Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

TRADISI JAMASAN PUSAKA DAN KERETA KENCANA DI KABUPATEN PEMALANG Afiliasi ilafi
Pangadereng : Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Vol 6, No 1 (2020)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/pjhpish.v6i1.41

Abstract

Tradisi Jamasan merupakan tradisi yang ada dibeberapa daerah khususnya di daerah pulau Jawa. Tradisi Jamasan banyak dilakukan pada bulan suro atau muharram, seperti pada tradisi jamasan yang dilaksanakan oleh Kabupaten Pemalang meliputi pusaka dan kereta kencana. Tradisi jamasan pusaka dan kereta kencana merupakan agenda rutin tahunan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Pemalang dengan tujuan untuk melestarikan dan merawat budaya leluhur. Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriftif kualitatif.  Teknik pengumpulan data berupa studi pustaka dan wawancara. Teori yang digunakan dalam penelitian ini berupa teori kebudayaan. Hasil penelitian ini berupa: a) deskripsi tata cara mengenai proses jamasan pusaka dan kereta kencana di kabupaten pemalang yang dibagi dalam dua hari, yakni hari pertama ditandai dengan adanya pembacaan kidung dan beber wayang sedangkan pada hari kedua merupakan acara kedinasan yang dihadiri oleh tamu undangan pejabat pemerintah daerah; b) makna yang terkandung dari prosesi jamasan pusaka dan kereta kencana meliputi makna simbolik umborampe yang digunakan; c) tujuan dilaksanakannya jamasan pusaka dan kereta kencana yang ada di Kabupaten Pemalang supaya pejabat daerah maupun masyarakat ikut andil dalam melestarikan tradisi jamasan; d) adanya peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan prosesi jamasan sehingga tradisi jamasan pusaka dan kereta kencana dapat dilaksanakan secara rutin.
IDEOLOGI KAWIRYAN HAMENGKU BUWANA VII DALAM SERAT SAPTASTHA Afiliasi Ilafi; Bani Sudardi; Supana Supana
p-ISSN 2356-0576
Publisher : Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Muhammadiyah Purworejo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (61.72 KB) | DOI: 10.37729/btr.v4i8.4161

Abstract

ABSTRACT: Hamengku Buwana VII is the King of Yogyakarta styled as Sinuwun Sugih. This title is awarded due to his leadership, which increases the revenue from establishment of sugar mills. His ideology in terms of leadership struck the sympathy of his subjects, especially that Hamengku Buwana VII implements the philosophy of Kawiryan in various ways, thus enhancing his image. There is one ancient manuscript that portrays this kawiryan nature of the king, whenever he faced events that haven't been seen before. The Kawiryan nature makes the people so sympathetic towards him. This writing aims to find out what is the content of Serat Saptastha and how the text portrays the Kawiryan nature of the King. This writing uses the methodology of qualitative research with content analysis and literature study for data collection techniques. This writing based its theory from the works Antonio Gramsci, the theory of hegemony. The results of this study indicate that the Serat Saptastha was written in 1921, the end of Hamengku Buwana VII's reign. Further, Kawiryan ideology shows that Hamengku Buwana VII succeeded in winning his people's hearts, even long after the end of his reign, his leadership quality is the one that people remember until now.Keywords: Ideology, Kawiryan, Serat SaptasthaABSTRAK: Hamengku Buwana VII merupakan raja Yogyakarta yang mendapatkan sebutan Sinuwun Sugih. Sebutan tersebut disematkan karena pada masa kepemimpinnya banyak mendapatkan pundi-pundi pendapatan dari pendirian pabrik gula. Ideologinya dalam hal kepemimpinannya menempatkan Hamengku Buwana VII mendapatkan tempat dihati rakyat banyak, terlebih bahwa Hamengku Buwana VII menerapkan sifat kawiryan dalam berbagai hal, sehingga menambah citra bagi Hamengku Buwana VII. Terdapat salah satu naskah kuno yang menceritakan bagaimana sikap kawiryan raja yakni Hamengku Buwana VII dalam mendapati beberapa peristiwa yang tidak dialami oleh raja sebelum-sebelumnya. Sikap kawiryantersebut membuat rakyatnya begitu simpatik terhadap dirinya. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apa isi dari teks Serat Saptastha dan bagaimana sikap kawiryanHamengku Buwana VII yang tertuang dalam isi teks Serat Saptastha.  Metode yang digunakan berupa metode kualitatifdengan analisis isi dan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Serta teori yang digunakan berupa teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa Serat Saptastha ditulis pada tahun 1921, tahun tersebut menunjukkan tahun berakhirnya masa kepemimpinan Hamengku Buwana VII. Selain itu, ideologi kawiryan menunjukkan bahwa Hamengku Buwana VII menempatkan dirinya di hati rakyatnya, bahkan berakhirnya masa kepemimpinan Hamengku Buwana VII, sosok kepemimpinannya terus saja terkenang hingga sekarang.Kata Kunci: Ideologi, Kawiryan, Serat Saptastha
UPAYA PELESTARIAN RUMAH SEJARAH DALEM NOTONEGORO SEBAGAI CAGAR BUDAYA OLEH PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG Afiliasi Ilafi; Dhiana Putri Larasaty
JURNAL PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA Vol 8, No 2 (2022)
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36424/jpsb.v8i2.332

Abstract

Dalem Notonegoro merupakan bekas Rumah Bupati Notonegoro salah satu Bupati Pemalang yang saat ini telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya dengan dibuktikan adanya SK penetapan Cagar Budaya nomor 432/1493/Tahun 2018 oleh Bupati Pemalang. Rumah Bupati Notonegoro atau dikenal dengan sebutan Dalem Kenaren diperkirakan dibangun pada tahun 1825 beralamat di Jalan Kyai Makmur, perkiraan tahun tersebut dibuktikan adanya inskripsi yang tertulis pada kayu di bagian molo (struktur bagian atap bangunan). Sebagai salah satu Bangunan Cagar Budaya, pemerintah Kabupaten Pemalang berupaya untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 dengan melakukan serangkaian kegiatan konservasi bangunan cagar budaya dengan merevitalisasi bangunan tersebut. Sebagai bangunan cagar budaya yang sudah berusia lebih 50 tahun, maka pelestarian rumah sejarah Dalem Notonegoro perlu dilakukan sesuai dengan undang-undang cagar budaya. Pada penulisan ini hendak mendeskripsikan bagaimana peranan Pemerintah Daerah Kabuten Pemalang dalam upaya pelestarian cagar budaya, selain itu sejarah keberadaan Rumah Bupati Notonegoro atau Dalem Kenaren akan dideskripsikan pada penulisan ini. Penulisan ini berupa penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan, dokumentasi dan wawancara. Adapun data yang digunakan berasal dari data primer dan data sekunder, sedangkan sumber data berasal dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun Hasil dan analisis meliputi deskripsi terkait asal usul Rumah Sejarah Dalem Notonegoro yang semula merupakan kediaman Bupati Pemalang yang bernama R.A.A Notonegoro yang tidak lain adalah Bupati Pemalang kemudian sepeninggalnya, Dalem Kenaren ditempati oleh anak kedua Bupati Notonegoro yang Bernama Raden Ayu Dipokusumo. Selanjutnya, Dalem Kenaren diwariskan kepada anak bungsunya Bupati Notonegoro yang Bernama Raden Ngabehi Surjowinoto. Hingga ditahun 2000-an, Dalem Kenaren ditempati oleh Eyang Titi yang merupakan ahli waris Dalem Kenaren pada waktu itu sebelum dibeli oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pemalang. Dalam pelestarian Dalem Notonegoro atau Dalem Kenaren yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pemalang berupa pembelian rumah Bupati Notonegoro kepada ahli waris pada waktu itu yakni Eyang Titi selanjutnya dilakukan  konservasi Rumah Bupati Notonegoro atau Dalem Kenaren yang mencakup dari tahun 2018 hingga tahun 2021 berupa memperbaiki bangunan agar seperti sediakala. Kegiatan konservasi tersebut dilakukan secara LPSE dengan menjaring pihak kontraktor yang memiliki kredibelitas dalam ranah cagar budaya. Dengan adanya penelitian terhadap salah satu Bangunan Cagar Budaya yang ada di Kabupaten Pemalang dapat menjadi referensi masyarakat dalam penelitian sejenis.
BANYU PANGURIPAN TRADITION: SACREDNESS IN AN ISLAMIC CONTECT Afiliasi Ilafi; Bani Sudardi; Slamet Subiyantoro; Titis Srimuda Pitana
International Conference on Humanity Education and Society (ICHES) Vol. 3 No. 1 (2024): Third International Conference on Humanity Education and Society (ICHES)
Publisher : FORPIM PTKIS ZONA TAPAL KUDA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The implementation of the Banyu Panguripan Tradition still balances the values of Islamic teachings that live in the community of Pulosari Subdistrict. Although this tradition has potential as a cultural tourism destination, it still does not leave the essence of the sacredness of this tradition. The Banyu Panguripan tradition is a tradition related to springs and water sources, which is not only in Pulosari Subdistrict. But some areas also have the same tradition, such as in Kudus. The difference lies in the packaging and implementation of the event. The use of descriptive qualitative methods is considered appropriate in this research because the techniques used in data collection are observation and interviews so that the data obtained comes from interviews with informants who are relevant and credible to this research. The sacredness that exists in the implementation of the Banyu Panguripan Tradition still does not leave the Islamic corridor in the community.