Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

HUBUNGAN PEMBELAJARAN PPKN DENGAN PENGAMALAN NILAI-NILAI SILA I PANCASILA Tukiran; Ana Andriani; Sugeng Priyadi; Suyahmo; Muhammad Abduh
Jurnal PPKn Vol 7 No 2 (2019): Jurnal PPKn Vol 7 No 2 Juli 2019
Publisher : Asosiasi PPKn

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian untuk mengetahui: proses pembelajaran PPKn, pengamalan nilai-nilai sila I Pancasila, dan   hubungan pembelajaran PPKn dengan pengamalan nilai-nilai sila I Pancasila. Populasi penelitian seluruh peserta didik kelas VI SD Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang berjumlah 34. Seluruh populasi dijadikan sampel penelitian, sehingga merupakan sensus. Pengumpulan data dengan kuesioner tertutup. Analisis data dengan persentasi dan  korelasi product moment. Hasil analisis data menunjukkan proses pembelajaran PPKn kuat (79%), pengamalan nilai-nilai sila I Pancasila kuat (91%) dan  ada korelasi yang signifikan antara proses pembelajaran PPKn dengan pengamalan nilai-nilai sila I Pancasila, rxy (6,31).   Full Paper
TABU NIKAH ANTARA MASYARAKAT PURBALINGGA DENGAN SOKARAJA Sugeng Priyadi
Sosiohumaniora Vol 9, No 1 (2007): SOSIOHUMANIORA, MARET 2007
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v9i1.5377

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tabu nikah pada masyarakat perdesaan Purbalingga dan Sokaraja (Banyumas). Penelitian ini ditempuh melalui metode filologi yang dikombinasikan dengan metode folklor. Metode filologi dan folklor dipakai untuk menyediakan sumber sejarah yang terkandung dalam teks dan folklor. Selanjutnya, kedua metode itu ditempuh untuk menghasilkan karya historiografi berupa sejarah kebudayaan atau sejarah intelektual di tingkat lokal Purbalingga dan Banyumas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tabu nikah yang terdapat pada masyarakat perdesaan Purbalingga dan Sokaraja menggambarkan fenomena pluralitas sosial budaya yang didasarkan atas legitimasi sosial politik. Tabu nikah yang timbul disebabkan oleh konflik-konflik sosial sebagai bentuk dari persaingan pengaruh dan perang legitimasi antarelite Purbalinga dengan Sokaraja. Dalam konflik tersebut, Raden Kaligenteng menjadi troublemaker (biang kerok). Tabu nikah di atas menunjukkan sesuatu yang dapat dimaknai sebagai gejala pergeseran dari cosmos menuju chaos. Namun, situasi chaos lebih dominan karena pergeseran itu belum atau tidak melahirkan cosmos yang baru sehingga selalu dalam posisi liminal atau ambang. Posisi tersebut bisa dijelaskan dalam rangka binary opposition yang bersifat relatif yang menghadirkan pihak ketiga yang menempati posisi liminal. Kata Kunci : tabu nikah, konflik sosial, persaingan sosial, cosmos, chaos, posisi liminal
SINTESIS NILAI-NILAI PARADOKSAL PADA TEKS BABAD PASIR DAN BABAD BANYUMAS Sugeng Priyadi
Sosiohumaniora Vol 10, No 3 (2008): SOSIIOHUMANIORA, NOPEMBER 2008
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/sosiohumaniora.v10i3.5405

Abstract

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai pada teks Babad Pasir cenderung menyajikan konflik di dalam, sedangkan nilai-nilai pada teks Babad Banyumas lebih didominasi oleh aktivitas asketisisme. Nilai-nilai yang terkandung pada kedua teks tradisi babad besar di Banyumas menunjukkan fenomena paradoksal antara nilai-nilai positif dan negatif. Relasi nilai positif sebagai tesis dan negatif sebagai antitesis menghasilkan sintesis yang berupa cablaka sebagai sistem nilai budaya lokal Banyumas. Berdasarkan sistem tersebut bisa dicermati bahwa orientasi nilai budaya Banyumas mengarah kepada, baik masyarakat tradisional maupun maju. Manusia Banyumas berada pada posisi masyarakat yang cenderung melihat masa lampau, tetapi mempunyai kemungkinan untuk melihat masa depan sebagai acuan dalam menghadapi tantangan zaman.
GURU MENDONGENG KEARIFAN LOKAL BANYUMASAN Sugeng Priyadi; Karton Karton; Ningsih Widayati
Khazanah Pendidikan Vol IX No 1 Maret 2015
Publisher : Lembaga Publikasi Ilmiah dan Penerbitan (LPIP)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30595/jkp.v9i1.679

Abstract

Teachers skills in the collection and writing of folklore needs to be improved so that the cultural heritage of ancestors can be preserved. Furthermore, teachers develop learning model with storytelling folklore virtue that can be absorbed by the students. Learning model mythlogos- ethos could explain the mandate contained in folklore. The mandate is a form of local wisdom through character education. Keywords: folktale, local wisdom
Perdikan Cahyana Sugeng Priyadi
Humaniora Vol 13, No 1 (2001)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (186.785 KB) | DOI: 10.22146/jh.714

Abstract

Bekas daerah Perdikan Cahyana berada di Kecamatan Karangmoncol dan Rembang, Purbalingga, Karesidenan Banyumas. Status perdikan itu dihapus oleh Pemerintah Republik Indonesia pada zaman Orde Lama. Berakhirnya kekuasaan 21 orang demang diyakini oleh masyarakat bahwa para demang telah melanggar piagam dan wewaler perdikan, tidak adil, serta memperkaya diri sehingga mereka harus diturunkan. Tanah-tanah perdikan dikuasai oleh para demang untuk kepentingannya sendiri sehingga rakyat hidup terbengkalai, padahal, rakyat yang mencetak sawah-sawah dan kebun-kebun, sedangkan demang hanya mengaku sebagai hak miliknya. Kejatuhan para demang itu sesuai dengan beberapa ramalan, seperti besuk selehe demang disondol bangkong, besuk ana bangke mili ngalor, dan besuk ana beslit padha dicanthelake gethek (Darmoredjo, 1986: 7 Terlepas dari masalah di atas, desa perdikan menyimpan potensi masalah pertanahan. Penghapusan desa-desa perdikan telah mengubah status tanah dari keputihan menjadi tanah pamajegan. Dengan kata lain, tanah-tanah tersebut menjadi tanah-tanah negara. Sebaliknya, para demang kehilangan hak atas tanah adat yang telah dimilikinya sejak lama. Tanah-tanah keputihan di daerah Perdikan Cahyana adalah tanah-tanah bebas pajak yang diluluskan oleh Sultan Demak dan dilestarikan oleh para raja Jawa sesudahnya dan pemerintah kolonial Belanda untuk pemeliharaan makam-makam orang-orang suci atau para wali lokal yang berjasa dalam penyebaran agama Islam.
Babad Pasir: Banyumas Dan Sunda Sugeng Priyadi
Humaniora Vol 14, No 2 (2002)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3102.592 KB) | DOI: 10.22146/jh.756

Abstract

Banyak Catra alias Kamandaka yang menjadi tokoh legendaris di Daerah Aliran Sungai Serayu-Logawa-Mengaji ternyata mempunyai perilaku yang tidak boleh ditiru oleh masyarakat Banyumas. Teks awal Babad Pasir yang sangat populer itu menceritakan masa muda salah satu leluhur Banyumas yang berasal dari Pajajaran (Knebel, 1900). Kisah-kisah yang dilestarikan secara lisan dan tulisan itu pada hakikatnya mengisahkan kebanggaan Raden Banyak Catra terhadap perilakunya yang kurang terpuji. Kenyataan memang menunjukkan bahwa banyak orang besar yang menceritakan kisah hidupnya, baik dalam otobiografi maupun biografi, khususnya pada masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa muda dengan penuh kebanggaan, meskipun melanggar norma masyarakat. Kiranya kebanggaan seperti menjadi tradisi manusia pada umumnya. Sama halnya dengan Banyak Catra. Ia adalah seorang putra raja Pajajaran yang mencari calon jodohnya di Pasirluhur. Banyak Catra datang dengan membawa kedok sebagai penduduk desa yang mengabdi kepada Patih Pasirluhur, Reksanata. Keberuntungan berpihak kepadanya karena ia diangkat sebagai anak oleh Sang Patih. Di samping itu, Banyak Catra juga menutupi jati dirinya dengan nama samaran, Kamandaka. Menurut beberapa babad, nama tersebut merupakan pemberian seorang pertapa di Gunung Tangkuban Perahu yang bernama Ajar Mirangrong (ada teks yang menyebut Wirangrong). Agaknya pemalsuan nama itu telah dilegitimasikan atau sekurang-kurangnya sudah direstui oleh seorang pertapa.
KONFLIK SOSIAL TABU NIKAH PADA MASYARAKAT PERDESAAN DI PURBALINGGA DAN BANYUMAS Sugeng Priyadi
Humaniora Vol 18, No 2 (2006)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (68.624 KB) | DOI: 10.22146/jh.874

Abstract

This study is aimed at discovering the social conflicts which the community experienced leading to the marriage taboo. The study employs the historical method combined with the folklore and philological method. The two later methods are applied to provide the historical sources contained in the texts and folklores. Then, the historical method is taken to produce a historiography work, i.e. the cultural history or the intellectual history in the local range of Purbalingga and Banyumas. The results of study show that the marriage taboo in the rural community of Purbalingga and Banyumas indicates the phenomenon of plural socio-culture laid on socio-political legitimate. The marriage taboos are inflicted by social conflict as the manifestation of incest marriage, social rivalry, and legitimate battle. In those conflicts, the communities of Onje, of Banjaranyar, and of Raden Kaligenteng are the troublemakers. In addition, the communities of Sambeng Kulon, of Sambeng Wetan, of Jompo Kulon, and of Jompo Wetan can also be categorized into the troublemaker, since they are involved in the internal conflict, leaving them broken into parts. The marriage taboos indicate something that can be understood as the shift of cosmos into chaos. The chaotic situation is dominant, for the shift has not resulted in a new cosmos, i.e. it is always in the liminal or threshold position.
Orientasi Nilai Budaya Banyumas: Antara Masyarakat Tradisional Dan Modern Sugeng Priyadi
Humaniora Vol 20, No 2 (2008)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (71.079 KB) | DOI: 10.22146/jh.933

Abstract

This research aims at finding out the human value of Banyumas people as expressed in Babad Pasir. To achieve this aim, the history method is employed in four steps, (1) heuristic, (2) criticism, (3) interpretation, and (4) historiography. The historical facts which are interpreted are those mental ones so that the resulting historiography reflects Banyumanese ideas as the realization of the Banyumas cultural value system. The results of the research show that Babad Pasir tends to presents internal conflicts, while Babad Banyumas is marked more with ascetism. However, both of them show a paradox between positive and negative values. The relation between the positive values as the thesis and negative ones as the antithesis results in a synthesis in the form of cablaka (straightforwardness) as the value system of the Banyumas culture. Based on the system it can be seen that the orientation of the value is toward both traditional and modern society. Banyumas people tend to look at the past, but have the ability to see the future as a reference in facing the challenging world.
Fenomena Kebudayaan yang Tercermin dari Dialek Banyumasan Sugeng Priyadi
Humaniora Vol 12, No 1 (2000)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1892.982 KB) | DOI: 10.22146/jh.1297

Abstract

Budaya pantangan tampaknya sangat mencolok dalam kehidupan masyarakat Banyumas. Versi-versi Babad Banyumas memuat teks pantangan yang bervariasi. Namun, teks-teks tersebut sebagian besar berisi pantangan yang sakral, yakni kawin dengan orang Toyareka, jaran dhawuk abrit, bale malang (bale bapang), Sabtu Pahing, dan pindhang banyak. Selain itu, ada pantangan yang bersifat profan yang berfungsi sebagai pelengkap, misalnya bebet destar wulung, madhang ngungkuraken lawang, omah wangun sinom, gantung kawin, kiasa bongka widhik, dan bantal kasur poleng.
Sejarah Trah Yudanegaran Sugeng Priyadi
Humaniora Vol 16, No 3 (2004)
Publisher : Faculty of Cultural Sciences, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1855.72 KB) | DOI: 10.22146/jh.1311

Abstract

The interesting free-family of yudonegara of Banyumas can be traced from various historical texts about Banyumas. It is known that Yudonegara I until Yudonegara V had ruled Banyumas. The power of Surakarta kings were so great and they had strong influence in the changes of power. The Yudonegara V free family ended after Yudonegara V was forced to leave his power by external factors. Banyumas was then split into two parts, namely Kesepuhan and Kanoman.