cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
jap.anestesi@gmail.com
Editorial Address
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Jalan Pasteur No. 38 Bandung 40161, Indonesia
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Anestesi Perioperatif
ISSN : 23377909     EISSN : 23388463     DOI : 10.15851/jap
Core Subject : Health, Education,
Jurnal Anestesi Perioperatif (JAP)/Perioperative Anesthesia Journal is to publish peer-reviewed original articles in clinical research relevant to anesthesia, critical care, case report, and others. This journal is published every 4 months with 9 articles (April, August, and December) by Department of Anesthesiology and Intensive Care Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran/Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.
Arjuna Subject : -
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 12, No 2 (2024)" : 9 Documents clear
Perbandingan Vasopressin dan Norephinephrine sebagai Vasopressor pada Pasien Syok Sepsis Andrio Farel Edward Gultom; Rommy F. Nadeak; Tasrif Hamdi; Yuki Yunanda
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3739

Abstract

Sepsis menyebabkan kematian terbesar, tingkat mortalitas sepsis tinggi dan dapat mencapai 50% pada syok sepsis. Tatalaksana resusitasi pada syok sepsis menggunakan vasopresor. norepinephrine saat ini adalah rekomendasi utama pada syok sepsis, vasopressin digunakan sebagai obat lini kedua untuk mengurangi efek samping yang disebabkan oleh obat seperti norephinephrine, dan juga membantu pada keadaan syok resisten-katekolamin. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan metode acak tersamar ganda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan penggunaan vasopressin dan norephinephrine sebagai vasopresor pada pasien syok sepsis di ICU RSUP H. Adam Malik Medan. Pencatatan hasil dilakukan setelah diberikan intervensi (T0), 6 jam (T1), dan 24 jam (T2). Sampel yang diperoleh pada penelitian ini berjumlah 36 pasien dengan 13 pasien dalam kelompok vasopressin dan 13 pasien dalam kelompok norepinephrine. Rerata TDS, TDD dan Mean Arterial Pressure (MAP) T0, T1, dan T2 kelompok norepinephrine lebih tinggi bila dibanding dengan dengan kelompok vasopressin. pH pada kelompok norepinephrine lebih rendah bila dibanding dengan dengan kelompok vasopressin. Simpulan, terdapat perbedaan yang signifikan antara norepinephrine dengan vasopressin sebagai vasopressor, dimana MAP dan kadar laktat, pada kelompok Norepinephrine lebih tinggi bila dibanding dengan dengan vasopressin. Sedangkan pH didapatkan lebih rendah pada kelompok norepinpehrine pada jam ke-24 dibanding dengan kelompok vasopressin.
Manajemen Perioperatif Pasien Atrial Septal Defect (ASD) dengan Hipertensi Pulmonal yang Menjalani Operasi Tutup Defek Rifdhani Fakhrudin Nur; Juni Kurniawaty; Bhirowo Yudo Pratomo
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3354

Abstract

Atrial septal defect (ASD) kompleks yang tidak didiagnosis dan dikoreksi hingga usia dewasa dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. Manajemen perioperatif operasi penutupan defek pasien ASD dewasa dengan hipertensi pulmonal memberikan tantangan tersendiri karena dikaitkan dengan tingginya komplikasi perioperatif serta peningkatan morbiditas dan mortalitas. Kami melaporkan seorang wanita berusia 23 tahun dengan ASD dan hipertensi pulmonal yang menjalani operasi tutup defek. Pemeriksaan ekokardiografi praoperasi menunjukkan ASD sekundum right-to-left shunt dengan diameter 25–30 mm dan kateterisasi jantung kanan yang menunjukkan rerata tekanan arteri pulmonal 58 mmHg dan pulmonary vascular resistance 8,1 WU. Induksi anestesi dilakukan dengan balanced opioid, dosis kecil agen induksi, dan pelumpuh otot. Hemodinamik selama operasi stabil, dan periode penyapihan cardiopulmonary bypass berjalan lancar dengan topangan dobutamin dan norepinefrin. Pascaoperasi, pasien dirawat di Intensive Care Unit dengan keadaan umum baik, hemodinamik stabil, nyeri pascaoperasi terkontrol dan tanpa kejadian komplikasi. Penilaian praoperatif yang tepat, manajemen intraoperatif yang berhasil menjaga stabilitas hemodinamik, dan manajemen pascaoperatif yang dapat mencegah dan mengatasi komplikasi pascaoperasi dapat menghasilkan luaran yang baik pada pasien ini.
Pengaruh Derajat Keparahan Penyakit (Skor APACHE II) terhadap Utilisasi Sumber Daya (Skor TISS-28) dan Biaya Perawatan Pasien di ICU Muhammad Ikhwan Nur; Reza Widianto Sudjud; Osmond Muftilov Pison
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3740

Abstract

ICU merupakan unit perawatan di rumah sakit yang membutuhkan biaya tinggi. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi utilisasi sumber daya biaya perawatan pasien ICU. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi utilisasi sumber daya dan biaya perawatan ICU adalah keparahan penyakit. Penelitian ini menggunakan desain analitik observasional dengan desain kohort prospektif Subjek penelitian ini adalah pasien ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung yang dirawat pada bulan Maret–Mei 2023. Derajat keparahan penyakit dinilai dengan skor APACHE II, sementara utilisasi sumber daya ICU dinilai dengan skor TISS-28. Uji Pearson Product Moment digunakan untuk mendapatkan nilai koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (r2) skor APACHE II terhadap skor TISS-28 dan biaya perawatan pasien ICU. Sebanyak 113 pasien ICU disertakan sebagai subjek penelitian. Rata-rata skor TISS-28  harian 25,6 dan biaya perawatan harian pasien ICU Rp6.657.925,00. Dari analisis skor APACHE II terhadap skor TISS-28 harian didapatkan nilai r=0,538; r2=0,289; p ≤0,001. Sedangkan dari analisis skor APACHE II dan biaya perawatan harian pasien ICU didapatkan r=0,502;r2=0,253; p≤0,001. Derajat keparahan berdasarkan skor APACHE II berpengaruh terhadap skor TISS-28 dan biaya perawatan pasien di ICU dengan korelasi positif. Hasil studi ini diharapkan dapat membantu meningkatkan efektivitas dan efisiensi perawatan pasien di ICU.
Diagnosis dan Tatalaksana Ensefalitis Autoimun Antibodi Negatif Dewi Ramadani Hosen; Osmond Muftilov Pison
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3765

Abstract

Ensefalitis autoimun merupakan penyebab utama ensefalitis non-infeksi. Kasus ensefalitis autoimun antibodi-negatif yang dicurigai secara klinis sulit dikonfirmasi. Pada kasus ini dihadapkan pasien laki-laki 27 tahun dirawat dengan demam, penurunan kesadaran, kejang. dan perubahan perilaku sejak 1 bulan yang lalu. Gambaran EEG menunjukkan gelombang epileptiform. Pemeriksaan LCS tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi. Pencitraan CT-Scan tidak menunjukkan gambaran khas ensefalitis. Pemeriksaan imunologis IgG dan IgM HSV non-reaktif. Pemeriksaan anti-NMDAR didapatkan hasil negatif. Pasien dirawat di ICU dengan ventilasi mekanik, disertai pemberian midazolam dan levitiracetam sebagai sedasi dan pengontrol kejang. Acyclovir diberikan sesuai pedoman tatalaksana ensefalitis selama 10 hari namun tidak menunjukkan perbaikan klinis. Setelah pemberian kortikosteroid, pasien tidak menunjukkan perbaikan neurologis. Pengobatan dilanjutkan dengan rituximab setiap minggu selama 2 minggu. Pada pemberian minggu pertama pasien menunjukkan perbaikan status neurologis dengan pemulihan derajat kesadaran. Laporan kasus ini mempertimbangkan penegakan diagnosis ensefalitis autoimun antibodi-negatif berdasarkan tanda klinis dan setelah menyingkirkan kemungkinan etiologi lain. Rituximab memainkan peran penting dalam mengendalikan efek merugikan dari ensefalitis autoimun. Di samping itu, ensefalitis autoimun mungkin memerlukan tindak lanjut rutin untuk mengevaluasi adanya gejala atau penyakit lain yang dapat mengubah strategi tatalaksana.
Korelasi Nilai Platelets to Lymphocyte Ratio Dengan Length of Stay ICU Pada Pasien Sepsis Erlina Ana Sepra Liber Sigai; Suwarman Suwarman; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3741

Abstract

Sepsis merupakan kondisi mengancam jiwa yang ditandai adanya disfungsi organ yang disebabkan oleh disregulasi respons imun terhadap infeksi. Pada sepsis dapat terjadi respons inflamasi yang tidak terkendali atau imunosupresi. Trombosit dan limfosit memainkan peran penting dalam proses imun dan rasionya dapat menggambarkan derajat keparahan pasien sepsis. Perawatan pasien sepsis di ICU seringkali membutuhkan waktu yang lama, tergantung pada keparahan penyakit dan topangan organ yang dibutuhkan pasien. Berdasarkan hal tersebut kami mencoba mengevaluasi korelasi nilai Platelets to Lymphocyte Ratio (PLR) dengan lama rawat ICU pada pasien sepsis di ICU. Penelitian ini merupakan studi observasional kuantitatif retrospekstif pada pasien sepsis yang dirawat di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari-Desember 2022. Uji Pearson digunakan untuk menganalisis korelasi antara nilai PLR dengan lama rawat pasien sepsis di ICU. Analisis regresi linear sederhana digunakan untuk mendapatkan persamaan prediksi antara nilai PLR dengan lama rawat pasien di ICU. Sebanyak 102 data rekam medis pasien sepsis diamati dalam penelitian ini. Dari analisis statistik nilai PLR terhadap lama rawat ICU diperoleh r=0,611 (p≤0,001). Dari regresi linear sederhana didapatkan prediksi lama rawat ICU=(0,11xnilai PLR)–7,96 hari. Berdasarkan penelitian ini, terdapat korelasi positif antara nilai PLR dan lama rawat pasien sepsis di ICU.
Pengaruh Blok Peritonsiler Levobupivacaine Isobarik 0,125% Terhadap Intensitas Nyeri Dan Kadar Interleukin 6 Pada Pascabedah Tonsilektomi Herman Mangasi Silaban; Ari Santri Palinrungi; Muh. Ramli Ahmad; Syamsul Hilal Salam; Alamsyah Ambo Ala Husain; Charles Wijaya Tan
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3866

Abstract

Nyeri pascatonsilektomi memengaruhi banyak aspek pada pasien. Intensitas nyeri berhubungan dengan kadar interleukin (IL)-6 yang meningkat pada proses inflamasi. Levobupivakain merupakan anestesi lokal potensi tinggi dengan durasi kerja panjang dan onset kerja relatif lambat. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh blok peritonsiler levobupivakain isobarik terhadap intensitas nyeri dan kadar interleukin 6 pascatonsilektomi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain uji klinis acak tersamar tunggal yang dilakukan di Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri Universitas Hasanuddin dan Rumah Sakit jejaring pendidikan pada bulan Desember 2023–Januari 2024. Pasien dibagi secara acak dalam dua kelompok yaitu kelompok intervensi (diberikan levobupivakain isobarik pascabedah) dan kontrol. Intensitas nyeri, jumlah opioid, dan efek samping pada 4, 8, 12, 24 jam pascabedah dievaluasi. Pemeriksaan IL-6 dilakukan sebelum pembedahan dan 12 jam pascabedah. Total 30 pasien diikutkan dengan 15 pasien pada tiap kelompok. Intensitas nyeri pascabedah pada kelompok kontrol lebih tinggi secara signifikan dibanding dengan kelompok intervensi pada 2, 4, 6, hingga 8 jam pascabedah (P<0,05). Perubahan kadar IL-6 pascabedah juga berbeda secara signifikan (p=0,033) dengan kelompok kontrol (74,56±33,79) mengalami kenaikan lebih tinggi dibanding dengan kelompok intervensi (44,67±45,44). Simpulan didapatkan bahwa levobupivakain isobarik dapat menurunkan intensitas nyeri dan kadar IL-6 pascatonsilektomi. 
Gambaran Mortalitas Pasien Sepsis Berdsarkan Fluid Accumulation di ICU RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2021–2022 Faisal Rachman; Erwin Pradian; Nurita Dian Kestriani
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3717

Abstract

Manajemen cairan pasien sakit kritis memiliki risiko terjadinya akumulasi cairan. Resusitasi cairan merupakan bagian penting dalam menstabilkan status hemodinamik dan meningkatkan oksigenasi jaringan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa balans cairan kumulatif positif merupakan faktor prognostik yang kuat untuk mortalitas pasien sepsis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran mortalitas pada pasien sepsis yang mengalami akumulasi cairan selama dirawat di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2021–2022. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan teknik consecutive sampling secara retrospektif melalui rekam medis pasien sepsis yang mengalami akumulasi cairan di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode 1 Januari 2021–31 Desember 2022 dengan jumlah sampel adalah 107 orang subjek penelitian. Analisis menunjukkan bahwa karakteristik pasien relatif sama antara kelompok yang mengalami mortalitas dan yang bertahan hidup. Pada kategori akumulasi cairan >10%, semua pasien (100%) mengalami mortalitas, sedangkan pada kategori akumulasi cairan <10%, 27 pasien (51,9%) meninggal dan 25 pasien (48,1%) bertahan hidup. 
Efektivitas Retrograde Autologous Priming dalam Menurunkan Volume Kebutuhan Transfusi Sel Darah Merah Selama Operasi pada Bedah Jantung Koroner dengan Mesin Pintas Jantung Paru: A Randomized Controlled Trial Cindy Elfira Boom; Dian Kesumarini; Riza Cintyandy; Lisa Sanjaya; Krisna Andria; Hilda Zareva; Cahya Rudiana; I Made Adi Parmana
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3934

Abstract

Pemakaian mesin pintas jantung paru (PJP) dalam operasi coronary artery bypass graft (CABG) dapat meningkatkan kebutuhan transfusi darah. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas retrograde autologous priming (RAP) dalam menurunkan volume transfusi sel darah merah/packed red cell (PRC) pada pasien bedah jantung koroner dengan mesin PJP. Penelitian ini melibatkan 52 pasien yang dijadwalkan menjalani operasi coronary artery bypass graft (CABG). RAP dimulai selama bypass dalam satu kelompok dengan mengalirkan larutan kristaloid dari jalur arteri dan vena ke dalam kantong penampung dengan volume penarikan RAP yang dimaksudkan dan disesuaikan untuk setiap pasien. Non-RAP menggunakan teknik konvensional PJP. 52 pasien (RAP = 26; kontrol = 26) dilibatkan dalam analisis. Pasien dalam kelompok RAP menerima volume transfusi PRC intraoperatif yang jauh lebih rendah dibanding dengan pasien pada kelompok non-RAP (median, 0 mL vs 205 mL, p=0,014). Analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa prosedur RAP mempengaruhi secara signifikan (p<0,05) volume PRC yang dibutuhkan dalam transfusi intraoperatif. RAP selama operasi bedah jantung koroner dengan mesin PJP adalah prosedur yang aman dan efektif yang secara signifikan mengurangi kebutuhan transfusi volume PRC. 
Perbandingan Blokade Pektoralis dan Blokade Erektor Spinae Menggunakan Bupivakain 0,25% terhadap Durasi Analgesia dan Kebutuhan Morfin Pada Operasi Simple Mastectomy Muhammad Andy Prihartono; Elfira Teresa Anugrah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3746

Abstract

Sekitar 60% pasien mastektomi mengalami nyeri akut. Beberapa metode yang dilakukan untuk mengurangi nyeri pascaoperasi mastektomi adalah blokade PECS dan ESP. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbandingan durasi analgesia dan total kebutuhan morfin dalam 24 jam pascaoperasi pada pasien yang dilakukan blokade PECS dengan ESP. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan single blind randomized controlled trial. Penilaian yang dilakukan yaitu durasi blokade, yang dinilai dari pemberian blokade sampai pasien menekan PCA/patient controlled analgesia pertama kali, selain itu dinilai juga total kebutuhan morfin yang diperlukan setelah operasi dengan menggunakan PCA. Penelitian dilakukan terhadap 32 subjek di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juni–September 2023 yang menjalani operasi mastektomi sederhana satu sisi yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria ekslusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi kelompok PECS memiliki rerata sebesar 6,06±0,69 jam dan ESP sebesar 5,17±0,40 jam sehingga kelompok PECS lebih lama 0,89±0,29 jam dibanding dengan ESP, sementara total konsumsi morfin dalam 24 jam pada kelompok PECS sebesar 2,06±0,772 mg dan ESP sebesar 2,88±0,62 mg sehingga total kebutuhan morfin antara kelompok PECS lebih rendah 0,21±0,41 mg dibanding dengan ESP (p<0,05). Simpulan dari penelitian ini blokade PECS mempunyai durasi analgesia yang lebih lama dan mengurangi kebutuhan morfin pascaoperasi dibanding dengan ESP.

Page 1 of 1 | Total Record : 9