cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 26 Documents
Search results for , issue "Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)" : 26 Documents clear
The Models of Constitutional Interpretation between the Constitutional Court of Indonesia and Japan: The Case of the Verdict Regarding Illegitimate Child Rudy, Rudy
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7282.571 KB)

Abstract

AbstractThe Constitutional Court of Indonesia issued a landmark judgment on February 2012 stipulating that the civil rights of children born out of wedlock should be recognized by their biological fathers. In June 2008, the Supreme Court of Japan issued a judgment that struck down the same issue stipulating that illegitimate child shall be acknowledged as having legal relationship with the father, and that the Nationality Act was violation of the constitution. These two judgments call comparative study on constitutional judgment and interpretation. In the specific area of constitutional interpretation, Vicki C. Jackson has argued that at least three models might broadly describe the relationships between domestic constitutions and law from trans-national sources. Firstly, the convergence model that assumes the desirability of convergence with the constitutional laws of other nations; secondly, the resistance model that relishes resistance by national constitutions from foreign influence; and the engagement model arguing that the constitution can best be viewed as a site of engagement with the trans-national, informed but not controlled by legal norms of other nations and questions they put to interpret their constitution. Based on the theory, the aim of this article is to see the models of interpretation of constitutional relationships between Indonesia and Japan while both nations give similar judgments on illegitimate child. This study will answer this question by integrating the interpretation of the judgments of The Constitutional Court of Indonesia and the Supreme Court of Japan on illegitimate Child. Hopefully, the result of this research paper may enlighten the context of constitutionalism in Asia.Keywords: comparative, constitutionalism, engagement, illegitimate child, judgment. Model Interpretasi Konstitusi di Indonesia dan Jepang: Tinjauan Kasus mengenai Putusan Anak yang Lahir di Luar NikahAbstrakPada Februari 2012, Mahkamah Konstitusi Indonesia memberikan putusan yang bersejarah yang mengatur hak perdata setiap anak yang lahir di luar nikah agar diakui oleh ayah biologisnya. Pada Juni 2008, Mahkamah Agung Jepang mengeluarkan putusan yang membatalkan permasalahan yang sama terhadap klausa dalam undang-undang nasional sebagai suatu pelanggaran atas konstitusi yang mengatur bahwa anak yang lahir di luar nikah harus diakui memiliki hubungan resmi dengan ayah biologisnya. Kedua putusan ini memberikan studi komparatif dalam hal putusan konstitusi dan penafsirannya. Di dalam area spesifik mengenai penafsiran konstitusi, Vicki C. Jackson telah memberikan argumentasi bahwa sedikitnya terdapat tiga bentuk yang dapat menggambarkan hubungan antara konstitusi dalam negeri dan hukum dari sumber yang transnasional, yaitu: bentuk campuran yang menunjukkan adanya keinginan untuk mencampurkan hukum konstitusi nasional dengan negara lain; bentuk penolakan adanya pengaruh luar terhadap konstitusi nasional; dan bentuk penerimaan yang berpendapat bahwa konstitusi lebih baik dilibatkan secara transnasional, mengetahui tetapi tidak terpengaruh oleh pertimbangan norma hukum negara lain dan terhadap pertanyaan yang mereka ajukan mengenai konstitusi nasional secara spesifik. Dalam teori ini, penulisan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk dari penafsiran hubungan konstitusi antara Indonesia dan Jepang sebagaimana kedua negara tersebut telah memberikan putusan dalam kasus anak yang lahir di luar nikah. Penulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan dengan meningkatkan pembacaan atas putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia dan putusan Mahkamah Agung Jepang dalam kasus anak yang lahir di luar nikah. Semoga hasil dari penulisan penelitian ini dapat memberikan pencerahan terhadap konstitusionalisme di Asia.Kata Kunci: anak yang lahir di luar nikah, hubungan, konstitusionalisme, perbandingan, putusan. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a9
Kewajiban Upaya Nonajudikasi Sebagai Syarat Mendaftarkan Gugatan Guna Mewujudkan Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan (Tinjauan atas Perma No. 1 Tahun 2008) Sufiarina, Sufiarina; Fakhirah, Efa Laela
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7131.735 KB)

Abstract

AbstrakPerma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mewajibkan hakim untuk mengupayakan perdamaian bagi pihak yang bersengketa di pengadilan. Dengan kata lain, kewajiban mediasi ditujukan bagi sengketa yang sudah terdaftar di pengadilan, tetapi tidak berpotensi menekan jumlah sengketa di pengadilan. Penyelesaian sengketa yang masuk ke pengadilan kemungkinan dapat ditekan dengan cara membebankan persyaratan imperatif tertentu mengingat penyelesaian sengketa perdata di pengadilan bersifat ultimum remedium. Ketentuan syarat imperatif itu sebagai sarana untuk membatasi sengketa yang terdaftar di pengadilan. Persyaratan imperatif berupa upaya perdamaian sebelum gugatan didaftarkan ke pengadilan menarik untuk dikaji sekaligus menekan pihak-pihak yang bersengketa di pengadilan. Pengkajian dapat dilakukan dengan pendekatan norma sebagai penelitian hukum normatif melalui penelitian terhadap asas-asas hukum penyelesaian sengketa, sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Melalui persyaratan upaya imperatif musyawarah mufakat oleh para pihak secara optimal sebelum gugatan dimajukan, diharapkan sengketa yang harus diselesaikan oleh pengadilan dapat menjadi berkurang dan pihak yang berselisih tidak lagi berada dalam posisi saling berhadapan sebagai musuh yang berseteru.Kata Kunci: non ajudikasi, ultimum remedium, alternative dispute resolution (ADR), mediasi, asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Non-Adjudicative Proceedings as a Requirement for Lawsuit Registration to Create a Simple, Rapid, and Low-priced Court Proceedings (An Overview of the Supreme Court Regulation No. 1 of 2008)AbstractSupreme Court Regulation No. 1 of 2008 on the Mediation Procedure in Court requires the judge to seek peace for the parties having dispute in court. This means the mediation obligation is aimed towards disputes that have been registered in the court; however, it does not potentially reduce the number of incoming disputes. The number of settlement of disputes that enters the court can be suppressed by fulfilling certain imperative requirements considering the settlement of civil disputes in court as ultimum remedium. The imperative requirement in the form of a settlement before the lawsuit is registered for the court is an interesting topic to be discussed, as well as strengthening the parties having dispute in court. This study is assessed by normative approaches of normative law through researches on legal principles on dispute settlement, systematic law, vertical and horizontal levels of synchronization, comparative law, and legal history. Through the effort of the imperative requirement, an optimal deliberation to reach a consensus by parties in dispute before the lawsuit is brought forward is expected to reduce the number of disputes entering the court; resulting in the disputing parties no longer having to be put under in the situation of facing one another as hostile enemies.Keywords: non-adjudication, ultimum remedium, alternative dispute resolution (ADR), mediation, simple, rapid, and low-priced court proceedings. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a7
Kontroversi Pelarangan Ahmadiyah di Indonesia: Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) Rahim, Imral Rizki
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6790.107 KB)

Abstract

AbstrakPada Juni 2008 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 3/2008, Nomor Kep-03/A/JA/6/2008, dan Nomor 199 tahun 2008 tanggal 9 Juni 2008 oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang berisi tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan masyarakat yang melarang para anggota Jemaat Ahmadiyah untuk menyebarkan penafsiran mereka yang tidak sesuai dengan pokok-pokok agama Islam. Pelarangan ini menimbulkan kritik dari masyarakat luas bahwa Indonesia telah melanggar Pasal 18 International Covenant on  Civil  and  Political  Rights  (ICCPR) terkait hak pemeluk  kepercayaan Ahmadiyah untuk menjalankan agamanya. Penelitian ini ditulis dengan mengumpulkan  data sekunder yaitu sumber hukum internasional  terkait  pengaturan hak asasi manusia serta penerapannya dalam berbagai kasus, bahan-bahan  kepustakaan, dan media internet yang berhubungan dengan penerapan pengaturan kebebasan beragama dalam hukum internasional terutama dalam menerapkan pembatasan terhadap kebebasan tersebut. Data-data tersebut kemudian digunakan untuk penggambaran suatu objek permasalahan yang berupa sinkronisasi fakta yang terjadi dengan pengaturan dan teori yang berlaku. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa dalam mengeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri menyangkut Pelarangan Ahmadiyah, Indonesia telah melaksanakan haknya sesuai dengan Pasal 18 ayat 31 CCPR dalam membatasi suatu manifestasi keagamaan. Pembatasan ini telah dibentuk berdasarkan hukum untuk melindungi ketertiban dan keselamatan masyarakat, serta bukan merupakan peraturan yang bersifat diskriminatif karena SKB tersebut  tidak hanya ditujukan kepada pemeluk Ahmadiyah tetapi juga untuk masyarakat umum. Terpenuhinya ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah membatasi kebebasan beragama sesuai dengan penerapan dalam hukum internasional.Kata Kunci: Ahmadiyah, hak atas kebebasan beragama, kewajiban Negara, ICCPR, SKB tiga menteri.The Controversy over the Banning of Ahmadiyya in Indonesia: A Perspective of Human RightsAbstractOn June 2008, the Government of Indonesia enacted the Joint Ministeral decree Number 3/2008, Number Kep-03/A/JA/6/2008, and Number 199 Year 2008 dated June 9th 2008 by the Ministry of Religion, Ministry of Domestic Affairs, and Attorney General regarding the warning for Jemaat Ahmadiyah Indonesia members and public society, which prohibit the members of Jemaat Ahmadiyah Indonesia to proliferate their teaching to the society. This prohibition generated an accusation from worldwide critics that the Indonesian government violated Article 18 of the International Covenant on Civil and Political Rights regarding the rights of religious freedom of the members of Ahmadiyah.This research is based on the sources of international law vis-à-vis human rights and their cases, other written materials, and internet as secondary data in conjunction with the implementation of the rights of religious freedom under international law, particularly the limitation rights possessed by State to control such freedom. The data of this research are further used to describe a certain object of problem in form of synchronization of the actual facts with the applied regulations and theories.This research concludes that the joint decree with regards to the Prohibition of Ahmadiyah is in accordance with the government’s rights to put limitation towards freedom of religion under Article 18 of ICCPR. This limitation has been prescribed by law to serve the public order and security purposes, and lastly it is not a discriminatory regulation since the joint ministeral decree is not intended only for the Ahmadiyyat members but also to public society in general. The fulfillment of this regulation shows that Indonesia had limited the freedom of religion in accordance with the application under international law.Keywords: Ahmadiyya, freedom of religion,state obligation, ICCPR, joint ministeral decree. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a2
Problematika Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat Hernadi Affandi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7234.02 KB)

Abstract

AbstrakTulisan ini bertujuan mencari akar permasalahan dan upaya yang harus dilakukan untuk memperkuat fungsi legislatif DPD yang dianggap masih lemah dibandingkan dengan fungsi legislatif DPR. Salah satu akar penyebab masalah tersebut adalah keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan. Hal itu membawa konsekuensi terhadap kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang. Akibatnya, DPD berada di bawah hegemoni DPR dalam pembentukan undang-undang. Semua itu berawal dari ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan terbatas kepada DPD dan memberikan kewenangan yang amat besar kepada DPR dalam pembentukan undang-undang. Ketentuan tersebut kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akibat ketidakseimbangan fungsi legislasi tersebut, terjadi dominasi DPR dalam pembentukan undang-undang bahkan DPR bertindak sebagai pemegang kekuasaan utama dalam pembentukan undang-undang sehingga DPD selalu berada di bawah bayang-bayang DPR.Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, fungsi legislasi, kekuasaan legislatif, pembentukan undang-undang. The Legislative Functions of the Regional Representative Council (DPD) within the Predominance of the People's Representative Council (DPR): Some Problems and IssuesAbstractThis paper seeks to find the root of the problem along with the solution related to the legislative function of the DPD, which is considered weak when compared to the legislative function of the DPR. One of the root causes of these problems is related to the existence of the DPD in the constitutional structure, which brings a consequence to the authority of the DPD in the formation of legislation. As a result, the DPD is under the hegemony of the DPR in law-making process. All of them, starting from the provisions of the Constitution of 1945 which authorized restrictions to the DPD while giving more sizable power to the DPR in law-making process. The provision was then further regulated into the Act No. 27 of 2009 regarding the MPR, DPR, DPD, and DPRD; and the Act No. 12 of 2011 regarding the Formation of Legislation. Due to the imbalance domination of the legislative function of the DPR in law making, in addition to the DPR acting as the main power in the formation of legislation, the DPD have always been in the shadow of the DPR.Keywords: Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, legislative function, law making, legislative power.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a8
Perlindungan Hukum Terhadap Pengetahuan Tradisional dengan Sistem Perizinan: Perspektif Negara Kesejahteraan Wina Puspitasari
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7037.679 KB)

Abstract

AbstrakDewasa ini, pengetahuan tradisional menjadi dasar utama bagi penemuan-penemuan penting dalam bidang farmasi, kosmetik, pertanian, bioteknologi, industri kimia, dan lain-lain. Permasalahan muncul ketika perusahaan tersebut memperoleh manfaat komersial dari pengetahuan tradisional secara tidak adil. Pemerintah harus mempertahankan pengawasan atas akses terhadap sumber daya genetik (beserta turunannya, termasuk pengetahuan tradisional) agar pemanfaatannya dilakukan dengan adil dan tidak merugikan kepentingan nasional. Mekanisme akses terhadap pengetahuan tradisional diakomodasi dalam sistem izin akses dan pemanfaatan. Izin akses mengacu pada kegiatan untuk memperoleh informasi dengan mengakses secara langsung sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional sedangkan izin pemanfaatan mengacu pada tindak lanjut atas akses yang telah dilakukan. Pihak pengguna mensyaratkan adanya perjanjian pemanfaatan dengan komunitas sumber dan bantuan lembaga pemerintah terkait dalam permohonan izin pemanfaatan. Dalam permohonan izin akses yang ditindaklanjuti dengan pendaftaran HKI atau komersialisasi, diperlukan Persetujuan atas Dasar Informasi Awal (PADIA) yang diberikan oleh komunitas lokal atau negara penyedia melalui otoritas nasional yang berwenang. Upaya kolateral yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan sistem perizinan dalam perlindungan pengetahuan tradisional, yaitu: (1) pendokumentasian pengetahuan tradisional dalam suatu register data yang terintegrasi; (2) perlindungan positif dilakukan dengan menyusun perundang-undangan tersendiri yang mengatur perlindungan pengetahuan tradisional; (3) peningkatan kapasitas kelembagaan dalam rangka mengembangkan mekanisme perizinan; (4) pemberdayaan komunitas lokal sebagai custodian dalam kepemilikan pengetahuan berdasarkan pembangunan ekonomi dan menejemen sumber daya berbasis masyarakat (community based economic development and resource management).Kata Kunci: hak komunal, komunitas lokal, negara kesejahteraan, pengetahuan tradisional, sistem perizinan.Legal Protection of Traditional Knowledge through Permit System: A Perspective of Welfare StateAbstractNowadays, traditional knowledge has become the primary basis of important discoveries in the field of pharmaceuticals, cosmetics, agriculture, biotechnology, chemical industry, and others. Problems arise when the company attains an unjust commercial benefit from traditional knowledge. The government must retain control over the access to genetic resources (and their derivatives, including traditional knowledge) in order to achieve fair utilization and not prejudice the national interests. The mechanism of access to traditional knowledge are accommodated in the system of access and utilization permits. The access permit refers to the activities of obtaining information through direct access to the genetic resources and traditional knowledge. Meanwhile, the utilization permit refers to the follow-up of access previously attained. The application of the utilization permit requires a utilization agreement between users and source of the community with the help of the government institutions concerned. In the application of the access permit application followed by the Intellectual Property Rights registration or commercialization, it shall require an approval of the Prior Informed Consent (PIC) given by the local community or state providers through a competent national authority. Collateral efforts that have to be done to implement a permit system for the protection of traditional knowledge are: (1) Documentation of the traditional knowledge in an integrated data register, (2) Positive protection by drafting its own legislation governing the protection of traditional knowledge, (3) Increase of the institutional capacity in order to develop a licensing mechanism, (4) Empowerment of local community as custodian in knowledge ownership based on economic development and community-based resource management.Keywords: communal rights, local communities, welfare state, traditional knowledge, permit system.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a3
Penerapan Perjanjian Internasional di Pengadilan Nasional: Sebuah Kritik terhadap Laporan Delegasi Republik Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Implementasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.. Wisnu Aryo Dewanto
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (8010.408 KB)

Abstract

AbstrakLaporan Delri yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Komite Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa ICCPR telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia sehingga substansi ICCPR dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional tanpa memerlukan peraturan pelaksana. Selain itu, dikatakan pula bahwa Mahkamah Konstitusi telah merujuk secara langsung pada Pasal 2 ICCPR dalam beberapa putusannya seperti putusan untuk kasus Nomor 101/PUU-VII/2009 tentang Pengujian terhadap UU Advokat Nomor 18/2003 dan putusan untuk kasus Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang Pengujian terhadap UU Pemda Nomor 32/2004 sebagaimana yang telah diamandemen oleh UU Nomor 12/2008. Sayangnya, Pasal 2 ICCPR tersebut pada kenyataannya tidak dapat diterapkan sebagai rujukan langsung dalam putusan-putusan pengadilan karena substansi pasal ini tidak mengatur hak dan kewajiban individu, tetapi negara. Pasal 2 ICCPR sebenarnya hanya ingin menjelaskan status hukum dari ICCPR bagi negara-negara pihak. Secara filosofis, Pasal 2 ICCPR menyatakan bahwa ICCPR bukanlah perjanjian internasional yang dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional negara-negara pihak karena keberlakuannya memerlukan peraturan pelaksana, yaitu berupa undang-undang. Dalam praktiknya, Indonesia menganut model dualisme dengan pendekatan transformasi dalam penerapan perjanjian internasional di level nasional. Semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus ditransformasikan ke dalam undang-undang agar dapat digunakan oleh hakim karena hakim hanya terikat oleh peraturan hukum yang dibuat oleh DPR dan perjanjian internasional hanya dapat diterapkan melalui metode interpretasi hukum.Kata Kunci: International Covenant on Civil and Political Rights, Komite Hak Asasi Manusia, penerapan, pengadilan nasional, perjanjian self-executing dan non-self-executing. The Implementation of International Treaties in Municipal Courts: A Critic to the Initial Report of the Indonesian Delegations to the United Nations Human Rights Commitee regarding the Implementation of International Covenant on Civil and Political Rights in IndonesiaAbstractThe initial report, submitted by the Government of the Republic of Indonesia to the UN Human Rights Commitee in 2013, stated that the ICCPR—which Indonesia has ratified, is part of the domestic law of Indonesia. It, therefore, can be directly applied in municipal courts without previous establishment of an implementing legislation. It has also been stated that the Constitutional Court of Indonesia has made a direct reference to the Article 2 of the ICCPR; for instance in the case Number 101/PUU-VII/2009 regarding judicial review on the Advocate Act Number 18/2003, and the case Number 73/PUU-IX/2011 regarding judicial review on the Regional Government Act Number 32/2004 as amended by the Act Number 12/2008. The writer argues that the Article 2 of the ICCPR cannot be used as a direct reference as the article is intended only to govern the rights and duties of states, not individuals. In other words, the ICCPR governs the rights and duties of the State Parties. Specifically, this article stipulates that the ICCPR is a non-self-executing treaty because it needs an implementing legislation for its implementation at the municipal level. The writer is holds the opinion that Indonesia applies a model of dualism with a transformational approach to implement treaties in municipal courts. Consequently, all ratified treaties need to be transformed into Acts of Parliament in order to be implemented by judges because they are only bound by laws enacted by the Parliament (DPR). Hence, judges may apply international law through legal interpretation.Keywords: International Covenant on Civil and Political Rights, Human Rights Commission, implementation, municipal courts, self-executing & non-self-executing treaty.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a4
Editorial : Meluruskan Makna Demokrasi Atip Latipulhayat
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (440.151 KB)

Abstract

Apabila dihitung sejak pertama kali diterbitkan, yaitu pada tahun 1976, maka Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum (PJIH) ini akan mendekati usia 40 tahun. Satu usia yang bukan saja matang, tapi seharusnya berada pada periode puncak (keberhasilan) – periode emas. Tahun ini (2014), PJIH belum genap berusia 40 tahun, dan masih tersisa dua tahun menuju periode puncak. Saat ini, PJIH ditangani oleh manajemen baru, tepatnya dikelola oleh para dosen muda dengan semangat dan visi baru untuk menjadikan PJIH bukan hanya sebagai medium pemenuhan angka kumulatif formal untuk melengkapi syarat kenaikan pangkat, tapi terkandung hasrat kuat untuk menjadikan jurnal ini sebagai wahana yang mampu memfasilitasi interaksi pemikiran yang kritis, objektif, dan jujur.  DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a0
Pengembangan Potensi Dana Zakat Produktif Melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Rosi Rosmawati
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6034.598 KB)

Abstract

AbstrakKegiatan membayar zakat mempunyai hubungan vertikal yaitu hubungan antara Allah SWT. sebagai Tuhan dan manusia sebagai mahkluk-Nya. Namun, kegiatan membayar zakat juga bersifat muamalat karena mempunyai hubungan horizontal yaitu antara manusia dengan manusia. Pengelolaan zakat bertujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna zakat yang berdampak pada terwujudnya keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan. Permasalahan yang dijumpai dalam praktik adalah mengenai penerapan pengembangan potensi dana zakat produktif dan fungsi LAZ dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dihubungkan dengan Undang-Undang Pengelolaan Zakat. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dan informasi diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan wawancara, selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan potensi dana zakat produktif melalui fungsi dan peranan LAZ untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menurut Undang-undang Pengelolaan Zakat, adalah melalui program Pembiayaan Modal Usaha bagi fakir miskin dengan menerapkan asas-asas syariat Islam sesuai dengan pendayagunaan dana zakat. Fungsi dan peranan LAZ memberikan kemandirian ekonomi kepada fakir miskin dan berperan sebagai sarana keagamaan yang meningkatkan manfaat dana zakat. Saran dalam pengembangan potensi dana zakat produktif melalui LAZ adalah dengan melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada mitra pembiayaan modal usaha individu dengan lebih intensif, yaitu melalui pengawasan, penyuluhan, pencatatan, dan pendokumentasian transaksi ekonomi syariah untuk menciptakan laporan keuangan usaha yang otentik. Upaya tersebut diharapkan agar proses pengembangan dana zakat produktif terkawal secara syariah sekaligus menumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat pelaksana.Kata Kunci: Badan Amil Zakat, Dompet Dhuafa, pengelolaan zakat, zakat produktif, kesejahteraan.Developing the Potency of Productive Zakat Funds through Lembaga Amil Zakat for the Prosperity of the SocietyAbstractThe paying of zakat denotes a vertical relationship between God and human as His creations. However, it could also be considered Muamalat, because it denotes the horizontal relationship between humans as well. Management of Zakat aims to increase the effectiveness and efficiency of the impact of zakat on the realization of justice, social welfare, and reduction of poverty. The problems in the practical implementation of the development of the potential of productive zakat funds, functions and role of LAZ improve the welfare of people related with the Zakat Management Act. This research applies an analytical descriptive study with normative juridical approach. The data and information are obtained from research literature, then undergoes legal qualitative analysis. The study indicates that the application of development of the potential of productive zakat funds utilizing the function and role of LAZ to improve the welfare of people under Zakat Management Act, is better done through Venture Capital Funding program for the poor under the principles of Islamic law on the realization of zakat funds. The development of the potential of productive zakat funds by utilizing the LAZ to improve the welfare of the community through Venture Capital Funding program for the poor have to guidance and counseling for individual venture capital financing partners more intensively, namely monitoring, counseling, making record and documentation of Islamic financial transactions to create financial statements of the business are authentic, so can be guarded in sharia.Keywords: Amil Zakat Institution, Dompet Dhuafa, management of zakat, productive zakat, and welfare.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a10
Kewenangan KPK untuk Melakukan Penyidikan dan Penuntutan Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Kerangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Sigid Suseno
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6268.531 KB)

Abstract

AbstrakPemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) tidak hanya untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tetapi juga untuk mengembalikan keuangan negara yang disebabkan oleh TPK. Salah satu upaya untuk mengefektifkan penegakan hukum terhadap TPK adalah dengan mengatur kewenangan penyidikan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk penyidik tindak pidana asal (Kejaksaan dan KPK) dalam UU TPPU. Namun, dalam praktik kewenangan penyidikan terhadap TPPU (Pasal 74 UU TPPU) telah menimbulkan permasalahan hukum khususnya mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU dalam kerangka pemberantasan TPK. Kewenangan penyidikan terhadap TPPU yang diberikan kepada KPK sangat pen_ng dalam pemberantasan TPK. TPK sebagai predicate crime memiliki kaitan erat dengan TPPU sebagai proceeds of crime. Pelaku TPK yang memiliki tujuan untuk memperoleh harta kekayaan secara ilegal umumnya melakukan pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya tersebut. Dengan adanya kewenangan KPK untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU, KPK dapat melacak harta kekayaan pelaku berdasarkan hasil penyidikan TPK dan sebaliknya melakukan penyidikan terhadap TPK berdasarkan hasil penyidikan terhadap TPPU dengan menggunakan paradigma follow the money. Walaupun KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap TPPU sehingga dapat mengoptimalkan penegakan hukum terhadap TPK, tetapi tidak adanya pengaturan yang tegas mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan dalam UU TPPU menimbulkan masalah dalam penegakan hukum terhadap TPK baik efektivitasnya maupun Hak Asasi Manusia (HAM). Mengingat KPK dalam UU TPPU tidak secara tegas diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap TPPU maka penuntutannya harus dilakukan melalui Kejaksaan sebagai lembaga penuntutan baik menurut KUHAP maupun UU Kejaksaan. Oleh karena itu, masalah koordinasi menjadi masalah penting dalam upaya pemberantasan TPK.Kata Kunci: investigasi, KPK, tindak pidana korupsi, pencucian uang, penuntutan.  The Authority of KPK (the Indonesian Corruption Eradication Commission) to Investigate and Prosecute Money Laundering in order to Combat CorruptionAbstractCorruption eradication measures are made not merely to punish the perpetrator, but also to recover the assets of the State, lost because of the corruption. One of the efforts to make law enforcement to combat corruption more effective is by regulating the authority of the Prosecutor and Corruption Eradication Commission (the CEC) as predicate investigators of crime to investigate money laundering under the Anti-Money Laundering Law. However, in practice, the authority to investigate money laundering (Article 74 Anti-Money Laundering Law) has raised some issues, especially about the authority of the CEC to prosecute money laundering. The prosecutor and the CEC's authority of investigation in money laundering are important to combat corruption. As predicate crime, corruption is connected to money laundering as one procedure of the crime. The purpose of the perpetrators of money laundering is to illegally enrich themselves by concealing or disguising the money. With the authority of the Prosecutor and the CEC to investigate money laundering, they can trace the perpetrator's wealth according to the corruption investigation's result. Otherwise, the Prosecutor and the CEC can conduct investigation of corruption according to the money laundering investigation's result by using follow the money paradigm. However, the Prosecutor and the CEC's authority are still insufficient to combat money laundering. It is because the CEC does not have the authority to prosecute money laundering. In practice, the coordination between the two institutions is becoming an issue. Therefore, in order to deal with the issue, the authority to prosecute money laundering should ideally be done by the Prosecutor according to Anti-Money Laundering Law and Indonesian Procedural Law.Keyword: investigation, Corruption Eradication Commission, corruption, money laundering, prosecution.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a6
Artikel Kehormatan: Saat Rakyat Bicara: Demokrasi dan Kesejahteraan Bagir Manan; Susi Dwi Harijanti
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6409.913 KB)

Abstract

AbstrakSecara tradisional,  kesejahteraan adalah suatu kepercayaan bahwa kesejahteraan sosial merupakan tanggung jawab dari masyarakat dan tanggung jawab ini harus dipenuhi oleh pemerintah yang dilaksanakan dalam bentuk negara atau sistem pemerintahan. Demokrasi masih dipandang sebagai sistem yang paling sesuai dalam rangka tercapainya kesejahteraan sosial karena  demokrasi  memberikan  jalan bagi rakyat  untuk  berbicara. Namun, pada praktiknya demokrasi oleh masyarakat awam kerapkali diartikan sebagai pemerintah  yang sebenarnya lebih menekankan kepada demokrasi politik. Artikel ini akan memperlihatkan bagaimana kesejahteraan sosial dianalisis secara akurat dari pemikiran mengenai demokrasi sosial  yang  berjalan beriringan dengan  model demokrasi konsensus  sebagai dasar fundamental dalam menghadapiperistiwa negara dan pemerintahan.Time for People to Speak: Democracy and WelfarismAbstractTraditionally, Welfarism is the belief that social well-being is the responsibility of a community which could only be realized through state or governmental management. It is still believed that  Democracy is the  most  proper system in achieving social welfare, since it permits the people of a country to speak. In practice, however, Democracy is only understood  as a system that gives the governmental rights to the majority of the people. This article, thus, will argue that social wel fare is more precisely analyzed through the notion of Social-Democracy, which goes hand-in-hand  with the consensus model of Democracy as a fundamental base in carrying out state and governmental affairs.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a1

Page 2 of 3 | Total Record : 26


Filter by Year

2014 2014


Filter By Issues
All Issue Vol 12, No 1 (2025): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 3 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 2 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 11, No 1 (2024): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 3 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 2 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 10, No 1 (2023): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 3 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 2 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 9, No 1 (2022): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 3 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 2 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 8, No 1 (2021): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 3 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 2 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 7, No 1 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 3 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 2 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 6, No 1 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 3 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 2 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 3 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 2 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 1 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 2 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) More Issue