Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

Niniwe yang Jahat juga Milik Allah: Fondasi Konstruksi Misi Allah dalam Yunus 3:1-4:11 Eliyunus Gulo; Barnabas Ludji; Pelita Hati Surbakti
Immanuel: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Vol 2, No 2 (2021): OKTOBER 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46305/im.v2i2.34

Abstract

The story of Jonah who was in the belly of the big fish is a familiar story to all Christians. However, the debate around the historical character of Jonah has made many Christians forget about the main message of this book. Therefore a number of interpreters suggest that we should get out of this historicity debate and focus on its theological themes and messages. Through this paper, the authors try to focus on exploring the main theme and to answer this, the author conducted a qualitative research using “God's mission” as a hermeneutical framework for the text of Jonah 3:1-4:11. Through this framework, proposed by Christopher J. H. Wright, the Portrait of God and His Mission is the theme that the book intends to carry. The message is that the church as its readers can understand the portrait of God and His Mission. This sort of understanding is then expected to become the foundation for the church in carrying out its mission activities. AbstrakKisah Yunus dalam perut ikan besar merupakan kisah yang akrab bagi semua orang Kristen. Namun demikian, perdebatan mengenai historisitas tokoh Yunus akibat kisah ini telah membuat sebagai orang Kristen lupa mengenai tema dan pesan dari kitab ini. Karena itu sejumlah penafsir menyarankan agar kita sebaiknya keluar dari perdebatan historisitas ini dan berfokus pada tema dan pesan teologisnya. Melalui tulisan ini, penulis mencoba mengikuti usulan tersebut dan berfokus pada penggalian tema apa yang hendak disampaikan melalui kitab ini. Untuk menjawabnya, penulis melakukan penelitian kualitatif dengan menggunakan “misi Allah” sebagai bingkai kerja penafsiran (hermeneutical framework) terhadap teks Yunus 3:1-4:11. Melalui bingkai kerja yang diusulkan oleh Christopher J. H. Wright ini, maka Potret Allah dan Misi-Nya adalah tema yang hendak diusung melalui kitab ini. Pesannya adalah agar gereja sebagai pembacanya dapat memahami potret Allah dan Misi-Nya. Pemahaman tersebut selanjutnya diharapkan menjadi fondasi bagi gereja dalam menjalankan aktivitas misinya.
Mamasa-Kristen dan Kematian Anggota Keluarganya: Dialog yang Memperkaya antara 1 Tesalonika 4:14 dan Aluk Toyolo Pelita Hati Surbakti; Rahyuni Daud Pori; Ekavian Sabaritno
Indonesian Journal of Theology Vol 10 No 1 (2022): Edisi Reguler - Juli 2022
Publisher : Asosiasi Teolog Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46567/ijt.v10i1.239

Abstract

The death of a family member often leaves deep sorrow. Because of that, in various cultures, there are mechanisms of consolation as also found in Aluk Toyolo. However, these mechanisms find occasional opposition within Christianity when seen as inconsistent with the teachings of the Bible. A church may even impose sanctions on congregants who continue to observe them. Such a situation presents an obvious dilemma for those abiding by two traditions or two texts, namely ancestral culture and Christian tradition. Known for their heritage of distinct death rites, Mamasa-Christians experience this very dilemma. Although the Mamasa Toraja Church (GTM) at the synod level has adopted a number of prohibitions, some of the prohibited rites are still practiced openly—a dilemma experienced by congregants and church, alike. So, what can be done to minimize this dilemma? This article proposes a dialogue in the realm of two texts hermeneutics called Cross-Textual Hermeneutics. From this dialogue, a number of points of contact can be found between the notion of death in the Mamasa ancestral culture and the concept of death in the writing of Paul the Apostle. While differences between the two traditions exist, there are also enriching differences to be found. Through such a dialogue, the understanding of the death in 1 Thessalonians 4:14 can be enriched by means of considering the death rite in Aluk Toyolo.
Kota-kota perlindungan dalam kitab Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-34 Aeron Frior Sihombing; Barnabas Ludji; Pelita Surbakti
Te Deum (Jurnal Teologi dan Pengembangan Pelayanan) Vol 12 No 2 (2023): Januari-Juni 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAPPI Ciranjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51828/td.v12i2.222

Abstract

Masalah dalam penelitian ini adalah mengenai kota-kota perlindungan dalam Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-34. Topik yang sama mengenai kota perlindungan, namun memiliki perbedaan yang signifikan. Penelitian ini akan membandingkan persamaan dan perbedaan antara kota-kota perlindungan menurut Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-34 dan memaparkan relevansinya dengan orang percaya di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis kritis, melalui kritik redaksi, kritik sumber dan kritik bentuk. Kota-kota perlindungan dalam Yosua 20:1-9 dan Bilangan 35:9-35, baik dari sisi redaktur, sumber maupun sitz im leben berbeda, sehingga tujuan teologinya pun berbeda. Namun, kesamaannya ada di paradigma kota perlindungan dari kedua teks ini, yaitu untuk kemanusiaan dan kultus. Refleksi bagi penegakan hukum di Indonesia adalah penegakan hukum haruslah adil tanpa memandang status sosial dan sama rata terhadap seluruh penduduk Indonesia.
Kepedulian Sosial yang Rasional dan Mendidik: Analisis Sosial dan Analisis Argumentasi 1 Timotius 5:3-16 Pelita Hati Surbakti
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 8, No 1 (2023): Oktober 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v8i1.1060

Abstract

Abstract. A number of forms of social care have become church traditions throughout time. On the other hand, many have predicted that in 2023 the world, including Indonesia, will experience quite heavy economic pressure. In a situation like this, what if the church also experiences a crisis, either financially or in terms of other resources? Can the tradition of social care be annulled? To answer this question, this paper conducted argumentation analysis and social analysis in interpreting 1 Timothy 5:3-16. This study showed that Paul reminded the congregation leader (Timothy), that despite limited conditions, he must not annul this tradition, but in its implementation it must be making sense and educating. Thus, it can be concluded that the church in Indonesia needs to apply making sense and educating principles in practicing a number of social care traditions.Abstrak. Sejumlah bentuk kepedulian sosial telah menjadi tradisi gereja di sepanjang masa. Pada sisi lain, sejumlah pihak memprediksi bahwa pada 2023 dunia, termasuk Indonesia, akan mengalami tekanan ekonomi yang cukup berat. Dalam situasi seperti ini, bagaimana jika gereja ternyata juga mengalami krisis, baik krisis dalam hal keuangan maupun dalam hal sumber daya yang lain? Dapatkah tradisi kepedulian sosial itu dianulir? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini menggunakan analisis argumentasi dan analisis sosial dalam memaknai 1 Timotius 5:3-16 ini. Kajian ini menunjukkan bahwa Paulus mengingatkan pemimpin jemaat (Timotius) meskipun kondisi keterbatasan tidak boleh menganulir tradisi tersebut, tetapi dalam pelaksanaannya haruslah rasional dan mendidik. Dengan demikian dapat disimpulkan, gereja di Indonesia perlu menerapkan prinsip rasional dan mendidik dalam mempraktikkan sejumlah tradisi kepedulian sosial.
The Gospel's Seeds in Massuru Culture: Examining the Teachings of Jesus in Matthew 5:23–24 in the Context of Torajan Culture Linggi', Lius Bongga; Surbakti, Pelita Hati
KAMASEAN: Jurnal Teologi Kristen Vol. 5 No. 1 (2024): June
Publisher : Institut Agama Kristen Negeri Toraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34307/kamasean.v5i1.274

Abstract

Awareness of the unfair treatment of local cultural contexts in the Christian mission movement during the colonial era is increasing in many communities. This is influenced by the church's increasing awareness of the richness of local culture itself. The Gereja Toraja is also part of that reality. For this reason, the Gereja Toraja has made various breakthroughs to give more place to local culture in carrying out the mission of the church. A number of activities and documents produced clearly show the face of The Gereja Toraja with a more friendly paradigm to local culture. However, this excellent breakthrough still needs to be shifted to the realm of practice and concreteness. This is because the paradigm in question is still dominated by theoretical matters. Through this paper, the author raises Massuru's culture as a case study. Through the efforts of contextual theology with an anthropological model, the author found that in the Massuru's culture, the gospel value contained in Matthew 5:23–24 is reconciliation before performing religious rites. Based on this result, the effort to shift the new paradigm in a more concrete direction within the Gereja Toraja will be more interesting and passionate. In turn, Torajan Christians will hopefully be more encouraged to put the message of the Bible into practice and enjoy their faith within the framework of their own culture.
MENYELESAIKAN PEMBERIAN YANG TERTUNDA Sibagariang, Julius Stefanus; Surbakti, Pelita Hati
Jurnal Amanat Agung Vol 19 No 2 (2023): Jurnal Amanat Agung Vo. 19 No. 2 Desember 2023
Publisher : STT Amanat Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47754/jaa.v19i2.616

Abstract

Memberi kepada mereka yang berkekurangan merupakan tradisi gereja di sepanjang masa. Dalam kenyataannya, tradisi ini tidak selalu dapat dilaksanakan, bahkan ada kalanya tertunda dan akhirnya tidak terlaksana. Ada sejumlah faktor penyebab ketika gereja dan/atau anggota jemaat menunda pemberian mereka. Dalam 2 Korintus 8:1-9, rasul Paulus juga menyaksikan jemaat Korintus menunda pemberian mereka. Dengan menggunakan analisis argumentasi serta dikonfirmasi dengan analisis sosial, penulis mencoba menemukan apa penyebab penundaan itu serta apa pula strategi Paulus dalam mendorong jemaat Korintus untuk menuntaskan komitmen mereka untuk memberi. Kesimpulannya, 2 Korintus 8:1-9 memuat strategi Paulus dalam mendorong jemaat Korintus untuk menyelesaikan pemberian yang tertunda itu. Setidaknya ada dua penyebab penundaan ini. Yang pertama adalah gaya hidup kosmopolitan yang memberi perhatian kepada kehidupan mewah serta status sosial. Yang kedua adalah adanya konflik atau setidaknya persepsi negatif di dalam jemaat. Untuk menyikapinya, Paulus menggunakan dua argumentasi untuk mendorong jemaat Korintus. Yang pertama adalah dengan memperlihatkan anugerah kepada jemaat Makedonia yang miskin. Yang kedua adalah dengan memperlihatkan besarnya anugerah Allah dalam diri Yesus Kristus.
Pemilihan Pemimpin dengan Undi Nababan, Hugo De Groot; Surbakti, Pelita Hati
Te Deum (Jurnal Teologi dan Pengembangan Pelayanan) Vol 14 No 1 (2024): Juli-Desember 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAPPI Ciranjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51828/td.v14i1.380

Abstract

Keputusan Huria Kristen Indonesia (HKI) menggunakan metode undi dalam memilih pemimpin (ephorus dan sekretaris jenderal) telah mendapat banyak pujian. Pujian tersebut datang dari dalam maupun dari luar HKI. Meskipun demikian, sebagian kecil kalangan HKI, belum sepenuhnya menerima keputusan itu. Terlepas dari realitas itu, HKI perlu merawat keputusan tersebut, antara lain dengan menghadirkan diskursus-diskursus biblika tentang undi dalam memilih pemimpin. Untuk itulah, melalui tulisan ini penulis mencoba menemukan makna lain dari pemilihan dengan undi dalam Kisah Para Rasul 1:15-26 dengan menggunakan analisis sosial ilmiah. Hasilnya, pemilihan pengganti Yudas dengan undi utamanya adalah untuk mengatasi krisis sosial akibat dari pengkhianatan Yudas. Kisah pemilihan dengan undi dalam teks ini adalah upaya merestorasi citra para rasul dengan memulihkan kepercayaan komunitas Kristen terhadap pemimpin baru mereka, yaitu para rasul. Dengan restorasi citra pemimpin ini, kepercayaan komunitas Kristen kepada pemimpinnya (termasuk di HKI) diharapkan mampu membuat gereja berhasil mengerjakan misi Allah dalam Kisah Para Rasul 1:8.
Bijaksana Meniru Cara Hidup Jemaat Pertama: Melihat Kemiskinan sebagai Ekses dari Cara Hidup Jemaat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 Sembiring, Falentina Br.; Surbakti, Pelita Hati
Immanuel: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Vol 6, No 1 (2025): APRIL 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46305/im.v6i1.401

Abstract

According to the Acts of the Apostles, the first Christian congregation in Jerusalem was well-liked by many people and their numbers grew rapidly. For this reason, several previous studies have identified this church as the ideal church. With this identification, several church leaders who desire church growth often take the example of this first church as an ideal model to emulate. Through this paper, we would like to provide a new perspective that the way of life practiced by the first church cannot necessarily be practiced just like that. This is partly because, even from the beginning, selling property and distributing it to the poor congregation has led to the excesses of poverty that have worsened in the future. With a social-scientific analysis approach to Acts 2:41-47, we want to show the excesses of the way of life of the earliest church that sold property and distributed it. As a result, at least 20 years later the worsening poverty of the church as found in 2 Corinthians 8-9 was finally experienced by the earliest church in Jerusalem. Therefore, no matter how good, this “ideal church” way of life needs to be addressed critically, wisely, and contextually. This kind of attitude needs to be possessed by every church leader who wants to emulate it. AbstrakBerdasarkan Kisah Para Rasul, jemaat Kristen pertama di Yerusalem disukai oleh banyak orang dan jumlah mereka pun bertambah secara cepat. Karena itulah sejumlah penelitian terdahulu menilai jemaat ini sebagai jemaat ideal. Dengan identifikasi ini sejumlah pemimpin gereja yang mendambakan pertumbuhan jemaat kerab mengambil teladan jemaat pertama ini sebagai model ideal untuk ditiru. Melalui tulisan ini kami hendak memberikan sebuah perspektif baru bahwa cara hidup yang dipraktikkan oleh jemaat pertama tidak serta-merta dapat dipraktikkan begitu saja. Hal ini antara lain dikarenakan, bahkan sejak awal, praktik menjual harta dan dibagikan kepada jemaat yang miskin telah menimbulkan ekses kemiskinan yang semakin parah di kemudian hari. Dengan pendekatan analisis sosial-ilmiah terhadap Kisah Para Rasul 2:41-47, kami hendak memperlihatkan ekses dari cara hidup jemaat pertama yang menjual harta dan membagi-bagikannya tersebut. Hasilnya, setidaknya setelah 20-an tahun kemudian kemiskinan jemaat yang semakin parah sebagaimana yang ditemukan dalam 2 Korintus 8-9 akhirnya dialami oleh jemaat pertama di Yerusalem tersebut. Karenanya betapapun baiknya, cara hidup “jemaat ideal” ini perlu disikapi secara kritis, bijaksana, dan kontekstual. Sikap semacam ini perlu dimiliki oleh setiap pemimpin gereja yang hendak menirunya.
Upaya Menghadapi Segregasi Sosial dan Bidat: Analisis Sosial-Ilmiah Kolose 2:16-23 Nuban, Sola Gracia Willcory Melina; Surbakti, Pelita Hati
Mitra Sriwijaya: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Vol. 5 No. 2 (2024): Desember 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46974/ms.v5i2.130

Abstract

Colossians 2:16-23 is often used as a reference to identify heresies in Colossae. This identification was later assessed as part of Paul's strategy so that the Colossian church could finally face the heresy. So, is the problem of heresy the only problem in the congregation? Unfortunately, a number of interpreters tend to pay less attention to the other social issue. This article wants to show that the idea of the unity of the church, as a body, and Christ, as its head, in this text (v. 19) also indicates the existence of social segregation that was hitting the Colossian church. To prove the above hypothesis, the authors conducted qualitative research with data collection through literature studies. The hermeneutic theory used to interpret the Colossians is Social Scientific Criticism. As a result, it appears that the "group" traditions that were so prominent and strong in Mediterranean society at that time were proven to have resulted in social segregation. That is why v. 19 eventually emerged and became part of the strategy to deal with the problems at Colossae, including the social segregation.
Studi Intertekstual terhadap Misphat dan Dalihan Na Tolu: Membaca Mikha 3 dari Perspektif Sistem Hukum Adat Batak Toba Situmorang, David Christanto; Sihombing, Salomo; Surbakti, Pelita Hati
Immanuel: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Vol 6, No 2 (2025): OKTOBER 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46305/im.v6i2.467

Abstract

This paper highlights the issue of injustice in Micah 3 which is reflected in the word misphat. This issue is highlighted from the perspective of Dalihan Na Tolu. Efforts to find Dalihan Na Tolu's perspective on the issue of injustice in Micah 3 contained in the word misphat. This research was conducted using a qualitative method (literature study), while the approach taken was an intertextual study popularized by Soares-Prabhu. This paper aims to enrich the existing interpretation of Micah 3 and provide a new perspective on the issue of injustice in Micah 3. The existing interpretation states that the social criticism in Micah 3 is caused by the judges who commit injustice (misphat), in other words, the injustice in Micah 3 occurs because of the judges. This intertextual study is conducted by comparing two legal systems (misphat and Dalihan Na Tolu) with three stages: context, form and content. The results show that there are three things highlighted by Dalihan Na Tolu as the cause of the injustice problem, namely: equality, legal supervision, and cooperation.AbstrakTulisan ini menyoroti isu ketidakadilan dalam Mikha 3 yang tercermin dalam kata misphat. Isu ini disoroti dari perspektif Dalihan Na Tolu. Upaya menemukan perspektif Dalihan Na Tolu terhadap isu ketidakadilan dalam Mikha 3 yang terdapat dalam kata misphat. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi intertekstual yang dipopulerkan oleh Soares-Prabhu. Tulisan ini ditujukan untuk memperkaya tafsiran Mikha 3 yang telah ada dan memberikan perspektif baru terhadap isu ketidakadilan dalam Mikha 3. Penafsiran yang ada menyatakan bahwa kritik sosial dalam Mikha 3 disebabkan oleh para hakim yang melakukan ketidakadilan (misphat), dengan kata lain, ketidakadilan dalam Mikha 3 terjadi karena para hakim. Kajian intertekstual ini dilakukan dengan membandingkan dua sistem hukum (misphat dan Dalihan Na Tolu) dengan tiga tahapan yaitu: konteks, bentuk dan isi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga hal yang disoroti oleh Dalihan Na Tolu sebagai penyebab masalah ketidakadilan, yaitu: kesetaraan, pengawasan hukum, dan kerja sama.