This study examines the use of inhalers by individuals observing fasting, a topic that has sparked differing opinions among Islamic scholars. The background of this issue lies in the divergent interpretations and understandings of the concept between Ibnu Mas‘ud Al-Kasani and Ibnu Qudamah. The research employs a normative sociological methodology with a comparative approach. Primary data were obtained directly from the works of Ibnu Mas‘ud Al-Kasani and Ibnu Qudamah, as well as through interviews conducted at the research site. Data analysis was carried out qualitatively using a comparative framework. The findings indicate a significant difference in perspective between the two scholars. Ibnu Mas‘ud Al-Kasani prohibits the use of inhalers during fasting, arguing that it invalidates the fast if the inhaled substance reaches the *jauf* (internal cavity). In contrast, Ibnu Qudamah rejects this view and offers a different interpretation of *jauf*. In Pegajahan District, cases of inhaler use during fasting have been observed, despite varying understandings of its legal basis. This study highlights the need for further public education on the diverse scholarly opinions regarding this matter and encourages dialogue among local religious leaders. [Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan Inhaler pada orang yang sedang melaksanakan ibadah puasa, sebuah masalah yang selama ini menuai perbedaan pendapat di kalangan ulama. Latar belakang permasalahan ini adalah perbedaan penafsiran dan pemahaman makna antara Ibnu Mas’ud Al-kasani dan Ibnu Qudamah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian sosiologis normatif yang bersifat komparatif. Data primer diperoleh secara langsung dari karya-karya Ibnu Mas’ud Al-kasani dan Ibnu Qudamah, serta melalui wawancara dilokasi penelitian. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan komparatif. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang signifikan antara kedua ulama tersebut. Ibnu Mas’ud Al-kasani tidak membolehkan penggunaan inhaler saat berpuasa karena dapat membatalkan puasa ketika aroma yang dihirup masuk sampai kedalam jauf. Sementara itu, Ibnu Qudamah menolak pendapat tersebut dan memiliki pandangan yang berbeda mengenai jauf. Di Kecamatan Pegajahan, ada kasus mengenai inhaler yang digunakan saat sedang berpuasa, meskipun pemahaman tentang dasar hukumnya berbeda-beda. Penelitian ini menyarankan perlunya edukasi lebih lanjut kepada Masyarakat tentang berbagai pendapat ulama terkait hal ini, dan mendorong dialog antar tokoh agama setempat untuk mencapai pemahaman yang lebih komprehensif].