Sri Mulatsih
Department Of Child Health, Faculty Of Medicine, Public Health And Nursing, Universitas Gadjah Mada/Dr. Sardjito General Hospital, Yogyakarta, Central Java

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Risk factors in childrenwith platelet refractoriness Jonliberti Purba; Sri Mulatsih; Neti Nurani; Teguh Triyono
Journal of the Medical Sciences (Berkala Ilmu Kedokteran) Vol 45, No 01 (2013)
Publisher : Journal of the Medical Sciences (Berkala Ilmu Kedokteran)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.51 KB) | DOI: 10.19106/JMedScie004501201305

Abstract

Platelet transfusions are often performed in pediatric patients. Nevertheless, platelet transfusion has its own risk and it alsoincrease the cost of care. Therefore,its effectiveness needs to be evaluated. This study aimed to assess the clinical risk factors namely sepsis, splenomegaly, DIC, severe bleeding and the history of platelet transfusion in the incidence of refractory platelets. This was a case-control study conducted during the period of August 2010 to September 2011.From a total of 1403 cases of transfusion, there were 86 incidences of refractory and 86 of nonrefractory. From the bivariate analysis, it was obtained that sepsis [OR 5.91 (2.90-12.05)], p = 0.000], splenomegaly [OR 2.82 (1.32-6.04.12), p = 0006] heavy bleeding [OR 8:41 (4.19-16.871), p = 0.000 ], DIC [OR 22.96 (6.73-78.35), p = 0.000] and the history of platelet transfusions [OR 5:33 (2.78-10.23), p = 0.000] increase the risk of refractory platelets. On multivariate analysis, sepsis (OR 2.96 [95% CI: 1:19 to 7:32], p = 0019), splenomegaly (OR 3.94 [95% CI: 2:21 to 16:00], p = 0.000), severe bleeding (OR 3:53 [95% CI : 1.40-8.89], p = 0.008), DIC (5:54 OR [95% CI: 1.29-22.75], p = 0021) and platelet transfusion the history (OR 2.84 [95% CI: 2.74-9.77], p = 0.001) were the independent risk factors for the occurrence of children refractory. In conclusion, sepsis, splenomegaly, severe bleeding, DIC, andthe history of platelet transfusion are the risk factors in pediatric patients refractory platelets. ABSTRAKTransfusitrombositseringdilakukanpadapasienanak.Transfusitrombositsendirimemilikirisikoterhadappasiendanmenambahbiayaperawatan, sehinggaperludievaluasiefektifitasnya.Menilaifaktorrisikoklinisyakni sepsis, splenomegali, DIC, pendarahanberatdanriwayattransfusitrombositterhadapkejadianrefraktertrombosit.Penelitianinimerupakanpenelitiankasuskontroluntukmenilaifaktorrisikoterjadinyarefraktertrombositseperti sepsis, DIC, splenomegali, pendarahanberat, riwayattransfusitrombosit.SelamaperiodeAgustus 2010 sampai September 2011 terdapat 1403 kasustransfusi, darikeseluruhankasustersebutdiambil 86 kejadianrefrakterdan 86 non refrakter. bivariatdidapatkan sepsis [OR 5.91 (2.90-12.05)], p = 0.000], splenomegali [OR 2.82 (1.32- 6.04.12), p = 0.006] pendarahanberat [OR 8.41(4.19-16.871), p = 0.000], DIC [OR 22.96 (6.73- 78.35), p = 0.000] riwayattransfusitrombosit [OR 5.33(2.78-10.23), p = 0.000] meningkatkanrisikorefraktertrombosit. Padaanalisismultivariat sepsis (OR 2.96 [95%IK; 1.19-7.32], p = 0.019), splenomegali (OR 3.94 [IK 95%;2.21-16.00], p = 0.000), pendarahanberat (OR 3.53 [95% IK; 1.40-8.89], p = 0.008), DIC (OR 5.54 [95% IK; 1.29-22.75], p =0.021) danriwayattransfusitrombosit(OR 2.84 [95% IK; 2.74-9.77], p =0.001) merupakanfaktorrisikoindependenterjadinyarefrakterpadaanak. Sepsis, splenomegali, pendarahanberat, DIC danriwayattransfusitrombositmerupakanfaktorrisikoterjadinyarefraktertrombositpadapasienanak.
Karakteristik Klinis Pasien Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan Fusi Gena TELAML1, BCR-ABL, dan E2A-PBX1 Sri Mulatsih; Sutaryo Sutaryo; Sunarto Sunarto; Allen Yeoh; Yeow Liang; Sofia Mubarika
Sari Pediatri Vol 11, No 2 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.2.2009.118-123

Abstract

Latar belakang. Leukemia limfoblastik akut (LLA) pada anak merupakan penyakit yang heterogen. Berdasarkangambaran selular dan molekular, LLA mempunyai beberapa subtipe yang berbeda. Fusi gena palingsering pada LLA anak adalah TEL-AML1, BCR-ABL, E2A-PBX1, dan MLL-AF4.Tujuan. Mengetahui profil klinis pasien LLA dengan fusi gena TEL-AML1, BCR-ABL, E2A-PBX1.Metode. Studi cross sectional, untuk menganalisis profil fusi gena digunakan metode nested reverse-transcriptasepolymerase chain reaction (RT-PCR).Hasil.Tidak ditemukan perbedaan dalam hal karakteristik klinis seperti jenis kelamin, usia, jumlah leukosit,kelompok risiko, dan tipe LLA diantara pasien LLA dengan fusi gena TEL-AML1 dan E2A-PBX1 (p>0,05).Fusi gena BCR-ABL tipe LLA lebih banyak terjadi pada kelompok pasien dengan leukosit awal >50.000/uLdibanding kelompok yang mempunyai leukosit awal <50.000/uL (p=0,031). Tidak ada perbedaan dalam haljenis kelamin, usia, kelompok risiko dan tipe LLA diantara pasien LLA dengan gena BCR-ABL (p>0,05).Kesimpulan. Karakteristik klinis pasien dengan fusi gena TEL-AML1, BCR-ABL, E2A-PBX1 adalah sama,kecuali pada kelompok pasien dengan jumlah leukosit >50.000/uL lebih banyak terjadi pada pasien denganfusi gena BCR-ABL.
Kejadian dan Tata Laksana Mukositis pada Pasien Keganasan di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Sri Mulatsih; Sri Astuti; Yuliani Purwantika; Julie Christine
Sari Pediatri Vol 10, No 4 (2008)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (104.72 KB) | DOI: 10.14238/sp10.4.2008.230-5

Abstract

Latar belakang. Salah satu penyakit keganasan yang banyak diderita pada anak adalah leukemia, mencapai30%-40% dari seluruh penyakit keganasan. Kemoterapi yang diberikan pada pasien leukemia dapat merusaksel-sel yang mempunyai aktivitas proliferasi berlebih, seperti sumsum tulang dan sel epitel mukosa mulutsehingga menyebabkan depresi sumsum tulang dan mukositis. Prevalensi mukositis yang terjadi pada pasienkeganasan sekitar 30% - 39%.Tujuan. Mengetahui apakah pengobatan mukositis yang telah diberikan di INSKA RSUP dr. Sardjito Yogyakartacukup efektif serta untuk memberikan rekomendasi tata laksana mukositis berdasarkan bukti ilmiah.Metode. Data mukositis diambil secara cross-sectional dengan observasi pada pasien keganasan yang mendapatkemoterapi di INSKA RSUP dr. Sardjito dan sudah mendapatkan perawatan nistatin drop dan triamsinolonorabase. Observasi dilakukan selama enam hari sejak tanggal 14 sampai dengan 20 juni 2007.Hasil. Dari 33 pasien keganasan yang diamati dijumpai 10 anak (30,3%) menderita mukositis dan 4 anak(12,12%) menderita kandidiasis.Kesimpulan. Perawatan mukositis dengan pemberian Candistin drop dan kenalog oral base pada pasienkeganasan di INSKA RS dr. Sardjito belum dapat disimpulkan efektivitasnya karena waktu pengamatanyang singkat. Penelitian akan dilanjutkan dengan pengamatan secara longitudinal dan dilakukan perawatanmukositis sesuai protokol perawatan gigi dan mulut sebelum, selama dan sesudah kemoterapi.
Prevalensi Tanda dan Gejala serta Keterlibatan Tim Multidispliner dalam Perawatan Paliatif Pasien Leukemia Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Samalalita Rahmatina; Sri Mulatsih; Eggi Arguni; Sudadi Sudadi
Sari Pediatri Vol 23, No 3 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.3.2021.185-90

Abstract

Latar belakang. Perawatan paliatif pada anak masih jarang diteliti terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu kategori pasien yang memerlukan perawatan paliatif adalah anak dengan kanker. Leukemia merupakan kanker dengan prevalensi terbesar pada anak.Tujuan. Mengetahui karakteristik, prevalensi tanda dan gejala, serta keterlibatan tim multidispliner dalam perawatan paliatif pasien leukemia anak di RSUP Dr. Sardjito.Metode. Desain penelitian adalah cross sectional menggunakan data sekunder berupa rekam medis pasien berusia kurang dari 18 tahun yang didiagnosis leukemia pada tahun 2015 di RSUP Dr. Sardjito.Hasil. Empat puluh enam pasien anak dengan leukemia dianalisis. Sebanyak 34 pasien merupakan pasien leukemia limfoblastik akut (LLA) dan 12 sisanya merupakan pasien leukemia mieloblastik akut (LMA), 20 pasien berusia berusia 1-4 tahun, dan 26 pasien berjenis kelamin perempuan. Sepuluh pasien meninggal, 18 pasien sembuh atau telah selesai menjalani terapi, dan 18 pasien lainnya tanpa keterangan sehingga disimpulkan masih menjalani terapi. Tanda dan gejala dengan prevalensi tertinggi adalah demam (40 pasien), nyeri (38 pasien), mual (32 pasien), dan muntah (27 pasien). Fase induksi memiliki prevalensi tanda dan gejala tertinggi dibanding fase lainnya. Tiga kelompok tenaga kesehatan yang selalu terlibat dalam perawatan paliatif adalah residen anak/dokter spesialis anak/konsultan onkologi anak, perawat, dan dokter spesialis anestesi.Kesimpulan. Fase induksi memiliki prevalensi tanda dan gejala tertinggi dibanding fase lain sehingga memerlukan perawatan paliatif suportif lebih banyak. 
Luaran Terapi Pasien Leukemia Limfoblastik Akut dengan Leukosit ≥ 50.000/μL di RSUP DR. Sardjito Februari 1999 - Februari 2009 Wahyu Budiyanto; Sri Mulatsih; Sutaryo Sutaryo
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.465 KB) | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.410-6

Abstract

Latar belakang. Jumlah leukosit yang tinggi (≥50000/μL) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya tumor lysis syndrome (TLS) yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Tumor lysis syndrome merupakan salah satu kegawatan pada leukemia limfoblastik akut (LLA).Tujuan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui luaran (outcome) dan prognosis LLA dengan leukosit ≥50000/μL.Metode. Penelitian rancang bangun kohort retrospektif dilakukan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP DR. Sardjito yang melibatkan semua pasien LLA dengan jumlah leukosit ≥ 50.000/μL sejak Februari 1999 sampai Februari 2009. Luaran yang dinilai yaitu kriteria laboratorium TLS, klinik TLS, dan kematian.Hasil. Pasien LLA dengan jumlah leukosit ≥50000/μL sebanyak 115 kasus diikutkan dalam penelitian ini. Insiden laboratorium TLS 5,2% (6 pasien). Tidak didapatkan kasus klinisTLS. Kematian pasien dengan laboratorium TLS 66,7% (4 pasien). Pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL yang mengalami TLS mempunyai risiko kematian sebesar OR 2 (KI 95% 0,32-12,51). Persentasi kematian pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL, 56,6% (65 pasien). Faktor prognosis terhadap kematian, leukosit ≥100000/μL OR 1,918 (IK 95% 0,778-4,730), asam urat ≥8 mg/dL OR 1,909 (IK 95% 0,431-8,463), fosfat ≥4,5 mg/dL OR 1,5 (IK 95% 0,106-21,312) dan kreatinin ≥1,4 mg/dL OR 1,362 (IK 95% 0,142-13,096).Kesimpulan. Insidens TLS pada pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL, 5,2% (6 pasien) dari 115 pasien. Mortalitas pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL, 56,5%. Secara klinis ada kecenderungan kejadian kematian lebih tinggi pada pasien LLA dengan leukosit ≥100.000/μL, asam urat ≥8 mg/dL, fosfat ≥ 4,5 mg/dL dan kreatinin >1,4 mg/dL.
Pengaruh Transfusi Trombosit Terhadap Terjadinya Perdarahan Masif pada Demam Berdarah Dengue Krisnanto Wibowo; Mohammad Juffrie; Ida S. Laksanawati; Sri Mulatsih
Sari Pediatri Vol 12, No 6 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp12.6.2011.404-8

Abstract

Latar belakang. Perdarahan masif merupakan salah satu komplikasi dan berhubungan dengan mortalitasyang tinggi pada demam berdarah dengue (DBD). Pemberian transfusi trombosit pada DBD merupakanterapi suportif yang memberikan efek terapi bila diberikan sesuai dengan indikasi yang tepat. Kegunaantransfusi trombosit masih kontroversial.Tujuan. Mengetahui pengaruh pemberian transfusi trombosit terhadap terjadinya perdarahan masif padaDBD.Metode. Penelitian merupakan penelitian kasus kontrol. Pasien dengan diagnosis DBD sesuai kriteria WHOyang dirawat di instalasi kesehatan anak RSUP Dr.Sardjito tahun 2006-2009 diteliti dari rekam medis. Kasusadalah pasien dengan perdarahan masif, sedangkan kontrol adalah pasien dengan perdarahan tidak masif.Hasil. Sepanjang tahun 2006-2009 terdapat 852 kasus DBD, terdiri dari 443 laki-laki (52%), 409 perempuan(48%), dan 35,7% adalah pasien DBD derajat II. Perdarahan masif terjadi pada 97 kasus (11%) yaituhematemesis 45 (46,4%), melena 20 (20,6%), hematemesis-melena 25 (25,8%), dan koagulasi intravaskulardiseminata 7 (8,2%). Perdarahan masif terbanyak terjadi pada jumlah trombosit <20.000/μL. Sebanyak67 pasien (7,8%) mendapat transfusi trombosit, 23 pada kelompok kasus dan 44 pada kelompok kontrol.Tidak ada perbedaan bermakna terjadinya perdarahan masif pada kedua kelompok tersebut (rasio odds1,39; interval kepercayaan 95% 0,79-2,45; p=0,29).Kesimpulan. Terjadinya perdarahan masif tidak dipengaruhi oleh transfusi trombosit.
Petanda Imunofenotip CD10 Sendiri Atau Bersama CD3 Atau CD13/CD33 sebagai Faktor Prognosis Luaran Terapi Fase Induksi Leukemia Limfoblastik Akut Anak Eggi Arguni; Sasmito Nugroho; Sri Mulatsih; Sutaryo -
Sari Pediatri Vol 19, No 5 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp19.5.2018.260-6

Abstract

Latar belakang. Kegagalan terapi masih menjadi penyumbang terbesar bagi mortalitas anak dengan leukemia limfoblastik akut (LLA). Ekspresi CD10 menentukan diferensiasi sebagian besar leukemia sel B. Petanda imunofenotip untuk LLA sel T, yaitu CD3, dan myeloid antigen, yaitu CD13/CD33, dengan jumlah kecil juga terekspresi pada B-ALL. Tujuan. Mengetahui pengaruh ekspresi CD10 sendiri atau bersama dengan CD3 atau CD13/CD33 terhadap luaran terapi fase induksi LLA anak.Metode. Desain penelitian menggunakan nested case-control. Sampel penelitian merupakan pasien LLA anak yang baru terdiagnosis di INSKA RSUP Dr Sardjito Yogyakart Januari 2006-Desember 2009, dilengkapi pemeriksaan imunofenotip saat penegakan diagnosis. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menentukan faktor prognosis independen terhadap luaran terapi. Hasil. Seratus enam puluh tujuh pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Faktor usia dan ekspresi CD10 merupakan faktor prognosis independen yang menentukan luaran terapi fase induksi. Kelompok usia <1 tahun dan >10 tahun akan mengalami gagal remisi (OR 3,1; IK95%: 1,271-7,625; p=0,013), dan LLA anak dengan CD10 negatif akan mengalami gagal remisi 2,7 kali lebih tinggi dibanding CD10 positif (IK95%: 1,171-6,232; p=0,020). Kesimpulan. CD10 negatif merupakan faktor prognosis independen terhadap kejadian gagal remisi. Ekspresi imunofenotip CD10 bersama CD3 dan CD13/CD33, bukan merupakan faktor prognosis bagi luaran terapi fase induksi. 
Pemahaman Perawat Mengenai Medication Safety Practice (MSP) di Bangsal Perawatan Kanker Anak RSUP Dr. Sardjito Sri Mulatsih; Iwan Dwiprahasto; Sutaryo Sutaryo
Sari Pediatri Vol 17, No 6 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.72 KB) | DOI: 10.14238/sp17.6.2016.463-8

Abstract

Latar belakang. Prosedur aman pemberian obat (medication safety practice/MSP), khususnya kemoterapi, dari sudut pandangmanajemen sangat penting dikaji dengan harap luaran yang lebih baik pada pasien kanker anak.Tujuan. Mengetahui pemahaman perawat terhadap MSP pada pemberian kemoterapi untuk pasien kanker anak dengan LLA diRSUP Dr. SardjitoMetode. Dilakukan penelitian dengan rancang bangun pra dan pasca kuasi eksperimental. Subjek adalah perawat yang melakukanpelayanan pasien kanker anak. Intervensi berupa sosialisasi kebijakan, buku panduan, dan pelatihan MSP. Diukur luaran tingkatpemahaman perawat sebelum dan sesudah intervensi dengan menggunakan kuesioner.Hasil. Tidak ada perbedaan karakteristik subjek (24 pra dan 23 pasca intervensi). Dibandingkan pra intervensi, pada pasca intervensididapatkan peningkatan jumlah perawat yang mendapat materi MSP (82% vs 46%, p=0,027), pemahaman MSP (87% vs 42%),dan implementasi MSP (100% vs 71%, p=0,019). Pasca intervensi juga didapatkan peningkatan tindakan identifikasi pasien, prinsip6 benar cara pemberian obat, perencanaan pemberian dan peresepan kemoterapi sesuai protokol, penggunaan formulir pemesanandan peresepan obat kempoterapi yang standar, dan labelisasi obat kemoterapi yang standar.Kesimpulan. Pemahaman perawat mengenai MSP meningkat setelah dilakukan pelatihan dan sosialisasi buku pedoman. ImplementasiMSP mengalami peningkatan di beberapa jenis tindakan, namun masih diperlukan peningkatan pemahaman khususnya pengertianMSP dan jenis tindakan MSP. Diperlukan metoda pelatihan yang lebih spesifik untuk meningkatkan pemahaman MSP khususnyaperawat.
Macronutrient and calorie content in preterm and term human milk at first three week after delivery Dessy Shinta Murty; Hasriza Eka Putra; Sri Mulatsih; Neti Nurani; Tunjung Wibowo
Paediatrica Indonesiana Vol 59 No 3 (2019): May 2019
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.745 KB) | DOI: 10.14238/pi59.3.2019.130-8

Abstract

Background The macronutrients in human milk change dynamically and vary among mothers. Evaluation of macronutrient content in human milk is needed to improve nutritional management in preterm infants. Objective To measure the macronutrient content in preterm and full term human milk during three lactation periods in the first three weeks after delivery. Methods We conducted a prospective study among 80 mothers of infants who were hospitalized in the Department of Perinatology/NICU at Sardjito Hospital, Yogyakarta. Carbohydrate, fat, protein, and caloric content were measured using a MIRIS human milk analyzer, once per week for three consecutive weeks after delivery. A single, daytime human milk specimen was collected in the morning by directly expressing from the breast. Results Median protein, fat, carbohydrate, and caloric contents of mature milk in the preterm group were 1.40 (IQR 0.38), 3.25 (IQR 1.00), 5.70 (IQR 0.80) g/dL, and 60 kcal/dL, respectively. Median protein, fat, carbohydrate, and caloric contents of mature milk in the full term group were 1.40 (IQR 0.35), 3.30 (IQR 0.77), 5.80 (IQR 0.75) g/dL, and 62 kcal/dL, respectively, at the third week after delivery. In both groups, protein content in the first week was significantly higher than in the third week (P<0.001) after delivery. In contrast, fat content in the first week was significantly lower than in the third week (P< 0.05) after delivery, in both groups. Conclusions There are no significant differences in macronutrient and caloric content between preterm and full term human milk during the first three weeks after delivery. However, there are significant changes in fat and protein content in both preterm and full term human milk during early lactation, between the first and third weeks.
Factors associated with insulin-like growth factor-1 in children with thalassemia major Muhammad Riza; Sri Mulatsih; Rina Triasih
Paediatrica Indonesiana Vol 59 No 2 (2019): March 2019
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (292.514 KB) | DOI: 10.14238/pi59.2.2019.72-8

Abstract

Background Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) deficiency is the major cause of growth disorders and delayed puberty in children with thalassemia. Hence, identifying factors contributing to IGF-1 deficiency in thalassemia is of importance. Objectives To evaluate the correlation between IGF-1 level and nutritional status, ferritin level, pre-transfusion hemoglobin, thyroid, as well as alanine transaminase level. Methods We conducted a study in children aged 2 to 18 years with thalassemia major who visited outpatient clinics at two hospitals in Indonesia, Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta and Dr. Moewardi Hospital, Surakarta, Central Java, from July to December 2015. Clinical, laboratory, and demographic data were reviewed from medical records. IGF-1 levels were measured using an immunochemiluminiscent method. Results A total of 48 children were recruited into the study. Subjects mean IGF-1 level was 109.28 ng/mL (SD 90.26) ng/mL. Seventy-five percent of the children had IGF-1 level < -2SD. Subjects mean ferritin, pre-transfusion hemoglobin and ALT levels were 3.568 (SD 2131.31) ng/mL; 7.97 (SD 0.85) g/dL and 49.7 (SD 43.1), respectively. Most of the children (91.7%) was eutyroid, with a mean of TSH and FT4 level was 2.7 (SD 1.5) nmol/L and 12.3 (SD 7.1) μIU/ml, respectively. Ferritin level had no significant correlation with IGF-1 level (r=-0.794; P=0.431). However, a strong, positive correlation was documented between pre-transfusion hemoglobin level and IGF-1 level (r=2.380; P=0.022). Multivariate linear regression analysis revealed that factors with significant correlations to IGF-1 level were pre-transfusion hemoglobin level <8 g/dL (β=-0.090; 95%CI -0.002 to 0.182; P=0.056) and undernutrition (β=0.077; 95%CI 0.045 to 0.109; P<0.001). Conclusion Low pre-transfusion hemoglobin level and undernutrition are significantly correlated to low IGF-1 level in children with thalassemia major.