Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Investigating Al-Istihalah in the Provisions of Shariah Texts: A Study on Models of Transformation from Impure (Najis) to Pure (Halal) Substances, or Vice Versa Miswanto, Agus; Musaffa, Muhamad Ulul Albab
Az-Zarqa': Jurnal Hukum Bisnis Islam Vol. 15 No. 1 (2023): Az Zarqa'
Publisher : Sharia and Law Faculty of Sunan Kalijaga Islamic State University Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/azzarqa.v15i1.2731

Abstract

Abstract: This article discusses the models of Istihalah introduced by Islamic jurisprudential texts. The primary issue in the contemporary era revolves around the massive food industry, which necessitates the blending of various ingredients, resulting in the unclear status of the food as either halal or haram. Istihalah becomes a crucial key in the context of the food industry because it serves as both a method and a parameter for the transformation of the substance of an object, implying a change in the legal status of the object itself, either from halal to haram or vice versa. This research employs a textual and contextual approach to reconstruct Istihalah as presented in Islamic jurisprudential texts. From this study, three models of Istihalah are identified based on the nature of the substance's transformation, namely physical, chemical, and physical-chemical transformations. From the perspective of Islamic jurisprudential texts, physical transformation can occur in two patterns: (1) halal substances processed with a catalyst that is haram result in a halal product. An example of this is honey. (2) Haram (impure) substances processed with a halal catalyst transform into a halal product, such as quarantined carrion animals and tanned animal hides. Meanwhile, chemical transformation, as found in the texts, occurs in two patterns: (1) haram (impure) products processed with a halal catalyst transform into a halal product, as seen in the case of vinegar derived from fermented wine that has transformed. (2) Halal items processed with a halal facilitator change into a haram product, such as alcoholic beverages. Finally, physical-chemical transformation in Islamic jurisprudential texts takes place when raw impure materials are processed with a halal facilitator to become a halal finished product, as exemplified by products like milk from halal animals, the liver and spleen of halal animals, and musk oil (kasturi) extracted from deer.Abstrak: Artikel ini mengulas tentang model-model istihalah yang diperkenalkan oleh nash syariat. Problem utama pada era kontemporer adalah masifnya industri makanan yang mengharuskan percampuran berbagai bahan, yang mengakibatkan tidak jelasnya status makanan itu: halal atau haram. Dan istihalah menjadi kunci penting dalam konteks industri makanan karena sebagai metode dan juga parameter terhadap perubahan zat suatu benda yang berimplikasi pada perubahan status hukum benda yang bersangkutan, yaitu dari halal ke haram, atau sebaliknya. Penelitian ini menggunakan pendekatan tekstual dan kontekstual dalam merekonstruksi istihalah yang tersaji dalam nash syariat. Dan dari penelitian ini ditemukan tiga model istihalah berdasarkan pada sifat perubahan pada benda, yaitu perubahan fisik, kimiawi, dan fisik-kimiawi.  Dari sisi nash syariat, perubahan fisik dapat terjadi dengan dua pola, yaitu (1) bahan halal diproses dengan bahan katalisator yang haram menghasilkan produk halal. Contohnya adalah produk madu lebah. (2) bahan haram (najis) diproses dengan bahan katalisator yang halal berubah menjadi produk halal, contohnya binatang jalalah yang dikarantina dan kulit bangkai yang disamak. Sedangkan perubahan kimia, dalam nash detemukan dalam dua pola yaitu (1) produk yang haram (najis) diproses dengan katalisator yang halal berubah menjadi produk halal, seperti cuka yang berasal dari khamar yang berubah. (2) barang halal diproses dengan fasilitator yang halal berubah menjadi produk haram, contohnya produk khamar. Akhirnya, perubahan fiski-kimiawi dalam nash syariat, terjadi dengan pola barang baku haram diproses dengan fasilitator halal berubah menjadi barang jadi halal, contohnya produk susu binatang halal, hati dan limpa binatang halal, dan minyak misik (kasturi) dari rusa.
Optimalisasi Penyelesaian Sengketa dalam Perspektif Hukum Islam dan Sistem Hukum Indonesia: Studi Komparatif antara Litigasi dan Alternative Dispute Resolution (ADR) Musaffa, Muhamad Ulul Albab
Az-Zarqa': Jurnal Hukum Bisnis Islam Vol. 8 No. 2 (2016): Az-Zarqa'
Publisher : Sharia and Law Faculty of Sunan Kalijaga Islamic State University Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/g1674m86

Abstract

Konflik merupakan bagian tak terhindarkan dalam interaksi sosial manusia, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berkembang menjadi sengketa berkepanjangan. Dalam hukum Islam, penyelesaian konflik menekankan pentingnya musyawarah dan keadilan sebagai prinsip utama dalam mencapai perdamaian. Indonesia sendiri memiliki dua mekanisme penyelesaian sengketa, yaitu litigasi melalui pengadilan dan non-litigasi melalui metode Alternative Dispute Resolution (ADR) seperti mediasi, arbitrase, dan konsiliasi. Kendati litigasi sering dianggap memiliki kekuatan hukum yang mengikat, mekanisme ini memiliki kendala seperti biaya tinggi dan proses yang panjang. Oleh karena itu, ADR menjadi solusi yang semakin relevan dalam menyelesaikan konflik, terutama dalam sektor bisnis yang membutuhkan efisiensi waktu dan biaya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep penyelesaian sengketa dalam hukum Islam, memahami implementasi manajemen konflik dalam dunia bisnis, serta mengevaluasi efektivitas penyelesaian sengketa di ranah pengadilan. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan pendekatan deskriptif-analitis, penelitian ini mengkaji berbagai teori penyebab konflik serta strategi penyelesaiannya dalam sistem hukum Indonesia. Data diperoleh dari studi literatur, wawancara dengan praktisi hukum, serta analisis terhadap regulasi dan putusan pengadilan yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Islam menawarkan tiga mekanisme utama dalam penyelesaian sengketa, yaitu as-sulhu (perdamaian), at-tahkim (arbitrase), dan al-qadha (peradilan). Ketiga mekanisme ini menekankan prinsip keadilan, musyawarah, dan keseimbangan dalam mengatasi perselisihan. Dalam konteks hukum Indonesia, ADR terbukti lebih fleksibel dan efisien dalam menangani konflik dibandingkan dengan litigasi, terutama dalam sengketa bisnis yang memerlukan penyelesaian cepat. Untuk itu, pengembangan sistem ADR yang lebih optimal, termasuk peningkatan literasi hukum dan dukungan regulasi, menjadi hal yang mendesak guna memastikan akses terhadap keadilan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Qaṭ’ī-Dzannī keharaman Riba dan Bunga Bank: Kajian Heuristik Terhadap Ayat-Ayat Riba Solahuddin, Ahmad; Musaffa, Muhamad Ulul Albab
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 53 No 1 (2019)
Publisher : UINSunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v53i1.1598

Abstract

Larangan ribā merupakan prinsip fundamental dalam hukum Islam yang ditegaskan secara eksplisit dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Namun, penerapannya terhadap bunga bank dalam sistem keuangan modern menimbulkan perdebatan hukum dan sosial yang kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat qaṭ’ī larangan ribā dalam Al-Qur’an serta menganalisis relevansi dan status hukum bunga bank melalui pendekatan heuristik. Metode yang digunakan meliputi analisis linguistik terhadap struktur dan diksi ayat, kajian historis melalui asbāb an-nuzūl, analisis koherensi tematik (munāsabah), serta pendekatan yurisprudensial terhadap ragam pandangan ulama klasik dan kontemporer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larangan ribā bersifat mutlak dalam teks, namun penerapannya terhadap bunga bank berada pada wilayah ẓannī yang menuntut ijtihād kontekstual. Studi ini juga menemukan bahwa perbedaan pendekatan hukum, kesiapan kelembagaan, serta literasi masyarakat menjadi faktor kunci keberhasilan sistem keuangan Islam yang bebas riba. Pendekatan heuristik terbukti efektif dalam menjembatani antara idealisme normatif dan realitas ekonomi kontemporer, sekaligus memperkuat pentingnya maqāṣid asy-syarī‘ah sebagai orientasi etik dalam pengembangan keuangan syariah.
Neuromarketing dalam Perspektif Etika Bisnis Islam: Antara Inovasi dan Manipulasi Musaffa, Muhamad Ulul Albab; Tamtowi, Moh; Syarifah, Zetty
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 57 No 1 (2023)
Publisher : UINSunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v57i1.1471

Abstract

The development of neuromarketing as an interdisciplinary approach that integrates neuroscience, psychology, and marketing has created new opportunities for a more precise understanding of consumer behavior. However, from the perspective of Islamic business ethics, an academic problem arises regarding the boundary between legitimate innovation and manipulative practices that harm consumers. Techniques such as scarcity and dark patterns raise serious concerns because they risk undermining the principles of justice, contractual clarity, and consumer consent, which are fundamental in Islamic commercial jurisprudence. This study seeks to examine the position of neuromarketing by referring to the framework of maqāṣid al-sharī‘ah, particularly the dimensions of  ḥifẓ al-‘aql (protection of intellect), ḥifẓ al-māl (protection of wealth), and ḥifẓal-nafs (protection of self), alongside relevant fiqh principles. The research employs a library-based method with a critical analytical approach. Data were collected from contemporary neuromarketing literature, consumer ethics studies, and classical sources in Islamic jurisprudence. The analysis was carried out through a dialectical engagement between modern research findings and Islamic normative principles, resulting in an evaluative synthesis. The findings indicate that neuromarketing can be categorized as a halal by design practice when it is directed towards clarifying information, enhancing consumer literacy, and strengthening transparency. Conversely, it becomes manipulative when it exploits consumer cognitive biases. The primary contribution of this research is the formulation of the Shariah Neuromarketing Ethics Index (SNEI) as an ethical audit instrument applicable to the development of the halal marketing industry in the digital era.
CHINESE MUSLIM SUBCULTURE: CULTURE AND RELIGIOUS INTEGRATION IN SEMARANG'S MULTICULTURAL SOCIETY Musaffa, Muhamad Ulul Albab; Taufiqurohman, Taufiqurohman; Abdurrahman, Landy Trisna; Muhyidin, Muhyidin
Harmoni Vol. 24 No. 1 (2025): Januari-Juni 2025
Publisher : Research and Development Center for Guidance for Religious Societies and Religious Services, the Research and Development and Education and Training Agency of the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia (MORA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32488/harmoni.v24i1.845

Abstract

AbstractWithin the landscape of Indonesia’s ethnic and religious diversity, the Chinese Muslim community in Semarang occupies a unique position as a “minority within a minority,” navigating sociocultural pressures from the non-Muslim Chinese milieu and the predominantly Javanese Muslim majority. Located in a city shaped by centuries of Sino-Javanese interaction, the community’s lived experience offers valuable insight into the harmonious coexistence of cultural heritage and Islamic values. This study examines how identity preservation and da‘wah strategies are negotiated within this context, drawing on in-depth interviews, participant observation, and document analysis. Employing Dick Hebdige’s subcultural theory, this study finds that the community actively incorporates Chinese cultural symbols such as language, rituals, and traditional festivals into inclusive da‘wah practices. Through such integrative approaches, the community resists cultural erasure while simultaneously promoting social cohesion. This study highlights the potential of culturally embedded religious practices to strengthen interfaith dialogue, enhance public understanding of diversity, and inform policy frameworks for minority integration. By situating the lived experiences of Chinese Muslims within broader discourses on multiculturalism and interfaith harmony, the study contributes to a deeper understanding of hybrid identities as a foundation for inclusive and resilient societies in Indonesia and across Southeast Asia. AbstrakDalam lanskap keberagaman etnis dan agama di Indonesia, komunitas Muslim Tionghoa di Semarang menempati posisi unik sebagai “minoritas dalam minoritas,” yang harus menghadapi tekanan sosiokultural dari lingkungan Tionghoa non-Muslim sekaligus mayoritas Muslim Jawa. Berada di sebuah kota yang dibentuk oleh interaksi Tionghoa-Jawa selama berabad-abad, pengalaman hidup komunitas ini memberikan wawasan berharga mengenai koeksistensi harmonis antara warisan budaya dan nilai-nilai Islam. Studi ini menelaah bagaimana strategi pelestarian identitas dan dakwah dinegosiasikan dalam konteks tersebut, dengan menggunakan wawancara mendalam, observasi partisipan, dan analisis dokumen. Dengan memanfaatkan teori subkultural Dick Hebdige, studi ini menemukan bahwa komunitas secara aktif mengintegrasikan simbol-simbol budaya Tionghoa—seperti bahasa, ritual, dan perayaan tradisional—ke dalam praktik dakwah yang inklusif. Melalui pendekatan integratif ini, komunitas mampu melawan penghapusan budaya sekaligus mendorong kohesi sosial. Studi ini menyoroti potensi praktik keagamaan yang berakar pada budaya untuk memperkuat dialog antaragama, meningkatkan pemahaman publik tentang keberagaman, dan memberikan kontribusi pada kerangka kebijakan integrasi minoritas. Dengan menempatkan pengalaman hidup Muslim Tionghoa dalam wacana yang lebih luas tentang multikulturalisme dan harmoni antaragama, studi ini memperkaya pemahaman tentang identitas hibrida sebagai fondasi bagi masyarakat yang lebih inklusif dan tangguh di Indonesia maupun Asia Tenggara.  
The Silent Tarekat in Islamic Law: Legal Consciousness and the Chishti Sufi Legacy of the Tablighi Jamaat Anshori, Ahmad Yani; Abdurrahman, Landy Trisna; Tamtowi, Moh.; Musaffa, Muhamad Ulul Albab
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 25 No. 1 (2025)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v25i1.44979

Abstract

This article explores the silent legal and spiritual framework of the Tablighi Jamaat (TJ) in Indonesia, drawing on fieldwork, interviews, and textual analysis. While TJ does not claim to be a Sufi order (ṭarīqah), its practices suggest a reconfiguration of the Chishti-Ḥanafī legacy within a non-institutional framework. The study argues that TJ operates as a "silent tarekat", where fiqh is embodied through routines of taʿlīm, khurūj, and adab, rather than articulated through fatwā or formal legal discourse. The article traces how collective reasoning (mushāwarah), ethical discipline, and ritual repetition form an alternative legal consciousness that resists codification but remains deeply normative. Drawing from Talal Asad's theory of discursive tradition and Ibn' Arabi's notion of 'ilm al-aḥwāl, the paper shows how authority, legality, and spirituality are distributed through embodied discipline rather than textual claims. Contrasting with mainstream Islamic institutions in Indonesia like NU, Muhammadiyah, and MUI, which rely on fatwā issuance and formal jurisprudence, TJ emphasizes humility, action, and affective cohesion. The article concludes that TJ represents a post-ṭarīqah legal formation, silent, affective, and decentralized, redefining Islamic normativity through practice rather than proclamation.   Abstrak Artikel ini menelusuri kerangka hukum dan spiritual Jamaah Tabligh (JT) di Indonesia yang bersifat diam-diam namun terstruktur, berdasarkan observasi lapangan, wawancara, dan kajian teks. Meskipun Jamaah Tabligh tidak mengklaim diri sebagai tarekat, namun praktiknya menunjukkan konfigurasi ulang warisan Chishti-Ḥanafī dalam bentuk non-institusional. Artikel membawa argumentasi bahwa JT berfungsi sebagai “silent tarekat,” yang mana hukum Islam (fiqh) diwujudkan melalui rutinitas ta’līm, khurūj, dan adab, bukan melalui fatwa atau diskursus hukum formal. Artikel ini mencoba melacak bagaimana musawarah, disiplin etis, dan pengulangan ritual membentuk kesadaran hukum alternatif yang tidak tersusun secara kodifikasi, namun tetap normatif. Mengacu pada teori tradisi diskursif Talal Asad dan konsep ‘ilm al-aḥwāl dari Ibn ʿArabi, tulisan ini menunjukkan bahwa otoritas, legalitas, dan spiritualitas dalam JT tersebar melalui disiplin tubuh, bukan klaim tekstual. Berbeda dengan arus utama lembaga Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI yang bergantung pada fatwa dan fikih formal, Jamaah Tabligh menekankan kerendahan hati, amal, dan kohesi afektif. Artikel ini menyimpulkan bahwa Jamaah Tabligh merepresentasikan formasi hukum pasca-tarekat—diam, afektif, dan terdesentralisasi—yang menata ulang normativitas Islam melalui praktik, bukan pernyataan.