cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
Perspektif : Review Penelitian Tanaman Industri
Published by Kementerian Pertanian
ISSN : 14128004     EISSN : 25408240     DOI : -
Core Subject : Education,
Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan yang memuat makalah tinjauan (review) fokus pada Penelitian dan kebijakan dengan ruang lingkup (scope) komoditas Tanaman Industri/perkebunan, antara lain : nilam, kelapa sawit, kakao, tembakau, kopi, karet, kapas, cengkeh, lada, tanaman obat, rempah, kelapa, palma, sagu, pinang, temu-temuan, aren, jarak pagar, jarak kepyar, dan tebu.
Arjuna Subject : -
Articles 203 Documents
Peluang Pembudidayaan Tanaman Echinacea (Echinacea purpurea) di Indonesia MONO RAHARDJO
Perspektif Vol 4, No 1 (2005): Juni 2005
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v4n1.2005.%p

Abstract

ABSTRAKEchinacea purpurea tergolong famili Asteracea yang banyak ditemukan tumbuh liar di Amerika Utara. Saat ini dikenal sebagai tanaman yang berkhasiat meningkatkan ketahanan tubuh paling penting di dunia, dan akhir-akhir ini telah diuji juga untuk terapi kanker, AIDS dan mengatasi kelelahan kronis. Karena manfaatnya tersebut, industri obat tradisional di Indonesia mengimpor bahan baku Echinacea. Seluruh bagian tanaman mempunyai khasiat sebagai obat. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa E. purpurea yang diintroduksi dari Australia, tumbuh baik di lingkungan tropis Indonesia pada ketinggian 450 - 1.100 m di atas permukaan laut.  Tanaman ini mampu menghasilkan bunga dan biji ketika ditanam di Cipanas (Jawa Barat) dan di Ungaran (Jawa Tengah). Biji  yang  dihasilkan    mempunyai  daya  kecambah 91,1%,  kecepatan tumbuh 77,5%, dan  percepatan tumbuh 12,0%. Laju pertumbuhan tanaman dan serapan hara N, P, K, Ca, Mg, dan S meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, dengan akumulasi biomas kering terbesar pada bagian tajuk (batang dan daun) dan terendah pada bagian akar. Akumulasi biomas kering dapat mencapai 65,5 g per tanaman yang ditanam di lokasi Pacet dengan ketinggian tempat 1.100 m dpl, dan mencapai 35,4 g per tanaman di lokasi Ungaran dengan ketinggian tempat 450 m dpl. Mutu simplisia E. purpurea telah memenuhi standar yang telah ditentukan berdasarkan Standar Internasional. E. purpurea potensial untuk dibudidaya-kan di Indonesia, mengingat banyaknya manfaat tanaman tersebut.Kata  kunci  :  E. purpurea, tanaman obat, budidaya, kekebalan tubuh. ABSTRACTPotency  of  Echinacea  purpurea  cultivation  in IndonesiaPurple coneflower (Echinacea purpurea) belongs to the Asteraceae family which is naturally grown in North America. This crop is wellknown as the important-immune herbs in the world. Recently, Echinacea has also  been  evaluated  as  an  adjuvant  in  the  cancer therapy, AIDS and chronic recovery. Echinacea have been imported by the Indonesian Traditional-Herbs Companies for their invaluable purposes. The plant-parts used for medical purposes are the whole plant. Studies  on  introduced  E.  purpurea  from  Australia  showed that this crop grow well in Indonesia at 450-1.100 m asl. The plants could produce flowers and seeds in Cipanas (West Java) and Ungaran (Central Java) as well. The seed viability was 91,1%, growth rate was 77,5%, and daily growth rate was 12,0%.  Growth rate and nutrients uptake of N, P, K, Ca, Mg, and S linearly increased according to  the plant age. The highest dry weight was  accumulated at the aerial parts of plant (stem and leaf), and the lowest was on the root. Dry matter acumulation of plant  at Pacet-Cipanas location (1100  m  asl)  was  higher  than  dry  matter acumulaion of plant at Ungaran location (450 m asl). Nevertheles ,the quality of E. purpurea fullfilled the International Standard.  Therefore,  E.  purpurea  is potential  to  be  cultivated  in  Indonesia  for  their invaluable purposes.Key words: E. purpurea, medicinal plant, cultivation, immune system.
Pemanfaatan Teknologi Transgenik Untuk Perakitan Varietas Unggul Kapas Tahan Kekeringan EMY SULISTYOWATI
Perspektif Vol 8, No 2 (2009): Desember 2009
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v8n2.2009.%p

Abstract

ABSTRAKDiantara cekaman abiotik yang berpengaruh terhadap kapas, maka cekaman kekeringan merupakan faktor utama  pembatas  produktivitas  dan  pengembangan kapas.  Pengembangan kapas Indonesia kedepan lebih difokuskan pada lahan-lahan kering tadah hujan, maka upaya untuk perbaikan ketahanan varietas terhadap kekeringan   sangat   diperlukan.    Hasil   pengujian ketahanan   terhadap   kekeringan   secara   langsung ataupun  tak  langsung  menggunakan  simulasi  PEG telah    menghasilkan    informasi    tentang    tingkat ketahanan  beberapa  aksesi  plasma  nutfah  kapas. Pemanfaatan plasma nutfah kapas dalam persilangan melalui   pengumpulan   dan   piramida   gen   toleran kekeringan dan serangan hama penghisap A. biguttula telah menghasilkan dua varietas baru yaitu Kanesia 14 dan   Kanesia 15. Selain   pendekatan   pemuliaan konvensional,  juga  terbuka  peluang  pengembangan varietas   baru   kapas   tahan   kekeringan   melalui transformasi gen yang menghasilkan kapas transgenik tahan kekeringan.  Pendekatan transgenik berpeluang untuk   mengkombinasikan   beberapa   gen   penyandi sifat-sifat yang berbeda yang berasal dari spesies lain ke   dalam   genom   kapas.    Beberapa   gen   telah ditransformasikan ke dalam beberapa tanaman antara lain arabidopsis, tembakau, tomat, padi, dan kapas yang   telah   menghasilkan   varietas   baru   tahan kekeringan. Dukungan teknologi berupa varietas tahan kekeringan   atau   sifat-sifat   unggul   lainnya   harus diimbangi dengan dukungan teknologi budidaya yang efisien sehingga peningkatan produksi kapas secara signifikan dapat tercapai.Kata kunci: Gossypium hirsutum L., transgenik, toleran kekeringan ABSTRACTThe  Use of  Transgenic Approach in  Developing Drought Tolerant Cotton VarietiesAmong abiotic stresses, drought is the most crucial factor   that   influence   cotton’s   productivity   and development.  As cotton development in Indonesia is focused in dry-rainfed areas,  measures for developing drought tolerance varieties are needed.  Evaluation of cotton accessions tolerance to drought has been done directly in the field, or indirectly by PEG simulation and resulted in drought tolerance cotton accessions. Hybridization by genes pooling or gene-pyramiding approaches involving selected accessions which are tolerant to drought and jassids attack, A. biguttula, have resulted in two new cotton varieties namely Kanesia 14 and Kanesia 15.  In addition to conventional breeding, there are new avenues to engineer transgenic cotton varieties  resistant  to  drought.  by  transforming  the identified genes responsible  for drought resistance. Transgenic technologies could combine several genes  responsible for different characters in cotton genome. A  number  of  genes  have  been  transformed  into various plants such as arabidopsis, tobacco, tomato, rice,   and   cotton,   and   have   conferred   improved resistance to drought.  Technology support in terms of high yielding promising varieties resistant to drought or  other  characters  should  be  accomplished  with efficient farming techniques so that significant increase in cotton production can be achieved.Keyword: Gossypium hirsutum L., transgenic, drought tolerant
Pengembangan Kapas Genjah Tahan Wereng di Wilayah Kering RUSIM MARDJONO
Perspektif Vol 4, No 2 (2005): Desember 2005
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v4n2.2005.%p

Abstract

ABSTRAKPengembangan kapas (Gossypium hirsutum) di Indonesia sebagian besar dilakukan di lahan tadah hujan yang ketersediaan airnya sangat terbatas, sehingga sering mengalami hambatan dan hasilnya kurang memuaskan. Di daerah tersebut pada periode akhir musim kapas biasanya air hujan sudah habis atau sangat terbatas. Oleh karena itu, untuk daerah tersebut perlu pengembangan kapas berumur genjah. Disamping  itu,  banyak  kendala  yang  lain  seperti langkanya  modal  petani,  ketiadaan  benih  bermutu, kekeringan dan serangan hama utama yaitu wereng kapas Amrasca biguttula, Helicoverpa  armigera dan Pectinophora gossypiella. Beberapa faktor yang mendukung keberhasilan pengembangan kapas di wilayah kering adalah penggunaan kapas genjah tahan wereng, penggunaan benih bermutu, teknologi budidaya yang sesuai, dan penerapan teknologi pengendalian hama terpadu.Kata kunci : Kapas, Gossypium hirsutum, kapas genjah, wereng    kapas,    Amrasca    biguttulla, pengembangan,  wilayah kering. ABSTRACTDevelopment of Early Maturity Cotton Resistant  to Jassid in Dry Area.Cotton in Indonesia is grown mainly in rainfed area where water is very limited. So that, it frequently faces some constraints and its productivity is low. In this area, water shortage is a major problem for cotton growth and development, therefore this area needs early maturity cotton varieties. Other limiting factors were lack of farmers’ capital, inavailability of high quality  seeds,  drought  and  insect  pest  attact (A. biguttula,  H. armigera and P. gossypiella). To solve the problem, using early maturity cotton variety resistant to jassid, high quality seeds, cultivation technology, and integrated pest management are appropriate tools to increase the cotton productivity.Key words : Cotton, Gossypium hirsutum, early maturity cotton,  jassid, Amrasca             biguttula, development, dry area
Strategi Pengembangan Rami (Boehmeria nivea Gaud.) RULLY DYAH PURWATI
Perspektif Vol 9, No 2 (2010): Desember 2010
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v9n2.2010.%p

Abstract

ABSTRAKRami  (Boehmeria  nivea  Gaud.)  merupakan  tanaman yang memiliki potensi tinggi. Serat rami dapat diolah menjadi kain fashion berkualitas tinggi, karena memiliki karakter mirip dengan serat kapas. Selain itu, serat  rami merupakan bahan untuk pembuatan selulosa  berkualitas  tinggi (selulose   α). Daunnya merupakan bahan kompos dan pakan ternak yang bergizi tinggi, kayunya baik untuk bahan bakar.  Kayu dan serat rami dapat diolah menjadi pulp berkualitas tinggi  sebagai  bahan  baku  pembuatan  aneka  jenis kertas berharga. Kebutuhan rami dunia yang mencapai ± 500.000 ton/tahun pada tahun 2010 hanya dipenuhi oleh Cina sebesar 280.000 ton (56%), sisanya dari Brazil dan Filipina dengan persentase yang sangat kecil. Di Indonesia, potensi pengembangan rami sangat tinggi karena kebutuhan serat untuk substitusi kapas cukup tinggi, telah tersedia varietas unggul dan benih yang bermutu tinggi serta lahan luas yang sesuai untuk pertumbuhan rami. Namun demikian, masih ditemukan  beberapa  kendala  dalam  pengembangan rami antara lain varietas dan benih yang digunakan belum murni, lokasi pengembangan umumnya jauh dari sarana transportasi, belum tersedia alat dekortikator yang memadai, kelembagaan yang ada belum  sesuai,  kejelasan  pasar  dan  kepastian  harga serat rami belum banyak diketahui, pengembangan rami baru menguntungkan setelah tahun ke tiga, mesin yang digunakan oleh pabrik tekstil tidak sesuai karena merupakan  mesin  pengolah  kapas (serat  pendek). Pengembangan rami  dapat berhasil dan berkesinambungan apabila tersedia strategi pengembangan rami yang konstruktif meliputi intensifikasi,ekstensifikasi, diversifikasi dan kelembagaan.  Intensifikasi  terdiri  atas  penggunaan varietas unggul dan benih bermutu tinggi,  serta aplikasi teknik budidaya yang tepat mulai persiapan lahan hingga pengolahan serat. Ekstensifikasi adalah perluasan  lahan  untuk  memenuhi  kebutuhan  serat rami  nasional,  baik  untuk  substitusi  serat  kapas maupun untuk diversifikasi produk terutama untuk pulp, selulosa dan komposit. Strategi pengembangan rami tersebut akan lebih efisien apabila telah terbentuk kelembagaan dan kejelasan pemasaran.Kata  kunci:  Boehmeria  nivea  Gaud,  pengembangan,                 potensi,   kendala,   intensifikasi,   ekstensifikasi, diversifikasi ABSTRACTStrategy of Ramie (Boehmeria nivea Gaud.) DevelopmentRamie (Boehmeria nivea Gaud.) is a multi purpose crop and has a high potency in producing some products. Ramie fibre is raw material of very high quality of textile, due to its characteristic is similar to cotton fibre. Ramie fibre is also used as raw material of high quality of cellulose (α cellulose). The leaves can be produced as compost (organic  fertilizer)  and  fodder  with  high nutrition. The bark and fibre also can be used as raw material of pulp for high quality and expensive papers  The   world   requirement   of   ramie   fibre   predicted reaches ± 500.000 tonnes/year in 2010. Fifty six percents  (280.000 tonnes) of this need is supplied by China, and the rest is fulfilled by Brazil and Philippines in low percentage.   In   Indonesia,   the   potency   of   ramie development is very high due to some reasons as follow: the highly fibre need for cotton substitution, superior  variety  and  high  quality  of  seedling  are available, appropriate land for ramie growth is broad enough. However, there are some constraints in ramie development  i.e.  variety  and  seedlings  used  was varied,   the   location   was   far   from   transportation facilities, limiting of decorticators, lack of judgment and institution cooperation, the low price of ramie fibre, the use of inappropriate machine for ramie fibre, etc.   Ramie   development   will   succeed   and   be continuously  by  the  availability  of  a  constructive strategy   includes   intensification,   extentsification, diversification,    and    management.    Intensification comprises of the use of high quality of seedlings and superior  varieties,  and  application  of  appropriate culture  techniques  from  land  preparation  to  post harvest. Extensification is the extent of ramie area to produce enough ramie fibre for cotton substitution and product diversification especially for pulp, cellulose, and composite. This strategy of ramie development will be more efficient when management, funding, marketing institutions and the good price is available.Key words: Ramie, development, potency, constraint,               intensification, diversification
Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa (Cocos nucifera) untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau SABARMAN DAMANIK
Perspektif Vol 6, No 2 (2007): Desember 2007
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v6n2.2007.%p

Abstract

RINGKASANPengembangan agribisnis kelapa berperanan penting untuk peningkatan produktivitas dan sekaligus peningkatkan pendapatan petani. Saat ini kelapa sangat berperan dalam perekonomian sebagai penyedia lapangan tenaga kerja, bahan baku industri dalam negeri dan konsumsi langsung. Meskipun demikian, kebanyakan usahatani kelapa tidak terkait langsung dengan industri pengolahan, industri hilir, serta   industri   jasa,   dan   keuangan.   Akibatnya agribisnis kelapa tidak berhasil mendistribusikan nilai tambah, sehingga tidak dapat meningkatkan pendapatan petani. Faktor-faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya sistem agribisnis kelapa di Indragiri Hilir, antara lain adalah: (1) sebagian besar teknologi belum dapat digunakan petani, 2) kurangnya diversifikasi produk kelapa.Strategi pengembangan sistem agribisnis kelapa di Indragiri Hilir, Riau, harus dilakukan melalui: (1) diversifikasi produk melalui pemanfaatan tempurung,sabut dan lidi  serta  minyak  murni (VCO),  sehingga  dapat merubah permintaan menjadi elastis untuk meningkatkan daya serap pasar, (2) program promosi pasar di pasar dunia baik melalui lembaga promosi propinsi Riau, dan (3) pemberdayaan petani melalui kelembagaan yang sudah ada seperti kelompok tani, dan koperasi.Kata kunci : Kelapa, Cocos nucifera, agribisnis, pendapatan petani, diversifikasi produk. ABSTRACTStrategy for Coconut Agribusiness Development to Increase Farmers’ Income in Indragiri Hilir Distric, Riau ProvinceDevelopment of coconut agribusiness is important in increasing farmers income and urgent to increasing productivity and farmers income. Coconut has an important role on the economy of Indonesia as an providing job opportunity, raw material of internal country industry, and direct consumption most of coconut  production  not  related  to  the  processing industry, downstream industry, as well as service institution. As the consequences, coconut agribusiness fails to distribute addad value, and is not able to increase farmers income. Some factors influence agribusiness system in Indragiri Hilir: (1) most of the technology could not be adopted by the farmes and (2) less coconut product diversification.The strategy to develop coconut agribusiness in Indragiri Hilir: (1) product diversification to increase market absorption capacity, (2) promotion program of marketing on the world market, through embassy and other institutions, and (3) making eficient use of farmers in the existing organization such as farmers group cooperativws.Key words: Coconut, Cocos nucifera, agribusiness, farmers income, product diversification.
PROSPEK PENGGUNAAN BAKTERI ENDOFIT UNTUK PENGENDALIAN NEMATODA Pratylenchus brachyurus PADA RITA HARNI
Perspektif Vol 13, No 1 (2014): Juni 2014
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v13n1.2014.%p

Abstract

ABSTRAKNematoda  peluka  akar  (Pratylenchus  brachyurus)  pada nilam  merupakan  masalah  utama  yang  dihadapi  oleh petani  di  Indonesia  terutama  di  daerah­daerah  sentra produksi nilam seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Beberapa teknik pengendalian telah dilakukan, seperti penggunaan nematisida, kultur teknis, dan penambahan bahan organik ke dalam tanah belum efektif mengendalikan patogen tersebut. Pengendalian biologi menggunakan  bakteri  endofit  merupakan  salah  satu komponen  pengendalian  P.  brachyurus  yang  cukup menjanjikan karena sebagai agens biokontrol, penginduksi  ketahanan  dan  pemacu  pertumbuhan tanaman.  Bakteri  endofit  dapat  diisolasi  dari  semuabagian  tanaman  terutama  akar.  Kerapatan  populasi bakteri  endofit  dari  akar  nilam  adalah  2,3x102 ­6,0x105 cfu/g  berat  basah  akar.  Kerapatan  populasi  sangat dipengaruhi oleh varietas dan teknik budidaya. Populasi bakteri endofit lebih banyak ditemukan pada tanaman nilam  yang  dibudidayakan  secara  organik  dibanding budidaya  non  organik.  Bakteri  endofit  mengkolonisasi epidermis,  kortek  dan  jaringan  inter  dan  intraseluler akar nilam.  Mekanisme  bakteri endofit dalam menekan nematoda P. brachyurus adalah menginduksi ketahanan dengan  peningkatan  asam  salisilat,  peroksidase,  dan senyawa  fenol  dan  mengkolonisasi  epidermis  sel  akar. Bakteri  endofit  sebagai  biokontrol  nematoda  dapat menekan penetrasi, reproduksi, dan populasi nematoda di dalam akar nilam sebesar 54,8­70,6%. Di samping itu bakteri endofit juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman  nilam  dengan  meningkatkan  produksi  terna nilam sebesar 37,86­84,71%.Kata kunci:  nilam,  Pratylenchus  brachyurus,  bakteri endofit, pengendalian Prospects for use Endophytic Bacteria Cotrolling Nematodes Pratylenchus brachyurus Plant Nilam ABSTRACTRoot  lesion  nematode  (Pratylenchus  brachyurus)  is  an important pathogen of patchouli in Indonesia and causes significant  losses  at  several  main  patchouli  central productions  such  as  Aceh,  North  Sumatra,  West Sumatra,  Bengkulu,  West  Java  and  Central  Java.  Some control  measures,  i.e.  nematicides,  cultural  practices, and  organic  matter  amendment,  have  not  given satisfactory result in managing nematode population in the  field. Biocontrol  approach  by  using  endophytic bacteria  is  promising  component  to  control  nematode, since such bacteria, also promote plant  growth, through production  of  phitohormones  and    enhance  nutrient availability. Endophytic bacteria can be isolated enhance from  all  parts  of  the  plant,  especially  the  roots. Population density of  endophytic bacteria on  patchouli root  is  2.3 x102 ,  6,0x105  cfu  /  g  wet  fresh  of  roots. Population  density  of  endophytic  bacterial  is  strongly influenced  by  varieties  and  cultivation  techniques, populations of endophytic bacteria are more common in atchouli  plants  organically  grown  compared  to  non­organic  farming.  Endophytic  bacterial  colonized  the epidermis,  cortexs,  inter­and  intracellular  root  tissues. The  mechanism  of  endophytic  bacteria  in  suppressing nematode P. brachyurus was induced resistance, with an increase  in  salicylic  acid,  peroxidase  and  phenol compounds and colonize root epidermal cells. Endophytic  bacterial  as  biocontrol  nematodes  may suppress  penetration,  reproduction,  and  population  of nematodes  in  the  roots  of  patchouli  is  54.8  to  70.6%.  Besides endophytic bacteria also can increase the growth and production  of patchouli from 37.86 to 84.71%.Keyword :  patchouli,  Pratylenchus  brachyurus,  bacterial          endophytes, control
Tembakau Cerutu Besuki-NO : Pengembangan Areal dan Permasalahannya di Jember Selatan DJAJADI DJAJADI
Perspektif Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v7n1.2008.%p

Abstract

ABSTRAKDalam  makalah  ini  diulas  tentang  pengembangan tembakau  besuki  NO  di  daerah  Jember  Selatan, permasalahan  pengembangan  di  daerah  baru,  dan perlunya   teknologi   yang   sesuai   dengan   kondisi agroekologi di wilayah pengembangan baru.  Semula sentra produksi tembakau cerutu Besuki NO adalah Jember   Utara.   Daerah   ini   merupakan   penghasil tembakau mutu pengisi cerutu (filler) yang aromatik. Dengan semakin merosotnya produksi akibat semakin menurunnya kesuburan lahan dan serangan penyakit, maka  penanaman  tembakau  besuki  berpindah  ke Jember  Selatan.  Daerah  Jember  Selatan  merupakan areal  penghasil  tembakau  mutu  pembungkus  dan pembalut  cerutu (dek-omblad)  yang  harganya  lebih tinggi  daripada  mutu  filler.  Kondisi  topografi  dan curah hujan di Jember Selatan berbeda dengan daerah Jember Utara. Daerah Jember Selatan relatif lebih datar, dan tanahnya berkadar partikel liat lebih tinggi, serta curah  hujan  lebih   tinggi   daripada   Jember   Utara, sehingga ketersediaan air bagi pertumbuhan tembakau juga lebih banyak.  Perbedaan ini yang memungkinkan produktivitas tembakau besuki di Jember Selatan (1555 kg/ha) lebih tinggi daripada produktivitas tembakau di Jember   Utara (hanya 791   kg/ha).   Berbedanya karakteristik    wilayah    tersebut    mungkin    juga mempengaruhi karakteristik agroekologi yang sesuai bagi pertumbuhan tembakau untuk berproduksi dan bermutu  tinggi.  Namun  demikian  belum  terdapat informasi   tentang   korelasi   antara   faktor-faktor agroekologi (kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah, serta suhu, kelembaban, dan intensitas sinar matahari) dengan   produksi   dan   mutu   tembakau   besuki. Akibatnya adalah teknologi budidaya yang tersedia belum efektif untuk meningkatkan produksi dan mutu tembakau besuki di Jember Selatan.  Diperlukan kajian tentang    faktor-faktor    agroekologi    yang    sangat menentukan produksi dan mutu tembakau, sehingga strategi  peningkatan  produksi  dan  mutu  tembakau akan berbasis pada karakteristik agroekologi daerah Jember Selatan.Kata  kunci  :  Tembakau  Cerutu,  Nicotiana  tabacum, besuki, pengembangan, permasalahan, Jember Selatan. ABSTRACTBesuki Tobacco Cigar: Crop Area Extension and Its Contrainst in South JemberThis paper described crop area extension of tobacco cigar in South Jember and its constraints, and the need of   crop   technologies   based   on   agro   ecology characteristics of South Jember.  In the early of area extension, North Jember had been chosen as a centre of besuki cigar tobacco area to produce cured leaf tobacco used as a good quality filler of cigar.  However, due to declining  of  tobacco  production  and  increasing  of tobacco disease in this area, besuki cigar tobacco area centre   have   been   established   in   new   area   crop extension, South Jember.  The cigar tobacco produced in South Jember is used as wrapper and binder of cigar which the quality prices are more expensive than the quality of filler.  Topography of South Jember is flat with rainfall is higher than North Jember, so that the tobacco yield in South Jember is higher than tobacco yield of North Jember.  The difference of characteristic area  between  South  and  North  Jember  may  also influence the characteristics of agroecology of the two areas. The  characteristics  of  agro  ecology  have important roles in determining yield and quality of tobacco.  Unfortunately, there is no information about the correlation between agro ecology and yield and quality of cigar tobacco in South Jember. Consequently, crop  technologies  available have  not significantly  increased  yield  and  quality  of  cigar tobacco.    The  study  of  correlation  between  agro ecology and yield and quality of cigar tobacco in South Jember is important as a basis of strategy to increase yield and quality of cigar tobacco in South Jember.Key word: Tobacco, Nicotiana tabacum, Na Ogst, besuki, development, South Jember.
Status Penelitian Serangga Vektor Penyakit Kerdil Pada Tanaman Lada RODIA BALFAS
Perspektif Vol 8, No 1 (2009): Juni 2009
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v8n1.2009.%p

Abstract

ABSTRAKPenyakit   kerdil   merupakan   salah   satu   penyakit penting pada tanaman lada. Penyakit ini disebabkan oleh  dua  jenis  virus,  Piper  Yellow  Mottle  Virus (PYMV) dan Cucumo Mottle Virus (CMV). Penyebaran penyakit terjadi melalui melalui bahan tanaman  dan serangga   vektor.   Pengelolaan   serangga   vektor merupakan salah satu cara untuk menekan penyebaran penyakit tersebut. Jenis-jenis serangga vektor PYMV di Indonesia adalah  kutu putih, Planococcus minor dan Ferrisia virgata;  serangga  vektor  CMV  adalah  Aphis gossypii.  Kedua jenis kutu putih diketahui sebagai serangga yang polifag dan  vektor yang sangat efisien. Penanggulangan serangga vektor  masih dalam tahap awal. Telah dilakukan pengujian di rumah kaca dan lapangan. Hasil uji lapangan dengan menggunakan ekstrak  air  tembakau  dan  mimba  dapat  menekan populasi   Planococcus.   Untuk   menekan   penyebaran penyakit diperlukan teknologi penanggulangan vektor yang efektif yang berdasarkan  pemahaman ekobiologi serangga vektor. Selain itu perlu pengujian potensi serangga-serangga   pengisap   lain   yang   potensial sebagai vektor dan  pengujian nomor-nomor tanaman lada hibrida yang telah ada terhadap  serangga vektor dan penyakit kerdil untuk mendapatkan tanaman lada yang tahan terhadap serangan serangga vektor atau penyakit kerdil.Kata kunci : Piper nigrum L., penyakit kerdil, PYMV, CMV, seranggga vektor ABSTRACTResearch Status on Insect Vector of Stunted Disease on Black PepperStunted disease is one of the important diseases of black pepper. Two viruses, i.e. Piper Yellow Mottle Virus (PYMV) and Cucumo Mottle Virus (CMV) are associated  with  this  disease.  The  disease  is  spread through seed as well as insect vectors. Two mealybugs, Planococcus minor and Ferrisia virgata; are known as insect vectors of PYMV in Indonesia and  Aphis gossypii is an insect vector of CMV. The two mealybugs are polyphagous insects and efficient vectors.of stunted disease. Preliminary control of insect vectors has been conducted at the green house and field. Neem and tobacco extracts have showed effective control against Planococcus  as  also  shown  on  monocrotophos  and carbofuran treatments. Vector management is needed to reduce disease spread, through controlling insect vectors based on understanding their ecobiology. In addition, examining other potential insect vectors and screening existing hybrid lines to the disease and insect vectors need further examination.Key words: Piper nigrum L. stunted disease, PYMV, CMV, insect vector
Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu untuk Meningkatkan Produksi dan Pendapatan Usahatani Kapas di Sulawesi Selatan SUPRIYADI TIRTOSUPROBO; SUKO ADI WAHYUNI
Perspektif Vol 5, No 1 (2006): Juni 2006
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v5n1.2006.%p

Abstract

ABSTRAKProvinsi  Sulawesi  Selatan merupakan  salah  satu daerah pengembangan  kapas  terluas  di  Indonesia, namun produktivitas kapas di   Sulawesi Selatan rendah. Salah satu kendala usahatani kapas adalah serangan hama yang dapat menimbulkan kerugian mencapai 20-30% dari potensi produksi, bahkan pada waktu  serangan  berat  dapat  menggagalkan  panen. Untuk menekan populasi hama dan kehilangan hasil telah direkomendasikan teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang meliputi penanaman jagung sebagai perangkap,  pemanfaatan  serasah  dan pemantauan populasi hama. Penerapan PHT kapas yang penekanannya pada komponen teknologi pengendalian non-kimiawi telah diperagakan selama 4 tahun   berturut-turut   di   Kabupaten   Jeneponto, Bulukumba dan Bone (Sulawesi Selatan). Penerapan komponen PHT layak untuk dilaksanakan, baik secara teknis maupun  secara ekonomis sangat menguntungkan. Hal ini terbukti bahwa para petani kooperator (petani PHT)  mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan petani IKR (Non PHT), hal ini ditunjukkan lebih tingginya produktivitas kapas (971-1828 kg/ha) dan lebih rendahnya penggunaan insektisida (0 - 0,49 lt/ha). Sedangkan nilai B/C ratio yang diperoleh petani PHT (1,25 - 1,98) lebih tinggi dibandingkan petani Non PHT (0,08-0,44). Komponen teknologi PHT kapas belum semua diterima dan diadopsi petani. Pada penanaman jagung sebagai  tanaman  perangkap  masih  rendah,  hanya berkisar 0-65%. Pemanfaatan serasah cukup bisa diterima petani dengan tingkat adopsi berkisar 34-100%.  Sedangkan komponen pemantauan populasi hama diadopsi petani, hanya berkisar 35-100%.Kata  kunci  :  Kapas,  Gossypium  hirsutum,  teknologi PHT,  pendapatan,  adopsi  teknologi ,Sulawesi Selatan. ABSTRACTApplication of Integrated Pest Management (IPM) to Increase Cotton Production and Farm IncomeSouth Sulawesi Province is the largest cotton areas in Indonesia.  One  of  the  constrains  that  causes  low productivity in South Sulawesi is insect infestation that causes yield loss by 20-30% of production potency. Under heavy insect infestation, yield loss can reach 100%.  To control insect pest and to reduce yield loss, it is recommended, that the integrated pest management (IPM)  technique  is implemented, including the planting of maize as trap crops, mulching, and pest monitoring. The implementation of cotton IPM which is based on the non-chemical pest control has been performed for 4 years in Jeneponto, Bulukumba and Bone Regions of South Sulawesi.  The IPM technique has been proven to benefit cooperator farmers.  This was resulted from higher cotton yield (971 - 1828 kg seed cotton/ha) and lower insecticide usage (0 - 0.49 l/ha).  The B/C ratio received by cooperator farmers (1.25 - 1.98) was higher than non cooperator farmers (0.08-0.44).  Not all of the introduced IPM components could be adopted by farmers.  The adoption rate of maize as trap crops was low, ranging from 0% to 65%. Mulching  was  moderately  adopted  by  cooperator farmers 34 - 100%, while pest monitoring component could be adopted by cooperator farmers 35 - 100%.Key words : Cotton, Gossypium hirsutum, IPM techno-logy, income, technology adoption, South Sulawesi.
Mekanisasi Pertanian dalam Perspektif Pengembangan Bahan Bakar Nabati di Indonesia BAMBANG PRASTOWO; CHANDRA INDRAWANTO; DEDI SOLEH EEFENDI
Perspektif Vol 9, No 1 (2010): Juni 2010
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v9n1.2010.%p

Abstract

ABSTRAKPerubahan  lingkungan  strategis  yang  sangat  serius adalah adanya kenaikan harga dan permintaan pangan dan  energy  yang  semakin  cepat.  Oleh  karena  itu, terjadinya  kelangkaan  bahan  bakar  minyak (BBM) menjadi    kendala    serius    dalam    pengembangan mekanisasi pertanian ke depan. Pemanfaatan bahan bakar  nabati (BBN)  menjadi  salah  satu  alternatif penyelesaiannya. Ditinjau dari bentuknya, bahan bakar nabati  bisa  berbentuk  padat,  gas atau cair.  Seperti halnya BBM, bentuk cair dari BBN adalah  yang paling luas dan paling luwes penggunaannya. Lahan yang sesuai dan tersedia untuk tanaman penghasil BBN juga cukup luas, yaitu sekitar 22,4 juta ha, yang terdiri atas 7,1 juta ha untuk tanaman semusim dan 15,3 juta ha untuk tanaman tahunan. Potensi energi biomasa dari pertanian  di  Indonesia  sekitar 360,99  juta  GJ  yang berasal dari hasil pokoknya (biji,buah dll) dan sekitar 441,1  juta  GJ  dari  residu  biomasanya.  Teknologi mutakhir pemanfaatan biomasa adalah dengan cara mengubah biomasa menjadi cairan atau bahan bakar cair.   Teknologi   proses   semacam   ini   disebut  juga ”second generation biofuel”, atau proses ”biomass to liquid”. Oleh karena hasilnya dalam bentuk cair, maka penggunaannya  akan  lebih  luwes  dan  dapat  lebih mudah dimanfaatkan untuk alat-alat dan mesin-mesin pertanian. Biomasa juga dapat diubah menjadi biogas menggunakan  reaktor  digestasi  anaerob,  di  mana bakteri akan mendigestasi biomasa dan menghasilkan biogas. Biogas dapat dimanfaatkan     untuk pengoperasian  mesin-mesin  pengering  di  pedesaan. Oleh  karena  mekanisasi  pertanian  ke  depan  akan menghadapi kelangkaan energi fosil, maka penelitian dan    pengembangan    mekanisasi    yang    dapat memanfaatkan   bahan   bakar   nabati   dan   biomasa lainnya   hendaknya   mampu   mensinergikan   antar keduanya sehingga mampu dioperasionalisasikan di lapangan.Kata  kunci  :   Mekanisasi   pertanian,   bahan   bakar minyak,  bahan  bakar  nabati,  energi biomasa, energi fosil ABSTRACTPerspective Agriculture Mechanization in Relation to Bio fuel Development in IndonesiaThe price and demand of energy and food has been increase faster.  Potential shortage of fossil fuel became a   serious   problem   in   developing   agriculture mechanization. Therefore, bio fuel is an alternative way to solve the problem.  Bio energy can be produced in solid, gas or liquid form.  However, the liquid form is the most easy to be used.  Indonesia has around 22.4 million ha of land to grow up bio fuel crops. 7.1 million ha for seasonal crops and 15.3 million ha for annual crops.  Potential  of  energy  of  biomass  from agriculture is around 360.99 million GJ.  Biomass can be  converted  to  be  liquid  bio  fuel.    This  namely technology for second generation bio fuel or biomass to liquid process.  Biomass can also be bended to be biogas  by using anaerob digestation reactor.  Biogas can be used to operate drier machine in villages. To overcome fossil fuel scarcity problem in the future, agriculture   mechanization   development   should   be consider  bio  fuel  as  an  alternative  energy  source. Research of agriculture mechanization, then should be directed to the machines that can be operated using bio fuel and other biomas energy.Keywords: Agriculture mechanisation, bio fuel, fossil fuel, biomass energy, fossil energy

Page 2 of 21 | Total Record : 203