cover
Contact Name
Ali Mustofa
Contact Email
alimustofa@unesa.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
alimustofa@unesa.ac.id
Editorial Address
The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya T4 Building, 2nd floor Lidah Wetan Campus Surabaya 60213
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Litera Kultura
ISSN : -     EISSN : 23562714     DOI : -
Litera Kultura : Journal of Literary and Cultural Studies accepts articles within the scope of Literature and Cultural Studies. The journal is published three times in a year: April, August, and December.
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014" : 11 Documents clear
LEO TOLSTOY'S IDEA OF MORALITY IN HIS SHORT STORIES CHARACTERS DIAN LAILY R
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.8757

Abstract

Abstrak Penelitian ini berjudul Leo Tolstoy's Idea of Morality in his Short Stories Characters. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan ide moralitas melalui tokoh-tokoh dalam cerita pendek Leo Tolstoy dan bagaimana ide moralitas Leo Tolstoy digunakan untuk mengritik masyarakat Rusia pada zamannya. Penelitian ini akan menjelaskan hubungan antara karya sastra dan masa penulisan karya sastra tersebut. Cerita-cerita pendek yang digunakan dalam penelitian ini adalah God Sees the Truth but Waits; Ivan the Fool; A Lost Opportunity; and After the Ball. Sumber data diambil dari cerita pendek tersebut, sumber-sumber tertulis, dan berbagai macam sumber dari internet lainnya; dalam bentuk kutipan, komentar, dan percakapan yang menggambarkan ide moralitas dan bagaimana idea moral Tolstoy tersebut digunakan untuk mengritik masyarakat Rusia pada zamannya. Analisis dari penelitian ini berdasarkan pada rumusan masalah sebagai berikut: "Bagaimanakah ide moralitas Leo Tolstoy tercermin dalam cerita-cerita pendeknya?" dan "Bagaimanakah ide moralitas Leo Tolstoy digunakan untuk mengritik masyarakat Rusia pada zamannya?" Sementara itu, teori yang diterapkan untuk menjawab rumusan masalah pertama adalah ide moralitas milik Leo Tolstoy, tanpa-perlawanan, dan juga memasukkan nilai-nilai Kristiani untuk mendukung idenya. Kritik Biografi / Historis juga digunakan untuk mengungkapkan bagaimana ide moralitas Tolstoy digunakan untuk mengritik masyarakat Rusia pada zamannya. Sementara, metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan deskriptif-kualitatif. Kata Kunci: kritik biografi, ide moralitas, kristiani, deskriptif-kualitatif, jurnal. Abstract This study entitles Leo Tolstoy's Idea of Morality in his Short Stories Characters. The purpose of this study is to reveal the idea of morality through Leo Tolstoy’s short stories characters and how Tolstoy's idea of morality is used to criticize the Russian society in his time. This study will explain the correlation between works of literature and the writing time of the works of literature. The short stories used in this study are God Sees the Truth but Waits; Ivan the Fool; A Lost Opportunity; and After the Ball. The data sources are taken from the short stories mentioned, textual sources, and other sources from the internet; in the form of quotations, comments, and dialogs that represent the idea of morality and how Tolstoy's idea of morality is used to criticize the Russian society in his time. The analysis of this study is based on following statements of problem: “How is Leo Tolstoy's idea of morality reflected in his short stories characters?” and “How is Leo Tolstoy's idea of morality used to criticize the Russian society of his time?” Mean while, the theory applied to answer the first statement of problem is Tolstoy's idea of as zero resistance, and may include Christianity values to support his idea. Historical / Biographical Criticism is also used to reveal how Tolstoy's idea of morality is used to criticize the Russian society in his time. While the research methodology used is descriptive-qualitative approach. Keywords: biographical criticism, idea of morality, christianity, descriptive-qualitative, journal.
MIMICRY AND AMBIVALENCE IN ANDREA HIRATA’S THE RAINBOW TROOPS HANNA LINA
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.8758

Abstract

Abstrak Studi ini menggunakan konsep milik Homi K. Bhabha seperti mimikri dan ambivalensi untuk menggambarkan karakter hibrid dalam diri Ikal pada novel The Rainbow Troops karya Andrea Hirata. Melalui konsep Bhabha yakni proses identifikasi,studi ini berusaha menemukan kompleksitas rasa rendah diri Ikal dan kecenderungannya untuk meniru bangsa Barat. Skripsi kualitatif ini menganalisa sudut pandang Ikal yang tercatat sebagai orang pribumi berpendidikan Eropa. Kemiskinan dalam komunitasnya berbenturan dengan perusahaan pemerintah yang menguasai sumber kekayaan alam seperti halnya pemerintah kolonial Belanda. Ini menimbulkan stereotip pada diri Ikal tentang kehidupan barat. Ikal cenderung melakukan mimikri melalui karakter Lintang dan Mahar. Menurut Ikal, peradaban Eropa adalah kehidupan yang paling layak untuk ditiru. Sedangkan tindakannya meniru kehidupan Eropa itu menjadi sangat ambigu dan bertentangan bila dibandingkan dengan kemiskinan dan diskriminasi yang terjadi pada komunitasnya Kata Kunci: mimikri, ambivalensi, hibriditas, stereotype. Abstract This study employs Homi K. Bhabha’s prominent concepts like mimicry and ambivalence to describe Ikal hybrid personalization in Andrea Hirata’s The Rainbow Troops. Through Bhabha’s concept of process of identification, this study finds Ikal’s inferiority complex and his mimicking tendency. Here, this qualitative thesis analyze those values through Ikal’s eye whom noted as an educated man of Europe university. The poverty of his community find a clash with the domination of government company which posses their wealth like the previous Dutch colonial. It raises Ikal’s stereotype of western life. As the relevance of Bhaba’s notion of mimicry, Ikal as colonized always try to move toward other. Ikal delivers the mimicry tendency though impossible genius characters of Lintang and Mahar. In Ikal’s languange, Europe civilization is the most progressive life that should follow on. Whereas his mimic action to European value is so ambiguous and ambivalent compared with his poverty and discrimination occurred in his people. Keywords: mimicry, ambivalence, hybridity, stereotype.
REVEALING CHARLIE GORDON’S TRAUMA  IN DANIEL KEYES’S FLOWERS FOR ALGERNON DESY EKA FATMAWATI
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.8810

Abstract

Abstract Trauma is a common psychological problem of human being. Meanwhile, intelligence is a human gift as a ‘tool’ to give ‘intellectual responses’ in life. Bloom mentioned that our very complex brains and powerful memories distinguish us as the most intelligent, and yet as we will see, it is this very intelligence that leaves us vulnerable to the effects of trauma (Bloom, 1999, pp.2-3). This thesis focuses on Charlie Gordon in Daniel Keyes’s Flowers for Algernon. The purpose of this thesis is to reveal Charlie Gordon’s trauma in Flowers for Algernon. This thesis includes the analysis about Charlie’s trauma depicted in the novel, and the reasons why the trauma happens on Charlie in the novel. The writer applies library reseach method using theory of trauma and its symptoms by Judith Herman, concept of mental retardation by WHO, and concept of gifted by Sword and Silverman. In the data analysis, there are two steps which are applied: First, analyzing how the trauma depicted by using theory of trauma symptoms and theory of intelligence. The theory of trauma symptoms is applied in Charlie’s two conditions: mentally retarded man and intelligent man. Then, for knowing the role of Charlie’s intelligence in affecting his trauma, theory of intelligence which include mental retardation and genius/gifted are applied. And second, analyzing the reasons why the trauma happens on Charlie using theory of trauma. The result of this thesis shows that Charlie Gordon as retarded man, although has the trauma, does not get much effects on him. Meanwhile, the intelligent Charlie feels the effects of the trauma worse. Although individual with retarded condition is more sensitive to stress which can lead to trauma, the effect it has is less serious than individual with enough intelligence. Furthermore, the role of Charlie’s intelligence in influencing his trauma to either worsen the trauma or make it better and the reasons why the trauma happens to him are revealed. Keywords: trauma, traumatic experience, symptoms of trauma, intelligence, mental retardation, genius/gifted. Abstrak Trauma merupakan masalah psikologi yang sudah tidak asing. Sementara itu, inteligensi merupakan berkah yang dimiliki setiap individu sebagai alat untuk memberikan respon intelektual dalam hidup. Bloom menyatakan bahwa otak kita yang sangat komplek dan ingatan yang kuat membuat kita menjadi yang terpintar, akan tetapi dapat juga kita lihat, inteligensi inilah yang membuat kita lemah terhadap efek trauma (Bloom, 1999, pp.2-3). Skripsi ini terfokus pada Charlie Gordon dalam novel Daniel Keyes Flowers for Algernon. Tujuan skripsi ini ialah mengungkap trauma Charlie Gordon dalam novel Flowers for Algernon. Skripsi ini menyertakan analisa tentang trauma Charlie yang digambarkan dalam novel, dan penyebab-penyebab mengapa trauma terjadi pada Charlie dalam novel. Studi in mengaplikasikan Library Research Method, menggunakan teori trauma dan gejala trauma oleh Judith Herman, konsep mental retardasi oleh WHO, dan konsep gifted oleh Sword dan Silverman. Pada analisis data, terdapat dua langkah yang diaplikasikan: Pertama ialah menganalisis bagaimana trauma tersebut digambarkan menggunakan teori gejala trauma dan teori inteligensi. Pengaplikasian teori gejala trauma ini diaplikasikan pada dua kondisi Charlie: sebagai orang yang berkebelakangan mental dan sebagai orang yang pintar. Kemudian, untuk mengetahui peran inteligensi Charlie dalam mempengaruhi traumanya, teori inteligensi yang mencakup mental retardasi dan genius/gifted juga diaplikasikan. Langkah kedua ialah menganalisis penyebab mengapa trauma tersebut terjadi pada Charlie menggunakan teori trauma. Hasil skripsi ini menunjukan bahwa ketika Charlie menjadi seorang berketerbelakangan mental, walaupun ia mempunyai trauma, ia tidak merasakan efek yang berat pada dirinya. Sementara itu, Charlie sebagai seorang yang pintar merasakan efek trauma lebih parah. Walaupun individu dengan keterbelakangan mental lebih sensitif terhadap stress yang dapat mengarah pada trauma, efek yang didapat tidak seserius individu dengan inteligensi yang cukup. Lebih jauh, peran inteligensi Charlie dalam mempengaruhi traumanya menjadi parah atau menjadi lebih baik dan penyebab mengapa trauma tersebut terjadi padanya juga terungkap. Keywords: trauma, pengalaman traumatik, gejala-gejala trauma, inteligensi, mental retardasi, genius/gifted.
Spirituality in John Steinbeck’s Tortilla Flat EKO PUJI SUSANTO
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.8875

Abstract

Abstrak Spiritualitas mengingatkan manusia untuk mengingat bahwa setiap orang memiliki kebebasan dari benda materiil apa saja. Di dalam sisi spiritual manusia, tidak ada belenggu dari keinginan materiil. Ada titik dalam otak manusia yang mengigatkan manusia untuk selalu yakin dan percaya pada takdir dan Tuhan. Tujuan penelitian ini adalah penguraian tentang bagaimana spiritualitas terlukis pada novel Tortilla Flat karya John Steinbeck dan bagaimana spiritualitas dapat membantu para karakter untuk menyelesaikan permasalahan mereka dalam novel Tortilla Flat karya John Steinbeck. Pendekatan teori yang digunakan adalah konsep spiritualitas dari Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ edisi tahun 2005 dan konsep Titik Tuhan dari Danah Zohar dan Ian Marshall dalam buku SQ tahun 2000. Konsep-konsep ini akan digunakan untuk menganalisa spiritualitas dalam novel Tortilla Flat karya John Steinbeck. Sebagai konsep pendukung, akan menggunakan konsep spiritualitas dari tokoh-tokoh lain dan aspek-aspek spiritualitas dari Delaney. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa spiritualitas terlukis dalam novel Tortilla Flat karya John Steinbeck dan spiritualitas dapat membantu para karakter dalam novel Tortilla Flat untuk mengatasi permasalahan mereka. Kata Kunci: spiritualitas, mengatasi permasalahan, takdir, dan keberadaan Tuhan. Abstract Spirituality reminds people to remember that everyone has freedom from any material things. In spiritual side of human, there is no shackle in material willing. There is spot should remind human to always keep the faith and believe in fate and God. The purposes of the study are describing how spirituality is portrayed in John Steinbeck’s Tortilla Flat and how spirituality help the characters cope with their problems in John Steinbeck’s Tortilla Flat. Theoretical approach uses the concept of spirituality from AgustianAryGinanjar in ESQ book 2005 edition and the concept of God Spot from DanahZohar and Ian Marshall in the SQ book 2000. These concepts will be used to analyze spirituality in John Steinbeck’s TortillaFlat. As supporting theories or concepts, it will use others’ spiritual concepts and spiritual aspects from Delaney. The result of the study shows that spirituality is portrayed in John Steinbeck’s TortillaFlat and spirituality can help the characters cope with their problems. Keywords:spirituality, coping with the problem, fate, and God’s existence.
DISMANTLING PROSTITUTION AS AN INSTITUTION IN NAWAL EL SAADAWI’S WOMAN AT POINT ZERO NENDEN SYAHBANA M
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.9005

Abstract

Abstrak Potret negative kehidupan prostitusi dalam masyarakat tak terelakkan. Sebagian besar pandangan maupun komentar terkait prostitutsi selalu berupa anggapan bahwa hal tersebut merupakan bentuk penyimpangan. Namun, dalam novel Nawal El Saadawi berjudul Woman at Point Zero, prostitusi didepiksikan secara berbeda. Prostitusi dalam novel ini tidak ditampilkan sebagai suatu penyimpangan, melainkan malah sebagai suatu institusi yang setara dengan institusi sosial, seperti institusi pernikahan ataupun institutsi pekerjaan pada umumnya. Menurut teori relasi kekuasaan Foucault, prostitusi dipandang sebagai suatu bentuk penyimpangan karena wacana mengenai seksualitas dalam masyarakat diinstitusikan dalam pernikahan, sehingga aktifitas seksualitas diluar pernikahan dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan. Dengan demikian, depiksi prostitusi dalam novel yang berbeda dengan realita yang ada di masyarakat bisa jadi merupakan pesan tersembunyi, hasil pemikiran radikal El Saadawi; ataupun bisa jadi merupakan wacana tersembunyi dibalik depiksi prostitusi yang ada, diluar pemikiran El Saadawi. Oleh karena itu, dalam studi ini analisis didasarkan pada dua rumusan masalah: (1) bagaimana prostitusi didepiksikan dalam masyarakat dalam novel El Saadawi Woman at Point Zero? (2) bagaimana prostitusi dideskripsikan sebagai suatu institusi untuk perempuan dalam novel El Saadawi Woman at Point Zero? Analisis dilakukan dengan mengaplikasikan metode pembacaan dekonstruksi dan konsep relasi kekuasaan Foucault, termasuk konsepnya tentang wacana, seksualitas dan institusi, untuk membongkar wacana prostitusi sebagai suatu institusi dalam novel. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa depiksi prostitusi dalam masyarakat dalam novel digambarkan secara kontradiktif. Prostitusi dalam novel bertentangan dengan sistem hirarki wacana prostitutsi yang ada dimasyarakat pada umumnya. Prostitusi dalam novel didepiksikan beroposisi dengan dua institusi sosial, yaitu institusi pernikahan dan institusi pekerjaan. Secara hirarkis, oposisi biner yang membentuk wacana prostitusi dikonstruksikan: pernikahan><prostitusi dan pekerjaan sosial><prostitusi. Namun, melalui sudut pandang yang dinarasikan Firdaus sebagai pemeran utama dalam novel, oposisi biner tersebut mengalami pembalikan karena adanya relasi kekuasaan individu yang saling mempengaruhi didalam institusi-institusi tersebut. Dengan demikian, terungkaplah bahwa prostitusi dapat menggantikan institusi pernikahan maupun institusi perkerjaan pada umumnya untuk para fallen women. Dengan kata lain, prostitusi dapat disebut sebagai institusi fallen women untuk mendapatkan kesuksesan, perlindungan, kehormatan, dan secara bersamaan mereka dapat memainkan perannya sebagai seorang subjek secara aktif. Kata kunci: Prostitution, deconstruction, power relation, and institution Abstract The negative portrait of prostitution in society is beyond out of doubt. Most of society’s views on prostitution always consider it as a deviant. However, In Nawal El Saadawi’s Woman at Point Zero, it is depicted differently. It is depicted to be equal to social institution, such as marriage, rather than a deviant. According to Foucauldian’s concept of power relation, prostitution is seen under the term of deviant because the discourse of sexuality in society is institutionalized in marriage. Therefore, the depiction of prostitution in the novel that seems to be equal to social institution might be either another message of El Saadawi’s radical thought or a hidden discourse behind the present depiction that is constructed out of El Saadawi’s intention. Thus, this study is written by grounding on two questions: (1) how is prostitution depicted within society in El Saadawi’s Woman at Point Zero?, and (2) how is prostitution described as an institution for women in El Saadawi’s Woman at Point Zero? The analysis is conducted through applying the method of deconstruction reading and Foucauldian’s concept of power relation, including discourse, institution, and sexuality to dismantle the discourse of prostitution as an institution in the novel. The result of this study shows that the depiction of the prostitution within society in the novel is put upside down. It is in the opposite of the hierarchical system of prostitution in the discourse of society in general. It is depicted in opposition to the two social institutions, marriage and social work. Hierarchically, the binary opposition is constructed to be marriage><prostitution and social work><prostitution. However, through Firdaus’ narrative point of view as the main character, this binary opposition is reversed because of the interplay of power relation inside those institutions. Thus, prostitution turns out to be replacing marriage and social work as an institution of fallen women in order to get success, protection, respect, while at the same time they actively play the role as subjects. Key words: Prostitution, deconstruction, power relation, and institution
SELF-DETERMINATION OF GATSBY’S CHARACTER IN F.S FITZGERALD’S THE GREAT GATSBY INES INDIRA PRAMESWARI
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.9034

Abstract

Abstrak Studi ini mengacu pada penggambaran penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh karakter utama dan bagaimana tekadnya memberikan tingkatan dalam keberadaannya. Penentuan diri digunakan sebagai cara yg muncul dari rasa ketiadaan dalam menerima kenyataan esensi untuk menjadi sesuatu dan ada dalam kehidupan. Masalah pertama tentang bagaimana Jay Gatsby menentukan nasibnya dirinya menjadi ada. Yang kedua memaparkan bagaimana keberadaan Gatsby di dalam masyarakat. Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan teori eksistensialisme oleh Jean Paul Satre, terutama dalam bukunya yang berjudul Being And Nothingness, dan Humanism, dan penulis buku The Great Gatsby, Francis Scott Fitzgerald, yang mengacu pada keberadaan laki-laki dalam masyarakatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penentuan nasib sendiri digambarkan ketika Gatsby bersikeras untuk mempertahankan pemikirannya, perasaan dan perilaku merupakan tindak dari motivasi bawah sadar. Dia menentukan dirinya untuk menjadi seorang penulis untuk dirinya sendiri. Kemudian, berdasarkan Sartre tentang konsep kesadaran, kesepian Gatsby telah membawa dia ke dalam kondisi penderitaan, kesedihan, dan keputus asaan. Kondisi tersebut membuat kekayaan dan cinta menjadi keputusan dalam penentuan nasib di kehidupan Gatsby. Tapi, orang-orang di sekitar Gatsby berpikir bahwa dia tidak mungkin memiliki nasib yang sama, kepekaan, dan rasa seperti kekayaan yang mereka miliki. Kesimpulan di atas menyetujui bahwa konsep Sartre eksistensialisme dalam penentuan nasib sendiri sangat mendukung bahwa karakter memiliki keinginan yang kuat untuk bebas untuk menentukan cara hidupnya dimanapun dan kapanpun dia berada. Kata kunci: Penentuan diri, ekistensialisme, Sartre, The Great Gatsby Abstract This study focuses on depicting self-determination performed by main character’s act and how his self-determination gives raise to his existence. The self determination is used as the way of his nothingness in accepting the truth of his essence to be something and exist in life. The first problem talks about how Jay Gatsby determines himself to be exist. The second reveals the what society’s opinion on Gatsby’s existence. To answer the problems, this study uses the theory of existentialism by Jean Paul Satre, especially in his book entitled Being And Nothingness, and Humanism. And supported by Francis Scott Fitzgerald, which focus on men’s existence in his society. The result of the study shows that self determination is depicted when Gatsby insists on determining his self to maintain his thought, feeling and behavior entirely by unconscious motivations. He determines himself to be an author for himself. Then, based on Sartre term of consciousness, Gatsby’s loneliness brings him to the condition of anguish, forlornness, and despair. Those conditions make the wealth and love become decision in Gatsby life. But, people around Gatsby think that he cannot possibly have the same refinement, sensibility, and taste like wealth they have. The above conclusion approves that Sartre’s concept of existentialism of determination strongly supports that character possesses a strong desire to be free to determine the way of his life wherever and whenever he will be. Key words: Self-determination, existentialism, Sartre, the great Gatsby.
SNAPE’S AMBIGUOUS BEHAVIORS IN HARRY POTTER AND THE DEATHLY HALLOWS ERIK TRICAHYO SYAH
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.9035

Abstract

Abstrak Snape sebagai salah satu minor karakter di dalam karya fiksi dari penulis J.K Rowling, Harry Potter And The Deathly Hallows, digambarkan sebagai salah satu karakter protagonist dan antagonis dalam satu cerita. Selama dalam perkembangan cerita, Snape mencerminkan sikap loyalitas ke kedua belah, Dumbledore dan Voldemort. Kedua belah pihak tersebut sangat meyakini jika Snape sangat loyal kepada mereka, sehingga memungkinkan Snape sebagai Double Agent. Meskipun Snape berpihak kepada Dombledore dan Voldemort, Snape sebenarnya tidak memilih untuk berpihak kepada pihak tertentu. Snape satu-satunya karakter yang dapat dikatakan sebagai Hero dan Anti-Hero. Sikap inilah dalam kajian behaviorisme disebut ambiguous behavior. Factor-faktor yang mempengaruhi perilaku Snape tersebut tidak terlepas dari pengalaman masa lalu. Dari sudut pandang behaviorisme, kasus Snape tersebut disebabkan oleh factor personal dan factor lingkungan. Dari factor personal, Snape memiliki sikap jahat terutama kepada yang menyakitinya. Ini disebabkan karena masa kecilnya dimana Snape selalu menjadi korban kejahatan dari temannya. Kata Kunci: Anti-Hero, perilaku, sikap, lingkungan, personal, hero, perngalaman masa lalu. Abstract Snape as one minor character in the work Harry Potter And The Deathly Hallows from author J.K Rowling showing up both as good and evil role. Snape's actions throughout the series have shown service to each of the opposing sides. Both Dumbledore and Voldemort believe Snape is only loyal to them, allowing him to work as a double agent. Not only is it unknown until very near the end of the final book which side he is really on, but there is no concrete evidence until then that he has actually chosen one. He has made strong claims, which Dumbledore trusts, to oppose Lord Voldemort's cruelty, but hatred exists between himself and many Order of the Phoenix members. Snape exhibits both good and evil qualities, making him the series' only anti-hero. This kind of behavior is called ambiguous behaviors in behaviorism scope. The factors behind this phenomenon may vary depends on his or her experience. But in Snape case, personal and environmental factors are the reason behind Snape’s ambiguous behaviors. Snape possesses a nasty demeanour, and is especially retaliatory to those who hurt him. However, Snape's seeming cruelty may have resulted from a terrible childhood and early youth. When Harry delved into Snape's early memories, there was nothing good to be seen, only an abusive father, a victimized mother, derisive classmates, and a cruel James Potter and Sirius Black. While the series does little to emphasize Snape's good qualities, it is implied, at least until the end of Harry Potter and the Half-Blood Prince, that he would protect Order of the Phoenix members with his life. He has saved Harry's life on more than one occasion, though it might take a particularly observant reader to see that. Though he treats students badly and is seemingly indifferent to their feelings or situations, he wants them to learn valuable lessons. Keywords:Attitude, anti-hero, behavior, environment, hero, past-experience, and personality
SYMBOLISM IN JALAL AL-DIN RUMI'S THE BOOK OF LOVE, CHAPTER NINE: ABSENCE MUHAMMAD FARID A
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.9192

Abstract

Abstrak Simbol-simbol religius dalam puisi yang ditulis oleh seorang penyair dengan latar belakang yang religius dapat menimbulkan banyak penafsiran dengan didasarkan pada setiap sudut pandang dan pemahaman para pembaca. Puisi religius mampu memberikan inspirasi dan motivasi terhadap para pembacanya melalui pesan makna puisi yang direpresentasikan oleh simbol religius dalam puisi tersebut. Simbolisme bisa membantu para pembaca untuk memahami makana dan pesan dibalik simbol-simbol dalam puisi dengan pemahaman yang lebih mendalam melalui metode tertentu dan pembelajaran yang komprehensif untuk menganalisis simbol. Teori religiusitas akan mendukung simbolisme sebagai teori utama dengan mengelompokkan serta mengkonfirmasi aspek religius dari simbol-simbol yang berhubungan dengan pesan religius mengenai ajaran kepercayaan religious sebagai nasehat atau pengingat, motivasi dan inspirasi religius bagi para pembaca. Dengan adanya topik tertentu dalam puisi religious, simbolisme akan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai konsep yang diangkat dalam puisi-puisi religious yang direpresentasikan dengan simbol-simbolnya. Jalal al-Din Rumi yang dikenal sebagai seorang penyair yang dapat menginspirasi banyak orang dari kalangannya sebagai Sufi baik kalangan di luar Sufi seperti Muslim pada umumnya, non-Muslim serta kalangan orang awam melalui puisi-puisi religiusnya termasuk lima puisi religious dalam skripsi ini yang diambil dari kumpulan puisinya yang berjudul The Book of Love, Chapter Nine dengan topik Absence. Dan metode-metode diatas akan digunakan dalam skripsi ini untuk menjawab dua rumusan masalah yakni teori simbolisme dan religiusitas untuk mengungkapkan makna puisi-puisi di atas melalui simbol-simbolnya dengan menghubungkan topic dengan puisi-puisi di dalamnya. Analisis dalam skripsi ini paling banyak didukung oleh teori simbolisme dari seorang filsuf Amerika bernama Charles Sanders Pierce dalam teorinya mengenai Typology of Signs di mana salah satunya adalah simbolisme berkenaan dengan Symbolic signs. Dan teori religiusitas sebagai pendukung diambil dari dimensi religiusitas dengan empat inti dimensi dari pembelajaran konvensional dan dimensi religiusitas berdasarkan bentuk perkembangan dalam Islam oleh Dr. Muhammad Syukri Saleh. Kemudian, hasil dan simpulan dari analisis skripsi ini menggambarkan bahwa pesan makna dalam puisi-puisi di atas direpresentasikan oleh simbol-simbolnya dapat diperoleh melalui simbolisme, religiusitas dan hubungan dengan topic. Kata Kunci: Absen, Puisi, Religiusitas, Simbol, Simbolisme. Abstract Religious symbols in poem of a poet with a religious background can provide various interpretations in different points of view to the readers according to their understanding. Religious poems may give inspiration and motivation toward the readers with the message represented by the symbols. Symbolism can help the readers to understand the significance of the symbols representing the messages of the poem with further understanding by certain methodology and comprehensive study to analyze the symbols. Religiosity study will support the symbolism to classify and confirm the religious aspects of the symbols which related to the message about religious belief as reminder, motivation and inspiration for the readers. With a particular topic, the symbolism will have better understanding about the concept brought in the poems represented by the religious symbols. Jalal al-Din Rumi who known as a poet has inspired many people from his Sufi community, others Muslim and non-Muslim until common people through his religious poems include the five poems in this study which taken from The Book of Love, Chapter Nine: Absence. And these methods will be used in the study to answer the two statements of the problems regarding the symbolism and religiosity used to reveal the meaning of the poem through the symbols and the relation between the topic and the poems by connecting the symbols. The analysis of the study mostly supported by the symbolism of Charles Sanders Peirce in his theory about typology of sign which one them is the theory of symbolism regarding symbolic signs. And the support of the religiosity study is taken from the dimensions of religiosity in conventional study with four core or main things and the dimensions of religiosity based on Islamic development form which proposed Dr. Muhammad Syukri Saleh. Then, the result and the conclusion of this study describe that the messages regarding the meaning of the poems represented by the symbols are obtained through the symbolism, religiosity and the relation with the topic. Key Words: Absence, Poem, Religiosity, Symbol, Symbolism.
ERIKA’S AMBIVALENCE IN ELFRIEDE JELINEK’S THE PIANO TEACHER BIMA AGUSTINA R
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.9217

Abstract

Abstrak Studi ini membahas salah satu novel yang ditulis oleh Eflriede Jelinek yang karenanya dianugrahi Nobel sastra pada tahun 2004, The Piano Teacher. Studi kami pada novel ini akan membidik Ambivalensi pada subjek yang mengalami Ambivalensi yang muncul dalam teks, secara khusus, Erika. Study ini berupaya untuk memahami terbentuknya ambivalensi pada Erika dan bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan Erika, seorang tokoh utama dalam The Piano Teacher. Ambivalensi yang datang dalam Erika disebabkan oleh dorongan alami dan lingkugan sosialnya saling bertabrakan. Ikatan Erika dengan ibunya, pengalamannya atas penolakan, dan dorongan lahiriah Erika yang bertemu dengan larangan eksternal, adalah prediktor terjadinya ambivalensi pada Erika. Ambivalensi dapat menuntun pada bentuk parah dari penyakit syaraf, itu membuat Erika mengembangkan perilaku kasar dan perilaku penyimpangan seksual atau paraphilia seperti sadomasokisme dan fetisisme. Hal ini juga berpengaruh pada hubungan romantis Erika. Ambivalensi membuat Erika tidak memiliki kemampuan untuk mencintai dan dicintai. Ambivalensi Erika membuatnya memiliki tingkat kepuasan yang rendah dalam hubungannya, membuat dia kehilangan dirinya dan memicu terjadinya upaya bunuh diri Erika. Kata Kunci: Ambivalensi, seksualitas, psykoanalisis, paraphilia. Abstract This study discusses one of novels written by Eflriede Jelinek by which enthroned her Nobel Prize in literature in 2004, The Piano Teacher. Our study of the novel will take particular interest in Ambivalence in the subject who experiences Ambivalence that appears in the text, to be specific, Erika. This attempts to understand the production of Erika’s Ambivalence and how it affects Erika’s, the main character in The Piano Teacher, life. Ambivalence that comes within Erika is caused by the drive inside her conflicts with the society. The relationship she has with her mother, her experience of rejection, and her desires that meets with external prohibition, are the predictors of her ambivalence occurrence. Ambivalence may lead to severe form of neurotic illness, it makes Erika develops abusive behaviour and abnormal sexual behaviour or paraphilia such as sadomasochism and fetishism. It also affects Erika’s romantic relationship. Ambivalence makes Erika lack ability to love and to be loved. Erika’s ambivalence makes her has low relationship satisfaction, makes her lost herself and triggers her to get suicidal attempt. Keywords: Ambivalence, sexuality, psychoanalysis, paraphilia.
MEANING OF LIFE IN SAMUEL BECKETT’S WAITING FOR GODOT ZAENAL MAKHFUDDIN
LITERA KULTURA : Journal of Literary and Cultural Studies Vol 2 No 2 (2014): Vol.2 No.2 2014
Publisher : The English Department, Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/lk.v2i2.9263

Abstract

Abstrak Karya ini berpusat untuk menganalisa arti hidup para pemeran-pemeran utama pada drama Waiting for Godotkarya Samuel Beckett. Dimana permasalahan-permasalahan yang didiskusikan dalam karya ini berhubungan dengan kehidupan Vladimir dan Estragon selaku pemeran utama dalam drama tersebut serta apa saja pengaruh dari kehampaan terhadap kehidupan mereka. Untuk menganalisa hal tersebut karya ini menerapkan teori absurditas yang digagas oleh Albert Camus dalam tulisanya yang berjudul The Myth of Sisyphus. Drama tersebut memerankan kehidupan Vladimir dan Estragon yang mana mereka tidak mempunyai tujuan dalam menjalani kehidupan, mereka hanya menjalani tingkah laku yang sama setiap harinya sehingga membuat hidup mereka tidak berharga. Gambaran ketidak berartian hidup Vladimir dan Estragon ditandai dengan aktifitas-aktifitas pandir dan lucu mereka seperti: Bersusah paya dalam melepas sepatu kemudian mengintip kedalamya, menggoyang-goyangkanya berhrap ada sesuatu yang yang keluar dari dalam sepatu tersebut. Melepas topi mengetuk-ketuk bagian atasnya seperti dalam sebuah sirkus, dn juga ditandai oleh percakapan-percakapan mereka yang menunjukan ketidak berartian dalam kehidupan mereka. Sementara itu kehampaan dan ketidak berartian tersebut mempengaruhi kehidupan mereka, mereka menjadi frustasi dalam menjalani hidup, menderita bahkan mencoba untuk mengahiri hidup, dan juga membawa perpecahan diantara mereka. Kata Kunci: absurditas, kehampaan, ketidak berartian hidup. Abstract This study focuses on analyzing the meaning of life of the main characters in Samuel Becket’s Witing for Godot. The problems discussed in this study are related to the life of Vladimir and Estragon as the main characters and also the impacts of nothingness to their life. To analyze it, this study applies the theory of Absurdity that taken from Albert Camus’ The Myth of Sisyphus. This play portrays Vladimir and Estragon’s life that they have no purpose in leading their life, they just lead their same behavior everyday that make their life worth living. The depiction of Vladimir and Estragon’s maningless life is indicated by their silly activities like; taking off the shoes then looking inside, shake it hoping that something will come out. Taking off the hat and knocking the top like a circus, and also indicated by their communication that showing the meaninglessness of their life. Meanwhile, the nothingness and meaninglessness influences them to frustration in leading their life, sufferance even trying to hang themselves, which brings disunity in their relationship. Keywords: absurdity, nothingness, meaninglessness life.

Page 1 of 2 | Total Record : 11