Articles
10 Documents
Search results for
, issue
" 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT"
:
10 Documents
clear
KREATIVITAS DALAM LOMBA KEBERHASILAN GURU
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (118.825 KB)
      Siapa yang bilang bahwa guru-guru kita tidak kreatif? Siapa yang bilang bahwa rutinitas guru kita telah menghancurkan kreativitas? Dan siapa yang bilang kreativitas tersebut hanya dimiliki oleh para dosen di perguruan tinggi? Guru kita, baik guru SD, SLTP, SMU maupun SMK ternyata banyak yang kreatif; hal ini terbuktikan pada Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran (LKGP) Nasional yang peme-nangnya diumumkan bersamaan Peringatan Hari Guru baru-baru ini.      Kali ini, LKGP sudah memasuki tahun kedua. Sebenarnya LKGP serupa esensinya dengan lomba kreativitas karena penilaian terhadap karya guru lebih terfokus pada sejauh mana sang guru dapat mengembangkan kreativitas (plus loyalitas) dalam proses belajar mengajar di kelas dan/atau di luar kelas kepada peserta didiknya. Penilaian lomba tidak ditekankan pada sejauh mana guru mengembangkan konsep-konsep akademis di dalam tataran teoritik; akan tetapi lebih difokuskan pada pengalaman mengajar dan/atau pengalaman mengembangkan lembaga pendidikan itu sendiri dari aspek-aspek yang edukatif.      Hampir 1.500 guru mengirimkan tulisan tentang pengalamannya kepada panitya di tingkat nasional. Tahun ini Departemen Pendidikan sebagai penyelenggara bersama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) sebagai sponsor sempat menyediakan hadiah yang menarik, setidak-tidaknya bagi para guru, antara lain berupa rumah (27 unit), ongkos naik haji bagi yang beragama Islam atau dana sepadan bagi keperluan sejenis bagi yang beragama nonislam, uang tunai, mesin ketik, dan sebagainya. Namun begitu hadiah-hadiah itu bukan satu-satunya daya tarik bagi guru untuk mengikuti lomba; buktinya tahun lalu ketika be-lum ada hadiah "seaduhai" itupun peserta lombanya banyak pula.      Apabila guru-guru kita tidak banyak yang kreatif; mana mungkin pihak penyelenggara dapat mengumpulkan naskah empirik yang sede-mikian banyak.
MAKNA KELAHIRAN WAHYU NUSANTARA AJI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (119.162 KB)
Telah lahir putra negara; penduduk negri yang kedua ratus juta; tumbuhlah di dalam suasana bahagia; ja-dilah manusia yang handal dan mandiri; kau lahir di tengah derapnya suasana; berjuta manusia berlomba prestasi; smarak pembangunan menyentuh desa dan kota; smoga terjaga alam lingkungannya.              ( Haryono Suyono dan Ully Sigar Rusady )      Wahyu Nusantara Aji; itulah nama bayi mungil yang lahir di Jero Waru, Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tanggal 4 Februari 1997 yang lalu. Kelahiran Wahyu telah menandai lahirnya manusia Indonesia yang ke dua ratus juta; artinya sekarang ini penduduk Indonesia telah mencapai jumlah 200 juta jiwa, bahkan lebih.      Lahirnya Wahyu pada tanggal tersebut sebenarnya dibarengi oleh 8.000-an bayi yang lainnya. Wahyu bernasib baik setelah melalui per-syaratan, mekanisme, prosedur, dan penetapan. Mulanya pada tanggal 4 Februari 1997 tersebut dibuka posko di tingkat pusat, tingkat propinsi dan tingkat dua.Petugas tingkat dua mencatat kelahiran bayi pada hari itu terhitung dari jam 00.00 s/d 24.00 waktu setempat di wilayah-nya masing-masing. Kalahiran bayi di tingkat dua ini dilaporkan dan direkapitulasi oleh petugas di tingkat propinsi.      Selanjutnya petugas di propinsi menseleksi dengan mengaplikasi berbagai persyaratan, baik persyaratan pokok maupun pendukung; di antaranya adalah lahir dari hasil perkawinan yang sah, usia minimal si ibu adalah 20 tahun, merupakan anak lahir hidup, anak pertama atau kedua, jarak kelahiran bagi anak kedua adalah tiga tahun, pengaturan jarak kelahiran memakai kontrasepsi modern, waktu hamil si ibu rajin periksa ke dokter, dan lahir dalam kehidupan keluarga yang harmonis. Masing-masing propinsi mengirim data tiga bayi yang bisa memenuhi kualifikasi tersebut ke petugas di tingkat pusat.
"PAPE", DARI KONGRES 1 SAMPAI 18
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (122.653 KB)
      Salah satu aktivitas rutin dari PAPE adalah mengadakan kongres tahunan yang dilaksanakan pada bulan November (atau Oktober). Ak-tivitas ini dilaksanakan secara bergiliran dari negara satu ke negara berikutnya. Ada banyak acara yang digelar sebagai rangkaian kongres ini; masing-masing adalah seminar internasional yang diikuti oleh para praktisi pendidikan dari negara-negara anggota, pertemuan pimpinan (kita memakai istilah Meeting of Directors) untuk membahas berbagai masalah yang berkembang, kunjungan ke sekolah-sekolah terbaik di negara penyelenggara, serta tukar informasi budaya.      Ketika diselenggarakan Kongres Ke-17 PAPE di Auckland, New Zealand, misalnya; sehari sebelum acara-acara lain dimulai maka para pimpinan PAPE sudah mengadakan pertemuan untuk membahas ber-bagai masalah yang berkembang.      Di samping pertemuan pimpinan maka di dalam kongres tersebut juga diadakan seminar yang diikuti oleh 205 peserta praktisi pendidik-an dari negara-negara anggota. Seminar ini menampilkan pakar-pakar pendidikan dari berbagai negara, di samping pimpinan delegasi (atau orang yang ditunjuk) dari negara-negara yang hadir diminta menyajikan tulisan (country paper) berkenaan dengan topik yang dibahas dan disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Dalam forum seperti ini tukar menukar informasi dan pengalaman dilakukan secara baik.      Kunjungan lapangan dilaksanakan pada empat sekolah terbaik di New Zealand; diantaranya Dilworth School yang cukup dikenal. Dari kunjungan ini para peserta kongres yang umumnya para praktisi pen-didikan di negaranya masing-masing dapat mempelajari keunggulan yang dimiliki oleh sekolah-sekolah yang dikunjungi. Momentum ini juga penting bagi para peserta.
SISTEM SELEKSI MASUK PERGURUAN TINGGI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (113.769 KB)
      Isu pendidikan kita yang paling aktual pasca diumumkannya hasil Ebtanas sekolah menengah, khususnya SMU, adalah penerimaan ma-hasiswa baru di perguruan tinggi. Sekarang ini para lulusan sekolah menengah kita sedang sibuk menyiapkan diri untuk menembus dinding perguruan tinggi, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ataupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), yang dianggap dapat mengembangkan kemam-puannya untuk menggapai cita-cita.      Di sisi lainnya pihak perguruan tinggi sendiri tengah menghadapi persoalan tentang bagaimana metode menciptakan sistem seleksi yang efektif hingga kandidat yang tersaring menggunakan alat testing yang dibuat benar-benar kandidat yang bermutu; dalam pengertian (kandidat) mahasiswa baru dengan potensi akademik yang pantas. Kiranya memang tidak bisa dipungkiri bahwa sampai saat inipun masih banyak perguruan tinggi yang mengaplikasi sistem seleksi mahasiswa baru di dalam tahapan formalistik saja.      Secara empirik ada berbagai jenis alat seleksi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi kita; misalnya saja PTN pernah menerapkan tes model Proyek Perintis (PP), Sipenmaru, UMPTN, dsb, sementara itu ada beberapa PTS yang dalam menseleksi kandidat mahasiswa baru menggunakan tes psikologis (psycho-test), tes bakat, tes kemampuan abstraksi, tes pengetahuan umum, dsb. Lebih daripada itu Tes Potensi Akademik (TPA) yang dibuat oleh Overseas Training Office (OTO) pun sekarang mulai "masuk kampus". Beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat mengembangkan sistem seleksi dengan Graduate Record Examination (GRE), Test of Writing Ability (TWA), dsb.
INTI MASALAH PENYERAGAMAN SEPATU SISWA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (116.696 KB)
      Belum lagi kasus pemalsuan NEM yang kebetulan terjadi di Jawa Barat dapat terselesaikan secara tuntas kini propinsi yang berada pada bagian barat Pulau Jawa itu kembali menjadi pusat perhatian masyara-kat, khususnya masyarakat pendidikan kita. Kali ini kasusnya bukan soal pemalsuan NEM atau pemalsuan nilai yang lain, tetapi menyangkut penyeragaman sepatu anak-anak sekolah. Barangkali saja lagi-lagi sifatnya secara "kebetulan", kalau Propinsi Jawa Barat dipilih sebagai tempat untuk menguji coba gagasan atau ide penyeragaman sepatu anak-anak sekolah.      Untung saja reaksi masyarakat yang begitu dahsyat lebih melihat pada latar belakang idenya dan bukan pada tempat uji cobanya; dalam kasus ini masyarakat lebih melihat pada latar belakang ide penyeragamannya, bukan pada Jawa Baratnya.      Ketika berita mengenai penyeragaman sepatu anak-anak sekolah muncul di permukaan maka segeralah sambutan masyarakat mencuat ke permukaan pula. Banyak kalangan masyarakat segera memberikan responnya; dari praktisi sekolah, pakar pendidikan, orang tua siswa, para siswa itu sendiri, sampai pada kalangan wakil rakyat semuanya telah mengambil bagian. Banyak pendapat yang mencuat berkait de-ngan penyeragaman sepatu tersebut, namun begitu kalau dikuantifikasi barangkali pendapat yang tidak setuju atas penyeragaman tersebut terasa lebih dominan.      Ada yang menyatakan penyeragaman sepatu itu dapat membebani rakyat, khususnya dari kalangan tidak berpunya; di sisi lain ada pula yang menyatakan bahwa penyeragaman sepatu dapat menjauhkan rak-yat dari sekolah. Secara pedagogis penyeragaman yang terlalu ketat dipandang akan mematikan kreativitas siswa. Atas dasar seperti itulah maka banyak pendapat yang menyatakan ketidaksetujuan penyeragam-an sepatu di kalangan anak didik.
MITOS MATEMATIKA DI SEKOLAH
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (119.668 KB)
      Perbincangan klasik mengenai Matematika di sekolah, SD, SLTP dan SMU (sekarang ditambah SMK) senantiasa menggelitik pada tiap tahunnya; hal ini terutama disebabkan karena belum memuaskannya prestasi Matematika siswa kita pada umumnya, baik di forum lokal, nasional maupun internasional. Sayangnya, perbincangan seperti ini lebih diwarnai dengan berbagai keluhan daripada opini solutif ataupun aktivitas-aktivitas konkrit yang mendorong makin berprestasinya para siswa itu sendiri.      Harus diakui dengan jujur bahwa prestasi Matematika siswa kita memang belum memuaskan,untuk tidak menyatakan menyedihkan. Di tingkat lokal sesekali dilaksanakan lomba Matematika bagi siswa; dan hasilnya banyak yang belum menggembirakan.      Kami di Yogyakarta baru saja melaksanakan lomba Matematika untuk sekolah umum (SD, SLTP dan SMU) yang diikuti oleh 450-an siswa "terpilih" dari D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah. Saya sendiri cukup bangga menyaksikan banyaknya anak-anak yang antusias meng-ikuti lomba yang diselenggarakan oleh lembaga swasta kami bekerja sama dengan Kanwil Depdikbud setempat ini. Namun, begitu melihat hasilnya rasa kebanggaan itu menjadi kurang optimal.       Mari kita perhatikan data konkritnya sbb: pada babak awal lomba maka pencapaian nilai rata-rata (mean) peserta SD hanya 25,7 untuk rentang 0 s/d 45; atau kalau dikonversi ke dalam rentang konvensional 0 s/d 10 maka skor yang dicapai peserta SD hanya 5,7. Artinya para siswa SD peserta lomba tersebut rata-rata hanya mampu mencapai nilai 5,7 dari nilai maksimal 10,0. Untuk peserta kelompok SMP dan SMU nilai rata-ratanya hanya 5,3 dan 4,6; artinya siswa SMP dan SMU peserta lomba tersebut rata-rata hanya mampu mencapai nilai 5,3 dan 4,6 dari nilai maksimal 10,0. Tentu saja angka-angka ini jauh dari memuaskan.
DEREGULASI SISTEM WARALABA PERGURUAN TINGGI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (119.308 KB)
      Rumor akademis yang paling aktual di kalangan masyarakat pada umumnya dan civitas pendidikan tinggi kita pada khususnya sekarang ini ialah kemungkinan diijinkannya praktik waralaba perguruan tinggi di Indonesia. Semenjak beberapa tahun terakhir ini banyak pakar yang memberi isyarat tentang kemungkinan diberlakukannya sistem wara-laba di dunia pendidikan. Tegasnya: sistem waralaba yang mula-mula hanya dikenal di dunia usaha akan teerjadi di dunia pendidikan.     Kalau hal tersebut sampai terjadi, artinya Depdikbud mengijinkan praktik waralaba perguruan tinggi di Indonesia, maka di tahun-tahun mendatang di sekitar kita akan bermunculan perguruan-perguruan tinggi dengan "trade mark" internasional meskipun lokasi operasio-nalnya di Indoneia; misalnya saja Universitas Harvard Jakarta (diam-bil dari Harvard University di AS), Universitas Monash Bandung (dari Monash University di Australia), Universitas Manchester Solo (dari University of Manchester di Inggris), Universitas Tokyo Sura-baya (dari Tokyo University di Jepang), dan sebagainya.     Siapa orang yang tidak kenal nama Harvard. Meskipun perguruan tinggi ini beroperasi di Amerika Serikat (AS) akan tetapi "harumnya" sampai diseantero dunia. Karena kualitas yang memang menjanjikan maka banyak alumni lembaga ini yang telah membuktikan kiprahnya di tingkat internasional; baik sebagai pimpinan institusi, konsultan, pe-jabat, dan profesi yang lain. Siapa pula tidak kenal dengan nama-nama Monash, Manchester, Tokyo, dan sebagainya. Seandainya lembaga-lembaga tersebut membuka "cabang" di Indonesia maka sebagian dari masyarakat kita tentu tidak akan merasa asing.      Apakah mungkin lembaga tersebut berkiprah secara langsung di Indonesia? Tentunya mungkin saja; yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah kehadirannya nanti benar-benar manfaat bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
TOKYO KEBANGGAAN DAN REPRESENTASI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (121.276 KB)
      Tokyo merupakan ibukota negara Jepang; itulah sebabnya kota yang sudah terbangun sejak abad ke-17 oleh Dinasti Tokugawa Ieyasu itu mendapat julukan sebagai capital city. Di samping julukan terse-but Tokyo juga menyandang berbagai julukan yang lain; antara lain Eastern Capital, Official Capital City, Cultural City, Metropolis Modern City, dan sebagainya.      Kita memerlukan waktu sekitar tujuh jam untuk mencapai Tokyo dari Jakarta menggunakan pesawat jenis Boeing 747, Airbus A-300 atau pesawat sejenisnya, karena harus menempuh jarak sekitar 6.050 Km; sedikit lebih jauh dibanding jarak antara Jakarta ke Beijing China sekitar 5.900 Km, atau lebih dekat dibanding jarak antara Denpasar ke Auckland New Zealand sekitar 6.950 Km. Penerbangan dari Jakarta ke Tokyo dapat dilaksanakan secara langsung (direct flight), atau bisa ditempuh melalui beberapa kota internasional seperti Kuala Lum-pur, Bangkok, Hong Kong, dan Taipei. Kita pun dapat menempuhnya melalui Brunei, Manila, dan Taipei.      Secara geografis Tokyo sendiri terletak di bagian tengah-selatan Pulau Honshu, pulau terbesar di Jepang. Kalau orang akan pergi dari Tokyo ke Naha, kota yang terletak di Pulau Okinawa salah satu pulau di bagian ujung selatan Jepang maka diperlukan waktu lebih dari dua jam dengan pesawat terbang DC 9; kira-kira seperti dari Jakarta me-nuju Aceh. Demikian pula kalau mau pergi dari Tokyo ke Wakkanai salah satu kota di ujung timur laut Jepang juga diperlukan waktu lebih dari 2 jam dengan pesawat yang sama; kira-kira seperti dari Jakarta menuju kota di Indonesia bagian Timur.      Meskipun tidak seluas Indonesia, Jepang memang tidak dapat di-katakan sebagai negara kecil; jadi wajarlah bila untuk bepergian antar kota sering diperlukan waktu yang tidak pendek.
BISNIS SEKS DAN ANAK-ANAK KITA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (121.219 KB)
      Akhir-akhir ini ada kekhawatiran yang muncul dari para praktisi organisasi internasional seperti World Health Organization (WHO), End Child Prostitution in Asia Tourism (ECPAT), dsb tentang masa depan anak-anak didunia dewasa ini. Konon sekarang ini sudah sangat banyak anak-anak yang terjerat di dalam bisnis seks. Hal ini tidak saja terjadi pada anak-anak di negara-negara maju akan tetapi juga di nega-ra-negara berkembang.      Jeratan bisnis seks pada anak-anak yang semula hanya terjadi di negara-negara tertentu sekarang ini ternyata sudah merambah hampir di seluruh dunia. Di Eropa dan Amerika hal ini sudah berpuluh-puluh tahun berlangsung; sedangkan di Asia kemudian mengikutinya. Bah-kan beberapa sumber menyatakan bahwa di Asia pun bisnis seks yang melibatkan anak-anak sudah sangat lama menjadi tradisi di kalangan masyarakat tertentu. Cerita-cerita seks di kalangan anak-anak, yang sebagian dianggap sebagai mitos, dapat dilacak di Jepang, Cina, dan juga India.     Sekarang ini cerita tentang bisnis seks yang melibatkan anak-anak di bawah umur di Thailand, khususnya di kawasan Pantai Patayya, "nyaring" terdengar hampir di seluruh jagat. Konon, maaf, di daerah itu sudah sangat sedikit wanita muda yang dapat mempertahankan ke-perawanannya sampai usia 15 tahun. Benar atau salah tentang hal itu, yang jelas menurut badan resmi dunia WHO, Thailand termasuk dae-rah yang "rawan" AIDS di Asia. Seperti kita ketahui salah satu faktor penyebab munculnya AIDS adalah terjadinya kegiatan seks yang ber-ganti-ganti pasangan pada si penderita.      Di Indonesia sendiri sekarang terdapat sekurang-kurangnya 13,5 juta anak yang menghadapi berbagai permasalahan hidup; salah satu bentuknya adalah permasalahan seks. Ada anak yang dipaksa menjadi pelacur (prostitute), dikerasi secara seksual (sexual violence), dsb.
REAKTUALISASI FUNGSI PENDIDIKAN
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1997: HARIAN PIKIRAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (121.527 KB)
Asumsi mengenai terdapatnya hubungan timbal balik (reciprocal relationship) antara pendidikan dengan ilmu pengetahuan dan tekno-logi (iptek) sampai kini tidak pernah diragukan; artinya makin mantap pelaksanaan pendidikan di suatu negara semakin pesat perkembangan ipteknya; begitu pula perkembangan iptek yang pesat secara langsung dan/atau tak langsung akan mendinamisasi pelaksanaan pendidikan di negara yang bersangkutan.      Kiranya siapapun setuju bahwa dalam dua dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi di berbagai negara berlangsung sangat pesat; bahkan terkadang lebih pesat daripada yang dibayangkan sebelumnya. Pesatnya perkembangan teknologi ini berakibat pada munculnya dua era sekaligus; yaitu era industri dan era informasi yang berlangsung secara simultan dengan karakteristiknya masing-masing.      Dalam bukunya Technology in Your World (1987), M.Hacker dan R. Barden melukiskan bahwa sejak pertengahan abad ke-18 era industri berjalan naik dan menjelang datangnya tahun 2000 ini peker-jaan industrial mampu menyita sekitar 20 persen dari total pekerjaan yang ada di dunia ini. Pada sisi yang lainnya, era informasi yang baru berkembang sejak pertengahan abad ke-20 ini juga bejalan naik dan menjelang datangnya tahun 2000 ini pekerjaan informasional mampu menyita sekitar 75 persen dari total pekerjaan yang ada di dunia ini. Dengan demikian berlangsungnya era industri dan era informasi telah menyita sekitar 95 persen dari segala jenis pekerjaan yang ada.      Angka-angka tersebut melukiskan betapa dominannya pengaruh fenomena yang berkembang di era industri maupun era informasi ter-hadap perikehidupan di dunia ini. Yang kemudian perlu diklarifikasi ialah sejauh mana dunia pendidikan mampu mengantisipasi datangnya dua era tersebut; apakah fungsi pendidikan mengalami pergeseran dan /atau perubahan dengan datangnya dua era tersebut.