cover
Contact Name
Miski
Contact Email
miski@uin-suka.ac.id
Phone
+6285292197146
Journal Mail Official
miski@uin-suka.ac.id
Editorial Address
Jln. Marsda Adisucipto No. 1, Program Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Syari'ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 55281, Indonesia
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
ISSN : 28095421     EISSN : 28096703     DOI : https://doi.org/10.14421/staatsrecht
The journal "Staatsrecht:Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" is a scientific journal published twice a year by the Constitutional Law Study Program, Faculty of Sharia and Law, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. The scientific journal "Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" invites all authors who have a concentration in the fields of state law and Islamic politics. Or those who have a focus on studies on constitutional law and siyasah.
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam" : 6 Documents clear
Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Aldi Amirullah
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/f55by168

Abstract

When we refer to the implementation of special autonomy in Papua based on law number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province, so there is one serious problem, namely the period for granting special autonomy funds based on law number 21 of 2001 ends in 2021. So that law number 2 of 2021 regarding the second amendment to law number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province, is the answer to this problem. However, changes to the substance of the Papua Special Autonomy Law are not only limited to increasing the period for granting Special Autonomy funds, but also related to the pattern of regional expansion in Papua. The change in the pattern of expansion was then considered non-participatory, in fact the hearings that were used as the sociological basis were only a formality from the Government to fulfill the requirements for forming a law.   Abstrak Ketika kita mengacu pada pelaksanaan otonomi khusus di Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, maka terdapat satu permasalahan yang begitu serius, yaitu jangka waktu pemberian dana otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 berakhir di tahun 2021. Sehingga Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, merupakan jawaban atas permasalahan ini. Namun demikian, perubahan substansi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak hanya terbatas pada penambahan jangka waktu pemberian dana otonomi khusus, tetapi juga terkait pola pemekaran daerah di Papua. Perubahan pola pemekaran ini kemudian dinilai tidak partisipatif, bahkan audiensi yang dijadikan landasan sosiologisnya hanya sebatas formalitas dari Pemerintah untuk memenuhi persyaratan pembentukan undang-undang
Dinamika Politik Ketatanegaraan Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) Fajri, Pujangga Candrawijayaning
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/w7v16763

Abstract

In the contestation of the nation’s journey, Indonesia has gone through a long and dynamic period in its state policy, from colonialism to post-independence. The Declaration of Independence of 18 August 1945 was the opening gateway for Indonesia to organize its affairs independently, freely and independently. Although Indonesia can already arrange its own affairs, it does not mean that it can eliminate potential conflicts. During the years from 1950 to 1959, a series of conflicts continued, while at that time it was known as a fairly democratic time when freedom of opinion was restricted and elections were held for the first time. Starting from what is meant, this study will throw a thorough and comprehensive look at the political dynamics of Indonesian statehood in the parliamentary democracy. The method used in this study is a method of normative legal research with a historical approach. As for the technique of collection of materials used is the library study technique, with relevant materials around the conditions of Indonesia in the parliamentary democracy. The results of this study show that the political dynamics of statehood that occurred during parliamentary democracy were caused by a variety of things, ranging from the internal conflict of the Islamic group due to the question of the division of posts in the cabinet, the bunt of the Constituante in formulating the state policy, to the political intrigue played by Soekarno and the Army caused because throughout that time they were unprofitable.   Abstrak: Dalam kontestasi perjalanan bangsa, Indonesia telah melewati masa yang panjang dan dinamis dalam ihwal politik ketatanegaraannya, mulai dari zaman kolonialisme hingga pasca-kemerdekaan. Dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 18 Agustus Tahun 1945 menjadi gerbang awal bagi Indonesia untuk mengatur urusan kenegaraannya secara mandiri, bebas, dan merdeka. Kendati Indonesia sudah bisa mengatur urusannya sendiri, namun bukan berarti hal tersebut bisa menghilangkan potensi-potensi konflik yang ada. Terbukti sepanjang tahun 1950 hingga tahun 1959 rentetan konflik terus terjadi, padahal pada masa tersebut dikenal sebagai masa yang cukup demokratis karena terjaminnya kebebasan berpendapat dan pemilu untuk pertama kalinya dapat dilaksanakan. Berangkat dari hal yang dimaksud, maka tujuan dalam penelitian ini menjelaskan secara runtut dan komprehensif mengenai penyebab dinamika politik ketatanegaraan Indonesia pada masa demokrasi parlementer. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan sejarah. Adapun teknik pengumpulan bahan yang digunakan adalah teknik studi pustaka, dengan bahan yang relevan seputar kondisi Indonesia pada masa demokrasi parlementer. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dinamika politik ketatanegaraan yang terjadi pada masa demokrasi parlementer disebabkan oleh berbagai macam hal, mulai dari konflik internal dari golongan Islam karena persoalan pembagian jabatan di kabinet, buntunya Konstituante dalam merumuskan dasar negara, hingga intrik politik yang dimainkan oleh Soekarno dan Angkatan Darat yang disebabkan karena sepanjang masa tersebut mereka tidak diuntungkan
Women, Work, and Siyāsah Dustūriyyah: A Critical Review of Indonesia’s Job Creation Law Citra Widyasari S; Afifah Faiqah
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/00abdq61

Abstract

This article examines Law No. 6 of 2023 on Job Creation from the perspective of Islamic constitutional theory (siyāsah dustūriyyah) and the objectives of Islamic law (maqāṣid al-sharī‘ah), focusing on the protection of women workers’ rights. Although the law recognizes key protections—such as menstrual leave, maternity leave, and wage equality—its implementation is undermined by weak enforcement and structural gaps, particularly for women employed under short-term contracts, outsourcing schemes, or in the informal sector. Using a normative qualitative approach, this study evaluates the law’s normative substance against Islamic principles of social justice, protection of human dignity, and state responsibility toward vulnerable groups. The findings reveal a normative contradiction: while the law aligns with international standards such as CEDAW in form, it fails to offer substantive justice as required by Islamic constitutional ethics. The dominant emphasis on labor market flexibility and investment certainty diminishes state accountability and reinforces systemic discrimination against female workers. The study concludes that Law No. 6/2023 lacks a transformative vision for gender equity and fails to embody maqāṣid principles in legislative outcomes. It recommends policy reforms that integrate Islamic ethical frameworks into national labor law. Future research should adopt empirical methods to assess how current legal norms shape the lived experiences of women workers in Indonesia’s evolving labor landscape..   Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dari perspektif pemikiran ketatanegaraan Islam (siyāsah dustūriyyah) dan tujuan-tujuan hukum Islam (maqāṣid asy-syarī‘ah), dengan fokus pada perlindungan hak-hak buruh perempuan. Meskipun undang-undang ini secara normatif mengakui beberapa hak perempuan pekerja seperti cuti haid, cuti melahirkan, dan kesetaraan upah, implementasi dan pengawasan terhadap hak-hak tersebut masih lemah. Hal ini berdampak pada ketidakpastian perlindungan bagi perempuan yang bekerja dalam sistem kontrak jangka pendek, outsourcing, serta sektor informal. Secara teoritis, penelitian ini mengintegrasikan pendekatan normatif-kualitatif dengan kerangka siyāsah dustūriyyah dan maqāṣid asy-syarī‘ah untuk mengevaluasi sejauh mana UU No. 6/2023 mencerminkan prinsip keadilan substantif dalam Islam. Temuan utama menunjukkan bahwa undang-undang ini masih memprioritaskan efisiensi pasar daripada perlindungan kelompok rentan, sehingga bertentangan dengan mandat keadilan sosial dalam ajaran Islam. Negara dianggap gagal menjalankan tanggung jawab etisnya sebagai pelindung rakyat apabila membiarkan buruh perempuan berada dalam posisi subordinat. Penelitian ini merekomendasikan pembaruan kebijakan ketenagakerjaan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berbasis pada nilai-nilai maqasid dan etika konstitusional Islam. Kajian lanjutan perlu memperluas pendekatan dengan metode empiris untuk menilai dampak nyata regulasi terhadap kesejahteraan perempuan pekerja di Indonesia
Perbandingan Penggunaan Metode Sainte Lague dan Kuota Hare pada Negara Indonesia-Korea Selatan-Irak Salsa Zahrotun
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/2cnprd68

Abstract

This research discusses methods for calculating election votes. The aim of this research is to find out the differences in method use in each country. The use of election vote counting methods varies by country, the ones highlighted in this article are the Sainte Lague method and the Hare quota. Sainte lague is converting the results of valid votes by dividing them using a certain number, while hare quota is converting election results by reducing the results of valid votes by the price of one seat. In this research, differences in the use of vote conversion are due to the assumptions of each country regarding the effectiveness value of each method so that each country has its own method. In this study, it is stated about the differences in each country in using each election model, be it Saint Lague and Hare quota. Because the basis for using the election model is based on the conditions and political developments in each country. Although for example in Indonesia, Iraq and South Korea use their respective model choices. The model used still has advantages and disadvantages as evidence of the plurality of political problems in each country that are diverse. But regardless of the advantages and disadvantages, the use of the election model shows the seriousness of each country to improve its electoral democracy.   Abstrak Penelitian ini mambahas tentang metode dalam perhitungan suara pemilu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui perbedaan penggunaan metode pada tiap negara. Penggunaan metode perhitungan suara pemilu berbeda tiap negara, yang disoroti dalam artikel ini adalah metode sainte lague dan kuota hare. Sainte lague adalah mengkonversi hasil suara sah dengan membaginya menggnakan bilangan tertentu, sedangkan kuota hare adalah pengonversian hasil pemilu dengan mengurangi hasil suara sah dengan harga satu kursi. Dalam penelitian ini dikemukakan mengenai perbedaan dalam setiap negara dalam menggunakan masing-masing model pemilihan, baik itu saint lague dan kuota hare. Karena memang dasar penggunaan model pemilihan berdasarkan kondisi dan perkembangan politik di tiap negara. Meskipun sebagai contoh di Indonesia, Iraq dan Korea selatan menggunakan pilihan modelnya masing-masing. Tetaplah model yang digunakan memiliki kekurangan dan kelebihan sebagai bukti pluralitas permasalahan politik di tiap negara yang beraneka macam. Tetapi terlepas dari kekurangan dan kelebihan, penggunaan model pemilihan menunjukkan keseriusan tiap negara untuk memperbaiki demokrasi pemilihannya
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Mekanisme Impeachment: Studi Komparasi Negara Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman Anfal Kurniawan; Martitah
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/cmbb8182

Abstract

This research examines the comparison of impeachment schemes and the position of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia and the Federal Republic of Germany using comparative legal studies and the theory of legal objectives. The impeachment of the Head of State in this case the President in the constitutional system has tensions in normative and political aspects. Therefore, this research will describe how the position of the Constitutional Court as the Guardian of Constitution and Democracy in facing the issue of impeachment. With comparative legal studies, the researcher tries to compare the impeachment scheme between the Republic of Indonesia and the Federal State of Germany with a Normative Juridical Approach and uses qualitative data, through an analysis scheme that is infersial description by sourcing documents, books, and laws. The results show that the impeachment scheme between the Republic of Indonesia and the Federal State of Germany has similarities in that the Constitutional Court has the authority to adjudicate in processing impeachment mechanisms, although there are fundamental technical differences where the Court in Germany does not have a direct role in the dismissal of the Head of State but focuses on constitutional testing of laws, while in Indonesia the Court is integrally involved in substantive verification of charges against the president and vice president. In addition, the Constitutional Court has the responsibility to safeguard the proportionality of charges against the president and vice president from normative and political tensions. This aims to maintain the objectivity of case resolution, without political intervention and the vagueness of the norms in question as the concept of legal objectives in maintaining certainty, justice and expediency.   Abstrak: Penelitian ini mengkaji perbandingan skema pemakzulan atau impeachment serta kedudukan Mahkamah Kosntitusi Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman menggunakan studi hukum komparatif dan teori tujuan hukum. Pemakzulan Kepala Negara dalam hal ini Presiden dalam sistem ketatanegaraan memiliki ketegangan secara aspek normatif dan politis. Oleh karena itu, penelitian ini akan menguraikan bagaimana kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of Constitution and Democracy dalam menghadapi persoalan impeachment. Dengan comparative legal studies peneliti mencoba membandingkan skema impeachment antara Negara Republik Indonesia dengan Negara Federal Jerman dengan Pendekatan Yuridis Normatif serta menggunakan data kualitatif, melalui skema analisis yang bersifat diskripsi infersial dengan bersumberkan dokumen-dokumen, buku, dan Undang-Undang. Hasil penelitian menunjukan bahwa skema impeachment antara Negara Republik Indonesia dan Negara Federal Jerman memiliki persamaan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan di dalam proses mengadili dalam memproses mekanisme pemakzulan, meskipun terdapat perbedaan teknis mendasar dimana Mahkamah di Jerman tidak memiliki peran langsung dalam pemberhentia Kepala Negara melainkan berfokus pada pengujian konstitutional Undang-Undang, sedangkan di Indonesia Mahkamah terlibat secara integral terkait verifikasi substantif dakwaan terhadap presiden dan wakil presiden. Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki tanggung jawab untuk menjalakan proporsionalitas dakwaan terhadap presiden dan wakil presiden dari adanya ketegangan secara normative dengan ketegangan politis. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga obyektifitas penyelesaian perkara, tanpa adanya intervensi politis dan kekaburan norma yang dipermasalahkan sebagaimana konsep tujuan hukum dalam menjaga kepastian, keadilan, dan kemanfaatan
Aktualisasi Peran Mahkamah Konstitusi sebagai The guardian of Democracy dalam menyambut pesta demokrasi 2024 Lilik Agus Saputro; Ahmad Syaifudin Anwar
Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam Vol. 3 No. 2 (2023): Staatsrecht Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/v8qgwt74

Abstract

Pemilihan umum merupakan salah satu ciri suata negara dikatakan demokratis. Sebagaimana konsep demokrasi, yakni untuk rakyat, oleh rakyat dan dari rakyat. Karena itu, rakyat dilibatkan penuh dalam haknya baik dipilih maupun memilih. Disamping itu, rakyat juga wajib sebagai pengawas dalam jalannya pelaksanaan demokrasi melalui pemilu. Karena tugas negara sebatas memberikan wadah lembaga peradilan, yakni Mahkamah Konstitusi ketika timbul sengketa hasil pemilihan kedepannya. Sebab, Mahkamah Konstitusi mempunyai tanggung jawab sebagai pengawal demokrasi dalam menjaga pemilihan yang demokratis. Kendati misalnya Mahkamah Konstitusi dipandang sebagai lembaga baru dalam lembaga peradilan. Namun faktanya Undang-Undang memberikan amanah kepada Mahkamah Konstitusi secara penuh. Tulisan ini berusaha untuk menganalisa dua permasalahan. Pertama, bagaimana dinamika persiapan menuju pemilu serentak Tahun 2024. Kedua, bagaimana peran Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of democracy dalam menghadapi pemilu. Penelitian menggunakan jenis yuridis normative bertujuan untuk menemukan aturan serta norma untuk menjawab isu hukum yang dihadapi sehingga ditemukan penyelesaian masalah terkait isu yang diteliti. Hasil penelitian dalam tulisan ini menunjukkan ditetapkannya jadwal dan tahapan Pemilu 2024, baik Pemilu Nasional maupun Pilkada 2024. KPU dalam hal ini sebagai kepanjangan negara sebagai pelaksana pemilihan perlu mempersiapkan diri dalam menghadapi pesta demokrasi yang akan dilaksanakan serentak. Kemudian, Mekanisme peradilan terkait sengketa pemilu di MK menerapkan model peradilan cepat untuk memberikan kepastian hukum terkait persoalan sengketa pemilu yang masuk ke MK. Mekanisme speedy trial diatur dalam undang-undang yang mengharuskan diselesaikan oleh Mahkamah dalam jangka waktu 14 hari kerja.  

Page 1 of 1 | Total Record : 6