Articles
Pengabaian Penerapan Sanksi oleh Pejabat Berwenang Terhadap Pelanggaran Disiplin Berat Pegawai Negeri Sipil
Rasyid, Fahrudin;
Sensu, La;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 1 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 1
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i1.6000
Penelitian ini mengkaji tentang pengabaian penerapan sanksi oleh pejabat berwenang bagi pegawai negeri sipil yang melanggar peraturan disiplin kepegawaian dapat dinilai sebagai pelanggaran hukum, serta mengetahui sanksi hukum bagi pejabat berwenang yang mengabaikan penerapan sanksi terhadap pelanggaran disiplin berat Pegawai Negeri Sipil.Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif atau doktrinal dalam sifat penelitian preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Undang-Undang dan pendekatan historis dengan bahan hukum yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukumprimer, sekunder dannonhukum.Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan dianalisis menggunakan logika deduktif.Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Pengabaian penerapan sanksi oleh pejabat berwenang terhadap pelanggaran disiplin berat Pegawai Negeri Sipil dapat dikualifikasi perbuatan pelanggaran hukum. Karena telah menyalahi ketentuan hukum pada pasal 21 ayat (1), (2), (3), dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 serta tidak menjalankan norma hukum dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-undang5 tahun 2014 dan Pasal 250 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017. Sanksi pejabat yang mengabaikan penerapan sanksi terhadap pelanggaran Disiplin berat Pegawai Negeri Sipil, pejabat tersebut dijatuhi hukuman disiplin atasannya yang sama dengan jenis hukuman disiplin yang seharusnya dijatuhkan kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dan apabila penjatuhan sanksi disiplin berat PNS menjadi kewenangan kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian tidak melaksanakan penjatuhan sanksi disiplin dapat dikualifikasi perbuatan pelanggaran hukum serta diberikan sanksi hukum yaitu diberhentikan dari jabatannya.Â
Konkurensi Kewenangan Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Kepada Pemerintah Daerah Dalam Prinsip Otonomi Daerah
Herwanto, Lulu;
Sinapoy, Muh. Sabaruddin;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 2, No 1 (2020): Halu Oleo Legal Research: Volume 2 Issue 1
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v2i1.10613
Tujuan penelitian ini memfokuskan pada masalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui Apakah Penerbitan IUP merupakan kewenangan Provinsi atau Kabupaten/Kota. 2) Untuk mengetahui hubungan kewenangan antara pemerintah, pemerintah daerah dalam penerbitan IUP. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum Normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual. Berdasarkan hasil penelitian menujukan bahwa (1) Berdasarkan asas desentralisasi kewenangan penerbitan IUP ada pada pemerintah kabupaten/kota dengan normatifnya pada Pasal 8 jo. Pasal 37 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dengan dasar tersebut maka prinsip otonomi daerah sebagaimana berdasarkan pada asas desentralisasi sudah seharusnya diimplementasikan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah mengingat bahwa karakteristik dan watak dari bangsa dan negara Indonesia yang beraneka ragam tercermin dalam Bhinneka Tunggal Ika merupakan suatu identitas nasional yang tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai dengan karakternya dan kekayaan alam masing-masing untuk dapat mengimplementasikan dari kebinekaan daerah otonom maka konsep pelaksanaan otonomi daerah diperluas lagi dengan menggunakan asas desentralisasi asimetris. (2) Hubungan kewenangan penerbitan IUP sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 secara normatif sudah mencerminkan prinsip dasar negara demokrasi yang diimplementasikan berdasarkan asas desentralisasi tanpa mengurangi prakarsa negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang menjunjung tinggi falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa dan negara khususnya dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah baik itu dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Â
Penetapan Kerugian Keuangan Negara merupakan kewenangan BPK atau BPKP
Safitri, Nur Wahyu;
Sinapoy, Muh. Sabaruddin;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 2 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 2
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i2.6179
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan BPK dan BPKP dalam proses penetapan kerugian keuangan negara yang berdasarkan hasil pelaporan audit sementara dari lembaga yang berwenang di provinsi dan kabupaten/kota. Dengan banyaknya isu berkembang bahwa pelaporan hasil audit menimbulkan kerugian keuangan negara oleh pejabat yang memegang peranan baik dalam instansi maupun secara kelembagaan negara. Kekuasaan pengelolaan keuangan negara dan pendistribusian kewenangan, telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 6 ayat (1) dan (2), sebagai berikut: presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan BPK dan BPKP memiliki tugas yang tidak jauh berbeda tapi sama-sama bertanggung jawab dalam penghitungan kerugian keuangan negara. Penelitian ini fokus pada kompetensi penetapan kerugian keuangan negara merupakan kewenangan BPK atau BPKP yang mana selama ini menjadi masalah dalam proses penetapan kerugian keuangan negara karena berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif, berdasarkan teori para ahli dan konsep kerugian keuangan negara menjadi dasar untuk menetapkan kerugian keuangan negara oleh BPK atau BPKP. Dalam lingkungan pemerintahan asas desentralisasi di gunakan sebagai asas otonomi kekuasaan pemerintah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lembaga yang menetapkan kerugian keuangan negara adalah BPK karena dalam Pasal 23E, 23F, dan 23G UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah jelas di terangkan BPK memiliki tugas dan kewenangan atas kerugian keuangan negara berdasarkan perintah undang-undang dan sebagai fungsi kontrol dalam pengeluaran pembiayaan oleh pejabat yang berwenang yakni bendahara atau pemegang kekuasaan pada lembaga tersebut.
Analisis Peraturan Gubernur Tanpa Dasar Peraturan Daerah dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Sumarfa, Sumarfa;
Tatawu, Guasman;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 3 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 3
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i3.9247
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peraturan gubernur yang diterbitkan tanpa dasar hukum peraturan daerah memiliki legitimasi hukum. Tujuan lainnya adalah untuk menganalisis sinkronisasi hukum peraturan gubernur yang diterbitkan lebih dahulu terhadap peraturan daerah yang dibentuk. Penyelenggaraan pemerintahan daerah terdapat kondisi yang membutuhkan penanganan segera akan tetapi belum memiliki peraturan daerah sebagai dasar hukum sehingga dijumpai tindakan diskresi pemerintah daerah dengan pembentukan Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 35 Tahun 2012 Tentang Kebutuhan dan Harga Enceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun 2013. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum melalui pendekatan undang-undang dan konseptual hukum. Adapun hasil penelitian ini adalah peraturan gubernur yang diterbitkan tanpa dasar peraturan daerah memiliki legitimasi hukum terbatas karena secara hierarki peraturan gubernur merupakan peraturan pelaksana dari peraturan daerah dalam konsep otonomi daerah, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta teori hukum yang relevan. Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, keberlakuan hukum perlu dilakukan sinkronisasi secara vertikal. sinkronisasi vertikal dengan mengedepankan asas hukum Lex superior derogat legi inferior. Langkah sinkronisasi vertikal yaitu peraturan gubernur yang telah diterbitkan diperbaharui menjadi peraturan daerah setelah itu diterbitkan peraturan gubernur yang baru. Sinkronisasi hukum mempunyai peranan menjaga keselarasan dan mencegah tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan. Terdapat rekomendasi antara lain perlu adanya peraturan tentang mekanisme sinkronisasi peraturan gubernur menjadi peraturan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu meningkatkan kinerjanya dibidang legislasi agar mencegah terjadi penerbitan peraturan gubernur lebih dahulu daripada peraturan daerahnya.
Kedudukan Hukum Pemangku Jabatan Sekretaris Desa yang Baru Tanpa Pemberhentian Sekretaris yang Lama
Makmun, Moh. Iksanuddin;
Sensu, La;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 2, No 2 (2020): Halu Oleo Legal Research: Volume 2 Issue 2
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v2i2.13178
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui dan menganalisis kedudukan Hukum pemangku Jabatan Sekretaris Desa yang baru tanpa pemberhentian Sekretaris Desa yang lama, (2) menganalisis penyelesaian hukum terhadap adanya dua pemangku jabatan Sekretaris Dasa dalam pemerintahan Desa Labunti akibat ketiadaan pemberhentian pejabat lama. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang didasarkan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Desa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Kedudukan jabatan Sekretaris Desa yang sah adalah Sekretaris Desa yang diangkat Kepala Desa dari unsur Non-PNS karena sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Pasal 49 ayat (2) bahwa Kepala Desa dalam mengangkat perangkat Desa terlebih dahulu berkonsultasi ke camat atas nama Bupati/Walikota dan terhadap perangkat Desa yang diangkat bertanggung jawab sepenuhnya kepada kepala Desa. Sekretaris Desa yang lama berasal dari unsur PNS sudah tidak mempunyai legal standing untuk memangku jabatan sebagai Sekretaris Desa karena terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. (2) Penyelesaian hukum terhadap adanya dua pemangku jabatan Sekretaris Dasa dalam pemerintahan desa akibat ketiadaan pemberhentian pejabat lama yaitu diberlakukan asas preferensi atau asas pengutamaan, yaitu “lex posteriori derogat legi priori†adalah peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama. Pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2013 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, merupakan peraturan perundang-undangan yang baru, sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil, merupakan peraturan perundang-undangan yang lama.
Konstitusionalitas Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota oleh Gubernur
Sulastri, Sulastri;
Sensu, La;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 2 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 2
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i2.7149
Konstitusionalitas kewenangan pembatalan peraturan daerah berkaitan dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah. Secara yuridis, pembatalan Perda Kabupaten/Kota merupakan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 20 ayat (2) b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015, sedangkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015.
Keberlakuan Produk Hukum Daerah Tanpa Prosedur Fasilitasi dalam Pembentukan Peraturan Daerah
Hasan, Muhammad;
Sensu, La;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 1 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 1
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i1.6149
Penelitian ini difokuskan pada keberlakuan produk hukum daerah tanpa prosedur fasilitasi dalam pembentukan peraturan daerah. keberlakuan produk hukum daerah berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten/Kota tanpa prosedur fasilitasi ke Gubernur dalam pembentukan Peraturan Daerah. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada masalah sebagai berikut: 1. Apakah rancangan peraturan daerah (ranperda) tanpa prosedur fasilitasi dalam pembentukan produk hukum daerah dapat diberlakukan? 2. Bagaimana kedudukan hukum fungsi fasilitasi dalam pembentukan produk hukum peraturan daerah kabupaten/kota? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu melihat keberlakuan dengan menjawab, menganalisis keberlakuan produk hukum daerah terhadap fasilitasi dalam pembentukan peraturan daerah. Penelitian yang berbasis pada inventarisasi hukum positif, penelitian terhadap asas-asas hukum, dan penelitian hukum inconcreto. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan secara yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti yang meliputi peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi dokumen, buku, makalah, laporan penelitian, serta bahan hukum lainnya yang relevan dengan materi penelitian ini.Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa rancangan Perda tanpa prosedur fasilitasi dalam pembentukan produk hukum daerah tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU No. 23 Tahun 2014, karena prosedur fasilitasi merupakan bagian dari prosedur dalam pembentukan rancangan Perda sebagaimana dimaksud dalam UU No. 23 Tahun 2014. Sehingga dalam pembentukan rancangan Perda harus melewati prosedur fasilitasi sebagai pedoman dalam pemberian nomor register rancangan Perda sebelum ditetapkan oleh Kepala Daerah dan diundangkan oleh Sekretaris Daerah dan dampak/akibat hukum tanpa prosedur fasilitasi dalam pembentukan Perda adalah batal demi hukum karena melanggar prosedur pemberian nomor register rancangan Perda sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 yang mencakup pula prosedur fasilitasi yang diatur dalam Permendagri No. 80 Tahun 2015 sebagai pedoman dalam pemberian nomor register rancangan Perda.
Kedudukan Hukum Peraturan Desa dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan
Agustin, Agustin;
Sinapoy, Muh. Sabaruddin;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 1 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 1
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i1.6123
Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berlaku, menghapus peraturan desa dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Peraturan Desa yang berbentuk rancangan Peraturan Desa, mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Terkait dengan pembentukan Peraturan Desa, pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud yakni melakukan evaluasi dan pengawasan Peraturan Desa. Pengawasan dalam hal ini adalah termasuk pembatalan peraturan desa.
Kepastian Hukum Putusan Mahkamah Agung RI No. 129 K/TUN/2011 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 225 K/TUN/2014 Terhadap Izin Kuasa Pertambangan di Kabupaten Konawe Utara
Razak, Abdul;
Dewa, Muhammad Jufri;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 1 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 1
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i1.6317
Izin Usaha Pertambangan merupakan legalitas untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan hasil-hasil alam yang terkandung dalam perut bumi dengan tujuan untuk menciptakan kemakmuran rakyat, sebagaimana yang diamanahkan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 kegiatan usaha dibidang pertambangan dapat dikelola langsung oleh negara melalui Badan Usaha Milik Negara dan atau badan usaha milik daerah dan/atau badan usaha milik swasta dan atau perorangan dan koperasi.Berdasarkan uraian di atas, ditemukan masalah antara lain, bagaimana Kepastian Hukum terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang Berbeda atas Izin Kuasa Pertambangan pada wilayah pertambangan yang sama dan Apa konsekuensi hukum yang timbul akibat ketidakpastian hukum atas putusan mahkamah agung pada lokasi pertambangan yang sama. Adapun Metode Penelitian yang digunakan adalah normatif, dengan Pendekatan kasus (case approach), pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan antara lain, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 225 K/TUN/2014 sebagai penyebab tumpang tindih WIUP karena judex facti pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Dan akibat tumpang tindih putusan berkonsekuensi tidak adanya kepastian hukum, yang mengakibatkan: (1) Tidak adanya Kegiatan Penambangan oleh Pemegang Hak Izin Pertambangan baik PT. Aneka Tambang Maupun 11 Perusahaan yang tertindih WIUP-nya (2) terjadi Pemutusan hubungan Kerja besar besaran dan (3) Penghasilan Daerah dan Negara menjadi hilang dari sektor Pertambangan di WIUP yang tumpang tindih.
Pengawasan Pemerintahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tidak Bertentangan dengan Kedudukan Hukum Kepala Daerah sebagai Anggota Partai Politik
Rusmayadi, Rusmayadi;
Sinapoy, Muh. Sabaruddin;
Jafar, Kamaruddin
Halu Oleo Legal Research Vol 1, No 2 (2019): Halu Oleo Legal Research: Volume 1 Issue 2
Publisher : Halu Oleo University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33772/holresch.v1i2.6536
Tulisan ini ditujukan untuk mengidentifikasi Pengawasan pemerintahan oleh DPRD tidak bertentangan dengan kedudukan hukum kepala daerah sebagai anggota partai politik sebagaimana dalam paham negara kita adalah negara demokrasi yang mana peranan masyarakat dalam hal ini DPRD melakukan kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan daerah. Kedudukan kepala daerah sebagai anggota partai politik dengan menitik beratkan pada pengawasan DPRD Melalui lembaga legislatif inilah dapat di lihat pelaksanaan fungsi DPRD sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pemerintah daerah baik secara transparansi, partisipasi, akuntabilitas, demokrasi dan berkeadilan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif yakni adanya teori dan konsep yang di kemukakan oleh pendapat para ahli dan perundang-undangan. berdasarkan teori yakni trias politika yang di kemukakan oleh John Locke (16321704), dan ahli filsuf Monstequieu pada tahun 1748. Adapun hasil dari penelitian ini, berdasarkan isu yang berkembang bahwa ada beberapa daerah yang kepala daerah yang masih menggunakan hak progresifnya berdasarkan kebijakan partai politik menjadi wadah organisasinya. Sehingga segala keputusan berdasarkan asumsi-asumsi dari pada partai pendukung atas kebijakan pemerintah saat ini. Seperti di kabupaten Konawe kepala daerah di usung dari partai PAN, Kabupaten Konawe Selatan di usung dari partai GOLKAR dan kabupaten Bombana di usung oleh Partai PAN yang mana masing-masing dari kepala daerah memiliki hak untuk menentukan Kedudukan Ketua DPRD dari partai yang sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fungsi pengawasan pemerintahan oleh DPRD tidak bertentangan dengan kedudukan hukum kepala daerah sebagai anggota partai politik karena dalam hal ini DPRD sebagai media kontrol masyarakat dalam mengawasi roda pemerintahan kepala daerah menuju pemerintahan yang baik.