cover
Contact Name
Elan Ardri Lazuardi,
Contact Email
humaniora@ugm.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
humaniora@ugm.ac.id
Editorial Address
Humaniora Office d.a. Fakultas Ilmu Budaya UGM, Gedung G, Lt. 1 Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Indonesia
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Humaniora
ISSN : 08520801     EISSN : 23029269     DOI : 10.22146/jh
Core Subject : Humanities,
Humaniora focuses on the publication of articles that transcend disciplines and appeal to a diverse readership, advancing the study of Indonesian humanities, and specifically Indonesian or Indonesia-related culture. These are articles that strengthen critical approaches, increase the quality of critique, or innovate methodologies in the investigation of Indonesian humanities. While submitted articles may originate from a diverse range of fields, such as history, anthropology, archaeology, tourism, or media studies, they must be presented within the context of the culture of Indonesia, and focus on the development of a critical understanding of Indonesia’s rich and diverse culture.
Articles 950 Documents
EARLY DOWNHOME BLUES IN AMERICAN CULTURE Djuhertati Imam Muhni
Humaniora Vol 12, No 2 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (504.197 KB) | DOI: 10.22146/jh.692

Abstract

People's traditional music and the way people behave when performing it are symbolic expressions of broad cultural pattern and social organization . In other words music is a part of men's learned heritage . Hence this study is about music in a given culture, specifically blues in American culture . Allen Trachtenberg stated that blues songs are inheritance from the American past for negotiating black people's lives as Americans . In the experience of blues the African-Americans find themselves caught up in questions of self identity, authority, definition, and nationality . In its origin the blues has been black's music, but in its diffusion, the blues addresses and implicates both whites and blacks . For whites, the experience of the music is a relationship, a form of interaction : for whites to fill and claim the blues as part of their own inheritance means to recognize the blacks as Americans and to confront the continuing presence of race-definition inequalities in the common culture (Trachtenberg, 1994 : xi-viii) . The blues urges all Americans to feel the rhythm, the lyric, and the innuendo and to learn their common paradoxical condition : the interchangeability of race and culture within the national identity . Ought's a ought, figger's a figger ; All for the white and none for the niger (White, 1965 :383) . Blues indicates American conflict and struggle : the racial issues that are never far 212 from the beat of the downhome blues are transposed into a new space of contest and challenge (Trachtenberg, 1994 : xii) . Scope and Approach of Discussion There are two major types of early blues songs, namely downhome and vaudeville blues. Downhome blues is mostly sung by men, while Vaudeville by women singers . Originally downhome blues is folk music, but since 1920 with the recording industry it has become pop music . Vaudeville, on the other hand, is pop music right from the start . Most downhome singers sing accompanied by his own guitar-playing, whereas Vaudeville singers almost always sing in front of a jazz group . Vaudeville singers were mostly black women with backgrounds in musical shows ; they were professionals taking pride in their ability to deliver any kind of songs . Vaudeville blues was popular music, not folk music, their lyrics were usually composed by professionals black musicians. Most vaudeville blues songs from the 1920s resembled that of today's musical comedies . Influenced by genteel white taste, vaudeville singers strove for dramatic delivery, enunciating the words of the lyrics in standard English pronunciation (Titon, 1994 : xvii) . Not minimizing the importance of vaudeville blues, this study will only concern with downhome blues, leaving the former for further study .
INTERFERENSI MORFOLOGIS PENUTUR BAHASA BUGIS DALAM BERBAHASA INDONESIA Masrurah Mokhtar
Humaniora Vol 12, No 2 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.871 KB) | DOI: 10.22146/jh.693

Abstract

Di antara berbagai masalah bahasa yang dihadapi, yang akhir-akhir ini mendapat perhatian cukup besar dalam masyarakat, tetapi sampai kini belum diteliti secara sungguh-sungguh oleh para ahli bahasa di Indonesia, adalah peristiwa alternasi atau pemakaian bahasa secara silih berganti antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam satu kalimat, paragraf, atau wacana . Kontak yang semakin intensif antara bahasa Indonesia selanjutnya disebut (BI) dan bahasa daerah (selanjutnya disebut BD) te- Iah membawa perubahan dalam Iingkup dan bentuk pemakaian kedua bahasa tersebut. Prestise dan daya guna BI yang terus meningkat telah mendorong penutur BD, termasuk bahasa Bugis (selanjutnya disebut BB), untuk menguasai bahasa Indonesia di samping bahasa ibunya . Dalam komunikasi sehari-hari kadang-kadang dapat disaksikan pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa Daerah seolah-olah dikacaukan . Sering terjadi BB atau bahasa Makassar (selanjutnya disebut BM) dan BI dipakai secara silih berganti dalam suatu wacana atau kalimat dalam penuturan . Tidak jarang dijumpai kalimat-kalimat dimulai dengan BI, tetapi di tengah-tengah terselip kata-kata BB atau BM atau diakhiri BI dan sebaliknya. Akibatnya, kalimat yang demikian seolaholah bukan kalimat BB atau BM dan bukan pula BI . 2. Metode Penelitian Penelitian "interferensi Morfologis BB oleh Masyarakat Bugis dalam ber-Berbahasa Indonesia" dilaksanakan dengan responden sebanyak 200 orang yang diambil berdasarkan pekerjaan (pegawai, guru, dosen, pedagang, petani, dan pelajar), umur (antara 18-22 tahun, 23-27 tahun, 28-32 tahun, 33-37 tahun, 38-42 tahun, 43-47 tahun), dan pendidikan (SLTA, SI, S2, dan S3). Penelitian ini berhasil mengumpulkan data sosiolinguistik dalam bentuk data morfologis sebanyak 109 buah, 39 yang diolah menurut sifat-sifat morfemnya, kemudian ditranskripsikan untuk menemukan ruas-ruas asainya . Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan situasi kebahasaan yang bersitat sosiolinguistik, yang merupakan salah satu gejala kebahasaan yang teriadi pada penutur BB dalam ber-BI serta menggambarkan kesalahan-kesalahan berbahasa yang terjadi dalam masyarakat yang dwibahasawan (bilingual) . Meskipun gejala interferensi antara bahasa-bahasa yang dipakai di Indonesia, misalnya antara BD satu dengan BD lainnya, atau antara BD dengan BI merupakan gejala yang umum, penelitian yang tuntas mengenai bentuk pemakaian bahasa ini, lebih-lebih penelitian yang memperhatikan kesalahan-kesalahan yang ada pada perilaku berbahasa seperti itu, boleh dikatakan masih sangat Iangka . Kalaupun ada, biasanya penelitian atau studi-studi itu hanya dipandang sebagai suatu peristiwa kebetulan atau ditelaah semata-mata dari sudut sosial atau fungsi-fungsi pragmatiknya
KLASIFIKASI FOLK BIOLOGI DALAM BAHASA JAWA SEBUAH PENGAMATAN AWAL . Suhandano
Humaniora Vol 12, No 2 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (494.686 KB) | DOI: 10.22146/jh.694

Abstract

Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk mengidentifikasikan dan- mengklasifikasikan benda-benda di lingkungan sekitar manusia . Demikianlah, misalnya, penutur bahasa Jawa mengidentifikasikan benda-benda di sekitarnya dengan kata-kata alang-alang 'ilalang' . teki 'teki' . tuton. kremah. krokot (untuk ketiga nama yang disebut terakhir ini penulis belurn menemukan nama padanannya dalam bahasa Indonesia) . dan sejenisnya, dan kemudian mengklasifikasikannya dengan kata suket 'rumput'. Mereka juga mengidentifikasikan benda-benda di sekitarnya dengan kata-kata wedus 'kambing' . pitik 'ayam' . sapi 'lembu' . kebo 'kerbau' . bebek 'itik', dan sejenisnya. dan kemudian mengkiasifikasikannya dengan kata ingon-ingon binatang piaraan' . Pengidentifikasian dan pengklasifikasian tersebut tidak hanya berlaku pada benda-benda hidup saja, tetapi juga pada benda-benda mati . Untuk bendabenda mati . penutur bahasa Jawa misalnya, mengidentifikasikan benda-benda tertentu dengan kata-kata kaos 'kaos', klambi 'baju' . sarung 'sarung', jarik Rain' . kathok Icelana', dan sejenisnya yang kemudian mengklasifikasikannya dengan kata sandangan pakaian' . Dalam hal fungsi bahasa sebagai alat untuk mengidentifikasikan benda-benda, sejauh ini dipaharni bahwa hubungan antara benda yang diidentifikasikan dengan kata atau bentuk bahasa yang digunakan untuk mengidentifikasikannya bersitat arbitrer . Jadi, tidak ada alasan mengapa benda yang sama dalam bahasa Jawa diidentifikasikan dengan kata klambi, tetapi dalam bahasa Indonesia diidentifikasikan dengan kata baju. Dalam hal fungsi bahasa sebagai alat untuk mengklasifikasikan benda-benda, sifat arbitrer tersebut memang masih berlaku. Sangat sulit mencari alasan, misalnya, mengapa dalam bahasa Jawa krokot, teki, kremah, alang-alang, tuton diklasifikasikan dengan kata suket bukan dengan kata lain. Akan tetapi, berkaitan dengan klasifikasi ini ada hal menarik yang perlu dikaji, misalnya, mengapa alang-alang, teki, kremah, krokot, tuton diklasifikasikan dalam satu kategori suket, sernentara sere 'serai', sledri 'seledri', bayem 'bayam', lompong 'batang daun keladi', dan sejenisnya yang dalam beberapa hal mirip dengan benda-benda dalarn kategori sukettidak termasuk di dalamnya. Persoalan klasifikasi ini lebih menarik lagi karena diketahui bahwa pengklasifikasian benda-benda tertentu ke dalam kategori tertentu berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Sebagai contoh, dalam bahasa Jawa ada kategori ingon-ingon yang anggotanya meliputi hewan-hewan sapi, kerbau, kambing, itik, ayarn, dan sejenisnya seperti dicontohkan di atas, tetapi dalam bahasa Inggris kategori semacam itu tidak ada. Memang dalam bahasa Inggris ada kategori pet 'binatang piaraan', tetapi kategori ini tidak sama dengan ingon-ingon; kerbau, misalnya, tidak termasuk dalam pet.
RECONSIDERING SOME CULTURAL CONSTRAINTS IN THE IMPLEMENTATION OF COMMUNICATIVE ENGLISH LEARNING FX Nadar
Humaniora Vol 12, No 2 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (575.413 KB) | DOI: 10.22146/jh.695

Abstract

English is perhaps the most important foreign language in Indonesia . It is used for communication in business with other countries and studied in schools from junior high school to university level . People in Indonesia study English for different reasons . Many of them study English because if they understand English well they will be able to improve their general knowledge . Others particularly university students and lecturers study English because English may help them develop their academic achievement . Other people who are active in tourism and hotel industries need to study English because they have to communicate regularly with people from other countries . Despite the fact that English has been extensively studied, many learners feel they cannot use it for daily communication . This brief essay attempts to explore the constraints, particularly from the cultural views, which may have reduced the success of learning English . Approaches to language learning have undergone changes. Celce-Murcia (1991 :5- 8), for example, describes the stages of 20"-century approaches of language learning . In the sequence of approaches, communicative approach comes last . The origins of communicative language learning are to be found in the changes in the British language learning tradition dating from the late 1960's (Richards and Rogers, 1986 :64) which focus on the functional and communicative potential of the language . Richards and Rogers write (p .64) that with the interdependence of European countries 'the need to articulate and develop alternative methods of language learning was considered a high priority' . It seemed that since then the terms 'communicative' and also 'communication' became more and more popular (Atkinson, 1992 :6) . The implementation of communicative language learning in an EFL (English as a Foreign Language) context may cause problems . Paulston (1979 :3-4) describes the problems of non-native English teacher's imperfect proficiency, sociocultural values, class sizes, social behaviour, etc. which should all be taken into consideration . There may be constraints which reduce the effectiveness of its good values. This essay which views the possibility of implementing the communicative language learning and the likely cultural constraints in its implementation is divided into five main parts : firstly, the introduction; secondly, a glance at English learning in Indonesia; thirdly, communicative English learning ; fourthly, some constraints and how to minimize them ; and finally, the conclusion .
ULAMA DAN HIKAYAT PERANG SABIL DALAM PERANG B LANDA DI ACEH Imran T Abdullah
Humaniora Vol 12, No 3 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1099.536 KB) | DOI: 10.22146/jh.696

Abstract

Perang Belanda di Aceh pecah (April 1873) tidak lama setelah Traktat Sumatra (1 November 1871) ditandatangani antara Belanda dan Inggris untuk mengganti Traktat London (1824) yang menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh . Traktat yang baru disahkan itu memberikan peluang besar bagi Belanda untuk menguasai Aceh, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1, "Inggris menghapus perhatiannya atas perluasan kekuasaan Belanda di mana pun di Pulau Sumatra" (Said, 1961 : 351) . Agresi pertama dapat dipatahkan oleh pasukan Aceh, pihak Belanda menderita banyak kerugian, bahkan Jenderal Kohler gugur beserta 8 opsir dan sejumlah prajurit . Agresi kedua (9 Desember 1873) terjadi di bawah pimpinan Letjen van Swieten . Keraton jatuh pada 31 Januari 1874, Sultan Mahmud Syah mengungsi ke Pagar Ayer dan meninggal di sana karena wabah kolera. Van Swieten memproklamasikan kemenangan karena dengan menduduki keraton dan menguasai sebagian kecil daerah Aceh Besar; is mengira seluruh wilayah Aceh akan menyerah . Ternyata perlawanan semakin meningkat, ulama yang kebanyakan pimpinan dayah (pesantren) ikut berpartisipasi bersama santri mereka .
AKRONIM DALAM BAHASA ARAB: PEMBAHASAN SEPUTAR PERKEMBANGAN MUTAKHIR DALAM BAHASA ARAB SERI IV Syamsul Hadi
Humaniora Vol 12, No 3 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (494.945 KB) | DOI: 10.22146/jh.697

Abstract

Kita lihat jumlah Pembahasan akan mencakup pula peng- akronim tersebut dengan membandingkan gabungan dua buah kata (atau lebih) men- 1 mlah kamus yang ada di dalam bahasa jadi sebuah kata . Dalam bahasa Arab peng- rab . Menurut bibliografi perkamusan ber- gabungan dua buah kata ada yang meng- 1 dul Al-Mu jamatul-Arabiyyah Bibliyujrafiy- alami penanggalan huruf dan ada yang y h Syamilah Masyrufah yang disusun oleh tidak mengalami penanggalan huruf. Itulah ajdi Rizki Ghaly, diterbitkan oleh Haiatul- yang kemudian disebut dengan akronim . ishriyyah Al-Ammah Li't-Ta'lifi wa'n-Nasyr . Dalam bahasa Arab isim dan fill mem- airo (1071), ada 707 buah kamus . Se- punyai bentuk yang selalu mengacu kepada I bihnya, kamus istilah yang ada di dalam wazan-wazannya . Berkaitan dengan kedua ahasa Arab jumlahnya tidak kurang dari hal tersebut, jika ada lafal yang menyim- 200 buah . Betapa banyaknya kosakata dan pang dari wazannya, akan segera dapat i tilah yang termuat dalam berbagai kamus diketahui bahwa kemungkinan lafal tersebut t rsebut . Dengan demikian, jumlah sing- berasal dari bahasa asing . Namun, tidak katan dan akronim dalam bahasa Arab ter- selamanya demikian karena di dalam baha- sebut sangat sedikit . sa Arab sekarang terdapat banyak sekali nacht atau akronim yang mungkin tidak se- suai dengan wazan isim maupun fi'il. Jumlah singkatan dan akronim dalam bahasa Arab jika dibandingkan dengan yang ada dalam bahasa Indonesia masih sangat terbatas . Dalam bahasa Indonesia terdapat paling tidak 28 .000 kependekan kata . Hal tersebut merupakan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan entri yang ada pads Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memuat 62 .100 buah kata . Buku yang'membahas singkatan dan akronim dalam bahasa Indonesia ada paling tidak 13 buah .
MAKNA DALAM BAHASA Ferry Adenan
Humaniora Vol 12, No 3 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (607.579 KB) | DOI: 10.22146/jh.698

Abstract

Di negara-negara maju Systemic Functional Linguistics (SFL) banyak dimanfaatkan di dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris . Di dalam SFL terdapat pengertian bahwa linguistic membedakan fungsi dalam konteks paradigma dan fungsi di dalam konteks sintakmatika. Yang disebut pertama umum dikenal sebagai sistem, sedang yang kedua dikenal sebagai struktur bahasa. Sistem menyebabkan orang dapat menginterpretasi hubungan paradigmatika sedangkan struktur bahasa memungkinkan orang menginterpretasi hubungan-hubungan sintakmatika. Systemic linguistics bukan sistem resmi bahasa, lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara berpikir tentang bahasa dan lebih kena lagi dikatakan sebagai cara bertanya tentang bahasa sebagai objek . Pertanyaanpertanyaan itu terutama berupa pertanyaan tentang sifat dan fungsi bahasa .
ANGKA, BILANGAN, DAN HURUF DALAM PERMAINAN BAHASA I Dewa Putu Wijana
Humaniora Vol 12, No 3 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (543.262 KB) | DOI: 10.22146/jh.699

Abstract

Saya jadi teringat semasa kanak-kanak dahulu, seorang kawan sepermainan menyodorkan sebuah teka-teki kepada saya. l a menyuruh saya untuk menuliskan frase preposisional seperti Gareng ke dalam deretan kotak layaknya lajur TTS yang berjumlah lima buah . Tentu saja, saya jadi pusing tujuh keliling karena untuk menuliskan huruf-huruf yang menyusun frase itu, saya membutuhkan jumlah kotak yang lebih banyak, yakni 13 buah. Tujuh buah untuk menuliskan seperti dan 6 buah lainnya untuk Gareng, punakawan jenaka yang memiliki anggota tubuh yang serba panjang itu. Setelah saya menyatakan menyerah, dengan tenang bercampur sedikit mengejek, kawan sebaya saya memberikan solusinya. Dia menuliskan angka 1/3 (sepertiga) di sebuah kotak untuk mewakili bagian tuturan sepertiga dan bagian yang lain reng di empat kotak sisanya . Boleh juga akal kawan saya itu, pikir saya . Pengalaman yang kedua saya alami ketika saya dalam perjalanan pulang naik bus patas Surabaya-Yogya "Sumber Kencono" seusai memberikan kuliah tamu di Universitas Negeri Djember pada awal Desember 2000. Di depan Pabrik Gula Gondang, Klaten, secara kebetulan saya melihat di kaca belakang kendaraan umum berplat kuning yang akan didahului bus yang saya turnpangi ada tulisan yang berbunyi "ber-217- an". Bingung juga beberapa saat saya dibuatnya karena tidak dapat secara cepat menangkap maksud tulisan itu . Kebingungan ini disebabkan angka 217 pertama saya baca dua ratus tuju(h) belas.
STATUS INFORMASI DALAM KALIMAT DAN WACANA BAHASA PRANCIS . Sajarwa
Humaniora Vol 12, No 3 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.166 KB) | DOI: 10.22146/jh.700

Abstract

Analisis kalimat dapat dilakukan berdasarkan pada tiga fungsi, yaitu fungsi sintaktis, fungsi semantis, dan fungsi pragmatis (Dik, 1981) . Ketiga analisis fungsional itu secara berturut-turut akan menghasilkan (1) struktur gramatikal kalimat, (2) struktur makna kalimat, dan (3) or ganisasi ujaran . Analisis terhadap organisasi kalimat disebut juga analisis perspektif kalimat fungsional atau analisis organisasi kontekstual (Suparno, 1993: 18) . Analisis organisasi ujaran ini merupakan analisis kalimat dalam fungsinya sebagai pembawa informasi . Informasi yang dimaksud adalah informasi pragmatik (pragmatic information) .
PERSONA KEDUA DALAM BAHASA JAWA : KAJIAN SOSIO INGUISTIK Restu Sukesti
Humaniora Vol 12, No 3 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (691.117 KB) | DOI: 10.22146/jh.701

Abstract

Dalam komunikasi tersebut sering digunakan alat untuk menyebut pihak 0 1 , 02 , dan 03 . Salah satu alat itu ialah pronomina . Pronomina berfungsi menggantikan nomina pada yang dimaksud dalem tuturan (Kridalaksana, 1984 :138) . Pronomina pengganti 01 , dalam bahasa Indonesia, antara lain, saya, kami ; pengganti 02 , antara lain, kamu, ands, kalian ; pengganti 0 1 clan 02 ialah kita ; dan pengganti 03 ialah dia, ia, mereka (Alwi, 1998 :249). Namun, alat untuk menyebut pihak 0 1 , 02 , atau 03 tersebut dapat berwujud bukan hanya kata ganti (pronomina), tetapi dapat juga berwujud nama diri, nama panggilan, nama kedudukan, atau nama gelar, sejauh kata-kata itu untuk mengacu pihak 0 1 , 0 2 , atau 03 .

Page 7 of 95 | Total Record : 950


Filter by Year

1989 2025


Filter By Issues
All Issue Vol 37, No 1 (2025) Vol 36, No 2 (2024) Vol 36, No 1 (2024) Vol 35, No 2 (2023) Vol 35, No 1 (2023) Vol 34, No 2 (2022) Vol 34, No 1 (2022) Vol 33, No 3 (2021) Vol 33, No 2 (2021) Vol 33, No 1 (2021) Vol 32, No 3 (2020) Vol 32, No 2 (2020) Vol 32, No 1 (2020) Vol 31, No 3 (2019) Vol 31, No 2 (2019) Vol 31, No 1 (2019) Vol 30, No 3 (2018) Vol 30, No 2 (2018) Vol 30, No 1 (2018) Vol 29, No 3 (2017) Vol 29, No 2 (2017) Vol 29, No 1 (2017) Vol 28, No 3 (2016) Vol 28, No 2 (2016) Vol 28, No 1 (2016) Vol 27, No 3 (2015) Vol 27, No 2 (2015) Vol 27, No 1 (2015) Vol 26, No 3 (2014) Vol 26, No 2 (2014) Vol 26, No 1 (2014) Vol 25, No 3 (2013) Vol 25, No 2 (2013) Vol 25, No 1 (2013) Vol 24, No 3 (2012) Vol 24, No 2 (2012) Vol 24, No 1 (2012) Vol 23, No 3 (2011) Vol 23, No 2 (2011) Vol 23, No 1 (2011) Vol 22, No 3 (2010) Vol 22, No 2 (2010) Vol 22, No 1 (2010) Vol 21, No 3 (2009) Vol 21, No 2 (2009) Vol 21, No 1 (2009) Vol 20, No 3 (2008) Vol 20, No 2 (2008) Vol 20, No 1 (2008) Vol 19, No 3 (2007) Vol 19, No 2 (2007) Vol 19, No 1 (2007) Vol 18, No 3 (2006) Vol 18, No 2 (2006) Vol 18, No 1 (2006) Vol 17, No 3 (2005) Vol 17, No 2 (2005) Vol 17, No 1 (2005) Vol 16, No 3 (2004) Vol 16, No 2 (2004) Vol 16, No 1 (2004) Vol 15, No 3 (2003) Vol 15, No 2 (2003) Vol 15, No 1 (2003) Vol 14, No 3 (2002) Vol 14, No 2 (2002) Vol 14, No 1 (2002) Vol 13, No 3 (2001) Vol 13, No 1 (2001) Vol 12, No 3 (2000) Vol 12, No 2 (2000) Vol 12, No 1 (2000) Vol 11, No 3 (1999) Vol 11, No 2 (1999) Vol 11, No 1 (1999) Vol 10, No 1 (1998) No 9 (1998) No 8 (1998) No 6 (1997) No 5 (1997) No 4 (1997) No 3 (1996) No 2 (1995) No 1 (1995) No 1 (1994) No 3 (1991) No 2 (1991) No 1 (1989) More Issue