Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

SISTEM PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK Darmawan Darmawan; Firman Freaddy Busroh; Marsudi Utoyo
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 26, No 2, September 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat esensial dalam upaya penemuan kebenaran materiil suatu perkara pidana, sehingga dalam proses pembuktian perkara di pengadilan diperlukan alat bukti dan barang bukti yang benar-benar dapat membuat terang suatu tindak pidana yang disangkakannya. Untuk menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa sehingga akan membuat terang tindak pidana apa yang terjadi dan siapa pelakunya, maka masalah pembuktian menduduki tempat yang sangat penting. Kata Kunci : Alat Bukti, Pembuktian, Pidana. Abstract Proof is one of the processes that is essential in the effort to find the material truth of a criminal case, so that in the process of proving a case in a court, evidence and evidence that really can make the light of a crime that is suspected. To find material truth, that is, the truth as complete as possible from an event so that it will make light of what crime happened and who did it, then the issue of proof occupies a very important place. Keywords: Evidence, Proof, Criminal.
OPERASI TANGKAP TANGAN (OTT) KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) TERHADAPANGGOTA DPRD KABUPATEN MUSI BANYUASIN Hermanto Hermanto; Firman Freaddy Busroh; Herman Fikri
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 1 (2021): Maret
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i1.23

Abstract

Abstrak Penegakan Hukum Kasus Korupsi oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kabupaten Musi Banyuasin. Berdasarkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor : DAK-33/24/9/2015 atas nama terdakwa BK dan AM dan surat dakwaan Nomor: DA:-30/24/06/2016 atas nama terdakwa UA, JI, PH, DI, DFA dan IP selaku pegawai negeri atau penyelenggara negara yaitu selaku Anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin. Dalam perkara ini para terdakwa telah dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara Rutan kelas 1 Jakarta Timur Cabang KPK masing-masing sejak tanggal 26 April 2016 s/d tanggal 15 Mei 2016. Kemudian di lakukan perpanjangan penahanan masing-masing tanggal 16 Mei 2016 s/d 24 Juni 2016, kemudian oleh penuntut umum para terdakwa di tahan di Rutan Kelas 1 Palembang masing-masing sejak tanggal 15 Juni 2016 s/d tanggal 04 Juli 2016. Perbuatan para terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberanasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Korupsi menghambat pembangunan, maka penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus diambil hukuman maksimal. Korupsi di nilai dari sudut manapun ialah tetap suatu pelangaran mengakibatkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelengara Negara, maka upaya preventif merupakan upaya yang efektif untuk diterapkan. Kata Kunci : DPRD, Korupsi, Musi Banyuasin. Abstract Law Enforcement of Corruption Cases by Members of the Regional Representative Council (DPRD) of Musi Banyuasin Regency. Based on the Indictment of Public Prosecutor's Corruption Eradication Commission (KPK) Number: DAK-33/24/9/2015 on behalf of defendants BK and AM and indictment Number: DA: -30/24/06/2016 on behalf of defendants UA, JI , PH, DI, DFA and IP as civil servants or state administrators, namely as Members of the Musi Banyuasin District Parliament. In this case the defendants have been detained in East Jakarta Class 1 Detention Center Detention Center of the KPK, respectively from April 26, 2016 to May 15, 2016. Then, the detention extension was extended on May 16, 2016 through June 24, 2016, then by the public prosecutors the defendants were detained in the Palembang Class 1 Detention Center each from June 15, 2016 to July 4, 2016. The acts of the defendants as regulated and threatened with criminal penalties in Article 12 Letter a of Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption Acts as amended by Law Number 20 of 2001 concerning Amendment to Law number 31 of 1999 concerning eradication of corruption in Jo Article 55 Paragraph (1) of the 1st KUHP jo Article 64 paragraph ( 1) Criminal Code. Corruption hinders development, so the application of Law Number 31 Year 1999 jo. Law Number 20 of 2001 concerning Eradication of Corruption Crimes must be taken as a maximum sentence. Corruption from any point of view is still a violation resulting in a lack of public confidence in the administration of the State, so preventive measures are effective efforts to be implemented.
HAK IMUNITAS KURATOR DALAM EKSEKUSI HARTA DEBITOR PAILIT Aan Rizalni Kurniawan; Firman Freaddy Busroh; Herman Fikri
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 1 (2021): Maret
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i1.24

Abstract

Abstrak Kurator memiliki imunitas dalam menjalankan tugasnya karena ia sebagai pihak yang mewakili pengadilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sudah sepatutnya tidak boleh mendapat campur tangan/intervensi dari luar badan kekuasaan kehakiman, apalagi sampai mendapatkan upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian atau Kejaksaan yang merupakan domain pemerintah/executive. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak tegas dalam memberikan perlindungan hukum kepada kurator sehingga para kurator rentan menjadi target tuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata. Dengan demikian, para kurator dapat bekerja dengan aman meskipun masih terbuka kesempatan kepada pihak lain yang berkepentinganuntuk menuntut dan menggugat kurator. Kurator dalam menjalankan tugasnya mengeksekusi harta debitor pailit tidak sekedar bagaimana menyelamatkan harta pailit yang berhasil dikumpulkan untuk kemudian dibagikan kepada para kreditor tetap, sedapat mungkin bisa meningkatkan nilai harta pailit tersebut. Pada Pasal 72 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit yang menyebabkan kerugian terhadap harta.Dalam praktiknya, proses lelang harta pailit dapat menimbulkan masalah. Kata Kunci : Kurator, Pailit, Hak Imunitas Abstract The curator has immunity in carrying out his duties because he as a party representing the court in exercising judicial authority should not be permitted to get interference / intervention from outside the judicial power agency, especially to get criminalization efforts carried out by the Police or Prosecutors which is the domain of the government / executive . Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of debt repayment obligations are not strict in providing legal protection to the curator so that the curators are vulnerable to being the target of lawsuits, both criminal and civil. Thus, the curators can work safely even though there are still opportunities for other interested parties to sue and sue the curator. Curators in carrying out their duties executing bankrupt debtor assets is not just how to save bankrupt assets that have been collected and then distributed to permanent creditors, as much as possible can increase the value of the bankrupt assets. In Article 72 of the Bankruptcy and Deferral of Obligations for Debt Payment, the Curator is responsible for mistakes or negligence in carrying out the tasks of managing and settling bankrupt assets which cause losses to assets. In practice, the process of auctioning bankrupt assets can cause problems.
KEBIJAKAN HUKUM REHABILITASI PENGGUNA NARKOBA Abdul Gamal Al Rasyid; Marsudi Utoyo; Firman Freaddy Busroh
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 26, No 2, September 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pemberantasan tindak pidana narkotika melibatkan seluruh bangsa di dunia, namun ternyata tingkat peredaran gelap narkotika sermakin tinggi dan merajalela. Beberapa indikasi memperlihatkan bahwa kejahatan narkotika merupakan extraordinary crime. Pengertiannya adalah sebagai suatu kejahatan yang sangat berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang diakibatkan oleh kejahatan ini. Untuk itu extraordinary punishment sangat diperlukan untuk jenis kejahatan yang sangat luar biasa dewasa ini yang sudah terjadi di seluruh bangsa-bangsa di dunia ini ni sebagai transnational crime. Kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi dan teknologi yang canggih. Aparat penegak hukum diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa. Kata Kunci : Kejahatan, Narkoba, Pemberantasan Abstract The eradication of narcotics crime involves all nations in the world, but in fact the level of narcotics illicit trafficking is increasingly high and rampant. Some indications show that narcotics crime is extraordinary crime. The understanding is as a crime that has a very large and multi-dimensional impact on social, cultural, economic and political as well as the enormity of the negative impact caused by this crime. For that extraordinary punishment is needed for a type of crime that is extraordinary today that has occurred in all the nations in this world as transnational crime. Narcotics crime has been transnational in nature which is carried out with a modus operandi and sophisticated technology. Law enforcement officers are expected to be able to prevent and overcome these crimes in order to improve the morality and quality of human resources in Indonesia, especially for the next generation of the nation.
PENGELOLAAN ALOKASI DANA DESA YANG BEBAS DARI KORUPSI Muryanto Muryanto; Marsudi Utoyo; Firman Freaddy Busroh
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 26, No 2, September 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pemberian Alokasi Dana Desa merupakan wujud dari pemenuhanhak desa untuk menyelenggarakan otonominya agar tumbuh dan berkembangmengikuti pertumbuhan dari desa itu sendiri berdasarkan keanekaragaman,partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan meningkatkanperan Pemerintah Desa dalam memberikan pelayanan dan meningkatkankesejahteraan masyarakat serta memacu percepatan pembangunan dan pertumbuhanwilayah-wilayah strategis. Pemangkasan anggaran untuk semua kementerian dan lembaga negara, namun khusus pos anggaran dana desa tidak ada pengurangan.Ini menunjukkan konsistensi komitmen pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan di pedesaan dan pembangunan daerah tertinggal. Mengingat dana desa saat ini peruntukannya difokuskan pada pembangunan infrastruktur desa dan pemberdayaan masyarakat.Terhadap pengelolaan dana desa, yang dikhawatirkan banyak pihak adalah penggunaannya yang berpotensi dikorupsi. Baik sengaja ataupun tidak disengaja (karena kekurangpahaman cara pemanfaatan maupun pelaporan administratifnya) oleh perangkat desa dan siapapun yang berkaitan dengan penggunaan dana desa. Kelemahan utama pengawasan penggunaan dana desa sejatinya berpangkal pada kondisi sosiologis di pedesaan yang masih feodalistik. Lembaga apapun yang ada di pedesaan, akan cenderung melemah ataupun mudah diperlemah oleh kultur feodalistik yang ada sehingga terjadi korupsi. Kata Kunci : Alokasi Dana Desa, Korupsi, Tanggung Jawab Abstract The granting of Village Fund Allocation is a form of fulfilling the village's right to carry out its autonomy so that it grows and develops following the growth of the village itself based on diversity, participation, original autonomy, democratization, community empowerment and increasing the role of the Village Government in providing services and improving the welfare of the community and spurring acceleration development and growth of strategic areas. Budget cuts for all ministries and state institutions, but specifically for village budget funds there is no reduction. This shows the consistency of the government's commitment in poverty alleviation programs in rural areas and the development of disadvantaged areas. Considering that the current village budget allocation is focused on the development of village infrastructure and community empowerment. Regarding the management of village funds, what is feared by many parties is their use which has the potential to be corrupted. Whether intentionally or unintentionally (due to a lack of understanding of how to use and administrative reporting) by village officials and anyone related to the use of village funds. The main weakness of the supervision of the use of village funds actually stems from the sociological conditions in the countryside which are still feudalistic. Any institution in the countryside will tend to weaken or be easily weakened by existing feudalistic culture, resulting in corruption.
Harmonisasi Regulasi di Indonesia: Simplikasi dan Sinkronisasi untuk Peningkatan Efektivitas Hukum Firman Freaddy Busroh; Fatria Khairo; Putri Difa Zhafirah
Jurnal Interpretasi Hukum Vol. 5 No. 1 (2024): Jurnal Interpretasi Hukum
Publisher : Warmadewa Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22225/juinhum.5.1.7997.699-711

Abstract

Peraturan Daerah (Perda) adalah instrumen hukum yang berperan penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk memahami peran strategis Perda dalam konteks otonomi daerah di Indonesia dan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam pengaturan Perda. Dalam penelitian ini, digunakan metode analisis literatur dan studi dokumentasi untuk mengumpulkan data dan informasi yang relevan terkait Perda. Temuan penelitian, dalam meningkatnya kompleksitas dan jumlah Perda di Indonesia, yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan tumpang tindih antar regulasi. Hal ini bisa menjadi hambatan bagi pembangunan ekonomi dan sosial di tingkat daerah. Perlunya penerapan prinsip taat azaz (rule of law) dan taat prosedur dalam proses pembuatan Perda untuk menjaga keadilan dan keberlanjutan hukum. Implikasi yang diajukan meliputi perluasan koordinasi, peningkatan transparansi, evaluasi regulasi yang ada, pendidikan hukum, dan penyederhanaan regulasi untuk memastikan bahwa Perda berkontribusi positif pada pembangunan ekonomi dan sosial di tingkat daerah
ANALISA HUKUM IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 65/PUU-VIII/2010 DIHUBUNGKAN KEABSAHAN PEMBUKTIAN SAKSI TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM PERISTIWA PIDANA DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Muhammad Johan Aria Putra; Firman Freaddy Busroh; Marsudi Utoyo
Lex Stricta : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 3 (2023): April
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (829.187 KB) | DOI: 10.46839/lexstricta.v1i3.15

Abstract

Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 65/PUU-VIII/2010, memperluas makna saksi dan keterangan saksi. Putusan hasil pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan makna saksi dan keterangan saksi dalam pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP yaitu orang yang dapat memberikan keterangan dalam tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Perubahan makna saksi dan keterangan saksi melindungi hak tersangka dalam pembelaan melalui pengajuan saksi a de charge. Pendekatan yuridis normatif penelitian melakukan penelusuran kepustakaan meninjau keselarasan KUHAP, sistem pembuktian dan putusan MK memberikan penilaian relevansi saksi yang meringankan. Mahkamah menilai keseimbangan hak antara tersangka/terdakwa sebagai individu dan masyarakat/negara diwakili oleh penyelidik. MK tidak memberikan batasan dalam makna perluasannya. Penilaian keabsahan pembuktian keterangan saksi dipenegak hukum. Para penegak hukum, wajib melaksanakan putusan bersifat final, serta erga omnes. Pada putusan MK seharusnya mempertimbangkan asas hukum berlaku secara internasional sehingga putusan, dapat dilaksanakan tanpa perdebatan.Setelah mengkaji asas equality before the law, konsekuensi hukum pelanggaran ketentuan Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP, putusan Mahkamah Konstitusi menekankan pada due process of law, aspek prosedur memperoleh bukti. Kata Kunci: a de charge, equality before the law, due process of law AbstractDecision of the Constitutional Court Number: 65/PUU-VIII/2010, expands the meaning of witnesses and witness statements. Decision on the review of Law Number 8 of 1981 against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Changes in the meaning of witness and witness testimony in Article 1 point 26 and number 27 of the Criminal Procedure Code, namely a person who can provide information about a crime that he does not always hear , he saw, and he experienced it himself. Changes in the meaning of witnesses and witness statements protect the suspect's rights in defense through the submission of witnesses a de charge. The research-normative juridical approach conducts a literature search reviewing the alignment of the Criminal Procedure Code, the evidentiary system and the Constitutional Court's decision to provide an assessment of the relevance of mitigating witnesses. The Court assessed the balance of rights between the suspect/defendant as an individual and the community/state represented by the investigator.The Constitutional Court does not provide limitations in the meaning of its expansion. Assessment of the validity of the testimony of witnesses in law enforcement. Law enforcers are obliged to implement final decisions, as well as erga omnes. The Constitutional Court's decision should consider internationally valid legal principles so that decisions can be implemented without debate. After reviewing the principle of equality before the law, the legal consequences of violating the provisions of Article 116 paragraphs (3) and (4) of the Criminal Procedure Code, the Constitutional Court's decision emphasizes the due process of law, procedural aspects of obtaining evidence.
Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Jauhari, Jauhari; Firman Freaddy Busroh; Fatria Khairo
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 3 (2021): September
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i3.57

Abstract

Abstrak Di Indonesia, perkawinan memang bukanlah sebuah persoalan yang rumit manakala pasangan memeluk agama yang sama, namun akan menjadi persoalan yang sangat rumit apabila kedua pasangan tersebut memeluk agama yang berbeda. Hal ini menjadi masalah karena dengan adanya perbedaan agama maka pelaksanaan perkawinan menjadi terhalang. Permasalahannya adalah bagaimana perkawinan berbeda agama menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan apa akibat hukum dari perkawinan berbeda agama pasca Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maksudnya adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan beserta peraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti termasuk putusan MK yang dibahas. Adapun peraturan perundang-undangan yang dikaji dalam penelitian ini adalah peraturan perundang- undangan yang terdapat kaitannya dengan masalah perkawinan berbeda agama seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Hasil penelitian menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan antara kedua mempelai yang berbeda agama maka perkawinannya adalah tidak sah menurut agama yang berarti juga tidak sah menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Akibat hukum dari perkawinan berbeda agama di Indonesia berdasarkan pasca putusan MK di atas adalah status anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin karena perkawinan kedua orangtuanya bukan merupakan perkawinan yang sah, maka akibatnya adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak memiliki hubungan nasab dan kewarisan dengan ayah biologisnya yang telah dibuktikan dengan kecanggihan keilmuan pada zaman sekaranag seperti tes DNA dan lain-lain, namun tetap mempunyai hubungan sebatas keperdataan seperti kewajiban ayah biologis untuk memberikan nafkah demi kepentingan anak tersebut. Kata kunci: Perkawinan Beda Agama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Abstract In Indonesia, marriage is indeed not a complicated issue when a couple embraces the same religion, but it will be a very complicated issue if the two couples embrace different religions. This is a problem because with the existence of religious differences, the implementation of marriage becomes blocked. The problem is how interfaith marriages according to Law Number 1 of 1974 and what are the legal consequences of interfaith marriages after the Constitutional Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010. The research method used is normative juridical, meaning that research is carried out by reviewing the laws and regulations and other regulations relevant to the problem under study, including the decision of the Constitutional Court discussed. The statutory regulations studied in this study are statutory regulations that are related to the issue of interfaith marriages such as Law Number 1 of 1974 concerning marriage and the Compilation of Islamic Law. The results of the study explain that marriages carried out between the bride and groom of different religions, the marriage is not valid according to religion which means it is also invalid according to Law Number 1 of 1974 and the Compilation of Islamic Law. The legal consequences of interfaith marriages in Indonesia based on the post-MK decision above are the status of children born from interfaith marriages are illegitimate children or children out of wedlock because the marriage of both parents is not a legal marriage, then the result is a child born from The marriage has no kinship and inheritance relationship with the biological father which has been proven by modern scientific sophistication such as DNA testing and others, but still has a limited civil relationship such as the biological father's obligation to provide a living for the benefit of the child.