cover
Contact Name
Firdaus Noor
Contact Email
jurnalurban@pascasarjanaikj.ac.id
Phone
+6221-3159687
Journal Mail Official
jurnalurban@pascasarjanaikj.ac.id
Editorial Address
Jl. Cikini Raya No. 73 Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Urban : Jurnal Seni Urban dan Industri Budaya
ISSN : 26142767     EISSN : 28283015     DOI : -
Urban: Jurnal Seni Urban is published twice a year (Apr and October) issued by the Postgraduate School of the Jakarta Institute of the Arts. Urban provides open access to the public to read abstract and complete papers. Urban focuses on creation and research of urban arts and cultural industries. Each edition, Urban receives a manuscript that focuses on the following issues with an interdisciplinary and multidisciplinary approach, which are: 1. Film 2. Television 3. Photograph 4. Theatre 5. Music 6. Dance 7. Ethnomusicology 8. Interior Design 9. Fine Arts 10. Art of Craft 11. Fashion Design 12. Visual Communication Design 13. Literature
Articles 88 Documents
Nilai-Nilai pada Bendera Alam Peudeung di Aceh Iskandar, Iskandar
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 5, No.2: Oktober 2021
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v5i2.51

Abstract

Historic objects such as flags have various noble values in them. This paper will discuss the war flag of Alam Peudeung during the Aceh Sultanate. This flag will be analyzed to find and explain the artistic values contained in it. This study uses a qualitative method with an aesthetic approach initiated by The Liang Gie to reveal the artistic values in it. The results of this study show that the Alam Peudeung flag is closely related to Islamic identity in Aceh and the spread of Islam in the archipelago (Indonesia), especially in Aceh. The various elements of art contained in the flag under study are also closely related to delivering messages to the public about the importance of brotherhood, unity, and the struggle of Muslims in Aceh. In addition, the artistic values on the Aceh war flag studied also show the Islamic ideology adopted by the Acehnese people..Benda bersejarah seperti bendera memiliki berbagai nilai luhur di dalamnya. Tulisan ini akan membahas bendera perang Alam Peudeung pada masa Kesultanan Aceh. Bendera ini akan dianalisis untuk menemukan dan menjelaskan nilai-nilai seni yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan estetika yang digagas oleh The Liang Gie untuk mengungkap nilai-nilai seni di dalamnya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa bendera Alam Peudeung berhubungan erat dengan identitas Islam di Aceh dan penyebaran Islam di Nusantara (Indonesia), khususnya di Aceh. Berbagai unsur seni yang terdapat di dalam bendera yang diteliti juga berhubungan erat dengan penyampaian pesan kepada masyarakat yang berisi tentang pentingnya arti persaudaraan, persatuan, dan 139 perjuangan umat Islam di Aceh. Di samping itu, nilai-nilai seni pada bendera perang Aceh yang diteliti juga memperlihatkan ideologi Islam yang dianut oleh masyarakat Aceh.
Zootopia: Kontestasi Dalam Multikultur Ayu, Ardianti Permata
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 1, No.2: Oktober 2017
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v1i2.7

Abstract

Film is an effective communication media to deliver an ideology. Disney as a producer which contributed significantly in film industry – which is making film continuously with diverse background and theme – trying deliver problems and changes in society. Zootopia (2016) as one of its products is animation film which represent urban problems by featuring heterogeneous animal society. In this film, animals have modern minded and have an agreement to live together and no longer prey on one another. By cultural studies, this paper examines that how the multiculturalism works in heterogeneous society, and how the contestation (rights and space) happens on multiculturalism in urban city called Zootopia. Film merupakan media komunikasi yang efektif untuk menyampaikan sebuah ideologi. Disney sebagai produsen yang berkontribusi secara signifikan di industri perfilman dunia - terus membuat film dengan latar dan tema yang beragam - mencoba menyampaikan permasalahan dan perubahan yang ada di masyarakat. Salah satunya Zootopia (2016), merupakan produk film animasi yang merepresentasikan permasalahan-permasalahan di kota urban melalui masyarakat (para hewan) yang heterogen. Dalam film ini, digambarkan para hewan sudah berpikiran modern dan memiliki kesepakatan untuk hidup berdampingan dan tidak lagi saling memangsa. Melalui pendekatan cultural studies, tulisan ini mengkaji bagaimana wacana multikulturisme berjalan di masyarakat heterogen, serta bagaimana kontestasi hak dan ruang muncul dalam multikulturime di kota urban bernama Zootopia.
Nasionalisme Banal dalam Pemanfaatan Lambang Garuda Pancasila di Media Internet Widhyatmoko, Danu
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 1, No.1: April 2017
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v1i1.40

Abstract

Nasionalisme bukanlah aliran yang bergerak dengan sendirinya, terdapat pola yang membentuk gerak demi menjaga keutuhannya. Bagi negara-negara yang telah maju, mereka secara sadar melakukan aktivitas membangun rasa nasionalisme untuk menjaga kecintaan bangsa terhadap negaranya. Salah satu cara untuk menyebarkan gagasan nasionalisme adalah dengan memanfaatkan media massa. Setelah era media cetak bergulir, muncul era media elektronik dengan bentuk media berupa radio dan televisi. Setelah era radio dan televisi berjalan, salah satu bentuk perubahan paling signifikan yang saat ini terjadi adalah kehadiran internet.
Antara Damiens dan Pieter Erberveld: Sebuah Perbandingan “Teater” Kekejaman Suyono, Seno Joko
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 2, No.2: Oktober 2018
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v2i2.21

Abstract

The story teller’s point of view in a literary piece can demonstrate a poet’s alignment. Through the point of view, it is quite often literary piece is turned to a propaganda tool for a poet to convey his/her mission and thought to influence people, especially the readers. This article discusses the character Damiens and Pieter Erberveld with two different author’s point of views using comparative method in the form of text analysis. Through the analysis of point of view and characterization, there are two different perspectives toward the character of Pieter Erberveld. The result of the analysis is that the character of Pieter Erberveld is described as treason in Malay literature, but it is the opposite when it is seen from the perspective of Japanese literary world, this character is a hero.Sudut pandang pencerita dalam sebuah karya sastra dapat menunjukkan keberpihakan seorang penyair. Lewat sudut pandang itu, tidak jarang pula karya sastra dijadikan alat propaganda bagi seorang penyair untuk menyampaikan misi dan pemikirannya untuk memengaruhi masyarakat, khususnya penikmat karya itu. Tulisan ini membahas tentang tokoh Damiens dan Pieter Erberveld lewat dua sudut pandang kepengarangan yang berbeda dengan menggunakan metode komparasi melalui analisis teks. Lewat analisis sudut padang dan penokohan, didapatkan dua pespektif yang berbeda terhadap tokoh Pieter Erberveld. Dari hasil analisis, tokoh Pieter Erberveld digambarkan sebagai sosok makar dalam kesusastraan Melayu. Sementara itu, dalam kesusastraan Jepang, tokoh tersebut dipandang sebagai seorang hero.
Percampuran Dua Idiom Musikal pada Karya Aransemen Musik Bambu Primaningrizki, Devina Minati
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 4, No.1: April 2020
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v4i1.64

Abstract

Bamboo music is a type of music that developed from local cultural wisdom in Indonesia. One type of music from bamboo is angklung. The following article will discuss the maintenance of angklung music in the face of the times in an urban context. In this study, the author uses a qualitative method with an ethnographic approach to see the hybridity process that occurs in angklung music. Through a case study of the song On My Way, which was arranged by Eka Gustiwana, it was found that the process of combining hybridity and creativity can strengthen the existence of angklung music, both nationally and internationally. The collaboration of the concepts of creativity and hybridity in angklung music also shows the mixing of two idioms of Western and Eastern music.Musik bambu merupakan jenis musik yang berkembang dari kearifan budaya lokal di Indonesia. Salah satu jenis musik dari bambu adalah angklung. Tulisan berikut ini akan membahas pemertahanan musik angklung menghadapi perkembangan zaman dalam konteks urban. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi untuk melihat proses hibriditas yang terjadi pada musik angklung. Lewat studi kasus lagu On My Way yang diaransemen oleh Eka Gustiwana, didapatkan hasil bahwa proses penggabungan hibriditas dan kreativitas dapat memperkuat eksistensi musik angklung, baik secara nasional maupun internasional. Pengolaborasian konsep kreativitas dan hibriditas pada musik angklung juga memperlihatkan terjadinya percampuran dua idiom musik Barat dan Timur.
Representation of Muslim Women in Manga Satoko & Nada Drajat, Aldrie Alman; Kurnia, Lilawati
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 2, No.1: April 2018
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v2i1.1

Abstract

Since the beginning of the 21st century, the mass media has been inclined towards constructing a negative image of Islam, which is internalized by the societies in countries where Moslems are in the minority, including Japan. Modern Japanese society is very dependent on the mass media for quick and concise information. The image of Islam internalized by the Japanese society is the one associated with terrorism and backwardness. This paper presents a different representation of Islam as reflected in a Japanese manga Satoko & Nada which focuses on the friendship between a Japanese girl Satoko and an Arab girl Nada in the United States. Visual and verbal analysis on the manga reveals an uncommon image of Moslem women which is not inclined towards excessive self-limitation. The manga shows that Moslem women really have a degree of freedom to express themselves, albeit with some limitation. Besides that, it also features open-minded Moslem women who are not hesitant to welcome modernization. Those characteristics are very different from the popular beliefs about Moslem women as constructed by mainstream mass media. As one of Japanese popular media, manga Satoko & Nada serves as a counter narrative by offering a different image of Moslem women as never shown in common mass media. Mulai dari dekade 2000-an, Media massa mengonstruksi citra Islam yang cenderung negatif dan telah terinternalisasi pada masyarakat di negara-negara non-mayoritas Islam, termasuk Jepang. Masyarakat Jepang modern sangat tergantung pada media massa untuk mendapatkan informasi dengan ringkas dan cepat. Imaji Islam yang terinternalisasi di dalam masyarakat Jepang pun terasosiasi pada terorisme dan keterbelakangan. Dalam makalah ini akan dipaparkan representasi muslim yang berbeda dalam manga Jepang berjudul Satoko&Nada yang menceritakan persahabatan Satoko, gadis yang berasal dari Jepang dan Nada, gadis yang berasal dari Arab di Amerika Serikat. Dari analisis visual dan verbal terlihat konstruksi identitas wanita muslim yang tidak sepenuhnya tertutup. Diperlihatkan bahwa wanita muslim di dalam Satoko&Nada memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dirinya walaupun terbatas. Selain itu diperlihatkan pula wanita muslim yang memiliki pemikiran terbuka dan mengikuti arus modernisasi. Karakteristik-karakteristik tersebut sangat berlawanan dengan popular belief mengenai wanita muslim yang telah dikonstruksi dalam media massa. Manga Satoko&Nada sebagai salah satu dari media populer Jepang menyampaikan wacana tandingan mengenai wanita muslim yang tidak pernah terlihat di dalam media massa.
Fashion Lurik Kontemporer sebagai Hibriditas dalam Budaya Urban Widiyanti, Dhyani
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 3, No.2: Oktober 2019
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v3i2.34

Abstract

Lurik is a fabric that has a stripe motif and is made with a non-machine loom (Alat Tenun Bukan Mesin - ATBM). Lurik’s stripes can be divided into three motifs, namely lajuran, pakan malang, and cacahan. In the beginning lurik was only worn in the palace circles, not just by anyone, especially common people. In its development, lurik becomes a general public consumption; especially among urbanites lurik is a means to build their identities. This research studies contemporary works in lurik fashion, which are hybridity between elements in traditional lurik and elements existing in the culture or lifestyle of urbanites in building their new identity; it is a combination of qualitative research and the utilization of literary exploration. The primary data objects are various examples of contemporary lurik, which are analysed through content analysis. The content analysis applied here is Homi Bhabha’s post colonialism, which is a part of the deconstructive postmodern text interpretation method. The results show the following: (1) contemporary lurik fashion is a fusion between elements representing Eastern culture, viz. lurik with lajuran motifs, pakan malang, and cacahan, with elements that represent Western culture, viz. long wrap dresses, midi dress, and semi billowy airy dress, (2) based on an elucidation of internal aspects, contemporary lurik fashion expresses a dualism in meaning, viz. the popular meanings that is the superficial appreciations enjoyed by the common people and the subliminal meanings indicating depth of lurik motifs the meaning of which are studied by people who understand their significance. (3) Based on the interpretation of external aspects, contemporary lurik fashion is a form of resistance to modern Western fashion as well as being a Keraton tradition. Posed against Western fashion, hybridity is used as a way to de-colonialize Western influences that are considered incompatible with Eastern culture. Meanwhile, in the perspective of Keraton tradition, hybridity is carried out as a form of desacralization so that lurik can be utilized by as many people as possible as an individual expression, (4) the hybridity in contemporary lurik fashion creates a new identity, namely its placement in urban spaces and lifestyles more broadly, especially in relation to its access in semi-formal environment.Lurik merupakan kain yang mempunyai motif garis-garis dan dibuat dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). Motif garis-garis pada lurik dapat dibagi ke dalam tiga macam motif, yaitu lajuran, pakan malang, dan cacahan. Lurik sendiri pada awalnya hanya digunakan di keraton dan tidak boleh digunakan oleh sembarang orang apalagi rakyat biasa. Pada perkembangannya, lurik kemudian menjadi konsumsi umum terutama bagi kaum urban dalam membangun identitasnya. Penelitian ini mengkaji karya-karya fashion lurik kontemporer yang merupakan hibriditas antara unsur-unsur dalam lurik tradisional dengan unsur-unsur yang ada dalam budaya atau gaya hidup kaum urban dalam rangka membangun identitas baru yang merupakan hasil peleburan atau fusi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan data-data kepustakaan. Objek data primer ini adalah berbagai contoh busana lurik kontemporer untuk kemudian dianalisis dengan analisis konten. Analisis konten yang digunakan adalah dengan menggunakan poskolonialisme Homi Bhabha yang merupakan satu bagian dari metode tafsir teks posmodern dekonstruktif. Hasil penelitian kemudian menunjukkan hal-hal berikut ini: (1) fashion lurik kontemporer adalah peleburan atau fusi antara unsur yang merepresentasikan budaya Timur, yaitu lurik dengan motif lajuran, pakan malang, dan cacahan dengan unsur-unsur yang merepresentasikan budaya Barat, yaitu gaun panjang (long wrap dress), midi dress, dan gaun airy semi billowy, (2) berdasarkan interpretasi terhadap aspek internal, fashion lurik kontemporer melahirkan dualisme makna, yaitu makna populer yang cenderung dinikmati secara permukaan untuk diapresiasi orang awam dan makna subliminal yang menunjukkan adanya kedalaman pada motif-motif lurik yang digunakan untuk dikaji secara mendalam oleh orang yang paham makna lurik secara mendalam, (3) berdasarkan interpretasi terhadap aspek eksternal, fashion lurik kontemporer adalah bentuk resistensi terhadap fashion modern Barat sekaligus tradisi keraton. Terhadap fashion modern Barat, hibriditas dilakukan sebagai cara untuk dekolonialisasi terhadap pengaruh-pengaruh Barat yang dianggap tidak sesuai sepenuhnya dengan budaya Timur. Sementara terhadap tradisi keraton, hibriditas dilakukan sebagai bentuk desakralisasi agar lurik dapat dikonsumsi oleh sebanyak mungkin orang sebagai ekspresi individual, (4) hibriditas yang dilakukan pada fashion lurik kontemporer melahirkan identitas baru, yaitu penempatan lurik pada ruang dan gaya hidup urban secara lebih luas terutama terkait aksesnya pada situasi semiformal.
Pendidikan Kreativitas Damono, Sapardi Djoko
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 1, No.1: April 2017
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v1i1.14

Abstract

Maskulinitas dalam Film “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak”: Sebuah Kajian Strukturalisme Genetik Pierre Bourdieu Sapuroh, Sapuroh
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 5, No.1: April 2021
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v5i1.45

Abstract

Marshall Clark, in the results of his article entitled “Men, Masculinities and Symbolic Violence in Recent Indonesian Cinema”, said that feminist research in Indonesian cinema still focused on female figures and their efforts to break free from the patriarchy trap. In fact, as mentioned by the French sociologist Pierre Bourdieu (2001: 114), to liberate women from male masculine domination, it is also necessary to make efforts to free men from the patriarchal structure that directs them to the imposition of domination. In this study, the writer chose the film “Marlina the Killer in Four Rounds” as a corpus because of the many reviews stating that this film succeeded in displaying the figure of Asian women who carry universal values to seek justice (Screen International, Apr. 12, 2017). This film has been a research subject a lot before, but no one has examined the work in terms of the masculinity displayed on male figures. Therefore, through Pierre Bourdieu’s genetic structuralism approach, the writer sees the characters in this film from habitus, capital, and the social arena that gave rise to social practices. The different social arenas represented by each character in the film gave rise to a struggle. This fight is what the film uses to weaken masculinity in male characters. However, efforts to weaken “masculinity” were not entirely successful because the power of the characters was also influenced by capital at least. Marlina, who was described as capable of killing a band of robbers, is still unable to defeat the domination of a steady and sturdy government. Marshall Clark, dalam hasil tulisannya yang berjudul “Men, Masculinities and Symbolic Violence in Recent Indonesian Cinema”, mengatakan bahwa penelitian feminis di sinema Indonesia masih berfokus pada tokoh-tokoh perempuan dan upaya mereka untuk membebaskan diri dari jerat patriarki. Padahal, sebagaimana disebutkan oleh sosiolog Prancis Pierre Bourdieu (2001: 114), untuk membebaskan perempuan dari dominasi maskulin laki-laki, perlu dilakukan pula upaya untuk membebaskan pria dari struktur patriarki yang mengarahkan mereka pada pemaksaan dominasi tersebut. Pada penelitian ini, penulis memilih film “Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak” sebagai korpus karena banyaknya ulasan yang menyatakan bahwa film ini berhasil menampilkan sosok perempuan Asia yang membawa nilai-nilai universal untuk mencari keadilan (Screen International, Apr. 12, 2017). Penelitian terhadap film ini telah banyak dilakukan sebelumnya, namun belum ada yang meneliti karya tersebut dari sisi maskulinitas yang ditampilkan pada tokoh laki-laki. Oleh karena itu, melalui pendekatan strukturalisme genetik Pierre Bourdieu, penulis melihat tokoh-tokoh dalam film ini dari habitus, kapital, dan arena sosial yang memunculkan adanya praktik sosial. Perbedaan arena sosial yang diwakili dari setiap tokoh dalam film memunculkan adanya pertarungan. Pertarungan inilah yang digunakan film tersebut untuk melemahkan maskulinitas pada tokoh laki-laki. Namun, upaya melemahkan “maskulinitas” tak sepenuhnya berhasil karena kekuasaan tokoh juga dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kapital. Marlina yang digambarkan mampu membunuh segerombolan perampok tetap tidak mampu mengalahkan dominasi kekuasaan pemerintah yang ajeg dan kokoh.
Konsepsi Ruang Urban Yogyakarta dalam Kurasi Festival Film Dokumenter dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2019 Setiawati, Sri Ratna
Urban: Jurnal Seni Urban Vol 3, No.1: April 2019
Publisher : Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52969/jsu.v3i1.28

Abstract

The non-government film festival post-1998 held every year as part of festival ecosystem in Yogyakarta. This research examined on Festival Film Dokumenter (FFD) and Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) in 2019. Both festival have taking place for more than a decade and was organised by young people, mostly student. The research examining the Yogyakarta’s urban space conception inside FFD dan JAFF 2019, by using the production of space theory by Henri Lefebvre (1991) and the heterotopia theory by Michel Foucault (1984). It examined through the urban theme in the festival program, which has been the foundation for both festival in producing their social spaces. The research method used the qualitative method with data collecting via the participation observation, interview, field note and literature study. Both film festival has established the ideal construction of Yogyakarta, however at the same time they were resistant against the mainstream media and the commercial films distribution-exhibition domination, until they succeeded in developing the power to become the new hegemony of the Indonesian film industry.Festival film non-pemerintah yang lahir pasca-1998 berlangsung setiap tahun, menjadi bagian dari ekosistem festival di Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan terhadap Festival Film Dokumenter (FFD) dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada tahun 2019. Kedua festival telah berlangsung selama lebih dari satu dasawarsa dan digerakkan oleh anak muda yang mayoritas adalah mahasiswa. Penelitian bermaksud menelaah konsepsi ruang urban Yogyakarta di dalam penyelenggaraan FFD dan JAFF 2019, dengan menggunakan teori produksi ruang Henri Lefebvre (1991) dan heterotopia Michel Foucault (1984), melalui tema urban dalam festival programming, yang menjadi dasar bagi kedua festival memproduksi ruang sosialnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data melalui pendekatan pengamatan terlibat, wawancara, pembuatan catatan lapangan, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kedua festival film membangun konstruksi Yogyakarta ideal namun pada saat yang sama juga melakukan perlawanan terhadap dominasi media mainstream dan distribusi-ekshibisi film komersial, sehingga berhasil membangun kekuatan untuk menjadi hegemoni baru perfilman Indonesia.