Henny Yuningsih
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Efektivitas Pencabutan Hak Politik Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Henny Yuningsih
Simbur Cahaya VOLUME 27 NOMOR 2, DESEMBER 2020
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (670.337 KB) | DOI: 10.28946/sc.v27i2.1042

Abstract

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga diperlukan juga cara-cara yang luar biasa juga untuk mencegah serta memberantas tindak pidana ini. Penjatuhan-penjatuhan pidana yang berat merupakan satu diantara cara-cara yang diperlukan dalam memberantasnya, kemudian juga diperlukan terobosan-terobosan hukuman yang baru agar memberikan rasa jera dan takut baik kepada pelaku maupun kepada masyarakat. Beberapa kasus yang telah diputus pada sidang pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama antara lain atas nama Terdakwa Irjen. Djoko Susilo dalam kasus korupsi pengadaan alat simulator surat izin mengemudi (SIM), Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut pidana tambahan pencabutan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum maupun jabatan publik (hak politik), dan tuntutan itu dikabulkan oleh majelis hakim pada tingkat banding. Pidana tambahan ini diatur dalam pasal 35 KUHP Jo pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Upaya Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penambangan Timah Ilegal di Provinsi Bangka Belitung Theta Murty; Henny Yuningsih
Simbur Cahaya VOLUME 24 NOMOR 1, JANUARI 2017
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.939 KB) | DOI: 10.28946/sc.v24i1 Jan 2017.48

Abstract

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu Provinsi penghasil timah.Kegiatan penambangan timah yang dilakukan di provinsi ini mayoritas dilakukan dengan tanpa izin atau ilegal, sehingga menyebabkan kerugian terhadap berbagai sektor, seperti keuangan negara dan juga kerusakan lingkungan. Di dalam penelitian ini akan dibahas mengenai Upaya Penegakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Penambangan Timah Illegal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dengan menggunakan metodelogi yuridis empiris, dengan menggunakan data primer dan data sekunder.Dalam rangka penegakan hukum pidana menanggulangi tindak pidana penambangan timah illegal, dalam hal ini Pihak kepolisian melakukan razia dan penertiban di wilayah hukumnya masing-masing. Dalam hal ini Pihak Kepolisian melakukan razia dan penertiban terhadap penambangan timah illegal, razia ini dilakukan bersama Pemerintah Daerah setempat dan Sat Pol PP dan melakukan penyitaan terhadap alat operasi kegiatan tambang tersebut untuk dijadikan barang bukti.Pertambangan timah illegal di Bangka Belitung telah menimbulkan berbagai macam dampak negatif, baik terhadap masyarakat, lingkungan, dan bahkan Negara. Oleh karena itu, akan jauh lebih baik apabila praktek penambangan timah illegal tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, terdapat beberapa upaya yang diharapkan dapat menghentikan praktek pertambangan timah secara illegal di Bangka Belitung, yang harus dilakukan oleh semua pihak, baik Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, Perusahaan Swasta, maupun masyarakat lokal itu sendiri. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dibagi menjadi Upaya Penal dan Upaya Non Penal.
Studi Kasus Pengaturan Hubungan Kelembagaan Pemerintahan Desa-Birokrasi dengan Desa-Adat di Wilayah Provinsi Bali Henny Yuningsih; Sri Wahyu Kridasakti; Moh. Fadli; Abd. Majid; Ni Made Jayasenastri
Jurnal Supremasi Volume 12 Nomor 1 Tahun 2022
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35457/supremasi.v12i1.1825

Abstract

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur 2 (dua) materi pokok yaitu Desa-Birokrasi (DB) dan Desa-Adat (DA). Namun UUD NRI 1945, UU 6/2014, PP No. 43 Tahun 2014 jo PP 11 Tahun 2019 bahkan Perdprov No. 4 Tahun 2019 tidak mengatur hubungan antara DB dengan DA, padahal pada satu wilayah desa bisa ada terdapat keduanya. Implikasinya adalah menimbulkan kerancuan dalam pemahaman pengaturan hubungan kelembagaan dua jenis desa berbeda tersebut. Perdaprov No. 4 Tahun 2019 hanya mengatur DA namun juga tidak mengatur hubungan kelembagaan dengan DB. Pola hubungan kelembagaan kedua desa itu penting diketahui, agar dapat diperoleh pelajaran perbaikan pengaturannya bagi Undang-Undang Desa dan materi pembelajaran bagi mahasiswa. Penelitian hukum ini bersifat socio-legal case study dengan lokus 2 desa pakraman utama dan 1 lembaga penelitian Universitas Warmadewa, menggunakan metode studi kasus dengan teknik pengumpulan data document-review dan FGD, dan konsep MPFAA (Meaning-Positioning-Functioning-Authorizing-Actuating) untuk menganalisa hubungan kelembagaan DB-DA sebagai landasan analisa hubungan DB dan DA di Bali. Hasil penelitian menunjukan bahwa kerancuan pengaturan hubungan kedua kelembagaan DB dengan DA adalah Pasal 1-95 (DB) dan Pasal 96-111 (DA) UU 6/2014 yang tidak mengatur pola hubungan antar mereka, padahal faktanya kedua jenis desa tersebut bukan kelembagaan yang saling terpisah samasekali. Temuan menunjukkan bahwa hubungan kelembagaan desa di Bali, masyarakatnya memandang hubungan antara kedua kelembagaan desa tersebut adalah ibarat hubungan antara “suami-isteri” atau “satu mata uang dengan 2 sisi”. Ratio-legis pembentukan Perda Provinsi Bali 4/2019 tidak berlandas pada UU 6/1014 namun UU 23/2014 oleh karena masyarakat di Bali memandang DB dan DA adalah bukan suatu kelembagaan yang terpisah sebagaimana diatur DB-DA oleh UU 6/2014. Perdaprov 4/2019 menunjukkan tidak relevannya DA diatur melalui UU 4/2016, karena DA tidak perlu diatur namun cukup direkognisi.
Restorative Justice Tindak Pidana “Elopement” Hukum Adat dalam Konstruksi Hukum Pidana Positif Indonesia Sri Wahyu Kridasakti; Abd. Majid; Henny Yuningsih
Jurnal Supremasi Volume 12 Nomor 2 Tahun 2022
Publisher : Universitas Islam Balitar, Blitar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35457/supremasi.v12i2.1839

Abstract

This study examines the applicability of “elopement” customary law (“elopement”) in the construction of criminal law in Indonesia. This legal-system study uses a socio-legal methodology with the research locus in Mataram Marga Village, Sukadana District, East Lampung; Sade Village, Central Lombok, NTB; and Tenganan Karangasem Bali, with three findings. First, customary law (legal-culture) in determining the meaning and meaning of adult (legal and legitimate) is different from the meaning of adult according to positive law (Civil Code, Criminal Code and Law 1/1974). Second, the legal-structure of positive criminal law is superior to customary law or living-law (tradition) in the construction of restorative-justice through "elopement" legal events. Third, the norms of positive criminal law substance (legal-substance) Article 322 paragraph (1) number 2 of the Criminal Code which provides sanctions for imprisonment are more legitimate than customary law norms that provide social sanctions through traditional ceremonies. Article 322 paragraph (1) number 2 of the Criminal Code and Law 1/1974 have basically fulfilled the principles of establishing laws and regulations although they have not fully translated the principles of restorative justice. The ratio-legal restorative justice “elopement” of Indonesian customary law in the construction of the Criminal Code and Law 1/1974 is different but the legal relationship is quite harmonious. The main obstacle to the application of the principle of restorative justice in the settlement of criminal acts of "elopement" according to the construction of national law is the difficulty of mapping the standards of restorative justice benchmarks for customary law which are very diverse. Future arrangements for restorative justice "elopement" in the construction of national criminal law must follow the principle of receptio in complexio as legal politics in the regulation of national legal pluralism.