AbstrakIslam memandang zina merupakan perbuatan keji, dan termasuk dosa besar. Maka sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut Islam menjatuhkan hukuman (had) rajam bagi pelaku zina mukhsan dan hukuman dera 100 (seratus kali) bagi pelaku zina ghairu mukhsan. Sebagai penyeimbang terhadap beratnya sanksi hukum zina maka menuduh laki-laki atau wanita baik-baik melakukan zina adalah fitnah yang keji, karena jika tuduhan itu diikuti, tentunya tertuduh akan terkena konsekuensi hukum zina, dan memunculkan anggapan bahwa tertuduh adalah orang-orang yang melakukan perbuatan yang keji. Qadzaf adalah menuduh orang lain berbuat zina, baik tuduhan itu melalui pernyataan yang jelas maupun menyatakan anak seseorang bukan keturunan ayahnya. Perbuatan ini termasuk dosa besar. Syarat seorang qadhif jika ingin selamat (dari hukuman deÂra) maka ia harus menghadirkan empat orang saksi laki-laki yang adil; jika tidak mampu maka hukuman (had) baginya adalah di dera sebanyak 80 (delapan puluh kali); tidak diterima kesaksiannya untuk selamanya dan termasuk golongan orang fasik.Di Indonesia belum ada ketentuan hukum khusus yang mengatur tentang hukuman bagi penuduh zina (qadzaf). Namun dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) dijelaskan suami yang menuduh istrinya berbuat zina, dan atau mengingkari anak yang dikandung istrinya dan atau anak yang telah dilahirkan istrinya, sedangkan istrinya menolak tuduhan dan atau mengingkari hal tersebut maka keduanya dapat melakukan sumpah di depan majlis hakim. Akibat hukum dari sumpah ini adalah status perkawinan keduanya yang terputus untuk selamanya. Kata kunci : Perkawinan, qadzaf, zina, had, KHI AbstractIslam views that adultery (zina) is an indecency and it includes a great sin. So as a consequence, Islam impose penalties (had) of ârajam for mukhsan adulteryâ and penalty about 100 floggings (one hundred times). As a balance toward the severity of sanction adultery law, accusing man or a good woman doing adultery is slander vicious, because if the accusations were continued, of course the accused man or woman will be affected by the consequences of adultery law itself. It will raise the assumption that they are doing cruel acts. âQadzafâ is accusing someone else that commits adultery, either allegations through a clear statement or utterance that ones children is not a descendant of his father. These action is included into major sin. The requirements of a âqadhifâ that if she wants to be save (from the penalty of dera), he must provide four equitable male witnesses; if it is not capable to be done, the punishment (had) for him is trounced about 80 (eighty times); the testimony of himself will not be accepted forever and they are belong fasik people. In Indonesia there has not been a specific legal provisions that organize about the punishment for adultery accuser (qadzaf). But in the Compilation of Islamic Law in Indonesia (KHI), it is described that a husband who accuses his wife of adultery and deny the unborn child or children who have been born by his wife, while his wife refuses the accuse and deny it then they can take an oath in front of the judges council. The law consequence of the oath is the marital status of both will be severed forever. Keywords: Marriage, qadzaf, adultery, had, KHI