Articles
10 Documents
Search results for
, issue
"1987: HARIAN PRIORITAS"
:
10 Documents
clear
MISTERI KURSI KOSONG IKIP
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (121.694 KB)
          Marilah sejenak kita kembali menengok sejarah pendidikan kita; tentang pengalaman pahit yang pernah dijalani lembaga pendidikan tinggi kependidikan âIKIP dan FKIP-- dalam kaitannya dengan Sipenmaru, Seleksi Penerimaan mahasiswa baru. Untuk mencoba mengambil hikmahnya.          Pengalaman yang benar-benar pahit dan memprihatinkan yang pernah dialami oleh lembaga pendidikan tinggi kependidikan di negara kita adalah terjadinya "misteri kursi kosong" dalam Sipenmaru. Hal ini pertama kali terjadi pada Sipenmaru tahun 1985.          Ujian tulis Sipenmaru 1985 diikuti oleh 512.050 calon untuk memperebutkan 71,.280 kursi kuliah pada yang tersebar pada 43 Perguran Tinggi Negeri (PTN) di negara kita. Dengan demikian persaingan yang terjadi untuk memperebutkan kursi kuliah pada PTN waktu adalah sangat tajam, karena rata-rata setiap kursi kuliah diperebutkan oleh tujuh atau delapan calon.          Tetapi setelah hasil Sipenmaru diumumkan dan saat herregestrasi dilaksanakan ternyata akhirnya dijumpai 2.128 kursi kosong pada FKIP dan IKIP; artinya di tengah-tengah persaingan yang tajam untuk memperebutkan kursi kuliah di perguruan tinggi ternyata masih ditemui ribuan    kursi kuliah yang dipersiapkan untuk mahasiswa baru pada FKIP dan IKIP tidak terisi.
PENDIDIKAN DAN KEMISKINAN (II)
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (138.502 KB)
      Secara umum pendidikan kita mempunyai andil yang besar untu memantabkan pertumbuhan ekonomi negara, yang secara tidak langsung bersifat kontributif terhadap upaya-upaya penekanan kemiskinan struktural kita. Namun masalah utama sebernya justru terletak pada aspek pemerataan. Belum efektifnya proses pemerataan materional telah menyebabkan terciptanya kemiskinan struktural; yang manifestasinya terlihat pada munculnya fenomena tentang ratio "si-kaya" dan "si-miskin" yang masih cukup terasa.      Sesuatu yang mungkin tidak pernah kita bayangkan adalah meskipun pendidikan mempunyai kontribusi yang cukup dominan dalam upaya penekanan angka kemiskinan namun pendidikan itu sendiri nampaknya juga punya andil dalam menciptakan kemiskinan struktural.      Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena dalam dunia pendidikan tinggi kita dewasa ini timbul semacam gejala elitisme pendidikan; atau setidak-tidaknya semi-elitisme pendidikan. Artinya didapati kecenderungan bahwa pelayan an pendidikan tinggi lebih ternikmati oleh kaum elite ekonomis, atau paling tidak kaum menengah ke atas yang memiliki banyak uang (walaupun diakui bahwa dalam struktur dan sistem sosiabilitas kita tidak mengenal adanya stratifikasi sosial-ekonomis secara eksplisit).
SAATNYA, KOMPUTER MASUK SEKOLAH
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (100.045 KB)
      Dewasa ini di sekeliling kita terasa makin penuh dengan produk elektronik yang mampu "mendobrak" dunia: komputer. "Si kotak pintar" ini rasanya memang semakin pintar menawarkan kelebihan yang dimilikinya; produktivitas, obyektivitas, serta akurasi kerja yang tinggi.      Kemampuannya yang teruji memang benar-benar mampu menarik minat untuk menggunakan jasanya, itulah sebabnya maka berbagai perusahaan kian gencar menyajikan komputer dengan segala jenis dan kapasitasnya. Berbagai "label" komputer terasa telah "menjajah" kita.      Memang harus diakui bahwa dunia saat ini tengah menanam ketergantungan yang semakin dalam terhadap hasil ramuan elektronik itu. Berbagai instansi, perkantoran, bahkan perorangan (terutama kaum profesionalis) semakin "tidak dapat bekerja" tanpa menggunakan jasa komputer.      Produk teknologi canggih itu memang memiliki satu kelebihan yang sangat utama; ialah akar-akarnya mampu menyelinap pada berbagai disiplin ilmu dan keterampilan, kedokteran, kesehatan, perikanan, kehutanan, teknologi, perminyakan, ruang angkasa, pertanian, ekonomi, hukum, mass-media, dsb. Pokoknya hampir seluruh disiplin ilmu dan keterampilan tidak terkecuali dunia pendidikan.
PENDIDIKAN DAN KEMISKINAN (I)
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (126.251 KB)
Kemiskinan yang terjadi dan ada dewasa ini sudah bukan akibat produk alami, seperti bencana alam, malas bekerja, dsb; akan tetapi merupakan suatu hasil yang kurang baik dari proses sosial yang sudah berjalan. Sedangkan tingkat kemiskinan yang ada sekarang ini sudah menjadi masalah struktural. Sinyalemen tersebut di atas dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, S.H. dari Undip Semarang didepan peserta pekan informasi Hari Pers Nasional baru-baru ini, dan dikomunikasikan secara luas oleh berbagai media massa. Untuk memulai mencoba menganalisis masalah kemiskinan kiranya sebuah ilustrasi yang cukup sensasional pantas dipresentasikan. Ethiopia! Ada apa dengan Ethiopia? Negara ini oleh John Vai zey, seorang profesor ekonomi pada sebuah universitas di Inggris dan menjadi konsultan pada OECD, UNESCO dan PBB, pernah dilukiskan sebagai negara yang penduduknya jarang tetapi "cukup makan". Sangat berbeda dengan India yang berkebudayaan tua, berpenduduk padat dan "sangat miskin" (John Vaizey, "Educational in the Modern World", New York: 1967). Hal ini terjadi pada beberapa puluh tahun yang lampau, dan apa yang dikemukakan oleh profesor yang pernah menjadi dosen tamu pada sebuah universitas di California ini tentunya bukan sekedar "lukisan abstrak", te tapi lebih merupakan kesimpulan dari berbagai data yang mendukungnya.
HAMBATAN PELAKSANAAN UJIAN CICILAN PTS
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (122.63 KB)
Kesibukan yang nampak sangat menonjol akhir-akhir ini pada PTS, perguruan tinggi swasta, adalah di sekitar masalah penyelenggaraan ujian negara sistem cicilan; atau yang selanjutnya lebih populer dengan sebutan 'ujian cicilan'. Rasanya kesibukan kali ini memang berbeda dengan kesibukan pada masa-masa ujian yang lalu; kali ini di samping terasa lebih "meriah" juga melibatkan hampir semua unsur civitas akademika; baik mahasiswa, tenaga adminis- tratif, tenaga edukatif sampai dengan para birokrat akademik lembaga. Dengan diterbitkan Surat Keputusan Mendikbud nomer: 020/U/1986 tentang sistem ujian negara bagi maha-siswa perguruan tinggi swasta maka bagi PTS yang sudah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan ujian kemudian berbenah diri untuk menerapkan sistem ujian cicilan. Hal ini berlaku bagi semua jenis PTS; baik bagi PTS yang berafiliasi ke PTN, perguruan tinggi negeri, kependidikan maupun yang berafiliasi ke PTN Non-kependidikan. Meskipun secara ideal sistem ujian cicilan ini mempunyai berbagai kelebihan bila dibanding dengan ujian negara sistem lama (sistem terminal) akan tetapi serenta dihadapkan pada "fase operasional" ternyata kemudian banyak hambatan yang bermunculan.
GAIRAH BARU UJIAN CICILAN PTS
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (123.436 KB)
Terbitnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (SK Mendikbud) Nomer:020/U/1986 tentang ujian negara bagi mahasiswa perguruan tinggi swasta disambut gembira oleh segenap civitas perguruan tinggi swasta, baik oleh para penyelenggara didik maupun oleh para peserta didiknya. Inti dari SK Mendikbud tersebut adalah memberikan pedoman tentang pelaksanaan ujian negara bagi mahasiswa perguruan tinggi swasta dengan sistem baru, yang kemudian lebih dikenal dengan "sistem ujian cicilan", untuk menggantikan sistem ujian yang lama. Dalam sistem ujian yang baru ini terdapat kemungkinan yang lebih terbuka bagi mahasiswa untuk memperpendek "waktu tempuh" untuk menyelesaikan program studinya. Kemungkinan dapat diperpendeknya "waktu tempuh" ini disamping dapat ditelusuri dari sistem ujiannya juga adanya kewenangan menguji yang lebih mantap bagi dosen-dosen perguruan tinggi swasta (PTS) itu sendiri. Bagi PTS-PTS di negara kita yang jumlahnya mencapai sekitar 550 lembaga (bandingkan dengan PTN yang jumlahnya "hanya" 44 lembaga) dan mampu menampung mahasiswa yang jumlahnya sekitar 650-ribu (bandingkan dengan PTN dan UT yang "hanya" mampu menampung sekitar 450-ribu mahasiswa), maka apabila SK Mendikbud tersebut nantinya benar-benar dapat direalisasikan akan menjadi semacam "tonggak sejarah ke-PTS-an" di Indonesia.
MERINDUKAN PENELITIAN PROYEK
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (125.493 KB)
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka secara keseluruhan RAPBN tahun 87/88 nauk sebesar 6,4%. Tetapi dibalik itu sektor pendidikan justru mengalami penurunan yang cukup berarti, baik penurunan "nominal" maupun penurunan "peringkat". Dalam APBN tahun 86/87 sektor pendidikan menerima anggaran sebesar 1.145,9 milyar rupiah, sedangkan dalam RAPBN tahun 87/88 jumlah anggaran ini berubah menjadi 1.021,5 milyar rupiah; sehingga mangalami penurunan "no-minal" sebesar 10,9%. Disamping itu juga mengalami penu- runan "peringkat", dan kalau pada tahun 86/87 menempati peringkat pertama maka dalam RAPBN tahun 87/88 turun pada peringkat keempat. Untuk kalangan perguruan tinggi turunnya anggaran sektor pendidikan ini sering dicurigai sebagai isyarat semakin nyaringnya "nyanyian keprihatinan" pada bidang penelitian, karena miskinnya dana untuk aktivitas ini. Seperti telah menjadi kenyataan, tahun 86/87 ini ditandai dengan dikuranginya atau bahkan ditiadakannya dana penelitian untuk berbagai bidang; akibatnya gairah para dosen serta civitas akademika lainnya untuk melaku-kan penelitian terasa semakin menurun.
KRITIK TAJAM PADA IKIP : "SUBJECT MATTER!"
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (141.042 KB)
Akhir-akhir ini lembaga pendidikan tinggi kependidikan di negara kita, IKIP, amat sering menerima kritik yang sangat tajam dari masyarakat. Inti kritik biasanya berkisar pada masalah "subject matter", atau penguasaan materi pengajaran bagi para alumnusnya. Dimensi metodologis nampaknya tak banyak mendapat sorotan, tetapi serenta sampai pada masalah penguasaan materi pengajaran para alumnus yang dipresentasikan didepan kelas maka berbagai kritik kemudian saling muncul di permukaan. Penguasaan materi pengajaran yang dimiliki oleh para alumnus IKIP dipandang sangat minim, sehingga perlu mendapat perhatian yang sangat serius dari para birokrat kependidikan. Masalah ini diungkap secara cukup gencar karena minimnya penguasaan materi pengajaran dipandang sebagai salah satu penyebab merosotnya kualitas pendidikan, terutama untuk tingkat sekolah menengah. Pada suatu kesempatan dengan nada 'gurius' (gurau namun serius) seorang dosen senior pada salah satu perguruan tinggi nonkependidikan "menantang" saya untuk menguji kualitas penguasaan "subject matter" alumnus IKIP. Dia yang sering menyebut saya sebagai "wong IKIP tulen" meminta saya menyiapkan satu sarjana IKIP dengan bidang studi tertentu dan dia akan menyiapkan seorang mahasiswa non-IKIP semester enam dengan bidang studi yang serupa. Keduanya diterjunkan untuk mengajar pada salah sebuah SMA atau sekolah menengah lainnya. Dia berani bertaruh bahwa mahasiswa non-IKIP tersebut akan lebih berhasil mengajar sebab penguasaan materinya lebih kualitatif (saya hanya 'berhahaha' dalam menjawab "tantangan" ini).
SEBUAH DILEMA EBTANAS: PILIH BUDAYA KATROL ATAU TIDAK ?
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (131.486 KB)
Kiranya tidak ada yang tak sependapat bahwa hasil Ebtanas, Evaluasi Belajar Tahap Akhir yang diselenggarakan secara Nasional, untuk tahun 1987 ini adalah masih sangat jauh dari harapan. Hal ini lebih terasa khususnya pada tingkat SMTA. Pada tanggal 27 Mei 1987 yang lalu hasil Ebtanas untuk tingkat SMTA diseluruh Indonesia telah diumumkan secara serentak. Akan tetapi di tengah-tengah suasana kegembiraan para siswa yang dinyatakan lulus dan selesai mengikuti pendidikan formalnya di SMTA, ternyata banyak para guru dan para tokoh pendidikan lainnya yang justru merasa prihatin. Kenapa ......? Karena mereka tahu bahwa sangat banyak diantara siswa yang "terpaksa" dinyatakan lulus tersebut tidak disertai dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang memuaskan. Sebagaimana yang telah diketahui bersama, banyak para siswa SMTA yang telah dinyatakan lulus dan selesai mengikuti pendidikan formalnya meskipun rata-rata NEM yang dicapainya tidak mampu melampui 'limit'. Keadaan tersebut barangkali belum seberapa, namun yang lebih memprihatinkan adalah adanya sikap kesantaian terhadap NEM pada sebagian siswa; dalam artian mereka tidak peduli NEM yang dicapai adalah rendah, yang pokok lulus sekolah. Pada hal NEM sesungguhnya lebih menunjukkan kualitas akademis siswa bila dibanding dengan desisi kelulusannya itu sendiri.
SISTEM LATIHAN KERJA NASIONAL
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1987: HARIAN PRIORITAS
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (122.432 KB)
Pada tgl 9 Februari 1987 TVRI Pusat menayangkan program wawancara yang mengupas masalah ketenagakerjaan di tanah air. Hadir sebagai 'interviewee' antara lain Menteri Tenaga Kerja RI, Soedomo; serta Ketua Kadin, Soekamdani S. Gitosardjono. Sebuah konsep ketenagakerjaan yang "ditawarkan" dalam wawancara tersebut adalah akan diselenggarakannya sistem latihan kerja nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas ketrampilan yang dimiliki oleh para pekerja kita yang pada umumnya masih tergolong "minim". Sebagai ilustrasi pendukung ditampilkan data bah-wa setiap tahun tidak kurang sebanyak dua juta pencari kerja keluar masuk kantor atau "penyedia kerja" lainnya untuk mengadu nasib. Disisi yang lainnya, sebagian besar dari tenaga kerja yang ada dewasa ini kualitasnya tergo-long relatif rendah; diilustrasikan oleh Pak Soekamdani bahwa sekitar 80% dari tenaga kerja yang ada merupakan lulusan Sekolah Dasar. Kiranya perlu dicatat bahwa dalam Piramida Tenaga Kerja di Indonesia maka tenaga kerja lulusan SD, sekolah dasar, kualifikasinya setaraf dengan tenaga kerja yang tidak pernah sekolah sama sekali; ialah masuk dalam kelompok "tenaga kerja tidak terampil" (unskilled worker). Kelompok ini merupakan kelompok yang paling "bawah" da-lam piramida tersebut.