Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

Menghidupkan Leluhur: Sebuah Penafsiran Terhadap Matius 22:32 Surbakti, Pelita H
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 4 No 1 (2019): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2019.41.414

Abstract

Memperkaya Pemahaman Alkitab dengan Perspektif Kepercayaan Lain: Interpretasi Sosio-Retorik Roma 2:12–16 Surbakti, Pelita Hati
GEMA TEOLOGIKA: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian Vol 6 No 2 (2021): Gema Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian
Publisher : Faculty of Theology Duta Wacana Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21460/gema.2021.62.608

Abstract

AbstractTaking account of contexts in hermeneutics and further theological works is interesting. Archie C.C. Lee, when developing cross-textual hermeneutics, stated that the knowledge about context could enrich the understanding of the biblical text. For him, this proposition also applies if the context is a cultural-belief outside Christianity. The reason is because God is the God of history, so that God is and continues to work in all human civilizations, including in cultural-beliefs that are often considered pagans. However, reasoning derived from biblical texts is rarely proposed. This article proposes Romans 2:12–16 as an alternative reasoning, using socio-rhetorical interpretation method. Inthis text Paul states that those who are referred to as “those who do not have the Law” (gentiles) actually have the Torah written in their hearts and materialize it in deeds. The finding of this study confi rms Lee’s argument. AbstrakMempertimbangkan konteks dalam berhermeneutika dan selanjutnya berteologi kian menarik. Archie C.C. Lee, ketika mengembangkan hermeneutika lintas-tekstual, menyatakan bahwa dengan memper-timbangkan konteks bahkan dapat memperkaya pemahaman terhadap teks Alkitab. Bagi dia, dalil ini juga berlaku bila konteksnya adalah kebudayaan-kepercayaan di luar kekristenan. Alasannya adalah karena Allah merupakan Allah atas sejarah, maka Ia juga telah dan terus berkarya dalam seluruh peradaban manusia, termasuk dalam kebudayaan-kepercayaan yang kerap dinilai kafir. Namun, alasan yang bersumber dari teks Alkitab jarang diusulkan. Melalui tulisan ini saya mengusulkan Roma 2:12–16 sebagai alternatif alasan. Interpretasi sosio-retorik akan digunakan untuk menafsir teks ini. Melalui teks ini Paulus menyatakan bahwa orang yang disebut sebagai “orang-orang yang tidak memiliki Taurat” (kafir) sekalipun ternyata memiliki Taurat yang tertulis dalam hatinya, dan mereka bahkan mampu melakukannya. Temuan kajian ini menegaskan pandangan Lee.
Allah Sebagai Bapa dan Ibu: Studi Komparatif Dari Konstruksi Allah sebagai Bapa dalam Injil Matius dan Allah sebagai Ibu dalam Teologi Feminis Pelita Hati Surbakti
The New Perspective in Theology and Religious Studies Vol 1, No 2 (2020): December
Publisher : Cipanas Theological Seminary

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (516.761 KB) | DOI: 10.47900/nptrs.v1i2.17

Abstract

Because it is considered as a product of androcentric culture that can bring up misogynists, some feminist Christian theologians reject the hegemony of the use of the word "Father" as a calling for God. They considered that Mother was also worthy, even should be prioritized, to call God. Unfortunately this proposal seems to have been born from a less positive interpretation of the word Father in the Bible. Through this article, I prove that the title Father for God in the Gospel of Matthew does not contain the misogynistic nuances. On the contrary, through comparative studies, the construction of the proper theology of Matthew's gospel and feminist theology is actually based on the same socio-religious background that is fighting against proper theology which proclaims a transcendent and hierarchical portrait of God. Both emphasize an immanent God. With this similarity, God as Mother should not be the antithesis of God as Father, but both are complementary.
Keadilan Berdasarkan Kota Perlindungan dalam Ulangan 4:41-43 dan 19:1-13 Aeron Frior Sihombing; Barnabas Ludji; Pelita Surbakti
TE DEUM (Jurnal Teologi dan Pengembangan Pelayanan) Vol 9 No 2 (2020): Januari-Juni 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAPPI Ciranjang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51828/td.v9i2.14

Abstract

Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengapa ada perbedaan kota perlindungan dalam Ulangan 4:41-43 dan 19:1-13 dengan Keluaran 21:12-14, dan Bilangan 35:9-34. Temanya adalah kota-kota perlindungan, namun dengan berbeda versi teologis maupun waktunya. Masalah ini diselesaikan dengan metode historis kritis, sehingga sampai pada asumsi yaitu kota perlindungan merupakan perwujudan dari keadilan sosial.
Mengingat Masa Lalu di Saat Krisis: Pemaknaan terhadap Sosok Anak Kecil dalam Matius 18:2 Pison Sinambela; Pelita Hati Surbakti; Esther Widhi Andangsari
Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen dan Musik Gereja Vol 5 No 2 (2021): Volume 5 Nomor 2 Tahun 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Theologia Abdiel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37368/ja.v5i2.259

Abstract

Injil Matius ditujukan bagi komunitas yang tengah mengalami krisis yang sangat hebat. Dalam merespons situasi tersebut, penulis injil menuliskan peraturan komunitas (Gemeindeordnung), yang tertulis dalam Matius 18. Hal yang menarik dari peraturan tersebut adalah, Matius mengawali tulisannya dengan mengangkat kisah Yesus yang menempatkan seorang anak kecil (Mat.18:2). Kisah ini menjadi sebuah kisah yang sangat fenomenal mengingat pada masa itu anak kecil adalah kelompok masyarakat yang rendah dan dianggap tidak begitu penting. Dari kisah yang menarik dan fenomenal ini memunculkan pertanyaan: Mengapa Yesus menggunakan anak kecil? Sejumlah penafsir menyimpulkan bahwa itu adalah semacam simbol. Penafsir lain menyatakan bahwa itu merupakan semacam model. Namun demikian, ada sejumlah penafsir yang menyimpulkan dengan sangat berbeda namun menarik yaitu bahwa penggunaan anak kecil ini adalah terkait dengan masa lalu. Sayangnya penjelasan mengenai pendekatan “masa lalu” yang digunakan oleh Yesus ini belum diuraikan lebih jauh. Melalui tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa Yesus sedang menggunakan sebuah pendekatan pastoral yaitu nostalgia. Dengan memanfaatkan sejumlah penelitian empiris dalam penelitian psikologi, penulis menilai bahwa penggunaan anak kecil adalah agar para murid dapat kembali kepada masa lalu mereka yang penuh dengan narasi penyertaan Allah, baik kepada para leluhur mereka maupun kepada diri mereka sendiri. Sebagai komunitas yang tengah mengalami krisis, pendekatan ini diharapkan akan menghadirkan harapan. Tema utama Injil Matius - Allah Bersama Kita - dan penelitian empiris tentang nostalgia dalam psikologi akan digunakan sebagai bingkai kerja penafsiran.
Hermeneutika Lintas Tekstual: Alternatif Pembacaan Alkitab Dalam Merekonstruksi Misiologi Gereja Suku di Indonesia Pelita Hati Surbakti; Noel GBP Surbakti
Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat Vol 6 No 2 (2019): Landasan Hidup Bersama
Publisher : Reformed Center for Religion and Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33550/sd.v6i2.116

Abstract

On November 7, 2017, the Constitutional Court of the Republic of Indonesia, decision number 97/PUU-XIV/2016, finally granted an accusation against several points of the Demography Administration Law. If not properly addressed, the decision will erode the number of members of the ethnic churches in Indonesia. The decision will be a driving force for them to reformulate their identities as believers and not Christians. Two historical backgrounds that made excesses of the decision namely the excesses of the G30S/PKI 1965 events that caused a large number of local believers to become Christians and the European nation's missionary legacy that was less friendly to Indonesian local cultures. To address this, I propose an alternative reading of the Bible that is friendlier to local beliefs - namely Cross-textual Hermeneutics. I will use the Protestant Batak Karo Church (GBKP) as a case study.  Keywords: Hermeneutics, mission, identity, Karo, cultural-belief, Cross-textual Hermeneutics.
YESUS MATIUS dan INJIL KERAJAAN SURGA Pelita Hati Surbakti
Jurnal Amanat Agung Vol 8 No 2 (2012): Jurnal Amanat Agung Vol. 8 No. 2 Tahun 2012
Publisher : STT Amanat Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (492.792 KB)

Abstract

YESUS MATIUS dan INJIL KERAJAAN SURGA
Hermeneutika Lintas Tekstual: Alternatif Pembacaan Alkitab Dalam Merekonstruksi Misiologi Gereja Suku di Indonesia Pelita Hati Surbakti; Noel GBP Surbakti
Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat Vol 6 No 2 (2019): Landasan Hidup Bersama
Publisher : Reformed Center for Religion and Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33550/sd.v6i2.116

Abstract

On November 7, 2017, the Constitutional Court of the Republic of Indonesia, decision number 97/PUU-XIV/2016, finally granted an accusation against several points of the Demography Administration Law. If not properly addressed, the decision will erode the number of members of the ethnic churches in Indonesia. The decision will be a driving force for them to reformulate their identities as believers and not Christians. Two historical backgrounds that made excesses of the decision namely the excesses of the G30S/PKI 1965 events that caused a large number of local believers to become Christians and the European nation's missionary legacy that was less friendly to Indonesian local cultures. To address this, I propose an alternative reading of the Bible that is friendlier to local beliefs - namely Cross-textual Hermeneutics. I will use the Protestant Batak Karo Church (GBKP) as a case study.  Keywords: Hermeneutics, mission, identity, Karo, cultural-belief, Cross-textual Hermeneutics.
Jangan Menceraikan Istri yang Berzinah: Penafsiran terhadap Matius 19:9 Pelita Hati Surbakti
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Vol 4, No 1 (2020): Januari
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Simpson

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.948 KB) | DOI: 10.46445/ejti.v4i1.191

Abstract

Salah satu dasar pernikahan Kristen adalah Matius 19:4-6, namun demikian Yesus dalam Matius 19:9 justru disimpulkan membenarkan perceraian dengan sebuah persyaratan. Di tengah-tengah terus meningkatnya angka perceraian suami dan istri di Indonesia, mendiskusikan lagi ayat ini tampanya cukup relevan. Frasa “mē epi porneia” (kecuali karena zinah) dalam ayat ini telah menimbulkan perdebatan. Melalui frasa itu, sebagian besar penafsir menilai bahwa Yesus membenarkan suami menceraikan istri yang berzinah, hanya sebagian kecil yang menolaknya. Menolak terjemahan frasa “mē epi“ sebagai “kecuali karena” merupakan alasan yang umum digunakan untuk menentang pendapat bahwa Yesus membenarkan perceraian. Sayangnya argumentasi semacam ini telah ditolak oleh sebagian besar penafsir karena sintaksis Yunani dinilai tidak mendukungnya. Kali ini saya akan menggunakan tema utama serta hakikat retorika injil Matius ini sebagai bingkai kerja penafsiran untuk menafsirkan teks tersebut. Dengan pendekatan di atas, Yesus dalam Matius 19:9 secara implisit tidak membenarkan seorang suami menceraikan istri yang berzinah. One of the foundations of Christian marriage is Matthew 19: 4-6, but Jesus in Matthew 19: 9 is concluded to justify divorce with a condition. In the midst of the continuing increase in the number of divorce in Indonesia, discussing this verse again seems quite relevant. The phrase "mē epi porneia" (except for adultery) in this verse has caused debate. Through that phrase, most interpreters consider that Jesus justifies a husband divorcing an adulterous wife, only a small percentage rejects it. Rejecting the translation of the phrase "mē epi" as "except because" is a reason commonly used to oppose the idea that Jesus justifies divorce. Unfortunately, this kind of argument has been rejected by most interpreters because Greek syntax is seen as not supporting it. This time I will use the main theme and nature of Matthew's gospel rhetoric as the hermeneutical framework for interpreting the text. With the above approach, in Matthew 19: 9 Jesus implicitly did not justify a husband divorcing an adulterous wife.
Gereja yang Berorientasi pada Dunia: Penilaian terhadap Paradigma Misi GBKP Namo Buah Silebo-Lebo Debora Apulisa Sembiring; Pelita Hati Surbakti; Eder Timanta Sitepu
IMMANUEL: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen Vol 3, No 1 (2022): APRIL 2022
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46305/im.v3i1.84

Abstract

Criticism to the church in carrying out its mission is often raised. A number of churches are considered no longer world-oriented but only Heaven-oriented. In his book, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila, Ebenhaizer I. Nuban Timo suggests that there are four erroneous paradigms about the mission. This paper is an attempt to assess whether these four erroneous paradigms also exist in the Batak Karo Protestant Church (GBKP) Namo Buah Silebo-Lebo (NBS), Deli Serdang district, North Sumatra. The purpose of this assessment, of course, is to get a real picture of the GBKP NBS. This research is qualitative research through literature study and interviews. A literature study was carried out by tracing a number of writings on the mission of the church and also a number of GBKP NBS documents. Meanwhile, the interviewees included: Former NBS Village Head, GBKP NBS church leader, a number of members and administrators of several GBKP NBS categories. As a result, the four mission paradigm errors concluded by Timo above were also found in the NBS GBKP. AbstrakKritik terhadap gereja dalam menjalankan misinya sering dikemukakan. Sejumlah gereja dinilai tidak lagi berorientasi pada dunia tetapi hanya berorientasi pada Surga. Dalam bukunya, Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila, Ebenhaizer I. Nuban Timo mengemukakan adanya empat paradigma yang keliru tentang misi. Tulisan ini merupakan upaya untuk menilai apakah keempat paradigma yang keliru ini juga ada di dalam Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Namo Buah Silebo-Lebo (NBS), kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif melalui studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan dilakukan dengan menelusuri sejumlah tulisan mengenai misi gereja dan juga sejumlah dokumen GBKP NBS. Sementara itu, wawancara dilakukan terhadap beberapa komponen masyarakat. yang diwawancarai antara lain: Mantan Kepala Desa NBS, pemimpin jemaat GBKP NBS, sejumlah anggota dan pengurus beberapa kategorial GBKP NBS. Hasilnya, keempat kekeliruan paradigma misi yang disimpulkan oleh Timo di atas ternyata juga ditemukan dalam GBKP NBS.