentioned in QS. Al-Baqarah: 233, QS. Ali 'Imrān: 159, and QS. al-Syurā: 38. There are four points of connection between the verses of the Qur'an about democracy and democracy today. First, the obligation to hold opinion meetings and prohibit dictators. Second, freedom of expression. Third, respecting opinions that are superior to the results of deliberation. Fourth, the majority vote is taken into account by protecting the rights of minorities. Demokrasi merupakan salah satu sistem pengelolaan kekuasaan yang dipandang paling cocok untuk diterapkan di negara-negara modern dewasa ini. Sebagai sumber petunjuk bagi manusia, Al-Qur’an telah menjelaskan konsepsi mengenai sistem penyelenggaraan kekuasaan. Konsepsi mengenai demokrasi dengan demikian diyakini terakomodasi dalam Al-Qur’an. Atas dasar itu, permasalahan utama yang perlu dicarikan jawabannya adalah, bagaimanakah konsepsi demokrasi dalam Al-Qur’an? Data untuk tulisan ini dikumpulkan dengan mengikuti langkah-langkah dalam tafsir mawḍu’i, selanjutnya dianalisis dengan tahapan penafsiran secara tematik. Hasil analisis menunjukkan bahwa terma Al-Qur’an yang merepresentasikan makna demokrasi adalah syūrā. Dalam syūrā ditemukan norma yang mengatur keharusan melakukan musyawarah dalam urusan-urusan duniawi, baik urusan keluarga, muamalah, maupun urusan bidang politik. Konsep demokrasi dalam bentuk syūrā disebutkan dalam QS. Al-Baqarah: 233, QS. Āli ‘Imrān: 159, dan QS. al-Syūrā: 38. Terdapat empat poin hubungan ayat-ayat Al-Qur’an tentang demokrasi dan demokrasi masa kini. Pertama, kewajiban melakukan temu pendapat dan melarang diktator. Kedua, kebebasan mengeluarkan pendapat. Ketiga, menghargai pendapat yang lebih unggul dari hasil musyawarah. Keempat, suara mayoritas diperhitungkan dengan melindungi hak-hak minoritas.
Kebersihan Lingkungan dalam Al-Qur’an dan Aplikasinya pada Masyarakat Gampong Buloh Gogo Furqan Amri; Rahmayani Rahmayani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11289

Abstract

The Al-Qur’an and Hadis, as guiding references for life, contain a  comprehensive and complete guideline for the good and prosperity of human life. One of which is a guideline for a healthy life by keeping the hygiene of the surrounding environment. Islam is very attentive about the hygiene of the environment as it directly and strongly relates to health. Therefore, maintaining the hygiene of the environment is equal to taking care of oneself. This study focuses on the level of understanding and awareness of Buloh Gogo village community, Padang Tiji sub-district, toward their environment. The author found that generally, the community of Buloh Gogo possesses good knowledge and understanding about the relation of the hygiene of the environment with health. However, practically they face difficulty maintaining hygiene due to their livestock roaming the environment freely. Only a small number of them take care of the environment and maintain its hygiene. Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup tentunya  mengandung berbagai petunjuk lengkap yang dapat  menciptakan kehidupan yang baik dan sejahtera bagi manusia, salah satunya adalah petunjuk tentang pola hidup sehat dengan menjaga kebersihan lingkungan. Islam sangat memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar karna kebersihan sangat erat kaitannya dengan kesehatan, oleh sebab itu menjaga kebersihan sama pentingnya dengan menjaga diri sendiri. Namun dalam kenyataannya masyarakat tidak terlalu memperhatikan dan memahami betapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Tulisan ini akan fokus pada tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat Gampong Buloh Gogo kecamatan Padang Tiji terhadap kebersihan lingkungan. Penulis menemukan bahwa pada umumnya masyarakat Gampong Buloh Gogo Kecamatan Padang Tiji memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang kebersihan lingkungan namun dalam praktiknya masyarakat Gampong Buloh Gogo kurang peduli dengan kebersihan lingkungan karna tingkat kesulitannya tinggi untuk selalu menjaga agar tetap bersih akibat dari hewan ternak yang bebas berkeliaran di lingkungan mereka dan  hanya sebagian kecil dari masyarakat saja yang peduli dan menjaga kebersihan lingkungan.
Interpretasi Perintah Sujud pada Kisah Nabi Adam menurut Para Mufasir Zulihafnani Zulihafnani; Novita Putri
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10185

Abstract

Prostration is proof of the closeness between beings to Allah Swt as their God, by placing his head on the ground as worship that is only done to Allah. This is different from the story of Prophet Adam, and God commanded the angels and demons to prostrate to Prophet Adam. This article attempts to discuss the meaning of prostration in the story of the Prophet Adam. The research method used is the method of maudhu'i which is the method of interpreting the verses of the Qur'an thematically. The type of research that the author uses is the type of literature research, by collecting data following the topic of discussion. The analysis technique that the author uses is descriptive analysis; that is, the author tries to understand the verses based on the interpretation of the scholars and also based on other sources. According to the commentators, this article discusses the command of prostration in the story of the Prophet Adam. The result of the research is the description of prostration in the story of the Prophet Adam in the Qur'an, which is included in various surahs such as surah al-Baqarah, al-Hijr, al-A’raf, al-Isra, al-Kahfi, Thaha, and surah Shad. There are also differences of opinion among scholars in interpreting the verses in which it explains the story of the command of prostration to the Prophet Adam. Sujud merupakan bukti ketaatan dan kedekatan makhluk dengan Allah Swt sebagai Tuhan. Sujud dilakukan dengan merendahkan diri, menundukkan badan dan meletakkan kepala di bawah sebagai bentuk penyembahan. Dalam pengertian tersebut, tidak ada sujud yang boleh dilakukan oleh makhluk selain kepada Allah. Namun di sisi lain, Allah Swt memerintahkan para malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui makna sujud pada kisah Nabi Adam. Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan menggunakan metode maudhu’i untuk menemukan ayat-ayat yang terkait dengan tema yang dimaksud. Kemudian dianalisa secara deskriptif dengan memahami ayat-ayat melalui penafsiran para ulama dan sumber-sumber lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi sujud pada kisah Nabi Adam dalam al-Qur’an terangkum dalam berbagai surah, yaitu QS. al-Baqarah, QS. al-Hijr, QS. al-A’raf, QS. al-Isra’, QS. al-Kahfi, QS. Thaha, dan QS. Shad. Dari ayat-ayat tersebut, diketahui bahwa Allah Swt memerintahkan para malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk penghormatan, bukan sebagai penyembahan.  
Optimisme Nabi Zakaria dan Maryam dalam Menghadapi Ujian Menurut Al-Qur’an Muhajirul Fadhli; Syifa' Ahmad Fauzi
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10174

Abstract

Optimism is the behaviour of someone who tends to think positively. Optimism and not giving up on Allah's favours are characteristics of people who believe. Everyone must face a difficult phase in his life. When faced with a problem, humans tend to worry too much about overcoming the problem, so that in the end, many choose the short path in the wrong way through the process of abusing faith or being trapped in heretical teachings. However, the Qur'an is presented in our lives to be a guide in living our daily lives. Therefore, in this study, examples of optimism in the Qur'an are shown to be used as lessons in life, namely the story of the Prophet Zakaria and Maryam, where these two stories have similarities. The formulation of the problem in this study is the attitude of optimism and the process they face. The type of research used is qualitative research using the maudhû'i (thematic) method. The result of this study is that they faced trials that were very hard, but they managed to get through with optimistic attitudes, namely, not giving up hope, having good thoughts, and not stopping to rely on hope and praying to Him. Optimisme merupakan perilaku seseorang yang cenderung kepada pemikiran yang positif. Sifat optimisme dan tidak berputus asa pada nikmat Allah merupakan ciri-ciri orang yang beriman. Setiap orang pasti menghadapi fase sulit dalam hidupnya. Ketika dihadapkan pada sebuah masalah manusia cenderung terlalu khawatir secara berlebihan dalam hal mengatasi permasalahan tersebut, sehingga pada akhirnya banyak yang memilih jalan singkat dengan cara yang salah melalui proses penyalahgunaan akidah ataupun terjebak dalam ajaran sesat. Walau bagaimanapun, Al-Qur’an dihadirkan dalam hidup kita bertujuan untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini ditampilkan contoh-contoh sifat optimisme dalam Al-Qur’an untuk dijadikan pembelajaran dalam hidup, yaitu kisah Nabi Zakaria dan Siti Maryam dimana  kedua kisah ini memiliki persamaan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sikap optimisme dan proses yang dihadapi oleh keduanya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode maudhû’i (tematik). Hasil penelitian adalah kedua hamba menghadapi ujian begitu berat, namun mereka berhasil melaluinya dengan sikap-sikap optimis yaitu tidak berputus asa, bersangka baik, dan tidak berhenti dari bergantung harap serta berdoa kepada-Nya. 
Tafsir dan Budaya Aceh Iskandar Usman
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11540

Abstract

This paper aims to examine the development of interpretation in Aceh. This research is qualitative with documentation data collection techniques and uses descriptive-analytical methods by looking at the literature and scientific history in Aceh. The results showed that the study of interpretation in Aceh was not as developed as fiqh. There was even a long vacuum after the book Turjuman al-Mustafid written by Abdurrauf al-Singkili. Sometime later, the works of scholars began to appear who began to focus on studying and writing about the interpretation of the Qur'an. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji fenomena perkembangan tafsir di Aceh. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan teknik pengumpulan data dokumentasi dan menggunakan metode deskriptif analitis, dengan melihat literatur dan sejarah keilmuan di Aceh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kajian tafsir di Aceh tidak terlalu berkembang sebagaimana fikih. Bahkan ada kevakuman yang lama setelah kitab Turjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Abdurrauf al-Singkili. Beberapa masa setelahnya, mulai muncul karya-karya ulama yang mulai fokus mengkaji dan menulis tentang tafsir al-Qur’an. 
Penakwilan Ayat-Ayat Sifat menurut Imam Fakhruddin Al-Razi Muslim Djuned; Makmunzir Makmunzir
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11288

Abstract

One of the most controversial themes in the history of the interpretation of the Qur'an is the interpretation of the verses of the Qur'an related to the attributes of Allah SWT. Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ was a commentator who interpreted the verses of nature. This study aims to determine the interpretation and approach used by Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ in interpreting the verses of nature. The adjective verses that are the author's focus here are the pronunciation of istawȃ’ QS. Ṭhȃhȃ: 5, yad on QS. al-Fatḥ: 10, wajh on QS. al-Rahmȃn: 27, ‘ain on QS. Hȗd: 37, and sȃq on QS. al-Qalam: 42. These words were chosen because they were widely discussed by scholars in their works, especially in the treasures of Qur'anic Studies. The conclusions that can be drawn from this study are: First, Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ tends to use takwȋl in understanding the verses of nature that are not to interpret the meaning of a sentence with the meaning that is apparent because there are arguments that prevent it from being interpreted with the meaning. Second, it tends to use language and logic approaches in interpreting adjective sentences. Salah satu tema yang kontroversial dalam sejarah penafsiran al-Qur`an adalah pentakwilan terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah Swt. Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ adalah seorang mufassir yang melakukan pentakwilan terhadap ayat-ayat sifat. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan penafsiran dan pendekatan yang digunakan al-Rȃzȋ dalam mentakwilkan ayat-ayat sifat. Ayat-ayat sifat yang menjadi fokus penulis di sini adalah lafaz istawā pada QS. Thȃhȃ: 5, lafaz yad pada QS. al-Fath: 10, lafaz wajh pada QS. al-Rahmȃn: 27, lafaz ‘ain pada QS. Hȗd: 37, dan lafaz sāq pada QS. al-Qalam: 42. Lafaz-lafaz tersebut dipilih karena banyak dibahas para ulama dalam karya-karya mereka terutama dalam khazanah Ilmu al-Qur`an dan Tafsir. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan (library reaseach), sedangkan metode pendekatannya menggunakan metode tafsir maudhu’i, yaitu dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tema  dan penyusunannya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat, selanjutnya di analisis secara deskriptif serta sampai mengambil kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah: Pertama, Fakhr al-Dȋn al-Rȃzȋ cenderung menggunakan takwil dalam memahami ayat-ayat sifat yakni tidak memaknai makna sebuah lafaz ayat dengan makna yang zahirnya, hal itu disebabkan adanya dalil yang mencegah untuk dimaknai dengan makna zahir. Kedua, ia cenderung menggunakan pendekatan bahasa dan logika dalam menakwil ayat-ayat sifat.
Elaborasi Wudhu dalam Perspektif Lawn Tafsir al-Ahkam: Kajian Pemahaman terhadap QS. Al-Maidah Ayat 6 Fauzi Fauzi
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11325

Abstract

This article aims to discuss the understanding of ablution in Surat Al-Maidah in the perspective of Ahkam's interpretation. This research is qualitative with documentation data collection techniques. It uses the muqaran (comparative) method by comparing several interpretations of ahkam nuances that are practical (applicative) and intuitively inclined isyari. The result of the research is that the commentator puts forward the views of his school of fiqh tendencies and the style of interpretation according to their respective scientific fields. With their fiqh nuances, some commentators emphasize the members of wudhu', limits (coverage) and frequency of use, including differences in reading rusu'sikum and ru'usakum. According to al-Qusyairi, this washing is not only in the perspective of dhahir but also cleanses the mind to reach spiritual perfection. Artikel ini bertujuan untuk membahas pemahaman wudhu dalam Surat Al-Maidah dalam perspektif tafsir Ahkam. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan teknik pengumpulan data dokumentasi dan menggunakan metode muqaran (komparatif) dengan membandingkan sejumlah tafsir bernuansa ahkam yang sifatnya amali (aplikatif) dan juga isyari yang cenderung intuitif. Hasil dari penelitian adalah bahwa mufassir mengedepankan pandangan kecenderungan mazhab fiqh yang dimilikinya dan corak penafsiran sesuai dengan pembidangan keilmuan masing-masing ada. Sebahagian mufassir dengan nuansa fiqhnya menekankan pada anggota wudhu’, batasan (cakupan) dan frekuensi penggunaannya termasuk perbedaan pada bacaan rusu’sikum dan ru’usakum. Secara isyari, basuhan ini menurut al-Qusyairi, tidak hanya dalam perspektif dhahir, tetapi juga membersihkan batin untuk menggapai kesempurnaan spiritual seorang hamba. 
Qira’at Al-Qur’an dan Perkembangannya di Aceh Muhammad Zaini; Sri Azharani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10183

Abstract

The people of Aceh in general only know one qira'at in reading the Qur'an, namely Qira'at 'Ashim, the history of Hafash, it is caused by the lack of the knowledge of society about qira'at readings from the priests, whereas some people master the reading of qira'ah sab'ah (seven qira'at), qira'ah 'asyarah (ten qira'at) even up to fourteen qira'at. It is marked by the emergence of various writings on the development of qira'at from the Acehnese scholars. However, the limitations of media and socialization make it seem as if this knowledge has never developed. This paper aims to briefly discuss qira'at al-Qur'an and describe how it developed in Aceh, starting from recitation in classical times to modern times. This study uses a descriptive analysis method by collecting data, both in the form of readings and the results of interviews relating to the theme of the discussion. The results of the study show that the development of qira'at in Aceh is a knowledge that should not be forgotten by the wider community, especially the people of Aceh who are not the area of origin from where the Qur'an was revealed. The science and practice of qira'at can develop rapidly in Aceh and get a special place for learning. Masyarakat Aceh pada umumnya hanya mengenal satu qira’at dalam membaca Al-Qur’an, yaitu Qira’at ‘Ashim riwayat Hafash, hal ini disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap bacaan-bacaan qira’at dari para imam. Padahal terdapat beberapa kalangan yang menguasai bacaan qira’ah sab’ah (qira’at tujuh), qira’ah ‘asyarah (qira’at sepuluh) bahkan qira’at empat belas. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai karya tulis pada lintas perkembangan qira’at dari para ulama Aceh. Namun, keterbatasan media dan sosialisasi menjadikan ilmu tersebut seolah-olah tidak pernah berkembang. Tulisan ini bertujuan untuk membahas qira’at al-Qur’an secara ringkas dan menggambarkan bagaimana perkembangannya di Aceh, mulai dari pengajian di masa klasik sampai pada masa modern. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan cara mengumpulkan data-data, baik berupa bacaan maupun hasil dari wawancara yang berkenaan dengan tema pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan qira’at di Aceh menjadi pengetahuan yang tidak boleh dilupakan oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat Aceh yang bukan daerah asal dari tempat turunnya al-Qur’an. Bahkan, ilmu dan praktik qira’at bisa berkembang dengan pesat di Aceh serta mendapat tempat khusus untuk pembelajarannya. 
Khazanah Living Quran dalam Masyarakat Aceh Muhammad Ridha
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11372

Abstract

The study of the Quran as a systematic effort towards matters related to the social phenomena of the Muslim community that responds to the Qur'an has been described since the time of the Prophet and his Companions. The emerging tradition is that the Quran is used as memorization (Tahfiz), sima '(listening), and study of Tafseer in addition to being an object of learning to various regions in the form of "Majlis Quran". This has become a treasure for Muslims. Over time, some more traditions and practices can bring the Qur'an to life. In this case, it would be interesting if we studied the living Quran through the people of Aceh. This can be a knowledge for people who do not know that Aceh has many treasures of traditions and practices through the living Quran. This can also be seen through the community's response to various practices covering the living Quran. This article examines the living Quran by examining the phenomena of living Quran practices that live in an Acehnese society in particular. Studi al-Qur’an merupakan sebuah upaya sistematis terhadap hal-hal yang terkait dengan fenomena sosial masyarakat muslim yang merespon al-Qur’an. Fenomena sosial tersebut sudah mulai sejak zaman Rasulullah dan para Sahabat. Tradisi yang muncul adalah al-Qur’an dijadikan dalam bentuk hafalan (Tahfiz), sima` (listening), dan kajian tafsir disamping sebagai obyek pembelajaran ke berbagai daerah dalam bentuk majlis al-Qur’an. Hal ini menjadi suatu khazanah bagi umat islam. Seiring berjalannya waktu, semakin bertambah tradisi maupun praktik yang mampu menghidupkan al-Qur’an. Dalam hal ini, akan jadi menarik jika kita mengulik living quran lewat masyarakat Aceh. Hal ini dapat menjadi suatu pengetahuan juga bagi masyarakat yang belum mengetahui bahwa Aceh memiliki segudang khazanah tradisi maupun praktik-praktik melalui living quran. Hal ini juga dapat dilihat melalui respon masyarakat baik dari segi macam-macam praktik yang meliput living quran. Serta mengkaji living quran dengan mengupas fenomena praktik living quran yang hidup di masyarakat Aceh khususnya.

Page 1 of 1 | Total Record : 10