This study aims to describe the forms of silent and filled silences, while analyzing their functions. The method used is descriptive qualitative with a psycholinguistic approach. The data collection technique was carried out through the listening and note-taking method, namely by repeatedly listening to the speech in the podcast, then transcribing the conversation between the source and interviewer verbatim. The transcribed data were marked with sections containing silences, both silent and filled, to be later classified. The data analysis technique was carried out through several stages, namely identifying silences based on form, classifying them according to psycholinguistic categories, analyzing functions based on the context of the speech, and interpreting the meaning and role of silence in the communication dynamics between the source and interviewer. The results of the study show that silent silences appear more frequently in PT, with the main function being a means of providing time to think, controlling emotions when discussing sensitive issues, and strengthening rhetorical effects to emphasize statements. Filled silences, on the other hand, are more dominantly used by Najwa Shihab in her role as an interviewer. Their main function is to maintain speaking turns, smooth transitions between topics, and provide rhetorical pressure to increase the intensity of the conversation. Furthermore, filled silences also function interpersonally, creating a more natural conversational atmosphere and building rapport with the audience. Therefore, silences in podcasts should not be viewed as meaningless pauses, but rather as communication strategies with cognitive, affective, rhetorical, and interactive value. This research confirms that the presence of silences in public conversations plays a crucial role in shaping the quality of communication, both for the interviewee and the interviewer. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk senyapan diam dan senyapan terisi, sekaligus menganalisis fungsi-fungsi yang terkandung di dalamnya. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan psikolinguistik. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui metode simak dan catat, yakni dengan menyimak secara berulang tuturan dalam gelar wicara, kemudian mentranskripsikan percakapan narasumber dan pewawancara secara verbatim. Data hasil transkripsi ditandai bagian yang mengandung senyapan, baik diam maupun terisi, untuk kemudian diklasifikasikan. Teknik analisis data ditempuh melalui beberapa tahap, yaitu mengidentifikasi senyapan berdasarkan bentuk, mengklasifikasikan sesuai kategori psikolinguistik, menganalisis fungsi berdasarkan konteks tuturan, serta menafsirkan makna dan peran senyapan dalam dinamika komunikasi antara narasumber dan pewawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyapan diam lebih banyak muncul pada PT, dengan fungsi utama sebagai sarana memberi waktu berpikir, mengendalikan emosi ketika membahas isu sensitif, dan memperkuat efek retoris untuk menekankan pernyataan. Senyapan terisi, sebaliknya, lebih dominan digunakan oleh Najwa Shihab dalam perannya sebagai pewawancara. Fungsi utamanya adalah menjaga giliran berbicara, memperhalus transisi antar topik, serta memberikan tekanan retoris untuk meningkatkan intensitas percakapan. Selain itu, senyapan terisi juga berfungsi secara interpersonal untuk menciptakan suasana percakapan yang lebih alami dan membangun kedekatan dengan audiens. Dengan demikian, senyapan dalam gelar wicara tidak dapat dipandang sebagai jeda tanpa makna, melainkan strategi komunikasi yang memiliki nilai kognitif, afektif, retoris, dan interaktif. Penelitian ini menegaskan bahwa keberadaan senyapan dalam percakapan publik berperan penting dalam membentuk kualitas komunikasi, baik dari sisi narasumber maupun pewawancara.