cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Sari Pediatri
ISSN : 08547823     EISSN : 23385030     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol 10, No 6 (2009)" : 12 Documents clear
Luaran Terapi Pasien Leukemia Limfoblastik Akut dengan Leukosit ≥ 50.000/μL di RSUP DR. Sardjito Februari 1999 - Februari 2009 Wahyu Budiyanto; Sri Mulatsih; Sutaryo Sutaryo
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.465 KB) | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.410-6

Abstract

Latar belakang. Jumlah leukosit yang tinggi (≥50000/μL) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya tumor lysis syndrome (TLS) yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Tumor lysis syndrome merupakan salah satu kegawatan pada leukemia limfoblastik akut (LLA).Tujuan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui luaran (outcome) dan prognosis LLA dengan leukosit ≥50000/μL.Metode. Penelitian rancang bangun kohort retrospektif dilakukan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP DR. Sardjito yang melibatkan semua pasien LLA dengan jumlah leukosit ≥ 50.000/μL sejak Februari 1999 sampai Februari 2009. Luaran yang dinilai yaitu kriteria laboratorium TLS, klinik TLS, dan kematian.Hasil. Pasien LLA dengan jumlah leukosit ≥50000/μL sebanyak 115 kasus diikutkan dalam penelitian ini. Insiden laboratorium TLS 5,2% (6 pasien). Tidak didapatkan kasus klinisTLS. Kematian pasien dengan laboratorium TLS 66,7% (4 pasien). Pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL yang mengalami TLS mempunyai risiko kematian sebesar OR 2 (KI 95% 0,32-12,51). Persentasi kematian pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL, 56,6% (65 pasien). Faktor prognosis terhadap kematian, leukosit ≥100000/μL OR 1,918 (IK 95% 0,778-4,730), asam urat ≥8 mg/dL OR 1,909 (IK 95% 0,431-8,463), fosfat ≥4,5 mg/dL OR 1,5 (IK 95% 0,106-21,312) dan kreatinin ≥1,4 mg/dL OR 1,362 (IK 95% 0,142-13,096).Kesimpulan. Insidens TLS pada pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL, 5,2% (6 pasien) dari 115 pasien. Mortalitas pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL, 56,5%. Secara klinis ada kecenderungan kejadian kematian lebih tinggi pada pasien LLA dengan leukosit ≥100.000/μL, asam urat ≥8 mg/dL, fosfat ≥ 4,5 mg/dL dan kreatinin >1,4 mg/dL.
Faktor Genetik Sebagai Risiko Kejang Demam Berulang Tjipta Bahtera; Susilo Wibowo; AG Soemantri Hardjojuwono
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (188.235 KB) | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.378-84

Abstract

Latar belakang. Sepertiga pasien kejang demam pertama mengalami bangkitan ulang kejang demam. Riwayat keluarga adalah pernah kejang demam dan mutasi gen merupakan faktor risiko bangkitan kejang demam berulang.Tujuan. Membuktikan faktor genetik sebagai risiko terjadi kejang demam berulang.Metode. Rancangan penelitian kohort prospektif. Subjek pasien kejang demam pertama, selama 18 bulan diamati terjadi bangkitan ulang kejang demam. Amplifikasi DNA dengan teknik PCR dan sequencing untuk melihat mutasi gen pada kanal ion Natrium. Pengujian hipotesis memakai regresi logistik, dan uji korelasi memakai Rank Sperman corelation.Hasil. Sepertiga pasien kejang demam pertama mengalami kejang demam berulang. Mutasi gen kanal ion Na+ SCNIA 19(61,3%) pasien, terdapat pergantian Argenin (R) oleh asam glutamat (Glu) (Arg1627Glu) (mutasi missense) dan kodon stop (TGA).(mutasi nonsense), sedangkan pada SCNIB 12(38,7%) pasien, terdapat mutasi heterozigot, yaitu kodon 130:GAA /AAA, kodon 96:CGG/TGG, kodon 138:GTC/ATC, kodon 95:AGC /ATT dan kodon:154 GCT/AAT. Ada hubungan mutasi gen dengan umur, suhu dan riwayat keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama. (koefisien korelasi berturut-turut –0,359; -0,339; 0,278). Riwayat keluarga pernah kejang demam dan mutasi gen berisiko 2-3 kali terjadi kejang demam berulang (RR 2.9, p<0,05 dan RR 3.556 p>0,05)Kesimpulan. Sepertiga pasien kejang demam pertama mengalami kejang demam berulang. Riwayat keluarga pernah kejang demam dan mutasi gen merupakan faktor risiko kejang demam berulang. Terdapat hubungan mutasi gen dengan umur, suhu dan riwayat keluarga pernah kejang demam, saat kejang pertama
Efikasi Obat Kloroquine, Kina, Artesunate-SP, Artesunate-Amodiaquine, Artesunate-Lumafentrin pada Anak Malaria Falciparum di BLU RSUP Prof. Dr. RD. Kandou Manado Suryadi Nicolaas Napoleon Tatura
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.417-23

Abstract

Latar belakang. Malaria falciparum masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan pada anak-anak dan orang dewasa di negara-negara tropis. Di Indonesia, dilaporkan Plasmodium falciparum telsh resisten terhadap obat – obat anti malaria, terutama kemungkinan terjadi early treatment failure (ETF).Tujuan. Untuk mengetahui efikasi dan early treatment failure (ETF) obat anti malaria (OAM) yaitu kloroquin (CQ), kina, artesunat-SP(AS-SP), dan artesunate-amodiaquin(AS-AQ) serta artesunate- lumafentrin(AS-L) pada anak dengan malaria falciparum.Metode. Penelitian deskriptif retrospektif� �� � � � � � � � � � � . Populasi adalah bayi dan anak usia 1 bulan-14 tahun yang terdiagnosis dengan malaria falciparum dan mendapat OAM. Data diperoleh dari rekam medis Bagian Anak BLU RSUP Prof Dr. RD. Kandou Manado sejak Maret 2007 sampai Maret 2009. Data dikelompokkan berdasarkan jenis obat anti malaria yang digunakan oleh pasien selama 3 hari (3x24jam), kemudian dinilai waktu bebas parasit dalam darah pasien serta ETF. Hitung parasit menggunakan metode semikuantitatif. Data dianalis dengan metode Kaplan-Meier menggunakan SPSS 17.Hasil. Efikasi obat anti malaria dalam 3 hari sebagai berikut, AS-L 100%, AS-SP 100%, AS-AQ 97%, CQ 85%, dan kina 81%. Terdapat ETF obat kina 19%, CQ 15% dan AS-AQ 3%. Parasite negative rate dalam 24 jam AS-SP 0,6, AS-L 0,6, AS-AQ 0,89, Kina 0,35 dan CQ 0,54.Kesimpulan. Artesunate-lumafentrin dan artesunate-SP merupakan obat anti malaria falciparum pilihan. Artesunate-amodiaquine sangat baik menurunkan angka parasit dalam 24 jam I. Telah terjadi ETF pada kloroquine, kina dan arteunate-amodiaquine.
Hubungan Berat Molekul dengan Ukuran Molekul Koloid yang Lazim Digunakan dalam Resusitasi Sindrom Syok Dengue Kiki M.K. Samsi; Evelyn Phangkawira; Steve J. Yang
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (421.807 KB) | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.385-91

Abstract

Latar belakang. Resusitasi cairan merupakan langkah penting dalam tata laksana sindrom syok dengue, namun sampai saat ini belum ada keseragaman jenis cairan yang digunakan. Pada umumnya klinisi di Indonesia memilih koloid dengan berat molekul (BM) lebih dari 100kDa untuk mendapatkan "efek sumbatan" (sealing effect) dengan asumsi bahwa semakin berat suatu molekul maka semakin besar ukuran molekul. Dalam uji klinis, perbedaan berat molekul koloid tidak menimbulkan perbedaan outcome sehingga menimbulkan pertanyaan apakah BM mencerminkan ukuran molekul.Tujuan. Menilai apakah ukuran suatu molekul dapat ditentukan hanya dengan BMMetode. Membandingkan bentuk dan ukuran antara empat jenis koloid dengan BM berbeda, dengan menggunakan alat dynamic light scattering.Hasil: Urutan koloid dari BM terberat berturut-turut yaitu HES 200 kDa, HES 40 kDa, dextran 40kDa, dan gelatin 30 kDa. Berdasarkan koefisien difusi, didapatkan ukuran terbesar molekul koloid adalah gelatin 30 kDa (lebih besar 100 x HES 200 kDa)Kesimpulan. Berat molekul tidak berhubungan langsung dengan ukuran molekul. Untuk mendapatkan "efek sumbatan" (sealing effect) perlu memperhitungkan bentuk dan ukuran molekul.
Hubungan Dosis Kumulatif Prednison dan Gangguan Umur Tulang pada Sindrom Nefrotik Relaps Sering Budi Firdaus; Ina Rosalina; Nanan Sekarwana
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.128 KB) | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.357-61

Abstract

Latar belakang. Pemberian prednison jangka panjang selama pengobatan sindrom nefrotik (SN) mengganggu proses pertumbuhan, terutama pertumbuhan kartilago secara langsung dan gangguan faktor-faktor pertumbuhan (growth factors). Pada SN relaps sering, selalu diberikan prednison jangka panjang yang berulang sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan yang dapat diketahui dari gangguan umur tulang.Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara dosis kumulatif prednison dan gangguan umur tulang pada anak pasien SN relaps sering.Metode. Penelitian menggunakan rancangan cross-sectional. Subjek penelitian adalah anak pasien SN relaps sering, berumur 1-14 tahun, yang berobat jalan di poliklinik Subbagian Nefrologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung mulai bulan April sampai dengan Juni 2008. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, penghitungan dosis kumulatif prednison selama pengobatan, dan pemeriksaan umur tulang. Analisis regresi linier multipel digunakan untuk menilai dosis kumulatif prednison, umur awitan penyakit, lama pemberian prednison, dan jumlah relaps, merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan umur tulang. Dinyatakan bermakna bila p<0,05.Hasil. Didapatkan 23 anak dengan rata-rata dosis kumulatif prednison (9.677,8±5.016,8) mg, umur awitan (53,30±24,7) bulan, lama pemberian prednison (36,3±22,2) bulan, jumlah relaps (4,5±1,7) kali, dan selisih umur tulang adalah (35,52±21,2) bulan. Analisis regresi multipel dari faktor risiko menunjukkan hanya dosis kumulatif prednison yang menunjukkan hubungan yang bermakna (p<0,05) sedangkan umur awitan penyakit akan menunjukan hubungan yang bermakna (p<0,05) bila jumlah sampel minimal 33.Kesimpulan. Terdapat hubungan yang bermakna antara dosis kumulatif prednison dan gangguan umur tulang pada anak pasien SN relaps sering.
Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Di Indonesia Mulya Rahma Karyanti; Sri Rezeki Hadinegoro
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.424-32

Abstract

Dengue berdarah dengue yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypty masih merupakan masalah kesehatan penting di dunia. Di Indonesia, demam berdarah dengue mulai dikenal pertama kali pada tahun 1968 di DKI Jakarta dan Surabaya, dan terus menyebar ke seluruh tiga puluh tiga propinsi di Indonesia. Pola epidemiologi infeksi dengue mengalami perubahan dari tahun ke tahun, jumlah kasus memuncak setiap siklus 10 tahunan. Dari tahun 1968-2008 angka kesakitan demam berdarah dengue terus meningkat. Pada tahun 2008 didapatkanangka kesakitan 58,85/ 100.000 penduduk. Angka kematian menurun dengan stabil dari 41% pada tahun 1968 menjadi kurang dari 2% sejak tahun 2000, dan pada tahun 2008 angka kematian menurun menjadi 0,86%.Semua serotipe virus dengue ditemukan di Indonesia, namun serotipe virus den-3 masih dominan menyebabkan kasus dengue yang berat dan fatal. Surveilans epidemiologi, dukungan edukasi masyarakat dan program pengendalian vektor diperlukan untuk mencegah transmisi. Pengembangan vaksin dengue merupakan salah satu upaya mencegah penyakit dengue.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Bronkiolitis Akut Ida Bagus Subanada; Darmawan B Setyanto; Bambang Supriyatno
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.392-6

Abstract

Latar belakang. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya bronkiolitis akut. Seperti halnya usia, jenis kelamin, lahir kurang bulan, berat lahir rendah, jumlah keluarga serumah, status gizi, air susu ibu (ASI), paparan asap rokok, riwayat atopi, dan imunisasi BCG.Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara ASI, paparan asap rokok, riwayat atopi, dan BCG dengan bronkiolitis akut.Metode. Desain potong lintang, data didapat dari rekam medis pasien yang dirawat. Analisis data dengan metode univariat dan multivariat, tingkat kemaknaan α=0,05 (IK95%).Hasil. ASI dan paparan asap rokok tidak berhubungan dengan bronkiolitis akut, sedangkan riwayat atopi pada orangtua, parut BCG, dan jenis kelamin berhubungan dengan bronkiolitis akut{RP 20,41 (IK95% 1,09;333,33), p=0,043, RP 0,23 (IK95% 0,07; 0,79), p=0,019, dan RP 3,42 (IK95% 1,10;10,64), p=0,034)}.Kesimpulan. Riwayat atopi pada orangtua, parut BCG, dan jenis kelamin berhubungan dengan bronkiolitis akut.
Pengaruh Pemberian ASI Terhadap Kenakalan pada Anak Sekolah Dasar di Yogyakarta Ferry Andian Sumirat; Mei Neni Sitaresmi; Djauhar Ismail
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.362-6

Abstract

Latar belakang. Penelitian menunjukkan keuntungan pemberian ASI pada perkembangan psiko-sosial anak. Selain itu ditemukan korelasi erat antara menyusui dengan pembentukan bonding dan attachment. Kegagalan pembentukan bonding dan attachment akan berpengaruh besar pada perilaku anak pada fase berikutnya. Salah satu bentuk gangguan perilaku anak yang perlu dicermati adalah kenakalan. Kenakalan pada anak berkecenderungan persisten dan berisiko membentuk perilaku kriminal. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui adakah hubungan antara kenakalan dengan menyusui.Tujuan. Mengetahui pengaruh lama pemberian ASI sebagai faktor risiko kenakalan.Metode. Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol dengan stratifikasi sampel satu banding satu. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan lembar penilaian perilaku nakal yang diisi oleh orang tua murid sekolah dasar di Yogyakarta. Lembar penilaian ini diadaptasi dari item perilaku delinquent dan agresif CBCL (child behavior checklist). Kasus adalah anak yang dideteksi delinquent dan atau agresif.Hasil. Validasi alat ukur menghasilkan validitas konstrak item-item antara 0,5649 - 0,8547, koefisien reliabilitas perilaku agresif 0,8549 dan delinquent 0,6281. Dari 768 responden didapatkan 69 (8,9%) kasus. Anak yang mendapatkan ASI <6 bulan memiliki risiko nakal dengan OR (odds ratio) 4,40 (IK=interval kepercayaan 95%: 1,28-15,90 dan p=0,006) dibandingkan mendapatkan ASI >2 tahun.Kesimpulan. Pemberian ASI <6 bulan merupakan faktor risiko kenakalan pada anak sekolah dasar di Yogyakarta.
Pengetahuan Orangtua Mengenai Obat Puyer di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Soepardi Soedibyo; Effie Koesnandar
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.397-403

Abstract

Latar belakang. Obat puyer telah lazim diterima oleh masyarakat, hal ini tidak terlepas dari kebiasaan dokter yang sering meresepkannya. Peresepan obat puyer mulai banyak dikritisi, bahkan menjadi topik menarik saat diseminarkan. Dalam era evidence based medicine (EBM) saat ini, peresepan obat puyer perlu dikaji kembali sehingga sesuai dengan kaidah praktik peresepan dan pembuatan obat yang baik.Tujuan. Mengetahui bagaimana pengetahuan, sikap dan perilaku orangtua yang datang ke Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM mengenai peresepan obat puyer.Metode. Desain studi deskriptif cross sectional, pengambilan sampel secara konsekutif dilakukan selama bulan Juni 2008, dengan menggunakan kuesioner sederhana yang berisi 10 pertanyaan. Subjek penelitian adalah orangtua pasien yang datang pada periode penelitian dan bersedia mengisi kuesioner penelitian.Hasil. Dari 119 responden, 111 responden (93,3%) diantaranya pernah mendapatkan obat puyer. Sebaran umur, pendidikan, dan pekerjaan responden, berturut-turut didapatkan responden berusia >30-40 tahun (57,1%), pendidikan kategori sedang (59,7%), dan mempunyai status bekerja (65,5%). Sebaran responden lebih banyak pada umur anak antara 1-5 tahun (47,1%), jumlah anak 1-3 orang (85,0%), jumlah obat dalam satu puyer lebih dari satu macam (64,9%), dan obat diperoleh di apotik (59,5%). Responden yang tidak menyukai obat puyer (58,6%), terutama responden, berturut-turut (57,7%), (56,8%), dan (62,2%) menyatakan harga obat, kemanjuran, dan ketepatan dosis obat puyer sama saja dengan obat sirup.Kesimpulan. Hampir semua responden pernah mendapatkan obat puyer. Responden lebih banyak yang menyatakan tidak menyukai obat puyer, serta menilai harga, kemanjuran dan ketepatan dosis obat puyer sama saja dengan obat sirup.
Komplikasi Jangka Pendek dan Jangka Panjang Diabetes Mellitus Tipe 1 Indra W. Himawan; Aman B. Pulungan; Bambang Tridjaja; Jose R.L. Batubara
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.367-72

Abstract

Latar belakang. Diabetes mellitus tipe 1 (DM tipe-1) adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang menyebabkan kerusakan sel β pankreas dan terjadi pada hampir semua anak yang menderita diabetes. Dalam perjalanan DM tipe-1, sering timbul komplikasi jangka pendek dan jangka panjang.Tujuan. Mengetahui frekuensi komplikasi jangka pendek yaitu ketoasidosis dan jangka panjang yaitu nefropati dan retinopati berdasarkan kontrol metabolik, lama menderita diabetes, dan biaya pengobatan.Metode. Penelitian deskriptif pada 39 pasien yang terdaftar di IKADAR(Ikatan Keluarga Penyandang Diabetes Anak dan Remaja) selama September – Oktober 2007 di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Endokrin FKUI/ RSCM Jakarta dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan laboratorium HbA1c, mikroalbuminuria, dan evaluasi mata di poliklinik mata FKUI RSCM.Hasil. Dari 39 pasien yang diteliti antara umur 5-31 tahun, rerata diagnosis diabetes ditegakkan pada umur (9,8±4,1) tahun, HbA1c (10,1±2,3) % dan menderita diabetes selama (5,6±5,8) tahun, dengan dosis insulin yang dipakai (0,9±0,2) IU/kg/hari. Komplikasi yang ditemukan adalah ketoasidosis diabetik selama sakit pada 30 pasien (76,9 %) dan pada 12 minggu terakhir pada 3 pasien (7,9%), mikroalbuminuria pada 3 pasien (7,9%), sedangkan retinopati tidak ditemukan. Rerata pasien memeriksakan HbA1c 3-4 kali pertahun, memeriksa gula darah secara mandiri 1-2 kali/hari dan sebagian besar berobat dengan biaya sendiri.Kesimpulan. Tidak banyak perubahan karakteristik pasien dibandingkan penelitian yang lalu. Rerata kadar HbA1c masih kurang baik dibandingkan dengan rerata HbA1c di negara maju. Di negara maju sudah banyak perubahan pada cara pemberian insulin dan lebih ditingkatkannya perhatian dan pengetahuan pada pasien dan keluarga pasien diabetes.

Page 1 of 2 | Total Record : 12


Filter by Year

2009 2009


Filter By Issues
All Issue Vol 27, No 3 (2025) Vol 27, No 2 (2025) Vol 27, No 1 (2025) Vol 26, No 6 (2025) Vol 26, No 5 (2025) Vol 26, No 4 (2024) Vol 26, No 3 (2024) Vol 26, No 2 (2024) Vol 26, No 1 (2024) Vol 25, No 6 (2024) Vol 25, No 5 (2024) Vol 25, No 4 (2023) Vol 25, No 3 (2023) Vol 25, No 2 (2023) Vol 25, No 1 (2023) Vol 24, No 6 (2023) Vol 24, No 5 (2023) Vol 24, No 4 (2022) Vol 24, No 3 (2022) Vol 24, No 2 (2022) Vol 24, No 1 (2022) Vol 23, No 6 (2022) Vol 23, No 5 (2022) Vol 23, No 4 (2021) Vol 23, No 3 (2021) Vol 23, No 2 (2021) Vol 23, No 1 (2021) Vol 22, No 6 (2021) Vol 22, No 5 (2021) Vol 22, No 4 (2020) Vol 22, No 3 (2020) Vol 22, No 2 (2020) Vol 22, No 1 (2020) Vol 21, No 6 (2020) Vol 21, No 5 (2020) Vol 21, No 4 (2019) Vol 21, No 3 (2019) Vol 21, No 2 (2019) Vol 21, No 1 (2019) Vol 20, No 6 (2019) Vol 20, No 5 (2019) Vol 20, No 4 (2018) Vol 20, No 3 (2018) Vol 20, No 2 (2018) Vol 20, No 1 (2018) Vol 19, No 6 (2018) Vol 19, No 5 (2018) Vol 19, No 4 (2017) Vol 19, No 3 (2017) Vol 19, No 2 (2017) Vol 19, No 1 (2017) Vol 18, No 6 (2017) Vol 18, No 5 (2017) Vol 18, No 4 (2016) Vol 18, No 3 (2016) Vol 18, No 2 (2016) Vol 18, No 1 (2016) Vol 17, No 6 (2016) Vol 17, No 5 (2016) Vol 17, No 4 (2015) Vol 17, No 3 (2015) Vol 17, No 2 (2015) Vol 17, No 1 (2015) Vol 16, No 6 (2015) Vol 16, No 5 (2015) Vol 16, No 4 (2014) Vol 16, No 3 (2014) Vol 16, No 2 (2014) Vol 16, No 1 (2014) Vol 15, No 6 (2014) Vol 15, No 5 (2014) Vol 15, No 4 (2013) Vol 15, No 3 (2013) Vol 15, No 2 (2013) Vol 15, No 1 (2013) Vol 14, No 6 (2013) Vol 14, No 5 (2013) Vol 14, No 4 (2012) Vol 14, No 3 (2012) Vol 14, No 2 (2012) Vol 14, No 1 (2012) Vol 13, No 6 (2012) Vol 13, No 5 (2012) Vol 13, No 4 (2011) Vol 13, No 3 (2011) Vol 13, No 2 (2011) Vol 13, No 1 (2011) Vol 12, No 6 (2011) Vol 12, No 5 (2011) Vol 12, No 4 (2010) Vol 12, No 3 (2010) Vol 12, No 2 (2010) Vol 12, No 1 (2010) Vol 11, No 6 (2010) Vol 11, No 5 (2010) Vol 11, No 4 (2009) Vol 11, No 3 (2009) Vol 11, No 2 (2009) Vol 11, No 1 (2009) Vol 10, No 6 (2009) Vol 10, No 5 (2009) Vol 10, No 4 (2008) Vol 10, No 3 (2008) Vol 10, No 2 (2008) Vol 10, No 1 (2008) Vol 9, No 6 (2008) Vol 9, No 5 (2008) Vol 9, No 4 (2007) Vol 9, No 3 (2007) Vol 9, No 2 (2007) Vol 9, No 1 (2007) Vol 8, No 4 (2007) Vol 8, No 3 (2006) Vol 8, No 2 (2006) Vol 8, No 1 (2006) Vol 7, No 4 (2006) Vol 7, No 3 (2005) Vol 7, No 2 (2005) Vol 7, No 1 (2005) Vol 6, No 4 (2005) Vol 6, No 3 (2004) Vol 6, No 2 (2004) Vol 6, No 1 (2004) Vol 5, No 4 (2004) Vol 5, No 3 (2003) Vol 5, No 2 (2003) Vol 5, No 1 (2003) Vol 4, No 4 (2003) Vol 4, No 3 (2002) Vol 4, No 2 (2002) Vol 4, No 1 (2002) Vol 3, No 4 (2002) Vol 3, No 3 (2001) Vol 3, No 2 (2001) Vol 3, No 1 (2001) Vol 2, No 4 (2001) Vol 2, No 3 (2000) Vol 2, No 2 (2000) Vol 2, No 1 (2000) More Issue