Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : PALAR (Pakuan Law review)

The Validity Of Interfaith Marriage Carried Out According To Catholic Religious Procedures Based On The Marriage Law Wijaya, Mustika Mega; Lathif, Nazaruddin; DP, Sapto Handoyo
PALAR (Pakuan Law review) Vol 11, No 1 (2025): Volume 11, Number 1 January-March 2025
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v11i1.11616

Abstract

Abstrak Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada umumnya, perkawinan dilaksanakan diantara calon suami-istri yang seagama, namun dalam realitanya terdapat perkawinan beda agama yang tidak sedikit menimbulkan permasalahan tersendiri tentang keabsahannya.d Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian dengan mengkaji dan mempelajari data sekunder (kepustakaan). Keabsahan perkawinan beda agama yang dilakukan dengan ajaran tata cara ajaran agama Katolik berdasarkan hukum positif di Indonesia dapat dinyatakan sah melalui penetapan pengadilan sebelum berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Akibat hukum pernikahan beda agama berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan hukum positif di Indonesia terlebih setelah berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan maka perkawinan tersebut tidak dapat disahkan oleh pengadilan, dan selanjutnya maka Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tidak dapat mencatatkan perkawinan beda agama, meski secara hukum agama Katolik telah dinyatakan sah melalui terpenuhinya dispensasi sebagaimana dipersyaratkan. Kata Kunci: Beda Agama, Perkawinan, Keabsahan Abstract Marriage is a physical and spiritual bond between a man and a woman as husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family (household) based on the belief in the Almighty God. In general, marriages are carried out between prospective husband and wife who share the same religion, but in reality there are inter-religious marriages which give rise to quite a few problems regarding their validity. The type of research used is normative research, namely research by reviewing and studying secondary data (library). The validity of interfaith marriages carried out in accordance with the teachings of Catholic religious teachings based on positive law in Indonesia can be declared valid through a court decision before the Supreme Court Circular Letter (SEMA) Number 2 of 2023 comes into force concerning Instructions for Judges in Adjudicating Cases on Applications for the Registration of Interfaith Marriages Religions of Different Religions and Beliefs. As a result of the law of interfaith marriages based on the Marriage Law and positive law in Indonesia, especially after the enactment of the Supreme Court Circular Letter (SEMA) Number 2 of 2023 concerning Instructions for Judges in Adjudicating Cases of Applications for Registration of Marriages Between Religious People of Different Religions and Beliefs, marriages This cannot be ratified by a court, and furthermore, the Population and Civil Registration Service cannot register interfaith marriages, even though legally the Catholic religion has been declared valid through the fulfillment of dispensations. as required. Keywords: Different Religions, Marriage, Legitimacy.
ANALISIS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PASIF DALAM UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Djarkasih Putro, Sapto Handoyo; Lathif, Nazaruddin; Wijaya, Mustika Mega; Prihatini, Lilik
PALAR (Pakuan Law review) Vol 10, No 3 (2024): Volume 10, Nomor 3 July-September 2024
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v10i3.10419

Abstract

ABSTRAK Tindak pidana pencucian uang pasif menurut adalah tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pelaku pasif, yaitu orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Tindak pidana pencucian uang pasif diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana pelakunya dapat dijerat dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah. Diperlukan keberanian dari aparat penegak hukum untuk mengusut secara tuntas tindak pidana pencucian uang, meskipun aliran dana masuk ke rekening pejabat tinggi di negeri ini. Selain itu perlu dibuktikan secara serius dalam persidangan tindak pidana pencucian uang, agar pelaku pencucian uang pasif tidak lolos dari jerat hukum. Kata kunci: Tindak Pidana, Pencucian Uang, Pasif. ABSTRACT Passive money laundering crime, it is a money laundering crime committed by a passive actor, namely a person who receives or controls the placement, transfer, payment, grant, donation, custody, exchange or use of assets which he knows or reasonably suspects are the proceeds of a criminal act. . The crime of passive money laundering is regulated in Article 5 of Law Number 8 of 2010 concerning Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering, where the perpetrator can be charged with imprisonment for a maximum of 5 years and a fine of a maximum of one billion rupiah. It takes courage from law enforcement officers to thoroughly investigate money laundering crimes, even though the flow of funds goes to the accounts of high-ranking officials in this country. Apart from that, it needs to be proven seriously in a money laundering criminal trial, so that passive money launderers do not escape the law. Keywords: Crime, Money Laundering, Passive.
PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA DESERSI Djakarsih Putro, Sapto Handoyo; Lathif, Nazaruddin; Simanjuntak, John p.; Prihatini, Lilik
PALAR (Pakuan Law review) Vol 9, No 4 (2023): Volume 9, Nomor 4 Oktober-Desember 2023
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33751/palar.v9i4.9411

Abstract

ABSTRAK                                                          Prajurit Tentara Nasional Indonesia (disingkat TNI) telah dipersiapkan secara khusus untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan keamanan serta kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pelaksanaan tugasnya, anggota TNI dibatasi oleh undang-undang dan peraturan militer, sehingga semua perbuatan yang dijalani harus berlandaskan pada undang-undang dan peraturan yang berlaku. Dalam menjamin dan mendukung terlaksananya peran serta tugas penting TNI maka telah dibuatkan peraturan-peraturan khusus yang berlaku bagi anggota TNI, disamping aturan yang sifatnya umum. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap negara, seorang anggota TNI tidak luput dari permasalahan hukum, misalnya terdapat oknum TNI yang melakukan tindak pidana, yaitu tindak pidana desersi. Desersi merupakan  perbuatan menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinas TNI yang diatur dalam Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Penerapan sanksi pidana dalam tindak pidana desersi yang dilakukan oleh prajurit TNI secara sengaja dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, maka terhadapnya dapat dijatuhi hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) ke-2 juncto ayat (2) KUHPM dengan ancaman maksimum pidana penjara selama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan.  Kata kunci: Sanksi Pidana; Desersi; Tentara Nasional Indonesia ABSTRACT Soldiers of the Indonesian National Army (abbreviated as TNI) have been specially prepared to guard, protect and defend the security and sovereignty of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). In carrying out their duties, TNI members are limited by military laws and regulations, so that all actions they carry out must be based on applicable laws and regulations. In order to guarantee and support the implementation of the TNI's important roles and tasks, special regulations have been made that apply to TNI members, in addition to general regulations. In carrying out their duties and obligations towards the state, a member of the TNI is not free from legal problems, for example there are members of the TNI who commit criminal acts, namely the crime of desertion. Desertion is the act of withdrawing from carrying out TNI service obligations as regulated in Article 87 of the Military Criminal Code (KUHPM). The application of criminal sanctions in criminal acts of desertion committed by TNI soldiers intentionally during peacetime longer than 30 (thirty) days, then they can be sentenced as regulated in Article 87 paragraph (1) 2nd in conjunction with paragraph (2) of the Criminal Code with a maximum threat of imprisonment for 2 (two) years and 8 (eight) months. Keywords: Criminal Sanctions; Desertion; Indonesian national army