Bambang Tridjaja AAP, Bambang Tridjaja
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 27 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

Sindrom Klinefelter Samuel Harmin; Bambang Tridjaja A. A. P
Sari Pediatri Vol 10, No 6 (2009)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp10.6.2009.373-7

Abstract

Sindrom Klinefelter (SK) merupakan kelainan akibat adanya kromosom seks tambahan (47,XXY) yang menyebabkan hipergonadotropik hipogonadisme, dan infertilitas. Penampilan pasien SK hampir tidak berbeda dengan mereka yang berkariotip normal, tanpa gejala klinis yang khas selama masa anak, sehingga diagnosis ditegakkan setelah usia remaja atau dewasa muda. Keterlambatan dalam penegakkan diagnosis dapat menyebabkan hilangnya kesempatan tata laksana untuk memperbaiki hipogonadisme, gangguan kognitif, dan faktor-faktor psikososial. Dilaporkan kasus anak laki-laki 13 tahun dengan keluhan ginekomastia. Pada pemeriksaan fisis ditemukan bentuk tubuh eunokoid, volume testis yang kecil dan teraba keras. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan kadar LH dan FSH, dengan kadar testosteron yang masih dalam rentang normal. Diagnosis SK ditegakkan melalui pemeriksaan analisis kromosom dengan hasil 47, XXY.
Krisis Adrenal pada Bayi dengan Hiperplasia Adrenal Kongenital Suri Nurharjanti H; Bambang Tridjaja
Sari Pediatri Vol 9, No 3 (2007)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (95.044 KB) | DOI: 10.14238/sp9.3.2007.191-5

Abstract

Krisis adrenal adalah suatu kondisi yang terjadi akibat kegagalan kelenjar adrenal memproduksi hormonglukokortikoid dan/atau mineralokortikoid secara normal. Gejala krisis adrenal pada bayi tidak spesifik,namun diagnosis dini dan tata laksana yang tepat akan menentukan prognosis pasien. Kasus adalah By &,19 hari datang dengan keluhan tangan dan kaki dingin, keringat dingin di kepala, tidak menangis dankelihatan lemah sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Terdapat riwayat kematian neonatal anaksebelumnya disertai ambigus genitalia. Pada pemeriksaan fisis ditemukan syok, sesak napas dan ambigusgenitalia (klitoromegali, fusi labio-skrotal dan tidak ditemukan testis). Pemeriksaan darah menunjukkanasidosis metabolik berat, hiponatremia dan hiperkalemia. Hasil analisis kromosom menunjukkan 46, XX.Kadar 17-hidroksi-progesteron 84 nmol/L (N: 0,5-6,5 nmol/L).
Pengobatan Testosteron pada Mikropenis Bambang Tridjaja; Jose RL Batubara; Aman Pulungan
Sari Pediatri Vol 4, No 2 (2002)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (113.99 KB) | DOI: 10.14238/sp4.2.2002.63-6

Abstract

Mikropenis atau hipogenitalism adalah suatu keadaan penis dengan bentuk normalnamun dengan ukuran kurang dari 2.5 SD di bawah rerata menurut umur dan statusperkembangan pubertas. Pengukuran penis dilakukan secara fully stretched, menggunakanspatula kayu yang diletakkan sejajar dengan dorsum penis dan ditekan sampai simfisispubis. Panjang penis adalah jarak dari simfisis pubis sampai ujung glans penis dan tidakdalam keadaan ereksi. Pengobatan mikropenis terhadap 23 anak dengan rerata usia 9.6tahun dilakukan dengan pemberian testosteron ester intramuskular setiap 3 minggusebanyak 4 kali. Pasca terapi penis bertambah panjang 85% dibandingkan sebelum terapi.Tidak terlihat adanya pertambahan usia tulang dengan protokol yang digunakan.
Telaah Kritis Makalah Prognosis Bambang Tridjaja AAP
Sari Pediatri Vol 4, No 3 (2002)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (81.621 KB) | DOI: 10.14238/sp4.3.2002.152-4

Abstract

Seringkali kita ditanya orang tua di tempatpraktek seperti “Kalau anak saya tidakdiobati/dirawat, kemungkinan apa saja yangdapat terjadi pada anak saya?” Atau ketika berdiskusidengan orang tua pasien diare yang telah diberikancairan intravena, seringkali ditanyakan “Kira-kira tidakakan terjadi apa-apa kan dok, anak saya akan sembuhkan?” Pertanyaan pertama menggambarkan suatuskenario yang menyebabkan dokter harus menjelaskankepada orang tua mengenai perjalanan alamiahpenyakit. Pertanyaan kedua menggambarkan skenariosuatu perjalanan klinis. Semua skenario tersebutmempunyai satu persamaan yakni menjelaskanmengenai prognosis.
Deteksi Adiksi Internet dan Faktor-Faktor yang Memengaruhinya pada Remaja di Masa Pandemi Covid-19 Diana Adriani Banunaek; Rini Sekartini; Sudung O. Pardede; Bambang Tridjaja; Ari Prayitno; Yoga Devaera
Sari Pediatri Vol 23, No 6 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.6.2022.360-8

Abstract

Latar belakang. Pandemi Covid-19 memberikan dampak besar secara global, salah satunya di bidang pendidikan. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring (dalam jaringan). Remaja yang mengikuti sekolah daring lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar. Remaja juga merasa kesepian karena adanya pembatasan sosial sehingga mencari pelarian melalui internet. Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya waktu di depan layar sehingga meningkatkan adiksi internet pada remaja.Tujuan. Mengetahui prevalens adiksi internet remaja di masa pandemi Covid-19 serta mengetahui hubungannya dengan beberapa faktor sosio-demografik. Metode. Penelitian potong lintang terhadap 332 siswa SMP/SMA/SMK/sederajat yang sedang menjalani sekolah daring, melalui pengisian kuesioner faktor sosio-demografik dan KDAI (kuesioner deteksi adiksi internet), dalam waktu 3 bulan (Maret-Juni 2021).Hasil. Prevalensi adiksi internet remaja sebanyak 29,8%. Faktor yang berhubungan dengan adiksi internet adalah waktu di depan layar untuk kegiatan hiburan ≥3 jam (p=0,001, adjusted OR 4,309, IK 95% 1,833-10,129) serta pengawasan orangtua yang buruk dalam penggunaan internet (p=0,037, adjusted OR 1,827, IK 95% 1,038-3,215). Kesimpulan. Tidak ada peningkatan prevalensi adiksi internet remaja di masa pandemi Covid-19. Variabel yang memiliki hubungan dengan adiksi internet adalah pengawasan orangtua yang buruk dan waktu depan layar untuk kegiatan hiburan ≥3 jam.
Dampak Jangka Panjang Terapi Hormonal Dibandingkan Pembedahan pada Undesensus Testis Windhi Kresnawati; Aman Bhakti Pulungan; Bambang Tridjaja
Sari Pediatri Vol 17, No 3 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp17.3.2015.229-33

Abstract

Latar belakang. Pemberian terapi hormonal pada undesensus testis (UDT) masih direkomendasikan di Indonesia sedangkanConsensus Report of Nordic Countries menyatakan bahwa terapi lini pertama untuk undesensus testis adalah operasi dan terapihormonal tidak direkomendasikan lagi.Tujuan. Mengevaluasi dampak samping terapi hormonal dan pembedahan pada undesensus testis berdasarkan bukti ilmiah.Metode. Penelusuran pustaka database elektronik : Pubmed, Cochrane, Medline, Pediatrics.Hasil. Terdapat 11 penelitian mengenai dampak terapi pada UDT. Lima penelitian prospektif melakukan pemantauan sampaiusia pasien 3 tahun sedangkan 6 penelitian lainnya merupakan studi potong lintang pada pria dewasa dengan riwayat undesensustestis. Volume testis dan kualitas sperma lebih rendah pada pasien yang memiliki riwayat terapi hormonal dibandingkan denganpasien yang menjalani pembedahan saja. Risiko infertilitas meningkat (OR 4,7) pada pasien yang menjalani terapi hormonal.Risiko keganasan meningkat jika pembedahan dilakukan lebih dari usia 10 tahun.Kesimpulan. Terapi hormonal pada UDT dapat meningkatkan risiko infertilitas di kemudian hari oleh karena itu terapi hormonalsebaiknya tidak dianjurkan. Pasien dengan UDT berisiko menderita keganasan testis di usia dewasa dan orkiopleksi dini (sebelumusia 12 bulan) terbukti menurunkan risiko tersebut.
Gambaran Klinis Kriptorkismus di Poliklinik Endokrinologi Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Tahun 1998 - 2002 Wayan Bikin Suryawan; Jose RL Batubara; Bambang Tridjaja; Aman B Pulungan
Sari Pediatri Vol 5, No 3 (2003)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (201.799 KB) | DOI: 10.14238/sp5.3.2003.111-6

Abstract

Latar belakang: kriptorkismus merupakan kelainan organ seksual lelaki yang seringditemukan. Sampai berapa tahun terapi hormonal dan pembedahan dilakukan masihkontroversial.Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umur saat berobat pertama kali, asalrujukan, lokasi testis, peran perabaan, penyakit penyerta, dan peran terapi hormonalpada kriptorkismus.Cara kerja: Penelitian dilakukan secara retrospektif dari semua pasien baru yang didiagnosiskriptorkismus di Poliklinik Endokrinologi Anak RSCM selama 5 tahun (Januari 1998 –Desember 2002).Hasil: diteliti 63 pasien baru, 58 pasien diantaranya dengan kriptorkismus murni, dan 5 pasientestis retraktil. Didapat 22,4% kriptorkismus bilateral, 77,6% kriptorkismus unilateral,kriptorkismus kanan dan kiri jumlahnya hampir sama. Pasien yang dirujuk oleh spesialis anak33,3%. Umur pertama datang di poliklinik 9 bulan-2 tahun 24,1%, dan >2 tahun 56,9%.Pada perabaan, lokasi testis paling banyak tak teraba 74,1%, setelah dikonfirmasi dengan USG75% hasilnya sama dengan perabaan. Kriptorkismus disertai skrotum bifidum dan hipospadia12,6%, mikropenis 11,1%, sindrom Prader Willi, sindrom Noonan, sindrom Kallmann masingmasing1,6% dan merupakan penyakit dasar kriptorkismus. Keberhasilan Terapi hormonal65% ( inguinal 77,8% dan pada testis tak teraba 50%) , terapi dimulai sejak umur 9 bulan.Kesimpulan: sebagian besar pasien datang pada umur >2 tahun, sedangkan terapihormonal dimulai pada umur 9 bulan dengan keberasilan 65%. Pemeriksaan fisik samaakurat dibandingkan dengan pemeriksaan USG. Terapi hormonal pada kriptorkismusumur 6 bulan - 2 tahun masih efektif sebelum terapi bedah dilakukan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Perilaku pada Anak Epilepsi Alvi Lavina; Dwi Putro Widodo; Surastusi Nurdadi; Bambang Tridjaja
Sari Pediatri Vol 16, No 6 (2015)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp16.6.2015.409-15

Abstract

Latar belakang. Anak epilepsi memiliki prevalensi gangguan perilaku yang tinggi dan dapat menyebabkandampak psikososial. Sejauh ini, di Indonesia, belum ditemukan studi yang meneliti gangguan perilaku padaanak epilepsi serta faktor-faktor yang berhubungan.Tujuan. Mengetahui proporsi dan jenis gangguan perilaku anak epilepsi berdasarkan child behavior checklist(CBCL) dan hubungan antara usia awitan kejang, frekuensi kejang, durasi epilepsi, obat anti epilepsi, tingkatsosial ekonomi, dan pendidikan orangtua, dengan gangguan perilaku pada anak epilepsi, serta adaptasikeluarga dalam menghadapi anak epilepsi.Metode. Penelitian potong lintang di Klinik Neurologi Anak FKUI RSCM. Skrining gangguan perilakudengan kuesioner CBCL dilakukan pada 30 anak epilepsi tanpa defisit neurologis dan disabilitas intelektual.Studi kualitatif untuk menilai adaptasi keluarga dalam menghadapi anak epilepsi.Hasil. Terdapat 3 dari 30 anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku dengan jenis gangguan perilakueksternalisasi (perilaku melanggar aturan dan agresif), masalah sosial, dan gangguan pemusatan perhatian.Faktor usia awitan kejang (p=0,280), frekuensi kejang (p=0,007; RP 0,036; IK95% 0,005-0,245), durasiepilepsi (p=1,000), obat anti epilepsi (p=0,020; RP 0,019; IK95% 0,001-0,437), tingkat sosial ekonomi(p=0,251), dan pendidikan orangtua (p=1,000), tidak berisiko meningkatkan gangguan perilaku. Terdapatsikap dan reaksi, serta persepsi dan stigma orangtua yang negatif dalam menghadapi anak epilepsi yangmengalami gangguan perilaku. Terdapat masalah keluarga sejak anak mengalami epilepsi dan gangguanperilaku. Orangtua tidak dapat menerapkan pola asuh displin dan kemandirian pada anak dengan gangguanperilaku.Kesimpulan. Proporsi gangguan perilaku pada anak epilepsi tanpa defisit neurologis dan disabilitas intelektualtidak tinggi. Tidak terdapat faktor yang memengaruhi gangguan perilaku. Adaptasi keluarga baik dalammenghadapi anak epilepsi tanpa gangguan perilaku, dibandingkan dengan keluarga anak epilepsi yangmengalami gangguan perilaku
Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1 pada Anak Saat Pertama Kali Datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta Aman B Pulungan; Riza Mansyoer; Jose RL Batubara; Bambang Tridjaja AAP
Sari Pediatri Vol 4, No 1 (2002)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp4.1.2002.26-30

Abstract

Diabetes Mellitus tipe-1 merupakan salah satu penyakit kronis yang sampai saat inibelum dapat disembuhkan. Walaupun demikian, berkat kemajuan teknologi kedokterankualitas hidup pasien DM tipe-1 dapat terpelihara. Sebagian besar kasus DM pada anaktermasuk di dalam DM tipe-1, namun sedikit sekali tulisan di Indonesia mengenaikarakteristik klinis dan laboratorium DM tipe-1. Hal ini mengakibatkan banyak tenagamedis yang tidak mengetahuinya sehingga sering sekali salah dalam mendiagnosis pasienDM tipe-1. Pasien DM tipe-1 sebagian besar mempunyai riwayat perjalanan klinis,dengan poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan yang cepat menurun. Untukmengurangi keterlambatan diagnosis maka kewaspadaan terhadap DM tipe-1 merupakankata kunci. Telah dilakukan penelitian deskriptif retrospektif pada semua pasien DMtipe-1 yang berobat ke Bagian IKA-RSCM antara tahun 1989-1999. Seluruh subyekpenelitian diambil dari catatan medis dan didapat 41 kasus dengan DM tipe-1 dengansebagian besar anak perempuan. Usia terbanyak saat datang pertama kali ke BagianIKA-RSCM pada usia 5-10 tahun (56%). Dari 41 kasus DM tipe-1, hanya 31% yangmempunyai keturunan keluarga DM. Saat datang ke Bagian IKA-RSCM 66% dengankatoasidasis diabetik, 71% menderita gizi kurang dan seluruh pasien datang dengankeluhan poliuria, polidipsia, polifagia dan adanya penurunan berat badan yang progresif.Gangguan kesadaran juga menyertai pasien dengan KAD. Kadar gula darah pasien DMtipe-1 terbanyak antara 300-500 mg/dl (51%). Semua pasien pada saat awal diagnosiskadar HbA1c di atas normal dan C-peptida di bawah normal.
Hipotiroidisme kongenital di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Ciptomangunkusumo Jakarta, tahun 1992-2002 Melda Deliana; Jose RL Batubara; Bambang Tridjaja; Aman B Pulungan
Sari Pediatri Vol 5, No 2 (2003)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp5.2.2003.79-84

Abstract

Gejala klinis hipotiroidisme kongenital pada neonatus seringkali tidak begitu jelas danbaru terdeteksi setelah 6-12 minggu. Diagnosis dini sangat penting untuk mencegahtimbulnya retardasi mental atau meringankan derajat retardasi mental. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui gambaran klinis awal, laboratorium dan respons terapiawal natrium levotiroksin pada pasien hipotiroidisme kongenital. Data dikumpulkandari catatan rekam medik kasus-kasus hipotiroidisme kongenital yang berkunjung kePoliklinik Endokrinologi Anak dan Remaja FKUI/RSCM Jakarta selama kurun waktu1992-2002. Dalam kurun waktu tersebut terdapat 30 pasien baru, 21 anak (70%)perempuan dan 9 anak (30%) laki-laki. Sebagian besar (53,3%) didiagnosis pada umur1-5 tahun. Berdasarkan status antropometri menurut NCHS-WHO ditemukan gizi burukpada 53,3% kasus (berat badan/umur), perawakan pendek paa 90% kasus (tinggi badan/umur), dan pada 70% kasus perbandingan berat badan/tinggi badan adalah normal.Gejala klinis tersering saat diagnosis adalah perkembangan motorik terlambat (83,3%),konstipasi (73,3%), aktivitas menurun (70%), makroglosia (70%), dan pucat (70%).Ditemukan maturasi tulang terlambat (95,5%), gangguan pendengaran (22,7%),gangguan sistem neuromuskular (16,7%), dan retardasi mental (62,5%). Padapemeriksaan skintigrafi dijumpai agenesis tiroid pada 11,1% kasus. Sebagian besar(26,7%) mendapat terapi awal dosis tinggi (8-10 mg/kg/hari). Gejala klinis berkurang(36,7%) dalam 4 minggu dan fungsi tiroid kembali normal (33,3%) dalam 1-3 bulansetelah terapi awal.