Paat, Vicky BGD
Sekolah Tinggi Teologi REAL Batam

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Menuju Evolusi Ibadah Kristen di Masa Pandemi Covid-19 Fransiskus Irwan Widjaja; Fredik Melkias Boiliu; Didimus SB Prasetya; Haposan Simanjuntak; Vicky BGD Paat
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 2 (2021): Maret 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i2.87

Abstract

The rapid spread of COVID-19 throughout the world is changing the way everyone lives in socializing; the environment most used for a living has rapidly shrunk into homes. Business, schools, and religious services all move quickly online. No one knows precisely how long these physical and social restrictions will last -or what are the short and long-term impacts on religious life? In standard times, the presence of religious adherents in houses of worship is used by sociologists as a condition of religiosity for every religious devotee. But how can religiosity be measured in a time when people are alone? And in a time when people are not allowed to meet in large groups or even leave their homes.  What will the Religiosity of Religion look like in the future? And how will the coronavirus affect the religious practices of the Nusantara religions? This paper aims to provide a way forward for studying post-pandemic evolutionary religions that are significant in Indonesia. This study uses an evaluation method in a qualitative approach. The exploration into the evolution of human religiosity is often distorted by assumptions made about religion's nature. This review explores developments in the evolution of religion and provides critical evaluations of different theoretical positions. In general, scholars believe that religion is adaptive. In this set of ideas, theologians' evolutionary insight is not a threat but rather an essential clarification of cross-cultural religion's evolution.Penyebaran COVID-19 yang cepat ke seluruh dunia mengubah cara hidup setiap orang dalam bersosialisasi; lingkungan yang paling banyak digunakan untuk hidup telah dengan cepat menyusut menjadi rumah. Bisnis, sekolah, dan layanan keagamaan semuanya bergerak cepat secara online. Tidak ada yang tahu persis berapa lama pembatasan fisik dan sosial ini akan bertahan atau apa dampak jangka pendek dan jangka panjangnya terhadap kehidupan beragama. Pada zaman standar, kehadiran pemeluk agama di rumah ibadah dimanfaatkan para sosiolog sebagai syarat religiusitas setiap pemeluk agama. Tapi bagaimana religiusitas bisa diukur di saat orang sendirian? Dan di saat orang tidak diperbolehkan bertemu dalam kelompok besar atau bahkan meninggalkan rumah. Seperti apa Religiusitas Agama di masa depan? Dan bagaimana virus corona akan mempengaruhi praktik keagamaan agama-agama Nusantara? Makalah ini bertujuan untuk memberikan jalan ke depan untuk mempelajari agama-agama evolusioner pasca-pandemi yang signifikan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka dan studi literature. Penjelajahan ke dalam evolusi religiusitas manusia sering kali terdistorsi oleh asumsi-asumsi yang dibuat tentang hakikat agama. Ulasan ini mengeksplorasi perkembangan dalam evolusi agama dan memberikan evaluasi kritis tentang posisi teoritis yang berbeda. Secara umum, para sarjana percaya bahwa agama itu adaptif. Dalam kumpulan gagasan ini, wawasan evolusioner para teolog bukanlah ancaman, melainkan klarifikasi esensial dari evolusi agama lintas budaya.
Christian Mission, Spiritual Leadership and Personality Development of the Digital Generation Joni Manumpak Parulian Gultom; Vicky Baldwin Goldsmith Dotulong Paat; Otieli Harefa
PASCA : Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Vol 18 No 1 (2022): PASCA: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Baptis Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46494/psc.v18i1.179

Abstract

Spiritual leadership has experienced a significant correction of service responsibilities for God's church. Several reasons are advances in information technology, social media, and financial problems. On the other hand, the digital generation is the majority of the congregation. The facts show that 6 out of 10 people (59%) leave the Christian faith in the first decade of adulthood, and the number 44% - 52% do not go to church. The personality of the digital generation tends to be eroded, while the church leadership seems to have lost the enthusiasm to reach them. The question is how to build the resilience of spiritual leaders in the digital age? What kind of implications and approaches in developing the personality of the Digital Generation can take? The purpose is to describe the steps to build spiritual leadership resilience and explain the implications and mission approaches of digital generation personality development. Research is a qualitative descriptive method. The results are building Spiritual Leadership Resilience by upgrading oneself in contemporary leadership, building friendships, synergizing with other spiritual practitioners, and building worship praise as a medium for spiritual experience. The implications for the digital generation are: Developing the three vocations of the church, building intergenerational relationships and leadership spirit, generating gifts and role effectiveness, and emphasizing the meaning and fulfillment of future leadership functions.
Sosialisasi Pemahaman Perceraian Dalam Pernikahan Kristen Bagi Mahasiswa Teologi Vicky BGD Paat; Masroni Masroni; Maniur Orlando Nainggolan; Boy Joko Prawira Naibaho; Samuel Gultom; Rickki Setia Budi Situmeang
Real Coster : Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol 2, No 2: September 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Real Batam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (255.671 KB) | DOI: 10.53547/rcj.v2i2.129

Abstract

The family is an institution built by God Himself through a marriage, therefore this is a noble thing, which is given by God to humans. Genesis 1:28 records that God blessed Adam and Eve before they were commanded to reproduce. Therefore, marriage must be carried out by a man and a woman on the basis of harmony, of one heart, of agreement, full of love, trusting one another, and relying on God's grace. Marriage must not be carried out by trial and error, damaged by lack of wisdom, insulted or defiled; marriage should be respected and upheld by fearing the Lord and remembering God's purpose in marriage. Matthew 19 concludes because of that, what God has joined together, man should not separate. This truth is proof that God actually builds families and blesses with the aim that households on earth live according to God's plan, namely carrying out God's mission on this earth. AbstrakKeluarga adalah lembaga yang dibangun oleh Allah sendiri melalui sebuah pernikahan, oleh karenanya hal ini adalah mulia, yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia. Kejadian 1:28 mencatat bahwa Tuhan memberkati Adam dan Hawa sebelum mereka diperintahkan untuk beranak cucu. Oleh karenanya pernikahan harus dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dengan dasar rukun, sehati, setujuan, penuh kasih sayang, percaya seorang akan yang lain, dan bersandar kepada kasih karunia Tuhan. Pernikahan tidak boleh dilakukan dengan coba-coba, dirusak oleh karena kurang bijaksana, dinista atau dinajiskan; pernikahan harus dihormati dan dijunjung tinggi dengan takut akan Tuhan serta mengingat tujuan Allah dalam pernikahan. Dalam Matius 19 menyimpulkan karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Kebenaran tersebut menjadi bukti bahwa Allah secara nyata membangun keluarga dan memberkati dengan tujuan agar rumah tangga dibumi hidup dalam rencana Allah yaitu melaksanakan misi Allah atas bumi ini.
Edukasi Konstruktif Terhadap Fenomena LGBTQ Menurut Perspektif Teologi Kristen Vicky BGD Paat; Irfan Feriando Simanjuntak; Harls Evan R. Siahaan
Real Coster : Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol 1, No 2: Septermber 2018
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Real Batam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (468.068 KB) | DOI: 10.53547/rcj.v1i2.106

Abstract

LGBTQ is a fact of existence so it cannot be considered as an issue only. LGBTQ is not just a problem to be addressed so that it becomes a pro or con in society including Christians, because LGBTQ is not a rumor or hearsay. LGBTQ is a fact or reality that exists in society. What is the Bible's answer about LGBTQ in 1 Corinthians 6:9-11, Paul states Do not go astray, fornicator, adulterer, effeminate, prostitute, will not inherit the kingdom of God. The verb ete (Greek) in verse 11 confirms that, in the Corinthian church there were people called oute moikhi, oute malakoi, oute arsenokoitai (Greek). The word that is often debated is arsenokoitai (Greek). arsenokoitai can refer to a grown man who has a slave who is used as a sexual partner to fulfill his lust, so clearly this is a sin that requires church ministry as an expression of Christ's love that they need the true saving gospel. Through this discussion I call for us to return to the gospel which is the power of God that saves every believer. That is the gospel that makes the arsenokoitai give themselves to be sanctified and become people who are sanctified and justified in the name of the Lord Jesus Christ.AbstrakLGBTQ merupakan sebuah fakta keberadaannya sehingga tidak bisa dianggap sebagai sebuah isu saja. LGBTQ tidak sekedar sebuah masalah untuk ditanggapi sehingga menjadi pro atau kontra di masyarakat termasuk Kristen, karena LGBTQ bukan sebuah sebuah desas-desus atau kabar angina. LGBTQ adalah sebuah sebuah fakta atau kenyataan yang ada di masyarakat. Apakah jawaban Alkitab tentang LGBTQ dalam 1 Korintus 6:9-11, Paulus menyatakan Janganlah sesat, orang cabul, orang berzinah, banci, orang pemburit, tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Kata kerja ete (bahasa Yunani) dalam ayat 11 menegaskan bahwa, di jemaat Korintus ada orang yang disebut oute moikhi, oute malakoi, oute arsenokoitai (bahasa Yunani). Kata yang sering diperdebatkan adalah arsenokoitai (Bahasa Yunani). arsenokoitai dapat mengacu ke lelaki dewasa yang memiliki seorang budak yang dijadikan mitra seksualnya dalam melampiaskan nafsu syahwatnya, jadi jelas ini adalah dosa yang membutuhkan pelayanan gereja sebagai wujud kasih Kristus bahwa mereka membutuhkan Injil yang sejati yang menyelamatkan. Melalui diskusi ini saya menyerukan untuk kita kembali kepada Injil yang adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya itu. Itulah Injil yang membuat para arsenokoitai memberi diri mereka disucikan dan menjadi orang-orang yang dikuduskan dan dibenarkan di dalam nama Tuhan Yesus Kristus.
Pendampingan Dan Peningkatan Literasi Siswa Melalui Gerakan Membaca Di Masa Pandemi Di Desa Mentuda Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga Talizaro Tafonao; Fransiskus Irwan Widjaja; Sabar Manahan Hutagalung; Haposan Simanjuntak; Vicky B. G. D. Paat; Sihar Lamhot Simatupang; Juntriman Purba
Real Coster : Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol 4, No 1: Maret 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Real Batam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.77 KB) | DOI: 10.53547/rcj.v4i1.97

Abstract

The purpose of this service is to maximize children's ability to read and write in Mentuda Village, Lingga Regency while studying at home. The impact of Covid-19 has disrupted the learning system in various schools including children in Mentuda Village. This activity is carried out based on the problems experienced by the children as explained in this article. The method of implementing this community service is lectures, discussions, simulations and practices on how to read correctly. After this activity was carried out, the results obtained were that about 90% of children read well as the results in the explanation in this article. This can be seen in every activity carried out by the children who are very enthusiastic in participating in each session that has been arranged by the team. This means that activities like this are very effective to continue to be carried out for children. AbstrakTujuan pengabdian ini adalah untuk memaksimalkan kemampuan anak dalam baca dan tulis di Desa Mentuda Kecamatan Lingga Kabupaten selama belajar di rumah. Dampak dari Covid-19 ini telah mengganggu sistem belajar di berbagai sekolah termasuk anak-anak yang ada di Desa Mentuda. Kegiatan ini dilakukan berdasarkan masalah yang dialami oleh anak-anak sebagaimana penjelasan dalam artikel ini. Metode pelaksanaan pengabdian masyarakat ini yakni ceramah, diskusi, simulasi dan praktik tentang cara membaca yang benar. Setelah kegiatan ini dilakukan, hasil yang dapatkan adalah anak-anak membaca dengan baik sekitar 90% sebagaimana hasil dalam penjelasan dalam artikel ini. Hal ini nampak pada setiap kegaitan yang dilakukan anak-anak sangat antusias dalam mengikuti setiap sesi yang telah diatur oleh tim. Artinya bahwa kegiatan-kegiatan seperti ini sangat efektif untuk terus dilakukan kepada anak-anak.
Menuju Evolusi Ibadah Kristen di Masa Pandemi Covid-19 Fransiskus Irwan Widjaja; Fredik Melkias Boiliu; Didimus SB Prasetya; Haposan Simanjuntak; Vicky BGD Paat
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 2 (2021): Maret 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i2.87

Abstract

The rapid spread of COVID-19 throughout the world is changing the way everyone lives in socializing; the environment most used for a living has rapidly shrunk into homes. Business, schools, and religious services all move quickly online. No one knows precisely how long these physical and social restrictions will last -or what are the short and long-term impacts on religious life? In standard times, the presence of religious adherents in houses of worship is used by sociologists as a condition of religiosity for every religious devotee. But how can religiosity be measured in a time when people are alone? And in a time when people are not allowed to meet in large groups or even leave their homes.  What will the Religiosity of Religion look like in the future? And how will the coronavirus affect the religious practices of the Nusantara religions? This paper aims to provide a way forward for studying post-pandemic evolutionary religions that are significant in Indonesia. This study uses an evaluation method in a qualitative approach. The exploration into the evolution of human religiosity is often distorted by assumptions made about religion's nature. This review explores developments in the evolution of religion and provides critical evaluations of different theoretical positions. In general, scholars believe that religion is adaptive. In this set of ideas, theologians' evolutionary insight is not a threat but rather an essential clarification of cross-cultural religion's evolution.Penyebaran COVID-19 yang cepat ke seluruh dunia mengubah cara hidup setiap orang dalam bersosialisasi; lingkungan yang paling banyak digunakan untuk hidup telah dengan cepat menyusut menjadi rumah. Bisnis, sekolah, dan layanan keagamaan semuanya bergerak cepat secara online. Tidak ada yang tahu persis berapa lama pembatasan fisik dan sosial ini akan bertahan atau apa dampak jangka pendek dan jangka panjangnya terhadap kehidupan beragama. Pada zaman standar, kehadiran pemeluk agama di rumah ibadah dimanfaatkan para sosiolog sebagai syarat religiusitas setiap pemeluk agama. Tapi bagaimana religiusitas bisa diukur di saat orang sendirian? Dan di saat orang tidak diperbolehkan bertemu dalam kelompok besar atau bahkan meninggalkan rumah. Seperti apa Religiusitas Agama di masa depan? Dan bagaimana virus corona akan mempengaruhi praktik keagamaan agama-agama Nusantara? Makalah ini bertujuan untuk memberikan jalan ke depan untuk mempelajari agama-agama evolusioner pasca-pandemi yang signifikan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka dan studi literature. Penjelajahan ke dalam evolusi religiusitas manusia sering kali terdistorsi oleh asumsi-asumsi yang dibuat tentang hakikat agama. Ulasan ini mengeksplorasi perkembangan dalam evolusi agama dan memberikan evaluasi kritis tentang posisi teoritis yang berbeda. Secara umum, para sarjana percaya bahwa agama itu adaptif. Dalam kumpulan gagasan ini, wawasan evolusioner para teolog bukanlah ancaman, melainkan klarifikasi esensial dari evolusi agama lintas budaya.
Menuju Evolusi Ibadah Kristen di Masa Pandemi Covid-19 Fransiskus Irwan Widjaja; Fredik Melkias Boiliu; Didimus SB Prasetya; Haposan Simanjuntak; Vicky BGD Paat
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 2 (2021): Maret 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i2.87

Abstract

The rapid spread of COVID-19 throughout the world is changing the way everyone lives in socializing; the environment most used for a living has rapidly shrunk into homes. Business, schools, and religious services all move quickly online. No one knows precisely how long these physical and social restrictions will last -or what are the short and long-term impacts on religious life? In standard times, the presence of religious adherents in houses of worship is used by sociologists as a condition of religiosity for every religious devotee. But how can religiosity be measured in a time when people are alone? And in a time when people are not allowed to meet in large groups or even leave their homes.  What will the Religiosity of Religion look like in the future? And how will the coronavirus affect the religious practices of the Nusantara religions? This paper aims to provide a way forward for studying post-pandemic evolutionary religions that are significant in Indonesia. This study uses an evaluation method in a qualitative approach. The exploration into the evolution of human religiosity is often distorted by assumptions made about religion's nature. This review explores developments in the evolution of religion and provides critical evaluations of different theoretical positions. In general, scholars believe that religion is adaptive. In this set of ideas, theologians' evolutionary insight is not a threat but rather an essential clarification of cross-cultural religion's evolution.Penyebaran COVID-19 yang cepat ke seluruh dunia mengubah cara hidup setiap orang dalam bersosialisasi; lingkungan yang paling banyak digunakan untuk hidup telah dengan cepat menyusut menjadi rumah. Bisnis, sekolah, dan layanan keagamaan semuanya bergerak cepat secara online. Tidak ada yang tahu persis berapa lama pembatasan fisik dan sosial ini akan bertahan atau apa dampak jangka pendek dan jangka panjangnya terhadap kehidupan beragama. Pada zaman standar, kehadiran pemeluk agama di rumah ibadah dimanfaatkan para sosiolog sebagai syarat religiusitas setiap pemeluk agama. Tapi bagaimana religiusitas bisa diukur di saat orang sendirian? Dan di saat orang tidak diperbolehkan bertemu dalam kelompok besar atau bahkan meninggalkan rumah. Seperti apa Religiusitas Agama di masa depan? Dan bagaimana virus corona akan mempengaruhi praktik keagamaan agama-agama Nusantara? Makalah ini bertujuan untuk memberikan jalan ke depan untuk mempelajari agama-agama evolusioner pasca-pandemi yang signifikan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka dan studi literature. Penjelajahan ke dalam evolusi religiusitas manusia sering kali terdistorsi oleh asumsi-asumsi yang dibuat tentang hakikat agama. Ulasan ini mengeksplorasi perkembangan dalam evolusi agama dan memberikan evaluasi kritis tentang posisi teoritis yang berbeda. Secara umum, para sarjana percaya bahwa agama itu adaptif. Dalam kumpulan gagasan ini, wawasan evolusioner para teolog bukanlah ancaman, melainkan klarifikasi esensial dari evolusi agama lintas budaya.
Menuju Evolusi Ibadah Kristen di Masa Pandemi Covid-19 Fransiskus Irwan Widjaja; Fredik Melkias Boiliu; Didimus SB Prasetya; Haposan Simanjuntak; Vicky BGD Paat
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 2 (2021): Maret 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i2.87

Abstract

The rapid spread of COVID-19 throughout the world is changing the way everyone lives in socializing; the environment most used for a living has rapidly shrunk into homes. Business, schools, and religious services all move quickly online. No one knows precisely how long these physical and social restrictions will last -or what are the short and long-term impacts on religious life? In standard times, the presence of religious adherents in houses of worship is used by sociologists as a condition of religiosity for every religious devotee. But how can religiosity be measured in a time when people are alone? And in a time when people are not allowed to meet in large groups or even leave their homes.  What will the Religiosity of Religion look like in the future? And how will the coronavirus affect the religious practices of the Nusantara religions? This paper aims to provide a way forward for studying post-pandemic evolutionary religions that are significant in Indonesia. This study uses an evaluation method in a qualitative approach. The exploration into the evolution of human religiosity is often distorted by assumptions made about religion's nature. This review explores developments in the evolution of religion and provides critical evaluations of different theoretical positions. In general, scholars believe that religion is adaptive. In this set of ideas, theologians' evolutionary insight is not a threat but rather an essential clarification of cross-cultural religion's evolution.Penyebaran COVID-19 yang cepat ke seluruh dunia mengubah cara hidup setiap orang dalam bersosialisasi; lingkungan yang paling banyak digunakan untuk hidup telah dengan cepat menyusut menjadi rumah. Bisnis, sekolah, dan layanan keagamaan semuanya bergerak cepat secara online. Tidak ada yang tahu persis berapa lama pembatasan fisik dan sosial ini akan bertahan atau apa dampak jangka pendek dan jangka panjangnya terhadap kehidupan beragama. Pada zaman standar, kehadiran pemeluk agama di rumah ibadah dimanfaatkan para sosiolog sebagai syarat religiusitas setiap pemeluk agama. Tapi bagaimana religiusitas bisa diukur di saat orang sendirian? Dan di saat orang tidak diperbolehkan bertemu dalam kelompok besar atau bahkan meninggalkan rumah. Seperti apa Religiusitas Agama di masa depan? Dan bagaimana virus corona akan mempengaruhi praktik keagamaan agama-agama Nusantara? Makalah ini bertujuan untuk memberikan jalan ke depan untuk mempelajari agama-agama evolusioner pasca-pandemi yang signifikan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka dan studi literature. Penjelajahan ke dalam evolusi religiusitas manusia sering kali terdistorsi oleh asumsi-asumsi yang dibuat tentang hakikat agama. Ulasan ini mengeksplorasi perkembangan dalam evolusi agama dan memberikan evaluasi kritis tentang posisi teoritis yang berbeda. Secara umum, para sarjana percaya bahwa agama itu adaptif. Dalam kumpulan gagasan ini, wawasan evolusioner para teolog bukanlah ancaman, melainkan klarifikasi esensial dari evolusi agama lintas budaya.
Kemurahan Hati dalam Bingkai Kasih Kristus: Analisa Historis Kritis Roma 12:20 Sianipar, Ronald; Tetelepta, Hendrik Bernadus; Harefa, Otieli; Paat, Vicky BGD
ELEOS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Vol. 4 No. 2 (2025): Januari 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Kalvari Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53814/eleos.v4i2.156

Abstract

Abstract: This study aims to present the hermeneutics of Romans 12:20 concerning Paul's teaching to the Roman church about loving one's enemies. The research highlights the thematic shift in Romans 12, from the doctrinal discussions in the previous eleven chapters to the implementation of doctrine in daily life, with an emphasis on attitudes toward others, including enemies, in the context of the socio-political tensions in Rome at that time. The author employs the historical-critical hermeneutical method to analyze key terms in Romans 12 and the book of Romans, while also considering the socio-political context of the time. The findings of this study reveal that Romans 12:20 parallels Proverbs 25:21-22, reflecting the influence of Jewish tradition in Paul's teaching about loving enemies. This concept is highly relevant in the context of the complex social, political, and religious pluralism in Rome, underscoring the importance of theological and ethical guidance in Christian life. These findings also offer insights for applying the principle of loving enemies in the context of the contemporary church and Christian society, serving as a guide in addressing similar social and political tensions. Abstrak: Kajian ini bertujuan untuk mempresentasikan hermeneutika Roma 12:20 mengenai pengajaran Paulus kepada jemaat Roma tentang mengasihi musuh. Penelitian ini menyoroti pergeseran tema dalam teks Roma 12, dari doktrin yang dibahas dalam 11 pasal sebelumnya, ke implementasi doktrin dalam kehidupan sehari-hari, dengan penekanan pada sikap terhadap sesama, termasuk musuh, dalam konteks ketegangan sosial-politik Roma pada masa itu. Penulis menggunakan metode hermeneutika historis-kritis untuk menganalisis kata kunci dalam perikop Roma 12 dan kitab Roma, serta memperhatikan konteks sosial-politik pada waktu itu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Roma 12:20 memiliki paralel dengan Amsal 25:21-22, yang mencerminkan pengaruh tradisi Yahudi dalam pengajaran Paulus tentang mengasihi musuh. Konsep ini sangat relevan dalam konteks kompleksitas struktur sosial, politik, dan pluralitas agama di Roma, serta menekankan pentingnya panduan teologis dan etika dalam kehidupan Kristen. Temuan ini juga memberikan wawasan bagi penerapan prinsip mengasihi musuh dalam konteks gereja dan masyarakat Kristen masa kini, sebagai pedoman dalam menghadapi ketegangan sosial dan politik yang serupa.
Dari Injil ke Realitas: Tantangan Spiritual dan Sosial di Papua Pasca-Misi Ottow Dan Geisler Paat, Vicky BGD
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 10, No 1 (2025): Oktober 2025 (In Progress)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v10i1.1920

Abstract

Abstract. Papua has received the Gospel since 1855, yet the anticipated social transformation has not been fully realized. Structural poverty, poor quality of education, moral degradation, and development inequality reveal a significant gap between spiritual growth and social change. This study aimed to explore the role of the church in embodying shalom through a practical theological approach. Employing a qualitative method framed by Don S. Browning and Richard R. Osmer’s practical theological cycle, this research examined historical, social, and theological reflections. The findings indicate that the stagnation of social transformation is primarily influenced by three factors: the dogmatization of church ministry, uneven modernization, and limited access to education. Therefore, an incarnational praxis model that integrates contextual evangelism, early faith formation through Early Childhood Christian Education aligned with local culture, and synergy between the church, government, and community is a necessity.Abstrak. Papua telah menerima Injil sejak 1855, namun transformasi sosial yang diharapkan belum sepenuhnya terwujud. Kemiskinan struktural, rendahnya mutu pendidikan, degradasi moral, serta ketimpangan pembangunan menunjukkan adanya kesenjangan antara pertumbuhan rohani dan perubahan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran gereja dalam menghadirkan shalom melalui pendekatan teologi praktis. Menggunakan metode kualitatif dengan kerangka lingkaran teologi praktis Don S. Browning dan Richard S. Osmer, penelitian ini menelaah data historis, sosial, serta refleksi teologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stagnasi transformasi sosial dipengaruhi oleh tiga hal utama: dogmatisasi pelayanan gereja, modernisasi yang timpang, dan rendahnya akses pendidikan. Karena itu diperlukan model praksis inkarnasional yang mengintegrasikan penginjilan kontekstual, formasi iman sejak usia dini melalui Pendidikan Kristen Anak Usia Dini yang selaras dengan budaya lokal, serta sinergi antara gereja, pemerintah, dan komunitas.