Optimalisasi Bank Tanah sebagai instrumen pengelolaan tanah terlantar menghadapi tantangan struktural yang bersumber dari ketidaksinkronan regulasi dan kapasitas kelembagaan. Secara normatif, Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah (PP No. 64/2021) menjadi dasar hukum utama, namun pengaturannya masih bersifat general dan minim pedoman teknis operasional. Hal ini bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mensyaratkan kejelasan kriteria dan prosedur pengelolaan tanah. Dalam konteks tanah terlantar, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 menegaskan bahwa tanah yang memiliki Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang dimiliki oleh badan hukum atau perusahaan yang diberikan di atas tanah negara menjadi fokus utama dalam penertiban tanah terlantar. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif untuk menganalisis peran Bank Tanah dalam pengelolaan tanah terlantar serta tantangan implementasinya. Pendekatan ini dipilih untuk menggali aspek hukum dan kebijakan. Metode ini dirancang untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang konkret, baik dari aspek reformasi regulasi maupun penguatan kelembagaan Bank Tanah. Bank Tanah sebagai instrumen hukum baru dalam pengelolaan tanah terlantar di Indonesia memiliki potensi strategis untuk mengatasi ketimpangan agraria dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Keberadaannya diamanatkan oleh UU Cipta Kerja dan PP No. 64/2021 sebagai entitas pengelola tanah terlantar melalui redistribusi, konsolidasi, dan alokasi untuk kepentingan publik. Badan Bank Tanah berusaha memberikan legalitas atas lahan yang dikelola masyarakat untuk memperoleh sertifikat.