Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Artikel Kehormatan: Saat Rakyat Bicara: Demokrasi dan Kesejahteraan Manan, Bagir; Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6409.913 KB)

Abstract

AbstrakSecara tradisional,  kesejahteraan adalah suatu kepercayaan bahwa kesejahteraan sosial merupakan tanggung jawab dari masyarakat dan tanggung jawab ini harus dipenuhi oleh pemerintah yang dilaksanakan dalam bentuk negara atau sistem pemerintahan. Demokrasi masih dipandang sebagai sistem yang paling sesuai dalam rangka tercapainya kesejahteraan sosial karena  demokrasi  memberikan  jalan bagi rakyat  untuk  berbicara. Namun, pada praktiknya demokrasi oleh masyarakat awam kerapkali diartikan sebagai pemerintah  yang sebenarnya lebih menekankan kepada demokrasi politik. Artikel ini akan memperlihatkan bagaimana kesejahteraan sosial dianalisis secara akurat dari pemikiran mengenai demokrasi sosial  yang  berjalan beriringan dengan  model demokrasi konsensus  sebagai dasar fundamental dalam menghadapiperistiwa negara dan pemerintahan.Time for People to Speak: Democracy and WelfarismAbstractTraditionally, Welfarism is the belief that social well-being is the responsibility of a community which could only be realized through state or governmental management. It is still believed that  Democracy is the  most  proper system in achieving social welfare, since it permits the people of a country to speak. In practice, however, Democracy is only understood  as a system that gives the governmental rights to the majority of the people. This article, thus, will argue that social wel fare is more precisely analyzed through the notion of Social-Democracy, which goes hand-in-hand  with the consensus model of Democracy as a fundamental base in carrying out state and governmental affairs.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a1
Artikel Kehormatan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum Manan, Bagir; Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2653.416 KB)

Abstract

Keadaan bahaya atau kedaruratan senantiasa dihadapi oleh setiap negara yang memaksa negara yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan, baik berupa penetapan keadaan bahaya (extraordinary measures) ataupun penetapan aturan (extraordinary rules) untuk memulihkan keadaan bahaya tersebut. Umumnya tindakan-tindakan untuk mengatasinya diatur dalam konstitusi atau undang-undang dasar negara yang bersangkutan agar tindakan dimaksud mempunyai dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur dua hal kedaruratan, yaitu dalam Pasal 12 yang memberikan wewenang kepada presiden menetapkan keadaan bahaya (extraordinary measures), serta Pasal 22 yang menjadi dasar konstitusional dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang oleh presiden (extraordinary rules). Dalam praktik, tidak mudah mengualifikasi suatu keadaan sebagai genting memaksa. Artikel ini menganalisis peraturan pemerintah pengganti undang-undang  dalam perspektif ajaran konstitusi serta prinsip negara hukum. Untuk menghindarkan terjadinya kesewenang-wenangan, perpu perlu memiliki sejumlah limitasi, meliputi makna, ruang lingkup atau materi muatan, proses pembentukan dan pembahasan, serta akibat hukum.  Government Regulation in Lieu of Law from the Perspective of Constitutionalism and the Rule of Law AbstractEvery country has always faces condition of emergency which forces such a country to determine or to decide extraordinary measures and extraordinary rules in order to restore the abnormal condition to become a normal one. In general, those measurements should have been regulated by a constitution in order to ensure that legitimate and legal acts are secured. The Amended 1945 Constitution provides distinct rules in regard to the exigencies, namely Article 12 (extraordinary measures) and Article 22 (extraordinary rules). The latter gives the way to the establishment of government regulation in lieu of law. In practice, however, it is quite difficult to qualify a particular condition as an emergency. This article examines government regulation in lieu of law from the perspective of constitutionalism and the rule of law. It is argued that to avoid arbitrariness as a result of the use of discretion in determining the emergency condition and to ensure that the extraordinary power is in line with constitutionalism and the rule of law principle, it is fundamental to apply limitations upon the use of it which include the accurate meaning of exigencies, limited subject matters of government regulation in lieu of law, the clear procedure of enactment, as well as its well-defined legal implications. Keywords: emergency, abnormal condition, constitusionalism, government regulation in lieu of law, the rule of law. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n2.a1
Khazanah: Bagir Manan Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 2, No 3 (2015): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (568.582 KB)

Abstract

Bagir merupakan salah satu pemikir hukum terkemuka di Indonesia. Buah pikirannya jalin menjalin (intertwine) antara filsafat hukum, teori hukum umum, serta teori hukum khusus, yakni teori hukum pada cabang ilmu hukum tertentu, misalnya ilmu hukum tata negara dan administrasi negara. Sekadar contoh, dalam teori hukum umum, misalnya, Bagir berpendapat Proklamasi Kemerdekaan 1945 merupakan grundnorm Indonesia karena Proklamasi menyebabkan tatanan hukum lama menjadi tidak ada dan menimbulkan serta memberikan dasar bagi keberadaan tatanan hukum baru. Suatu pandangan yang agak berbeda dengan para ahli hukum lain yang umumnya menempatkan Pancasila sebagai grundnorm. Dalam konteks sumber Hukum Tata Negara, Bagir juga mempunyai pendapat yang berbeda, misalnya dengan Alm. Prof. Usep Ranawijaya. Menurut Bagir, doktrin merupakan sumber hukum material, sebaliknya Alm. Usep meletakknya sebagai sumber hukum formal. Argumentasi yang dikemukakan Bagir ialah sumber hukum formal haruslah bersifat hukum. Namun, Bagir berusaha memahami pandangan yang memasukkan doktrin sebagai sumber hukum formal akibat pengaruh dari masa Romawi. Selain itu, kekuatan pemikiran Bagir ditopang oleh kemampuannya melakukan perbandingan hukum, khususnya Hukum Tata Negara, serta sejarah. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v2n3.a12
Artikel Kehormatan: Konstitusi dan Hak Asasi Manusia Manan, Bagir; Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 3 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.056 KB)

Abstract

AbstrakSalah satu titik sentral dalam konstitusionalisme adalah persoalan hak asasi manusia. Dalam kaitan ini, konstitusi memiliki peran penting, yang bukan hanya sekadar melakukan jaminan dan proteksi secara tertulis, melainkan pula menyediakan berbagai nilai yang digunakan oleh lembaga peradilan dalam interpretasi serta elaborasi hak-hak tersebut. Artikel ini menjelaskan hubungan antara konstitusi dan hak asasi manusia, yang mencakup persoalan isi dan pengertian hak asasi manusia, tempat hak asasi manusia dalam konstitusi, termasuk dalam UUD 1945, serta akibat pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi. Artikel ini menegaskan bahwa penempatan hak asasi manusia dalam konstitusi tidak semata-mata menjadikannya sebagai hak-hak fundamental yang bersifat mendasar, melainkan pula sebagai hak-hak konstitusional yang tertinggi.Constitution and Human RightsAbstractOne of the central points on constitutionalism is the idea of human rights. Constitution plays a major role by not only inserting human rights articles in aiming to secure and protect these rights, but also providing fundamental values that are used by Court in interpreting and elaborating such rights. This article discusses the relationship between a constitution and human rights, including issues of the meaning and content of human rights, position of human rights in a constitution (including the 1945 Amended Constitution), as well as consequences of inserting human rights norms into a constitution. It is argued that the entrenchment of human rights in a constitutional document does not only give them status as fundamental or basic rights, but it also provides stronger position as the supreme constitutional rights.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3.n3.a1
Khazanah: Sri Soemantri Harijanti, Susi Dwi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 1 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (581.741 KB)

Abstract

Dalam perjalanannya, Sri Soemantri dikenal sebagai seseorang dengan latar belakang beragam mulai dari pejuang kemerdekaan, aktivis pergerakan, politisi, hingga ilmuwan Hukum Tata Negara. Meskipun demikian, peran sebagai ilmuwan merupakan peran yang sangat dibanggakannya. Diyakininya menjadi guru merupakan ladang amalan yang tak akan pernah terputus, yang membawa kedamaian dalam hidup, terutama saat menyaksikan para muridnya melesat berprestasi dan menyumbangkan beragam kontribusi bagi negeri yang sangat dicintainya: Indonesia. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n1.a12
NEGARA BANGSA POS-KOLONIAL SEBAGAI BASIS DALAM MENENTUKAN IDENTITAS KONSTITUSI INDONESIA: STUDI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Jhoner, Franko; Perwira, Indra; Harijanti, Susi Dwi
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.173 KB)

Abstract

ABSTRAKKonstitusi negara modern pada dasarnya adalah perwujudan dari gagasan dan cita-cita kebangsaan yang kemudian dimanifestasikan seiring dengan berdirinya suatu negara bangsa. Konstitusi suatu negara modern bukan hanya memuat prinsip-prinsip, norma-norma, aturan-aturan, dan susunan organisasi negara, akan tetapi juga mengandung identitas nasional yang terbentuk dari gagasan pendirian negara bangsa sehingga membedakannya dengan konstitusi negara lain. Artikel ini membahas negara bangsa pos-kolonial menjadi basis dalam menentukan identitas konstitusi Indonesia dan apa saja yang menjadi unsur-unsur pembentuk identitas konstitusi Indonesia dan bagaimanakah implikasi hukumnya terhadap ketatanegaraan Indonesia. Indonesia sebagai negara bangsa pos-kolonial memiliki identitas nasional berupa semangat dekolonisasi. Oleh karena itu, dalam pembentukan konstitusi suatu negara modern selalu muncul upaya mewujudkan sistem sendiri. Dalam suatu konstitusi, terdapat norma-norma yang bersifat sebagai identitas nasional dan fundamental yang menjadi inti dari konstitusi yaitu ‘identitas konstitusi‘. Identitas konstitusi harus dijaga dan dilindungi dari upaya perubahan. Kata kunci: konstitusi, negara bangsa, pos-kolonial, Undang-Undang Dasar 1945. ABSTRACTConstitution of a modern state basically is a manifestation of nations’ ideas and goals which is institutionalized pararel to forming of the state. Constitution of a modern state is not only consist of priciples, norms, regulations and organizational matters, but also consist of national identitiy which is formed from the ideas behind state formation itself. These are factors that make constitutions difrent one another. Indonesia as post-colonial nation state has its national identity in a form of decolonialization spirit. Therefore, there is always effort to make unique system in the forming process of a constitution. A constitution has a fundamental national identitiy which becomes the core of the constitution; this is known as ‘constitutional identity’. The constitutional identity must be guarded and protected from changing process. Keywords: constitution, nation state, post-colonial, 1945 Constitution.DOI : https://doi.org/10.23920/jbmh.v2n2.11 
Complaint Handling Systems In The Public Sector: A Comparative Analysis Between Indonesia and Australia Harijanti, Susi Dwi
Indonesian Comparative Law Review Vol 3, No 1: December 2020
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/iclr.v3i1.11454

Abstract

This article deals primarily with complaint handling system with reference to an ombudsman that established by the government as opposed to the private ombudsman variety in Indonesia and Australia’s jurisdictions. In practice, group of people or persons have often arisen complaints or grievances in public service, and it requires solutions. It is widely known that the Ombudsman office has long been regarded as an effective office in resolving people complaint. This is mainly because the nature of the Ombudsman as an independent and impartial institution. This article argues that regardless of the different context of introduction of an ombudsman in Indonesia and Australia because of different political and social context, however, the performance of ombudsman in both countries has showed significant role in enhancing public services through their expanded mandates and stronger powers.
PERPPU SEBAGAI EXTRA ORDINARY RULES MAKNA DAN LIMITASI Susi Dwi Harijanti
Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan Vol 2 No 01 (2017): Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan
Publisher : Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25170/paradigma.v2i01.1761

Abstract

Pasal 22 UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan perppu guna menanggulangi keadaan genting memaksa. Dengan demikian “kegentingan memaksa” merupakan syarat konstitutif dikeluarkannya perppu. Meskipun dibenarkan oleh UUD 1945, namun dalam praktik tidak mudah menilai telah terjadi kegentingan yang memaksa, sehingga dapat menyebabkan terjadinya kesewenang-wenangan. Hal ini dikarenakan penilaian telahterjadi suatu keadaan genting memaksa ditetapkan secara subyektif oleh Presiden. Artikel ini menganalisis keberadaan perppu sebagai suatu aturan yang bersifat “luar biasa” dengan argumentasi utama harus terdapat pembatasan-pembatasan untuk menghindarkan perppu bertentangan dengan ajaran konstitusi, negara hukum dan hak asasi manusia.
Pengisian Jabatan Hakim: Kebutuhan Reformasi dan Pengekangan Diri Susi Dwi Harijanti
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 21 No. 4: Oktober 2014
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol21.iss4.art2

Abstract

For more than 30 years, a discourse regarding the selection of judges has become a hot issue around the world for several reasons. It is mainly related to the primary function of the courts to resolve disputes that may affect the lives of individuals and society. Problems posed, first, how filling the positions of justices and judges in the Indonesian constitution of post-reform? Second, how is the ideal concept in filling the positions of justices and judges of the constitution? This research is doctrinal, using primary and secondary legal materials, in the form of some legislation, literature and research results which are relevant to the object of research. The approach used in this study is the approach of legislation and conceptual approaches. The study concluded, first, filling the positions of Chief Justice and Judges of the Constitutional shows that it is more politicking because of the participation of the People's Representative Council or Parliament. Secondly, the renewal and principle of self-restraint need to be done by each branch of power to minimize political bias.
Artikel Kehormatan: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Perspektif Ajaran Konstitusi dan Prinsip Negara Hukum Bagir Manan; Susi Dwi Harijanti
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 2 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2653.416 KB)

Abstract

Keadaan bahaya atau kedaruratan senantiasa dihadapi oleh setiap negara yang memaksa negara yang bersangkutan melakukan tindakan-tindakan, baik berupa penetapan keadaan bahaya (extraordinary measures) ataupun penetapan aturan (extraordinary rules) untuk memulihkan keadaan bahaya tersebut. Umumnya tindakan-tindakan untuk mengatasinya diatur dalam konstitusi atau undang-undang dasar negara yang bersangkutan agar tindakan dimaksud mempunyai dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur dua hal kedaruratan, yaitu dalam Pasal 12 yang memberikan wewenang kepada presiden menetapkan keadaan bahaya (extraordinary measures), serta Pasal 22 yang menjadi dasar konstitusional dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang oleh presiden (extraordinary rules). Dalam praktik, tidak mudah mengualifikasi suatu keadaan sebagai genting memaksa. Artikel ini menganalisis peraturan pemerintah pengganti undang-undang  dalam perspektif ajaran konstitusi serta prinsip negara hukum. Untuk menghindarkan terjadinya kesewenang-wenangan, perpu perlu memiliki sejumlah limitasi, meliputi makna, ruang lingkup atau materi muatan, proses pembentukan dan pembahasan, serta akibat hukum.  Government Regulation in Lieu of Law from the Perspective of Constitutionalism and the Rule of Law AbstractEvery country has always faces condition of emergency which forces such a country to determine or to decide extraordinary measures and extraordinary rules in order to restore the abnormal condition to become a normal one. In general, those measurements should have been regulated by a constitution in order to ensure that legitimate and legal acts are secured. The Amended 1945 Constitution provides distinct rules in regard to the exigencies, namely Article 12 (extraordinary measures) and Article 22 (extraordinary rules). The latter gives the way to the establishment of government regulation in lieu of law. In practice, however, it is quite difficult to qualify a particular condition as an emergency. This article examines government regulation in lieu of law from the perspective of constitutionalism and the rule of law. It is argued that to avoid arbitrariness as a result of the use of discretion in determining the emergency condition and to ensure that the extraordinary power is in line with constitutionalism and the rule of law principle, it is fundamental to apply limitations upon the use of it which include the accurate meaning of exigencies, limited subject matters of government regulation in lieu of law, the clear procedure of enactment, as well as its well-defined legal implications. Keywords: emergency, abnormal condition, constitusionalism, government regulation in lieu of law, the rule of law. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n2.a1