Bambang Supriyatno
Department Of Child Health, Faculty Of Medicine, Universitas Indonesia, Indonesia

Published : 35 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 35 Documents
Search

Pulmonary dysfunction in obese early adolescents Supriyatno, Bambang; Sapriani, Irma; Hadinegoro, Sri R.S.
Medical Journal of Indonesia Vol 19, No 3 (2010): August
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.491 KB) | DOI: 10.13181/mji.v19i3.402

Abstract

Aim Obesity leads to various complications, including pulmonary dysfunction. Studies on pulmonary function of obese children are limited and the results are controversial. This study was aimed to determine proportion of pulmonary dysfunction on early adolescents with obesity and to evaluate correlation between obesity degree with pulmonary dysfunction degree.Methods A cross-sectional study was conducted at the Department of Child Health, Medical School, University of Indonesia, from November 2007 to December 2008. Subjects were 10 to 12 year-old adolescents with obesity. Subjects underwent pulmonary function test (PFT) to assess FEV1/FVC, FEV1, FVC, V50, and V25.Results 110 subjects fulfilled study criteria, 83 (75.5%) were male and 27 (24.5%) were female with median BMI 26.7 (22.6-54.7) kg/m2; 92 subjects (83.6%) were superobese. History of asthma and allergic rhinitis were found in 32 (29.1%) and 46 (41.8%) subjects, respectively. 64 (58.2%) subjects had abnormal PFT results consisting of restrictive type in 28 (25.5%) subjects, obstructive in 3 (2.7%), and combined type in 33 (30%). Mean FEV1, FVC, V50, and V25 values were below normal, while mean FEV1/FVC ratio was normal. There was no statistically significant correlation between BMI and PFT parameters. No significant correlation was found between degree of obesity and the severity of pulmonary dysfunction.Conclusions Pulmonary dysfunction occurs in 58.2% obese early adolescents. The most common abnormality was combined type (30%), followed by restrictive (25.5%), and obstructive type (2.7%). There was no correlation between BMI and pulmonary function test parameters. (Med J Indones 2010;19:179-84)Key words: early adolescents, obesity, pulmonary function test
The effects of colloids or crystalloids on acute respiratory distress syndrome in swine (Sus scrofa) models with severe sepsis: analysis on extravascular lung water, IL-8, and VCAM-1 Dewi, Rismala; Supriyatno, Bambang; Madjid, Amir S.; Gunanti, Gunanti; Lubis, Munar
Medical Journal of Indonesia Vol 25, No 1 (2016): March
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (462.563 KB) | DOI: 10.13181/mji.v25i1.1204

Abstract

Background: Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is a fatal complication of severe sepsis. Due to its higher molecular weight, the use of colloids in fluid resuscitation may be associated with fewer cases of ARDS compared to crystalloids. Extravascular lung water (EVLW) elevation and levels of interleukin-8 (IL-8) and vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) have been studied as indicators playing a role in the pathogenesis of ARDS. The aim of the study was to determine the effects of colloid or crystalloid on the incidence of ARDS, elevation of EVLW, and levels of IL-8 and VCAM-1, in swine models with severe sepsis.Methods: This was a randomized trial conducted at the Laboratory of Experimental Surgery, School of Veterinary Medicine, IPB, using 22 healthy swine models with a body weight of 8 to 12 kg. Subjects were randomly allocated to receive either colloid or crystalloid fluid resuscitation. After administration of endotoxin, clinical signs of ARDS, EVLW, IL-8, and VCAM-1 were monitored during sepsis, severe sepsis, and one- and three hours after fluid resuscitation. Analysis of data using the Wilcoxon test , Kolmogorov-Smirnov test, Mann-Whitney test, unpaired t test.Results: Mild ARDS was more prevalent in the colloid group, while moderate ARDS was more frequent in the crystalloid group. EVLW elevation was lower in the colloid compared to the crystalloid group. There was no significant difference in IL-8 and VCAM-1 levels between the two groups.Conclusion: The use of colloids in fluid resuscitation does not decrease the probability of ARDS events compared to crystalloids. Compared to crystalloids, colloids are associated with a lower increase in EVLWI, but not with IL-8 or VCAM-1 levels.
Penggunaan MgSO4 pada Asma Serangan Berat: laporan kasus Bambang Supriyatno; Rismala Dewi; Wahyuni Indawati
Sari Pediatri Vol 11, No 3 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (118.453 KB) | DOI: 10.14238/sp11.3.2009.155-8

Abstract

Derajat serangan asma dibagi dalam tiga kelompok yaitu serangan ringan, sedang, dan berat, untuk membedakan tata laksananya. Kadang-kadang dengan tata laksana yang sudah sesuai standar pada serangan berat kurang memberikan respons sehingga perlu tata laksana alternatif. Salah satu terapi alternatif adalah penggunaan MgSO4 yang masih menjadi kontroversi efektivitasnya dibandingkan dengan pemberian inhalasi beta-2 agonis dan ipratropium bromida. Di sisi lain pernah dilaporkan keberhasilan penggunaan MgSO4 pada asma serangan berat setelah gagal dengan tata laksana standar. Dilaporkan dua anak dengan asma serangan berat yang tidak responsif dengan terapi standar seperti pemberian oksigen, cairan rumatan, inhalasi dengan dengan beta-2 agonis dan kortikosteroid intravena. dengan penambahan MgSO4 didapatkan respons yang sangat baik. Sebagai kesimpulan MgSO4 dapat digunakan sebagai terapi alternatif pada asma serangan berat.
Penyakit Respiratorik pada Anak dengan HIV Finny Fitry Yani; Arwin AP Akib; Bambang Supriyatno; Darmawan B. Setyanto; Nia Kurniati; Nastiti Kaswandani
Sari Pediatri Vol 8, No 3 (2006)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (105.355 KB) | DOI: 10.14238/sp8.3.2006.188-94

Abstract

Latar belakang. Kejadian AIDS pada anak meningkat seiring dengan peningkatan kasusdewasa. Gejala dan manifestasi klinis sering tidak khas, sehingga menyebabkanunderdiagnosis. Anak HIV sering datang dengan keluhan yang berasal dari infeksioportunistik, bahkan infeksi oportunistik banyak ditemukan sebagai penyebab kematian.Salah satu infeksi oportunistik yang sering terjadi adalah infeksi respiratorik.Tujuan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola penyakit respiratorikpada anak HIV yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan RS Dr. Cipto Mangunkusumo(RSCM), Jakarta.Metoda. Data berasal dari rekam medis anak HIV tahun 2002-2005. Penelitiandilakukan dengan desain potong lintang. Kriteria inklusi adalah anak usia 0-13 tahun,dengan HIV positif dan menderita penyakit respiratorik. Data yang dicatat meliputiumur, jenis kelamin, faktor risiko, status gizi, parut BCG, diameter uji tuberkulin, riwayatkontak dengan pasien tuberkolosis, kategori HIV, diagnosis penyakit respiratorik,outcome. Data klinis khusus meliputi batuk kronik berulang, demam lama, sesak nafas,laboratorium rutin, foto torak, dan kadar CD4, PCR.Hasil. Sejak Januari 2002-Desember 2005, telah dirawat 85 anak yang terinfeksi HIV,dengan 13 orang (15,2%) di antaranya meninggal. Tiga belas orang (13/35) didiagnosisHIV berdasarkan serologi dan PCR, 24/35 hanya dengan serologi, dan 1/35 orang denganPCR. Sebanyak 38 (44,7%) orang menderita infeksi respiratorik dengan pola penyakit: TB47,3%, pneumonia 44,7%, pneumocytis corinii pneumonia (PCP) 13,1%. Pada penelitianini, didapatkan bahwa 3/38 (7,8%) anak HIV dengan penyakit paru meninggal karenapneumonia berat, dengan 2/3 di antaranya pada kelompok umur 1-5 tahun. Penyebabkematian lainnya adalah PCP 2/38 pasien (5,2%), dan tersangka sepsis pada 2 pasien (5,2%).Kesimpulan. Pada anak HIV, TB merupakan penyakit respiratorik terbanyak, diikutipneumonia, sedangkan penyebab kematian terbanyak adalah pneumonia. Penyakitrespiratorik pada anak HIV dapat menjadi pembuka jalan untuk diagnosis anak HIV.
Mendengkur pada Anak: kapan waktu yang tepat untuk dilakukan tonsiloadenoidektomi? Bambang Supriyatno
Sari Pediatri Vol 17, No 4 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp17.4.2015.317-22

Abstract

Mendengkur atau mengorok adalah suara nyaring yang keluar dari saluran respiratori atas sebagai hasil getaran palatum molle dan uvula. Mendengkur bukanlah suatu diagnosis, melainkan gejala yang harus dicari diagnosisnya. Mendengkur perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan masalah respiratori di kemudian hari, dan terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu occasional snoring dan habitual snoring. Spektrum mendengkur terdiri dari ringan hingga berat, yaitu primary snoring, upper airway resistance syndrome, obstructive hypoventilation, dan obstructive sleep apnea syndrome (OSAS). Pemeriksaan baku emas untuk membedakan spektrum mendengkur tersebut adalah polisomnografi (PSG), namun pemeriksaan ini belum merata di seluruh daerah. Sebagai alternatif, pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah poligrafi, pulse-oximetri, rekaman video, dan tape recorder. Faktor risiko utama OSAS pada anak adalah hipertrofi tonsil dan/atau adenoid, dengan demikian kecenderungan tata laksana saat ini adalah tonsiloadenoidektomi (TA). Sebelum tindakan TA, kortikosteroid intranasal, selama 4-8 minggu, dapat diberikan untuk menurunkan ukuran tonsil dan/atau adenoid. Indikasi TA adalah OSAS sedang dan berat pada anak, tonsilitis akut yang berulang, abses peritonsil, dan tersangka keganasan. Pada daerah dengan fasilitas terbatas, TA dapat dipertimbangkan pada habitual snoring yang tidak respons dengan pemberian kortikosteroid intranasal selama 8 minggu. Setelah dilakukan TA, pemantauan lebih lanjut perlu dilakukan untuk melihat proses catch up terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak
Faktor Risiko Obstructive Sleep Apnea pada Anak Sindrom Down​ Dewi Kartika Suryani; Bambang Supriyatno; Mulya Rahma Karyanti; Zakiudin Munasir; Sudung O. Pardede; Dina Muktiarti
Sari Pediatri Vol 20, No 5 (2019)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (125.055 KB) | DOI: 10.14238/sp20.5.2019.295-302

Abstract

Latar belakang. Sindrom Down merupakan kelainan kromosom tersering. Anak dengan sindrom Down (SD) di berbagai negara memiliki beberapa faktor risiko terhadap OSA dengan prevalensii antara 30%-60%, dibandingkan 0,7%-2% pada populasi umum. Hingga saat ini belum ada data mengenai OSA pada anak sindrom Down di Indonesia. Tujuan. Mengidentifikasi prevalensi OSA pada anak sindrom Down dan menganalisis hubungan antara habitual snoring, obesitas, penyakit alergi di saluran napas, hipertrofi tonsil, dan hipertrofi adenoid sebagai faktor risiko OSA pada anak sindrom Down. Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada anak sindrom Down berusia 3-18 tahun yang tergabung dalam Yayasan POTADS. Penelitian dilakukan di Poliklinik Respirologi IKA FKUI RSCM dari bulan Juli 2016 hingga Juli 2017. Penegakan diagnosis OSA menggunakan nilai batas AHI≥3 pada pemeriksaan poligrafi. Faktor- risiko yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat. Hasil. Penelitian dilakukan terhadap 42 subjek dengan hasil prevalensi OSA pada anak dengan SD 61,9%. Sebesar 42,9% merupakan OSA derajat ringan, 14,3% OSA sedang, dan 4,8% OSA berat. Pada analisis multivariat didapatkan faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring (p=0,022 dan PR 8,85; IK 1,37-57) dan hipertrofi adenoid (p=0,006 dan PR 12,93; IK 2,09-79). Kesimpulan. Prevalensi OSA pada anak sindrom Down sebesar 61,9%. Faktor risiko yang bermakna yaitu habitual snoring dan hipertrofi adenoid.
Terapi Inhalasi pada Asma Anak Bambang Supriyatno; Heda Melinda D Nataprawira
Sari Pediatri Vol 4, No 2 (2002)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (198.916 KB) | DOI: 10.14238/sp4.2.2002.67-73

Abstract

Pemberian obat pada asma dapat berbagai macamn cara yaitu parenteral, per oral, atauperinhalasi. Pemberian per inhalasi adalah pernberian obat secara langsung ke dalamsaluran nafas melalui penghisapan. Pernberian obat secara inhalasi mempunyai beberapakeuntungan yaitu obat bekerja langsung pada saluran nafas, onset kerjanya cepat, dosisobat yang digunakan kecil, serta efek samping yang minimal karena konsentrasi obat didalam darah sedikit atau rendah. Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yangsederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran nafas bawah,hanya sedikit yang tertinggal di saluran nafas atas serta dapat digunakan oleh anak,orang cacat atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapaidengan adanya beberapa keuntungan dan kerugian masing-masing jenis alat terapiinhalasi. Terapi inhalasi dapat diberikan dengan inhaler dosis terukur (metered doseinhaler=MDI), MDI dengan bantuan spacer, nebulizer, intermitten positive pressurebreathing, rotahaler, atau diskhaler. Jenis terapi inhalasi di atas mempunyai keuntungandan kerugian masing-masing. Keberhasilan terapi inhalasi ditentukan oleh indikasi, carapemilihan obat, jenis obat, dan cara pemberiannya. Pada asma anak, baik tatalaksanaserangan (Pereda, reliever) maupun tatalaksana jangka panjang (pengendali, controller)sangat dianjurkan penggunaan secara inhalasi. Penggunaan terapi inhalasi merupakanpilihan tepat pada asma karena banyak manfaat yang didapat seperti onset kerjanyacepat, dosis obat kecil, efek samping minimal, dan langsung mencapai target. Namundemikian, terapi inhalasi ini mempunyai beberapa kendala yaitu tehnik dan carapemberian yang kurang tepat sehingga masih banyak yang tidak menggunakannya.Dengan mengetahui hal di atas diharapkan pengobatan asma mencapai kemajuan yangcukup berarti.
Perbandingan Pediatric Early Warning Score dengan Nursing Early Warning Score System dalam Mengidentifikasi Deteriorasi Klinis Pasien Anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Rismala Dewi; Iqbal Zein Assyidiqie; Bambang Supriyatno
Sari Pediatri Vol 21, No 6 (2020)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp21.6.2020.333-8

Abstract

Latar belakang. Berbagai macam metode dapat digunakan untuk menilai deteriorasi klinis pasien anak yang masuk di rumah sakit. Skor nursing early warning scoring system (NEWSS) merupakan skor penilaianyang dimodifikasi dari penilaian dewasa, sedangkan pediatric early warning score (PEWS) dikembangkan khusus untuk menilai pasien anak. Penggunaan PEWS untuk mengevaluasi derajat perburukan klinis pasien anak beberapa jam sebelum pasien jatuh pada kondisi kritis. Hingga saat ini, penelitian dan penggunaan skor PEWS masih belum terlalu banyak di Indonesia.Tujuan. Membandingkan skor PEWS dan NEWSS dalam mengidentifikasi deteriorasi klinis pada pasien anak di rumah sakit.Metode. Penelitian dilakukan dengan desain uji potong lintang pada pasien anak yang masuk ke instalasi gawat darurat RSCM sejak bulan November 2019-Januari 2020. Pengambilan subjek secara consecutive sampling dengan kriteria inklusi usia anak 0-18 tahun dan skor NEWSS . Hasil. Diperoleh 81 subjek yang memenuhi kriteria. Sebagian besar dari subjek berjenis kelamin laki (58%), rentang usia toddlers (1-3 tahun) (27%), dengan kasus infeksi sebagai diagnosis pasien terbanyak (53,1%). Sebagian besar pasien juga datang akibat masalah respirasi (31%). Didapatkan skor PEWS berhubungan erat dengan kejadian deteriorasi klinis pasien anak. Seluruh pasien dengan skor PEWS >7 mengalami perburukan klinis. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sensitivitas PEWS lebih baik dibandingkan dengan NEWSS (0,80; 95% CI 0,66-0,90 vs 0,58; 95% CI 0,44-0,72) dan kedua sistem skor memiliki spesifisitas yang sama baiknya (0,93 95% CI 0,77-0,99 vs 0,96; 95% CI 0,82-0,99).Kesimpulan. Kemampuan PEWS lebih baik untuk mendeteksi deteriorasi klinis pada pasien anak bila dibandingkan dengan NEWSS.
Gambaran Uji Fungsi Paru pada Diabetes Melitus Tipe 1 Usia 8-18 Tahun Irlisnia Irlisnia; Bambang Supriyatno; Bambang Tridjadja; Endang Windiastuti
Sari Pediatri Vol 17, No 4 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp17.4.2015.241-8

Abstract

Latar belakang. Uji fungsi paru dapat membedakan kelainan paru obstruktif, restriktif atau campuran antara obstruktif dn restriktif. Namun demikian, sampai saat ini belum ada penelitian tentang dampak DMT1 terhadap paru di Indonesia.Tujuan. Mengetahui gambaran uji fungsi paru pada pasien DMT1 usia 8-18 tahun.Metode. Penelitian potong lintang dilakukan di Poliklinik Endokrinologi dan Respirologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), serta Laboratorium Prodia pada bulan Januari 2015.Wawancara orangtua dilakukan dan data kadar HbA1c dalam rentang satu tahun terakhir diambil dari rekam medis atau berdasarkan hasil pemeriksaan sebelumnya. Uji fungsi paru dilakukan tiga kali dan diambil salah satu hasil yang terbaik. Kemudian darah subjek diambil untuk pemeriksaan kadar HbA1c dengan metode cation-exchange high pressure liquod chromatography (HPLC).Hasil. Terdapat 35 subjek, terdiri atas 68,6% perempuan. Rerata usia 14±2,7 dan median durasi DM 4 tahun (1,3-10,2). Rerata parameter FEV1  86,8%±14%, FVC 82,7%±12% dan V 25 83,1% ± 26,2%. Median FEV1 /FVC 92,4% (77,6-100) dan V 50 91,5% (41,1-204). Fungsi paru normal dan terganggu didapatkan 19 (54,3%) dan 16 (45,7%) subjek, terdiri atas 10 (28,6%) gangguan restriktif, 2 (5,7%) obstruktif dan 4 (11,4%) subjek campuran. Rerata HbA1c dalam 1 tahun terakhir pada subjek dengan gangguan restriktif 10,3%.Kesimpulan.Nilai parameter uji fungsi paru pasien DMT1 usia 8-18 tahun masih dalam batas normal. Gangguan fungsi paru didapatkan 16 (45,7%) subjek dengan gangguan restriksi terbanyak 10 (28,6%) subjek
Efektifitas Pemberian Proton Pump Inhibitor pada Bayi dan Anak dengan Laringomalasia Riza Sahyuni; Bambang Supriyatno; Syahrial MH; Aria Kekalih
Sari Pediatri Vol 18, No 6 (2017)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp18.6.2017.459-67

Abstract

Latar belakang. Laringomalasia merupakan kondisi kelemahan struktur supraglotis yang menimbulkan gejala stridor. Umumnya, penyakit penyerta laringomalasia adalah refluks laringofaring (RLF). Pemberian omeperazol dapat memperbaiki gejala regurgitasi dan stridor serta memperpendek durasi perjalanan alamiah laringomalasia.Tujuan. Mengetahui efektifitas omeperazol pada bayi dan anak dengan laringomalasia.Metode. Uji pre-post experimental pada 42 subyek yang mendapat omeperazol 2x2 mg/kg/bb selama 3 bulanHasil. Pemberian omeperazol pada laringomalasia dengan gejala berat, 58,8% mengalami perbaikan. Pemberian omeperazol pada laringomalasia dengan RLF positif, 58,3% mengalami perbaikan. Tampak perbaikan bermakna secara statistik pada perbandingan nilai awal dan akhir reflux finding score (RFS) dan laringomalacia score symptom (LSS)Kesimpulan. Prevalensi RLF positif berdasar RFS menurut Belafsky adalah 24,6% dan berdasar LSS dengan gejala berat adalah 44,6%. Efektifitas pemberian omeperazol selama 3 bulan terbukti efektif pada perbaikan nilai LSS, RFS dan status gizi.
Co-Authors Adhi Teguh Perma Iskandar Ahmad Kautsar Ahmad Syafiq Alan R Tumbelaka Amir S. Madjid, Amir S. Anisa Rahmadhany Antonius H. Pudjiadi Aria Kekalih Arwin AP Akib Bambang Madiyono Bambang Tridjadja Bina Akura Chozie, Novie A. Damayanti R. Syarif Damayanti Rusli Sjarif Darmawan B Setyanto Darmawan B. Setyanto Desy Dewi Saraswati Dewi I. Santoso Dewi Kartika Suryani Dewi Sukmawati Dewi Wulandari Dina Medina Dina Muktiarti, Dina Djajadiman Gatot Djer, Mulyadi Muhammad Eka Laksmi Hidayati, Eka Laksmi Ellen P. Gandaputra Endang Windiastuti Evita KB Ifran Faisal Yunus Finny Fitry Yani Fiolita I. Sutjipto Gunanti . Hanifah Oswari Hartono Gunardi Hartono Gunardi Heda Melinda D Nataprawira Heriandi Sutadi I Gusti Lanang Sidiartha I. Boediman Ida Bagus Subanada IGAN Partiwi Ika Karlina Idris Ina Rochayati Ina Susianti Timan Ina Susianti Timan Iqbal Zein Assyidiqie Irlisnia Irlisnia Irma Sapriani Iskandar, Adhi Teguh Perma Joedo Prihartono Joedo Prihartono Jose RL Batubara Kautsar, Ahmad Laila, Dewi S. Lisa Adhia Garina Mardjanis Said Matahari Harumdini Mulya Rahma Karyanti, Mulya Rahma Mulyadi M. Djer Mulyadi M. Djer Mulyadi M. Djer Munar Lubis Muzal Kadim Najib Advani Najib Advani Najib Advani Nalapraya , Widhy Yudistira Nani Nurhaeni Nastiti Kaswandani Nastiti N Rahajoe Nastiti N. Rahajoe Nia Kurniati Nia Kurniati Noenoeng Rahajoe Nyimas Heny Purwati Oke Rina Ramayani Partini Pudjiastuti Trihono Perdana, Andri Permatasari, Ruth K. Rahmadhany, Anisa Rini Andriani Rini Andriani Rini Andriani Rini Asterina Rini Sekartini Risma Kerina Kaban Risma Kerina Kaban, Risma Kerina Rismala Dewi Riza Sahyuni Rusmala Deviani Rusmala Deviani Santoso, Dewi Irawati Soeria Sjawitri P Siregar Sri R.S. Hadinegoro Sudigdo Sastroasmoro Sudung O Pardede, Sudung O Sudung Oloan Pardede Suhendro Sukman Tulus Putra Sutjipto, Fiolita Indranita Syahrial MH Tetty Yuniarti Tetty Yuniati Wahyuni Indawati Yeni Rustina Yeni Rustina Yovita Ananta Zakiudin Munasir