Folman P Ambarita
Universitas Krisnadwipayana

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Folman P Ambarita
BINAMULIA HUKUM Vol 7 No 2 (2018): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v7i2.29

Abstract

Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa, dan Teroris merupakan tema yang mengandung perhatian banyak kalangan utamanya para akademisi untuk mengkaji dari aspek ideologi, teologi dan gerakan pada saat ini, teroris telah menjadi fenomena global, gerakan terorisme telah merambah hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, sebagaimana di kawasan lainnya, terorisme di Indonesia juga memiliki dasar teologi dan ideologi serta jejaring sehingga memiliki daya tahan yang kuat. Sampai saat ini terorisme menjadi salah satu tantangan dari ancaman terhadap ketahanan nasional. Artikel ini ingin mengkaji perkembangan terorisme di Indonesia yang memfokuskan pada aspek teologi, ideologi dan gerakan. Keywords: terorisme, kejahatan lintas negara, kejahatan luar biasa.
PENERAPAN DIVERSI TERHADAP TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN DAN PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK Aprilia Aprilia; Siswantari Pratiwi; Folman P. Ambarita
Krisna Law Vol 1 No 3 (2019): Krisna Law, Oktober 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (310.213 KB)

Abstract

Anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa ataupun orang yang belum mencapai usia tertentu yang ditetapkan undang-undang sebagai batasan usia dewasa. Anak yang melakukan tindak pidana wajib diupayakan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dilakukan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Diversi dilakukan dengan syarat bahwa tindak pidana yang dilakukan diancam hukuman di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Upaya diversi yang dilakukan bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak tanpa melalui jalur peradilan pidana serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan diversi dalam tindak pidana pengeroyokan dan pencurian yang dilakukan oleh anak pada studi kasus penetapan Nomor 18/Pen.Pid.Sus.Anak/2015/PN.JKT.TIM terlaksana dengan adanya kesepakatan para pihak. Kata Kunci: penerapan diversi, diversi anak di tingkat pengadilan.
Penerapan Hukum Pelaku Tindak Pidana Pengalihan Objek Jaminan Fidusia Iftihar Hidayat; Firman Wijaya; Folman P. Ambarita
Krisna Law Vol 3 No 2 (2021): Krisna Law, Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (192.62 KB) | DOI: 10.37893/krisnalaw.v3i2.428

Abstract

Penerapan Hukum Pelaku Tindak Pidana Pengalihan Objek Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, pengertian fidusia yaitu: Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu. Permasalahan dalam Penelitian ini adalah Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pengalihan Objek Jaminan Fidusia dan Pertimbangan Hakim Atas Putusan Dalam Perkara Pidana Nomor 1528/Pid.Sus/2019/PN.Mks. Penulisan penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pengalihan objek jaminan fidusia tanpa persetujuan dari penerima fidusia adalah tidak terlepas dari tiga unsur utama, yakni unsur adanya kemampuan bertanggung jawab, unsur adanya kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, dan unsur tidak adanya alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf). Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Putusan Nomor 1528/Pid.Sus/2019/PN.Mks terkait unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa sudah tepat, dalam hal ini terdakwa telah memenuhi unsur-unsur Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu unsur setiap orang; unsur mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia; dan unsur yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (2).
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Folman P Ambarita
Binamulia Hukum Vol. 7 No. 2 (2018): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v7i2.321

Abstract

Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa, dan Teroris merupakan tema yang mengandung perhatian banyak kalangan utamanya para akademisi untuk mengkaji dari aspek ideologi, teologi dan gerakan pada saat ini, teroris telah menjadi fenomena global, gerakan terorisme telah merambah hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, sebagaimana di kawasan lainnya, terorisme di Indonesia juga memiliki dasar teologi dan ideologi serta jejaring sehingga memiliki daya tahan yang kuat. Sampai saat ini terorisme menjadi salah satu tantangan dari ancaman terhadap ketahanan nasional. Artikel ini ingin mengkaji perkembangan terorisme di Indonesia yang memfokuskan pada aspek teologi, ideologi dan gerakan.
Kejahatan Konspirasi dan Perbantuan dalam Terorisme Ambarita, Folman P.; Idharudin, Taufiq
Al-Ishlah: Jurnal Ilmiah Hukum Vol 27 No 1: Desember 2023 - Mei 2024
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56087/aijih.v27i1.443

Abstract

This study aims to understand the application of material criminal law to the crime of conspiracy and assistance to commit terrorism. This study uses a normative legal research method. The collected legal material is then qualitatively analyzed to describe the problem and answer the study objectives. The results show that the definition of criminal conspiracy in Article 88 of the Penal Code encompasses an agreement between two or more individuals to commit a crime. Initial discussions not directly related to crime planning do not fall within the category of a malicious conspiracy. Furthermore, concerning the crime of terrorism, material criminal law does not differentiate between the roles of conspirators, assistants, and main perpetrators in terrorism. Consequently, an agreement to commit a terrorist crime made by two or more individuals already fulfils the element of criminal conspiracy. In this context, conspirators and terrorism assistants can be prosecuted according to Government Regulation in Lieu of Law Number 1 of 2002, even if the planned terrorist act has not been executed. Therefore, it is recommended for law enforcers, including POLRI, Prosecutors, and Judges, to pay close attention to the nuances of the criminal conspiracy definition according to the Penal Code and Government Regulation in Lieu of Law Number 1 of 2002 in the eradication of criminal acts of terrorism. It is crucial to distinguish between initial discussions that do not indicate preparation for a criminal act and explicit agreements to commit a terrorist crime. Law enforcers must apply a thorough understanding of how material criminal law classifies conspirators, assistants, and main perpetrators without distinction in terrorism cases. Thus, fair and accurate handling of individuals planning terrorist crimes can be realized while upholding the principles of justice and proportionality in law enforcement.