Sutaryo Sutaryo
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogyakarta

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

IDENTIFICATION OF THE VIRUS DENGUE–3 EPITOPE’S IMMUNODOMINAN USING THE SYNTHETIC PEPTIDE Nirwati, Hera; ., Sutaryo; Wahyono, Djoko
Indonesian Journal of Pharmacy Vol 13 No 1, 2002
Publisher : Faculty of Pharmacy Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Skip Utara, 55281, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.512 KB) | DOI: 10.14499/indonesianjpharm0iss0pp26-33

Abstract

Dengue virus infection has been known as an important health problem in many tropical countries, because of increasing number of patients, expansion of epidemic areas and emergence of severe clinical manifestations. Dengue virus consists of 3 structural and 7 nonstructural proteins. The major virion surface protein, the envelope protein, is the most important antigen with regards to virus biology and humoral immunity. Synthetic peptide derived from the envelope protein gene sequence can be used to identify region of the envelope protein that elicits antibodies. One hundred and sixty-one synthetic peptides were synthesized based on sequence of protein envelope dengue-3 virus published by Osatomi and Sumiyoshi. Each peptide consists of 15 amino acids with the last 12 amino acids overlapped. Peptide synthesizer, auto-spot robot ASP 222 (Abimed), was used for synthesis using solid spot method developed by Ronald Frank. Synthetic peptides attached to nitrocellulose membrane were used for spot immunoassay of 6 normal human sera, 6 dengue infected human sera and  6 non dengue-infected. Nine peptides were specific for dengue infected sera and these might be candidate immunodominat epitopes of dengue virus-3. They were EGLSGATWVDVVLEH (amino acids number 13-27), VCKHTYVDRGWGNGC (91-105),SIEGKVVQHENLKYT (124-138), TVHTGDQHQVGNETQ (142-156), TLGLECSPPTGLDFN (178-192), KGEDAPCKIPFSTED (325-339), PFSTEDGQGKAHNGR (334-348), GARRMAILGDTAWDF (406-420) and KIGIGVLLTWIGLNS (454-468). Based on spot immunoassay, 11 peptides were synthesized and used them for ELISA of 15 normal sera, 22 non-dengue infected sera and 37 dengue sera. Peptides BTLDDIELQKTEATQLA, BPFSTEDGOGKAHNGR and BKKEEPV NIEAEPPFG showed significantly different in their reactivities to the three groups. Combinations of two peptides were used for ELISA. Only one of them (BKGEDAPOKIPFSPED and BRMAILGD TAWDFGSV) showed significantly different in their reactivi- ties to the three groupsKey words: synthetic peptide, envelope protein dengue-3, spot immunoassay
Comparing P-Selectin (CD62P) expression in patients receiving non-leukodepleted vs leukodepleted thrombocyte concentrates Teguh Triyono; Budi Mulyono; . Sutaryo; Abdul Salam Sofro
Journal of the Medical Sciences (Berkala Ilmu Kedokteran) Vol 49, No 3 (2017)
Publisher : Journal of the Medical Sciences (Berkala Ilmu Kedokteran)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (573.863 KB) | DOI: 10.19106/JMedSci004903201704

Abstract

Thrombocyte concentrate (TC) transfusion is an important supportive therapy in patients with thrombocytopenia. The risks in platelet transfusions may be related to the content of TC including the contaminant leukocytes. The aim of this study was to assess the risk of increased level of P-Selectin (CD62P) expression of non-leukodepleted TC transfusions.This was a quasi-experimental study. Subjects were children patients aged 1-18 years who received a non-leukodepleted or a leukodepleted TC transfusions. Comparison of the proportion of  increased expression of CD62P in both groups expressed as relative risk. The subjects consisted of 51 patients who received non-leukodepleted and 52 patients who received leukodepleted TC transfusions. The risk of increased expression of CD62P in patients receiving non-leukodepleted TC transfusions were 2.38 (95%CI:1.60-3.53) times higher than those who received leukodepleted TC. Non-leukodepleted have significant higher risks of increased CD62P expression than leukodepleted  TC transfusions.
Karakteristik Klinis Pasien Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan Fusi Gena TELAML1, BCR-ABL, dan E2A-PBX1 Sri Mulatsih; Sutaryo Sutaryo; Sunarto Sunarto; Allen Yeoh; Yeow Liang; Sofia Mubarika
Sari Pediatri Vol 11, No 2 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.2.2009.118-123

Abstract

Latar belakang. Leukemia limfoblastik akut (LLA) pada anak merupakan penyakit yang heterogen. Berdasarkangambaran selular dan molekular, LLA mempunyai beberapa subtipe yang berbeda. Fusi gena palingsering pada LLA anak adalah TEL-AML1, BCR-ABL, E2A-PBX1, dan MLL-AF4.Tujuan. Mengetahui profil klinis pasien LLA dengan fusi gena TEL-AML1, BCR-ABL, E2A-PBX1.Metode. Studi cross sectional, untuk menganalisis profil fusi gena digunakan metode nested reverse-transcriptasepolymerase chain reaction (RT-PCR).Hasil.Tidak ditemukan perbedaan dalam hal karakteristik klinis seperti jenis kelamin, usia, jumlah leukosit,kelompok risiko, dan tipe LLA diantara pasien LLA dengan fusi gena TEL-AML1 dan E2A-PBX1 (p>0,05).Fusi gena BCR-ABL tipe LLA lebih banyak terjadi pada kelompok pasien dengan leukosit awal >50.000/uLdibanding kelompok yang mempunyai leukosit awal <50.000/uL (p=0,031). Tidak ada perbedaan dalam haljenis kelamin, usia, kelompok risiko dan tipe LLA diantara pasien LLA dengan gena BCR-ABL (p>0,05).Kesimpulan. Karakteristik klinis pasien dengan fusi gena TEL-AML1, BCR-ABL, E2A-PBX1 adalah sama,kecuali pada kelompok pasien dengan jumlah leukosit >50.000/uL lebih banyak terjadi pada pasien denganfusi gena BCR-ABL.
Luaran Terapi Pasien Leukemia Limfoblastik Akut dengan Leukosit ≥ 50.000/μL di RSUP DR. Sardjito Februari 1999 - Februari 2009 Wahyu Budiyanto; Sri Mulatsih; Sutaryo Sutaryo
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.465 KB) | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.410-6

Abstract

Latar belakang. Jumlah leukosit yang tinggi (≥50000/μL) merupakan salah satu faktor risiko terjadinya tumor lysis syndrome (TLS) yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Tumor lysis syndrome merupakan salah satu kegawatan pada leukemia limfoblastik akut (LLA).Tujuan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui luaran (outcome) dan prognosis LLA dengan leukosit ≥50000/μL.Metode. Penelitian rancang bangun kohort retrospektif dilakukan di Instalasi Kesehatan Anak RSUP DR. Sardjito yang melibatkan semua pasien LLA dengan jumlah leukosit ≥ 50.000/μL sejak Februari 1999 sampai Februari 2009. Luaran yang dinilai yaitu kriteria laboratorium TLS, klinik TLS, dan kematian.Hasil. Pasien LLA dengan jumlah leukosit ≥50000/μL sebanyak 115 kasus diikutkan dalam penelitian ini. Insiden laboratorium TLS 5,2% (6 pasien). Tidak didapatkan kasus klinisTLS. Kematian pasien dengan laboratorium TLS 66,7% (4 pasien). Pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL yang mengalami TLS mempunyai risiko kematian sebesar OR 2 (KI 95% 0,32-12,51). Persentasi kematian pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL, 56,6% (65 pasien). Faktor prognosis terhadap kematian, leukosit ≥100000/μL OR 1,918 (IK 95% 0,778-4,730), asam urat ≥8 mg/dL OR 1,909 (IK 95% 0,431-8,463), fosfat ≥4,5 mg/dL OR 1,5 (IK 95% 0,106-21,312) dan kreatinin ≥1,4 mg/dL OR 1,362 (IK 95% 0,142-13,096).Kesimpulan. Insidens TLS pada pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL, 5,2% (6 pasien) dari 115 pasien. Mortalitas pasien LLA dengan leukosit ≥50000/μL, 56,5%. Secara klinis ada kecenderungan kejadian kematian lebih tinggi pada pasien LLA dengan leukosit ≥100.000/μL, asam urat ≥8 mg/dL, fosfat ≥ 4,5 mg/dL dan kreatinin >1,4 mg/dL.
Korelasi Kadar Timbal dalam Darah dengan Kadar Hemoglobin pada Anak Usia 1-6 tahun Hendra Purnasidha Bagaswoto; Sutaryo Sutaryo; Sasmito Nugroho
Sari Pediatri Vol 17, No 4 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp17.4.2015.297-301

Abstract

Latar belakang. Anak yang berusia kurang dari 6 tahun lebih rentan terpapar timbal. Timbal menghambat proses pembentukan hemoglobin dengan cara menghambat aktivitas enzim amino levulinic acid synthetase (ALAS), amino levulinic acid dehydratase (ALAD) dan ferrochelatase serta menghasilkan reactive oxygen substance (ROS) yang dapat menyebabkan hemolisis.Tujuan. Menentukan korelasi kadar timbal dalam darah dengan kadar hemoglobin pada anak usia 1-6 tahun.Metode. Penelitian cross-sectional dilaksanakan bulan Oktober-November 2012. Subjek, anak berusia 1-6 tahun yang bertempat tinggal di sekitar perempatan padat lalu lintas di daerah Gedongtengen, Pingit, dan Juminahan Yogyakarta. Kadar timbal dalam darah dianalisis dengan metode atomic absorption spectrophotometry (AAS) dan kadar hemoglobin dengan metode spektrofotometer. Analisis korelasi Spearman digunakan untuk menentukan korelasi antara kadar timbal dalam darah dengan kadar hemoglobin.Hasil. Sebanyak 65 anak diikutsertakan dalam penelitian dengan rerata usia 3 tahun 10 bulan. Kadar timbal dalam darah di dalam kisaran 0,01-10,67 μg/dL, dengan rerata 3,73 μg/dL. Enam anak (9%) mempunyai kadar timbal dalam darah tinggi menurut kriteria CDC dan AAP. Tidak ditemukan korelasi yang bermakna antara kadar timbal dalam darah dengan kadar hemoglobin (r=0,05; p=0,67).Kesimpulan. Kadar timbal dalam darah tidak memiliki korelasi dengan kadar hemoglobin pada anak usia 1-6 tahun.
Efektifitas Dukungan Sosial Dokter kepada Orangtua dalam Tata Laksana Anak Asma Fx. Wikan Indrarto; Sutaryo Sutaryo; Djauhar Ismail
Sari Pediatri Vol 11, No 4 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.4.2009.305-10

Abstract

Latar belakang. Salah satu keberhasilan tata laksana anak asma ditentukan oleh kebersamaan (partnership) yang terbentuk antara dokter dengan orangtua. Dalam kebersamaan tersebut, orangtua harus diberi dukungan sosial (social support) oleh dokter mencakup dukungan informasi, emosi, penghargaan (appraisal), dan alat bantu (instrumental) tentang asma.Tujuan. Menilai efektifitas pemberian dukungan sosial dokter kepada orangtua dalam tata laksana anak asma.Metode. Studi intervensi dengan desain kuasi eksperimental, dan interupted time-series design. Tempat penelitian di Klinik Anak RS Bethesda Yogyakarta selama bulan Juli-Desember 2008. Intervensi yang diteliti adalah pemberian dukungan sosial dokter di ruang praktek, kepada 82 orangtua dalam tata laksana anak asma. Pengaruh yang terjadi diukur, berdasarkan penilaian orangtua maupun dokter.Hasil. Pemberian dukungan sosial dokter di ruang praktek, tidak berhubungan dengan perbaikan gejala klinis anak asma, berdasarkan penilaian orangtua (OR=1,01; IK 95% 0,57-2,10) maupun penilaian dokter (OR=1,02; IK 95% 0,79-2,21) dan perbaikan kualitas hidup menurut orangtua (OR=1,03; IK 95% 0,46-3,12). Dukungan penghargaan kepada orangtua oleh dokter merupakan dukungan sosial yang paling memberikan kepuasan kepada orangtua (p<0,05).Kesimpulan. Pemberian dukungan sosial dokter tidak berhubungan dengan keberhasilan tata laksana anak asma. Kepuasan orangtua akan pemberian dukungan sosial dokter, terutama diperoleh dari jenis dukungan penghargaan.
Petanda Imunofenotip CD10 Sendiri Atau Bersama CD3 Atau CD13/CD33 sebagai Faktor Prognosis Luaran Terapi Fase Induksi Leukemia Limfoblastik Akut Anak Eggi Arguni; Sasmito Nugroho; Sri Mulatsih; Sutaryo -
Sari Pediatri Vol 19, No 5 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp19.5.2018.260-6

Abstract

Latar belakang. Kegagalan terapi masih menjadi penyumbang terbesar bagi mortalitas anak dengan leukemia limfoblastik akut (LLA). Ekspresi CD10 menentukan diferensiasi sebagian besar leukemia sel B. Petanda imunofenotip untuk LLA sel T, yaitu CD3, dan myeloid antigen, yaitu CD13/CD33, dengan jumlah kecil juga terekspresi pada B-ALL. Tujuan. Mengetahui pengaruh ekspresi CD10 sendiri atau bersama dengan CD3 atau CD13/CD33 terhadap luaran terapi fase induksi LLA anak.Metode. Desain penelitian menggunakan nested case-control. Sampel penelitian merupakan pasien LLA anak yang baru terdiagnosis di INSKA RSUP Dr Sardjito Yogyakart Januari 2006-Desember 2009, dilengkapi pemeriksaan imunofenotip saat penegakan diagnosis. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menentukan faktor prognosis independen terhadap luaran terapi. Hasil. Seratus enam puluh tujuh pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Faktor usia dan ekspresi CD10 merupakan faktor prognosis independen yang menentukan luaran terapi fase induksi. Kelompok usia <1 tahun dan >10 tahun akan mengalami gagal remisi (OR 3,1; IK95%: 1,271-7,625; p=0,013), dan LLA anak dengan CD10 negatif akan mengalami gagal remisi 2,7 kali lebih tinggi dibanding CD10 positif (IK95%: 1,171-6,232; p=0,020). Kesimpulan. CD10 negatif merupakan faktor prognosis independen terhadap kejadian gagal remisi. Ekspresi imunofenotip CD10 bersama CD3 dan CD13/CD33, bukan merupakan faktor prognosis bagi luaran terapi fase induksi. 
Pemahaman Perawat Mengenai Medication Safety Practice (MSP) di Bangsal Perawatan Kanker Anak RSUP Dr. Sardjito Sri Mulatsih; Iwan Dwiprahasto; Sutaryo Sutaryo
Sari Pediatri Vol 17, No 6 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.72 KB) | DOI: 10.14238/sp17.6.2016.463-8

Abstract

Latar belakang. Prosedur aman pemberian obat (medication safety practice/MSP), khususnya kemoterapi, dari sudut pandangmanajemen sangat penting dikaji dengan harap luaran yang lebih baik pada pasien kanker anak.Tujuan. Mengetahui pemahaman perawat terhadap MSP pada pemberian kemoterapi untuk pasien kanker anak dengan LLA diRSUP Dr. SardjitoMetode. Dilakukan penelitian dengan rancang bangun pra dan pasca kuasi eksperimental. Subjek adalah perawat yang melakukanpelayanan pasien kanker anak. Intervensi berupa sosialisasi kebijakan, buku panduan, dan pelatihan MSP. Diukur luaran tingkatpemahaman perawat sebelum dan sesudah intervensi dengan menggunakan kuesioner.Hasil. Tidak ada perbedaan karakteristik subjek (24 pra dan 23 pasca intervensi). Dibandingkan pra intervensi, pada pasca intervensididapatkan peningkatan jumlah perawat yang mendapat materi MSP (82% vs 46%, p=0,027), pemahaman MSP (87% vs 42%),dan implementasi MSP (100% vs 71%, p=0,019). Pasca intervensi juga didapatkan peningkatan tindakan identifikasi pasien, prinsip6 benar cara pemberian obat, perencanaan pemberian dan peresepan kemoterapi sesuai protokol, penggunaan formulir pemesanandan peresepan obat kempoterapi yang standar, dan labelisasi obat kemoterapi yang standar.Kesimpulan. Pemahaman perawat mengenai MSP meningkat setelah dilakukan pelatihan dan sosialisasi buku pedoman. ImplementasiMSP mengalami peningkatan di beberapa jenis tindakan, namun masih diperlukan peningkatan pemahaman khususnya pengertianMSP dan jenis tindakan MSP. Diperlukan metoda pelatihan yang lebih spesifik untuk meningkatkan pemahaman MSP khususnyaperawat.
Thrombocytopenia in Dengue Hemorrhagic Fever Sunarto Sunarto; Sutaryo Sutaryo
Paediatrica Indonesiana Vol 32 No 3-4 (1992): March - April 1992
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.145 KB) | DOI: 10.14238/pi32.3-4.1992.75-83

Abstract

According to WHO thrombocytopenia is one of the diagnostic criteria of DHF. On the other hand many studies have reported DHF cases without evidence of thrombocytopenia. One hundred fifty nine DHF out of485 suspected cases were assessed for their platelet counts. Diagnosis of DHF was established based on the WHO criteria, and confirmed by the hemagglutination inhibition test. The platelet counts were done serially and intensively by phase contrast microscope from the first day of hospitalization until the patient's discharge. In 77 patients thrombocytopenia appeared for the first time during hospitalization. Mild thrombocytopenia appeared in almost all of these cases before thrombocyte count of 100,000 reached. Seventy two patients had shown thrombocytopenia on the day of admission. No thrombocytopenia was found on the second day of illness, the earliest time of the detection of thrombocytopenia was on the Jrri and the latest was on the 8th day of illness. Thrombocytopenia lasted 1-5 days. It is concluded that many DHF diagnosis would have been missed if the thrombocyte investigation had not been done serially and intensively. Mild thrombocytopenia in DHF suspected patients should call attention to do platelet investigation intensively in those cases.