Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Perhitungan Biaya Satuan (Unit Cost) Berdasarkan Clinical Pathway Bronkopneumonia Anak di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2017- Juni 2018 Arikalang, Giza E. E.; Nangoy, Edward; Mambo, Christi D.
eBiomedik Vol 7, No 1 (2019): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.7.1.2019.22219

Abstract

Abstract: Calculation of unit cost could give some information to healthcare policy. Broncho-pneumonia is a lung inflammation disease that occurs in around 30% of babies with high mortality risk. This study was aimed to determine the general depiction of unit cost calculation for bronchopneumonia among pediatric patients at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital according to clinical pathway. This was an observational retrospective study. Samples were obtained by using random sampling as many as 42 samples that fulfilled inclusion criteria. Processed data included patients’ demography, treatment, and the average of direct cost calculation. The results showed that the implemented therapy consisted of antibiotic, non-antibiotic, fluid therapy, ancillary laboratory examination, radiology, and ancillary diagnostics. Total cost for drugs was Rp. 8,822,455; laboratory Rp. 28,568,725; radiology Rp. 9,912,400; and ancillary diagnostic examination Rp. 7,110,000. Compared to the cost covered by BPJS, the hospital had some excess as follows: drug unit Rp. 958,549, radiology Rp. 1,771,517, and ancillary diagnostic examination Rp. 581,852. For ancillary laboratory examination in the hospital, there was a difference as much as Rp. 1,341,276 less than the the BPJS coverage. Conclusion: There was an excess difference within drug unit, radiology, and ancillary examinations for pediatric bronchopneumonia, while laboratorium unit possess lesser cost than BPJS.Keywords: bronchopneumnonia, cost unitAbstrak: Perhitungan biaya satuan merupakan salah satu informasi masukan dalam pembuatan kebijakan pelayanan. Bronkopneumonia ialah penyakit radang paru yang terjadi pada sekitar 30% anak balita dengan risiko kematian yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran perhitungan biaya satuan pada pasien bronkopneumonia anak di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou berdasarkan clinical pathway. Jenis penelitian ialah observasional retrospektif. Sampel penelitian dikumpulkan dengan metode random sampling berjumlah 42 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Data meliputi data demografi pasien, gambaran pengobatan, dan penghitungan rata-rata biaya langsung. Hasil penelitian mendapatkan bahwa terapi yang digunakan ialah antibiotik, non antibiotik, terapi cairan, serta penunjang laboratorium, radiologi, dan penunjang diagnostik. Total biaya untuk obat Rp. 8.822.455, laboratorium Rp. 28.568.725, radiologi Rp. 9.912.400, dan penunjang diagnostik Rp. 7.110.000. Bila dibandingkan dengan biaya tanggungan BPJS, rumah sakit memiliki selisih lebih pada unit obat sebanyak Rp. 958.549, radiologi Rp. 1.771.517, dan penunjang diagnostik Rp. 581.852. Untuk penunjang laboratorium, terdapat selisih kurang sebesar Rp. 1.341.276. Simpulan: Pada pengobatan bronkopneumonia anak terdapat perbedaan selisih lebih pada unit obat, radiologi, dan penunjang diagnostik, serta terdapat selisih kurang pada unit laboratoriumKata kunci: bronkopneumonia, perhitungan biaya satuan
UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK SPONS LAUT CALLYSPONGIA AERIZUSA TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI SHIGELLA DAN STAPHYLOCOCCUS EPIDERMIDIS Korompis, Tifany T.; Mambo, Christi D.; Nangoy, Edward
eBiomedik Vol 5, No 2 (2017): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.5.2.2017.18478

Abstract

Abstract: Callyspongia sp. is a kind of marine sponges that produces secondary metabolites, such as steroids, alkaloids, flavonoids, and terpenoids which can be used as antibacterial agents. This study was aimed to determine the inhibition activity of Callyspongia aerizusa marine sponge extract against the growth of Shigella and Staphylococcus epidermidis bacteria. This was an experimental laboratory study. Inhibition activity was tested by using the modified Kirby-Bauer method. The inhibition zones formed by the marine sponge extract were measured. The results showed that the inhibition zones of marine sponge extract against Shigella bacteria was 6.1 mm and against Staphylococcus epidermidis bacteria was 6.6 mm. Conclusion: Callyspongia aerizusa extract had moderate inhibition activity against the growth of Shigella and Staphylococcus epidermidis bacteria.Keywords: inhibition test, Callyspongia aerizusa, Shigella, Staphylococcus epidermidis Abstrak: Callyspongia sp. merupakan salah satu jenis spons laut yang menghasilkan metabolit sekunder berupa steroid, alkaloid, flavonoid, dan terpenoid yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya daya hambat dari ekstrak spons laut Callyspongia aerizusa terhadap pertumbuhan bakteri Shigella dan Staphylococcus epidermidis. Jenis penelitian ialah eksperimental laboratorik. Uji daya hambat dengan metode Kirby-Bauer yang dimodifikasi menggunakan sumuran untuk mengukur zona hambat yang terbentuk oleh ekstrak spons laut Callyspongia aerizusa. Hasil penelitian mendapatkan zona hambat yang terbentuk pada bakteri Shigella sebesar 6,1 mm dan pada bakteri Staphylococcus epidermidis sebesar 6,6 mm. Simpulan: Ekstrak spons laut Callyspongia aerizusa memiliki daya hambat sedang terhadap pertumbuhan bakteri Shigella dan Staphylococcus epidermidis.Kata kunci: uji daya hambat, Callyspongia aerizusa, Shigella, Staphylococcus epidermidis
Gambaran Evaluasi Terapi Antibiotik pada Pasien Bronkopneumonia di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli 2017 – Juni 2018 Polii, Erfand; Mambo, Christi D.; Posangi, Jimmy
e-Biomedik Vol 6, No 2 (2018): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v6i2.22175

Abstract

Abstract: Bronchopneumonia is still one of the health problems worldwide due to its high mortality rate. The definitive treatment for this disease is antibiotics. However, the use of antibiotics in hospitals is 30-80% not for the right indication. This study was aimed to obtain the description of evaluation of antibiotic therapy in bronchopneumonia patients in the Pediatrics Inpatient Installation of Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital Manado in the period of July 2017 - June 2018. This was a descriptive retrospective study with a cross-sectional design. Evaluation was done by using quantitative methods of DDD by WHO. The results of DDD/100-day evaluation using 41 samples were cefixime 141.63 DDD/100-day (48%), ampicillin 123.51 DDD /100-day (42%), cefotaxime 10.52 DDD/100-day (4%), gentamicin 8.88 DDD/ 100-day (3%), chloramphenicol 8.68 DDD/100-day (3%), and ceftriaxone 3.06 DDD/100-day (1%). Antibiotics included in 90% of the DU segment were cefixime and ampicillin. Conclusion: The most quantitative description evaluation of antibiotic therapy in bronchopneumonia patients was cefixime 141.63 DDD/100-day.Keywords: antibiotics, bronchopneumonia, DDD Abstrak: Bronkopneumonia menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya yang tinggi. Pengobatan definitifnya yaitu dengan pemberian antibiotik. Di berbagai rumah sakit, ditemukan 30-80% penggunaan antibiotik tidak didasarkan pada indikasi yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran evaluasi terapi antibiotik pada pasien bronkopneumonia di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Juli 2017 - Juni 2018. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif dengan desain potong lintang. Evaluasi menggunakan metode kuantitatif DDD oleh WHO. Hasil evaluasi antibiotik DDD/100-hari dari 41 sampel yaitu cefiksim 141,63 DDD/100-hari (48%), ampicilin 123,51 DDD/100-hari (42%), cefotaksim 10,52 DDD/100-hari (4%), gentamisin 8,88 DDD/100-hari (3%), kloramfenikol 8,68 DDD/100-hari (3%), dan ceftriakson 3,06 DDD/100-hari (1%). Antibiotik yang masuk dalam segmen DU 90% yaitu cefiksim dan ampicilin. Simpulan: Secara kuantitas gambaran evaluasi terapi antibiotik terbanyak pada pasien bronkopneumonia yaitu cefiksim 141,63 DDD/100-hari.Kata kunci: antibiotik, bronkopneumonia, DDD
Perhitungan Biaya Satuan Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Komplikasi Ulkus Kaki Diabetik Di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode September - November 2019 Rondonuwu, Yohanes Amazia Zet; Mambo, Christi D.; Posangi, Jimmy
JKK (Jurnal Kedokteran Klinik) Vol 4, No 1 (2020): JURNAL KEDOKTERAN KLINIK
Publisher : FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrract One input in health service policy making. Diabetes mellitus type 2 (type 2 diabetes) is a group of metabolic diseases characterized by hyperglycemia, which is caused by abnormalities in insulin secretion, insulin action or both. Type 2 diabetes is an expensive and incurable cost that often causes complications. Diabetic foot ulcer (UKD) is a chronic complication of type 2 diabetes that is often found, requires large costs and longer treatment. More than half of cases will require protection and require hospitalization, and 20% of lower leg infections will end in amputation. This study discusses the calculation of the cost of type 2 DM units with complications in the diabetic foot at RSUP Dr. R. D. Kandou Manado. This type of research is an observational retrospective. Research samples were collected using a purposive sampling method and 47 samples were collected that met the inclusion criteria. Data includes patient demographic data, treatment reviews, and average direct medical costs and indirect medical costs. The results showed that the therapies used were antihyperglycemia, antibiotics, non antibiotics, fluid therapy, actions and investigations. The total cost of medicines is IDR 55,242,562, IDR 889,487,600 for action, supporting examinations IDR 220,250,890, IDR 1,712,000 administration and IDR 88875,000 accommodation. The total cost per patient is based on length of stay compared to BPJS claims because it can only meet all patient costs in financial data. Conclusion: In the treatment of type 2 diabetes mellitus complicated diabetic foot ulcers there are differences in more than 17 cases, while the difference is less found in 26 cases.Keywords: DM Type 2, Diabetic Foot Ulcer, Total unit cost, total cost, BPJSABSTRAK Perhitungan biaya satuan merupakan salah satu masukan dalam pembuatan kebijakan pelayanan kesehatan. Diabetes Melitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia, yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. DM tipe 2 merupakan salah satu menghabiskan biaya kesehatan yang besar karena tidak dapat disembuhkan dan sering menimbulkan komplikasi. Ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM tipe 2 yang sering ditemui, memerlukan biaya yang besar dan perawatan yang lebih lama. Lebih dari setengah kasus ulkus kaki akan terinfeksi dan membutuhkan rawat inap, dan 20% dari infeksi ekstremitas bawah akan berakhir dengan amputasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perhitungan biaya satuan pasien DM tipe 2 dengan komplikasi ulkus kaki diabetik di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jenis penelitian ialah observasional retrospektif. Sampel penelitian dikumpulkan dengan metode purposive sampling berjumlah 47 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Data meliputi data demografi pasien, gambaran pengobatan, dan perhitungan rata-rata biaya langsung medis serta biaya langsung non medis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi yang digunakan yaitu antihiperglikemia, antibiotik, non antibiotik, terapi cairan, tindakan dan pemeriksaan penunjang. Total biaya untuk obat Rp.55.242.562, tindakan Rp.889.487.600, pemeriksaan penunjang Rp.202.350.890, administrasi Rp.1.712.000, dan akomodasi Rp.88.775.000. Biaya total per pasien berdasarkan lama rawat inap dibandingkan dengan klaim BPJS karena hanya menjamin keseluruhan tagihan biaya pasien pada data keuangan. Simpulan: Pada pengobatan DM tipe 2 komplikasi ulkus kaki diabetik terdapat selisih lebih pada 17 kasus, sedangkan selisih kurang ditemukan pada 26 kasus. tessssssssssssssssssssssssssssssssssssKata kunci : DM Tipe 2, Ulkus Kaki Diabetik, Perhitungan biaya satuan, biaya total, BPJS
Uji Efek Anti Bakteri Madu Hutan dan Madu Hitam Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa Kaligis, Clayton J.; Nangoy, Edward; Mambo, Christi D.
eBiomedik Vol 8, No 1 (2020): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.8.1.2020.28704

Abstract

Abstract: Honey contains plenty of antibacterial components, among them are high osmolarity, acidic pH, hydrogen peroxide, and antimicrobial proteins. The aim of this study is to determine in vitro antibacterial activity of forest honey and black honey against Staphylococcus aureus, Escherichia coli, and Pseudomonas aeruginosa. The method used is experimental laboratory with dilution method at University of Sam Ratulangi Faculty of Mathematics and Natural Sciences Microbiology Laboratory. Concentrations of honey used are 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56% dan 0,78% (v/v) respectively. Ciprofloxacin as positive control and aquadest as negative control. The results obtained in this study is that both forest honey and black honey exhibited antibacterial activity. The Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of forest honey towards S. aureus, E. coli, and P. aeruginosa is 12,5%, 12,5%, and 25%. The MIC of black honey towards S. aureus, E. coli, and P. aeruginosa is 25%, 12,5%, and 25%. No Minimum Bactericidal Concentration (MBC) is found on both forest honey and black honey. In conclusion, forest honey and black honey exhibited antibacterial activity against Staphylococcus aureus, Escherichia coli, and Pseudomonas aeruginosa bacteria. The antibacterial effect of forest honey superior to black honey by a small margin.                                                                                                          Keywords: antibacterial, forest honey, black honey, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa  Abstrak: Madu memiliki banyak komponen antibakteri, diantaranya osmolaritas yang tinggi, pH asam, hidrogen peroksida, dan protein antimikroba. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas antibakteri in vitro madu hutan dan madu hitam terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa. Metode yang digunakan yaitu eksperimental laboratorium dengan metode dilusi di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas MIPA Universitas Sam Ratulangi. Konsentrasi madu yang digunakan ialah 100%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56% dan 0,78% (v/v) secara berurutan. Ciprofloxacin sebagai kontrol positif dan akuades sebagai kontrol negatif. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini yaitu kedua madu hutan dan madu hitam menunjukkan sifat antibakteri. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) pada madu hutan terhadap S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa adalah 12,5%, 12,5%, dan 25% (v/v). MIC pada madu hitam terhadap S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa adalah 25%, 12,5%, dan 25% (v/v). Tidak ditemukan Minimum Bactericidal Concentration (MBC) pada kedua madu hutan dan madu hitam. Efek antibakteri madu hutan lebih kuat daripada madu hitam. Simpulan penelitian ini ialah madu hutan dan madu hitam memiliki efek antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa. Efek antibakteri madu hutan sedikit lebih besar daripada madu hitam.             Kata Kunci: antibakteri, madu hutan, madu hitam, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tuberculosis Multidrug Resistance (TB MDR) Bawonte, Trivianto G.; Mambo, Christi D.; Masengi, Angelina S. R.
eBiomedik Vol 9, No 1 (2021): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.9.1.2021.31949

Abstract

Abstract: Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR TB) is Mycobacterium tuberculosis resistance to the first line of antituberculosis drugs are rifampicin and isoniazid. Globally, in 2017 there were around 558.000 new cases (range, 483.000-639.000) resistant TB rifampicin (TB RR), nearly half of which were in three counties, India (24%), China (13%), and Rusia (10%). WHO estimates that there are 23.000 cases of MDR/RR in Indonesia. In 2017, there were 442.000 TB cases recorded in the program, of which an estimated 8.600-15.000 MDR/RR TB cases. The research to determine the factors that influence Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR TB).this type of research is in the form of literature review with design of case control study and cross sectional study. The results showed that the risk factors were proven to influence the occurrence (MDR TB). The conclusion from 15 articles reviewed, it shows that age, gender, treatment irregularity and medication adherence are the most influencing factors for TB MDR.Keywords: Factors, TB MDR, multidrug resistance tuberculosis  Abstrak: Tuberculosis Multidrug Resistance (TB MDR) merupakan resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama yaitu rifampisin dan isoniazid. Di tingkat global, di tahun 2017 terdapat sekitar 558.000 kasus baru (rentang, 483.000 - 639.000) TB rifampisin (TB RR) resistan di mana hampir separuhnya ada di tiga negara yaitu India (24%), China (13%), dan Rusia (10%). WHO memperkirakan ada 23.000 kasus MDR/RR di Indonesia. Pada tahun 2017 kasus TB yang tercatat di program ada sejumlah 442.000 kasus yang mana dari kasus tersebut diperkirakan ada 8.600-15.000 MDR/RR TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Tuberculosis Multidrug Resistance (TB MDR). Jenis penelitian ini berbentuk literature Review dengan rancangan case control study dan cross sectional study. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor risiko terbukti mempengaruhi terjadinya (TB MDR). simpulan dari 15 artikel yang di review, menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, ketidakteraturan berobat, dan kepatuhan minum obat merupakan faktor yang paling mempengaruhi terjadinyaTB MDR.Kata Kunci : Faktor – faktor, TB MDR, factors, multidrug tuberculosis
Peran Vitamin dalam Penanganan Penyakit Parkinson Onibala, Aurelia R.; Mambo, Christi D.; Masengi, Angelina S. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 13, No 3 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.13.3.2021.31956

Abstract

Abstrak: Penyakit Parkinson atau Parkinson’s disease (PD) merupakan penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis, progresif, dan tidak dapat disembuhkan sehingga penyakit ini memiliki dampak sosial yang besar. Pengobatan yang digunakan saat ini tidak dapat menghentikan perjalanan PD dan memiliki efek samping yang merugikan. Oleh sebab itu diperlukan terapi tambahan dengan risiko efek samping yang lebih rendah seperti vitamin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui vitamin apa saja yang berperan dan bagaimana mekanisme peran vitamin tersebut dalam membantu penanganan PD. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Literature Review. Berdasarkan artikel yang dianalisis, vitamin memiliki peran dalam penanganan PD. Vitamin A (9-cis-retinoic acid) bermanfaat melalui mekanisme neuroproteksi pada neuron dopaminergik. Vitamin B3 (niasin) berpotensi dalam mengurangi peradangan saraf. Vitamin B12 dalam penelitian in vitro berperan melalui  mekanisme inhibisi terhadap agregasi α-synuclein, menghambat aktivitas kinase leucine-rich repeat kinase 2 (LRRK2), dan mencegah neurotoksisitas. Vitamin C (asam askorbat) efektif untuk menurunkan stres oksidatif. Vitamin E memiliki efek antiinflamasi dan antioksidan serta dapat meningkatkan kapasitas antioksidan total, dan meningkatkan GSH. Penggunaan vitamin A (9-cis-retinoic acid), vitamin B3, vitamin B12, vitamin C (dalam dosis dan jangka waktu tertentu), dan vitamin E bermanfaat untuk agen terapeutik PD. Vitamin B12, berdasarkan literature review perlu penelitian lebih lanjut namun tampaknya dapat menjadi terapi pendukung PD.Kata kunci: Vitamin, Penyakit Parkinson, Stres Oksidatif, Peradangan Saraf  Abstract: Parkinson's disease (PD) is a chronic, progressive, and incurable neurodegenerative disease that has a major social impact. The medications currently used cannot stop the course of PD and have adverse side effects. Therefore additional therapy with a lower risk of side effects such as vitamins is needed. This study aims to determine which vitamins play a role and how the mechanism of the role of these vitamins in helping treat PD. This research was conducted using the Literature Review method. Based on the articles analyzed, vitamins have a role in the management of PD. Vitamin A (9-cis-retinoic acid) is beneficial through neuroprotection in dopaminergic neurons. Vitamin B3 (niacin) has the potential to reduce nerve inflammation. Vitamin B12 in in vitro studies plays a role through inhibitory mechanisms of α-synuclein aggregation, inhibits the activity of leucine-rich repeat kinase 2 (LRRK2), and prevents neurotoxicity. Vitamin C (ascorbic acid) is effective for reducing oxidative stress. Vitamin E has anti-inflammatory and antioxidant effects and can increase the total antioxidant capacity and increase GSH. The use of vitamin A (9-cis-retinoic acid), vitamin B3, vitamin B12, vitamin C (in certain doses and for a certain time), and vitamin E are beneficial for the therapeutic agent of PD. For vitamin B12, based on the literature review, further research is needed but seems to be a supportive therapy for PD.Keywords: Vitamins, Parkinson's Disease, Oxidative Stress, Neuroinflammation
Karakteristik Pasien dan Penggunaan Antibiotik di Ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Salah Satu Rumah Sakit Swasta di Sulawesi Utara: Characteristics of Patients and Antibiotic Use in Pediatric Intensive Care Unit (PICU) of A Private Hospitals in North Sulawesi Tarigan, Paulus B.; Posangi, Jimmy; Mambo, Christi D.
e-CliniC Vol. 12 No. 3 (2024): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v12i3.54384

Abstract

Antibiotik merupakan jenis obat yang digunakan dalam mengatasi infeksi bakteri dimana penggunaannya paling sering pada pengobatan di rumah sakit salah satunya di PICU. Golongan dan mekanisme kerja dari antibiotik yang beragam menjadi faktor dalam penggunaan antibiotik sebagai suatu terapi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana karakteristik penggunaan antibiotik di PICU salah satu rumah sakit swasta di Sulawesi Utara. Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dengan sumber data sekunder rekam medik bulan Januari sampai Juni 2023 yang diambil menggunakan metode total sampling. Dari penelitian, hasil yang didapatkan hanya 23 pasien yang diberikan terapi antibiotik dengan total antibiotik yang digunakan sebanyak 47 antibiotik. Berdasarkan antibiotik yang digunakan seftriakson merupakan antibiotik terbanyak yang digunakan yaitu 12 (25,53%) antibiotik diikuti sefotaksim 11 (23,4%) antibiotik, dan gentamisin 10 (21,28) antibiotik terbanyak ketiga. Sedangkan meropenem, ampisilin, amikasi, dan seftazidin merupakan contoh antibiotik yang jarang digunakan dimana penggunaannya hanya 1 (2,12%) antibiotik. Penggunaan antibiotik paling banyak diberikan dengan tujuan sebagai terapi empiris sebanyak 41 (87,23%) antibiotik dengan terapi profilaksis dan skin test mempunyai jumlah yang sama sebanyak 3 (6,38%) penggunaan. Antibiotik yang diberikan secara intravena sebanyak 39 (82,98%) penggunaan merupakan cara pembeian terbanyak selain pemberian secara oral maupun topikal. Simpulan penelitian ini adalah golongan sefalosporin merupakan golongan terbanyak yang digunakan dalam terapi PICU dengan indikasi terapi terbanyak sebagai terapi empiris dan cara pemberian melalui intravena.
Medication Error Tahap Prescribing pada Resep Obat Narkotika di Instalasi Farmasi Salah Satu Rumah Sakit Swasta di Minahasa Seran, Ester; Mambo, Christi D.; Masengi, Angelina S. R.
e-CliniC Vol. 12 No. 3 (2024): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v12i3.55090

Abstract

Abstract: Medication errors can lead to inappropriate use of medication and harm to patients. Medication errors most commonly occur at the prescribing stage. This study aimed to evaluate medication errors during the prescribing stage in terms of the clinical completeness of prescriptions, specifically focusing on drug interactions. This was a retrospective study using secondary data of the Drugs.com and Medscape databases. Data were analyzed univariately. The results showed that the most prescribed narcotic drugs were fentanyl (70%) and codeine (30%). The most interacting types of drugs were fentanyl and ondansetron with a total of 58 events (22.9%) that had major severity according to the Drugs.com database. Meanwhile, according to the Medscape database, the type of drug with the most major interactions was Fentanyl - Propofol with 39 events (15.5%). Based on Drugs.com database, 109 interactions were found with major, 141 moderate, and three unknown severity. Based on Medscape database, there were 85 interactions with major severity, 45 moderate and 123 unknown. In conclusion, interaction between narcotic and non-narcotic drugs especially fentanyl showed high risk potential with major severity. Database of drug interaction is important to achieve safe decision of therapu and to prevent the occurrence of medication error.  Keywords: medication error; prescribing stage; narcotics; drug interaction   Abstrak: Medication error dapat menyebabkan penggunaan obat tidak tepat dan membahayakan pasien. Kesalahan pengobatan yang paling sering terjadi pada tahap prescribing atau penulisan resep obat.. Penelitian ini bertujuan untuk menilai medication error tahap prescribing berupa kelengkapan klinis resep yaitu interaksi obat. Jenis penelitian ialah retrospektif. Data sekunder diperoleh di Instalasi Farmasi salah satu rumah sakit swasta di Minahasa periode Januari – Juni 2023. Analisis data berdasarkan basis data Drugs.com dan Medscape menggunakan metode analisis univariat. Hasil penelitian mendapatkan bahwa jenis obat narkotika yang sering diresepkan ialah fentanyl (70%) dan codeine (30%). Jenis obat yang paling banyak berinteraksi menurut basis data Drugs.com ialah fentanyl dan ondansetron dengan jumlah kejadian sebanyak 58 (22,9%) dan tingkat keparahan major Menurut basis data Medscape jenis obat dengan interaksi major paling banyak ialah fentanyl – propofol sebanyak 39 kejadian (15,5%). Berdasarkan basis data Drugs.com didapatkan 109 interaksi dengan tingkat keparahan major, 141 moderate dan tiga tidak diketahui. Berdasarkan basis data Medscape didapatkan 85 interaksi dengan tingkat keparahan major, 45 moderate dan 123 tidak diketahui. Simpulan penelitian ini ialah interaksi obat narkotika dengan non-narkotika terutama fentanyl menunjukkan potensi risiko tinggi dengan tingkat keparahan major. Penggunaan basis data interaksi obat penting untuk keputusan terapi yang aman dan mencegah kejadian medication error. Kata kunci: medication error: tahap prescribing; narkotika; interaksi obat
Gambaran Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Salah Satu Rumah Sakit Swasta di Sulawesi Utara Rue, Puella; Mambo, Christi D.; Nangoy, Edward; Umboh, Octavianus; Purwanto, Diana S.; Masengi, Angelina S. R.
e-CliniC Vol. 13 No. 2 (2025): e-CliniC
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ecl.v13i2.61019

Abstract

Abstract: Management of hypertension is conducted to control the  blood pressure in patients with hypertension. There are a variety of antihypertensie agents that can be used in patients with hypertension.  This study aimed to evaluate the pattern of antihypertensive drug use among patients with hypertension in the Inpatient Ward. This was a retrospective and descriptive study using a cross-sectional design. The results showed that the  dominant characteristics were female gender (64.29%), age ≥60 years (71.43%), housewife (51.43%), and completed senior high school education (34.29%). The most commonly prescribed drugs were amlodipine (25.71%), and the combination of amlodipine and candesartan (22.86%). In conclusion, the majority of patients with hypertension are females, aged ≥60 years, working as housewives, and have high school education. The most frequently used single antihypertensive drug is calcium channel blocker group, specifically amlodipine, while the combination therapy involve both a calcium channel blocker and an ARB, namely amlodipine and candesartan. Keywords: hypertension; antihypertensive drugs    Abstrak: Tatalaksana hipertensi dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol tekanan darah pada pasien hipertensi. Terdapat bermacam jenis obat antihipertensi yang dapat digunakan pada pasien hipertensi.  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Inap. Jenis penelitian ialah deskriptif retrospektif dengan desain potong lintang. Hasil penelitian mendapatkan karakteristik yang dominan ialah jenis kelamin perempuan (64,29%), usia ³60 tahun (71,43%), pekerjaan sebagai ibu rumah tangga (IRT) (51,43%), dan pendidikan terakhir SMA (34,29%). Penggunaan obat terbanyak ialah amlodipin (25,71%), serta kombinasi amlodipin dan candesartan (22,86%) Simpulan penelitian ini ialah pasien hipertensi paling banyak terdapat pada jenis kelamin perempuan, kelompok usia ³60 tahun, pekerjaan IRT, dan tingkat pendidikan terakhir SMA. Penggunaan obat antihipertensi tunggal terbanyak dari golongan antagonis kalsium yaitu amlodipin, sedangkan kombinasi obat antihipertensi ialah antagonis kalsium dan ARB, yaitu amlodipin dan candesartan. Kata kunci: hipertensi; obat antihipertensi